Recent Posts

Aisyah Bahagia Menikah dengan Nabi ﷺ


Benarkah Aisyah dinikahi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di usia 9 tahun? lalu bagaimana tanggapan para ustad di web ini mengenai orang yang meragukan hal itu, karena bagaimana mungkin gadis 9 tahun bisa bahagia dinikahi lelaki yang usianya 50 tahun. Mohon pencerahan…

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Bagian yang perlu kita garis bawahi, keterangan mengenai usia Aisyah ketika dinikahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah hasil ijtihad ulama, sehingga perlu ditinjau benar dan salahnya. Bukan pula hasil penelitian ahli sejarah, sehingga perlu diperdebatkan mengenai validitasnya. Keterangan usia Aisyah ketika dinikahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah informasi yang disampaikan oleh pelaku sejarah itu sendiri, yaitu Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Sehingga orang mau percaya maupun tidak percaya, itulah yang disampaikan oleh Aisyah sendiri.

Ada beberapa versi riwayat terkait keterangan Aisyah mengenai peristiwa ini,

[1] Riwayat dari Urwah bin Zubair – keponakan Aisyah –, bahwa Aisyah bercerita,

تَزَوَّجَنِى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ، فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَنَزَلْنَا فِى بَنِى الْحَارِثِ بْنِ خَزْرَجٍ… فَأَتَتْنِى أُمِّى أُمُّ رُومَانَ وَإِنِّى لَفِى أُرْجُوحَةٍ وَمَعِى صَوَاحِبُ لِى ، فَصَرَخَتْ بِى فَأَتَيْتُهَا لاَ أَدْرِى مَا تُرِيدُ بِى فَأَخَذَتْ بِيَدِى حَتَّى أَوْقَفَتْنِى عَلَى بَابِ الدَّارِ ، وَإِنِّى لأَنْهَجُ ، حَتَّى سَكَنَ بَعْضُ نَفَسِى ، ثُمَّ أَخَذَتْ شَيْئًا مِنْ مَاءٍ فَمَسَحَتْ بِهِ وَجْهِى وَرَأْسِى ثُمَّ أَدْخَلَتْنِى الدَّارَ فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ فِى الْبَيْتِ فَقُلْنَ عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ ، وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ . فَأَسْلَمَتْنِى إِلَيْهِنَّ فَأَصْلَحْنَ مِنْ شَأْنِى ، فَلَمْ يَرُعْنِى إِلاَّ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ضُحًى ، فَأَسْلَمَتْنِى إِلَيْهِ ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku ketika aku berusia 6 tahun. lalu kami tiba di Madinah, dan singgah di kampung Bani al-Harits bin Khazraj… Lalu ibuku, Ummu Ruman mendatangiku, ketika itu aku duduk di ayunan bersama anak-anak sebayaku. Lalu ibuku memanggilku, akupun mendatanginya, aku tidak tahu apa yang beliau inginkan. Beliau menggandengku, lalu berhenti di depan pintu sebuah rumah. Akupun menarik nafas panjang, untuk menenangkan diriku. Kemudian ibuku mengambil air, dan beliau mengusap wajah dan kepalaku. Lalu ibuku mengajakku masuk ke rumah itu, ternyata di dalamnya ada beberapa wanita anshar. Merekapun mendoakan kebaikan dan keberkahan. Lalu ibuku menyerahkan aku ke para wanita itu, dan mereka men-dandaniku. Tidak kusangka ternyata datang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu dhuha. Ibuku menyerahkan aku ke beliau dan ketika itu, usiaku 9 tahun. (HR. Bukhari 3894, Muslim 3544, dan yang lainnya).

[2] Riwayat dari Hisyam, dari ayahnya Urwah, bahwa Aisyah menceritakan,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – تَزَوَّجَهَا وَهْىَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ، وَبَنَى بِهَا وَهْىَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ . قَالَ هِشَامٌ وَأُنْبِئْتُ أَنَّهَا كَانَتْ عِنْدَهُ تِسْعَ سِنِينَ


Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah ketika di usia 6 tahun, dan beliau kumpul bersama Aisyah ketika berusia 9 tahun.
Hisyam mengatakan, “Dan saya mendapat kabar bahwa Aisyah hidup bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 9 tahun.” (HR. Bukhari 5134).

Dan masih banyak riwayat lain yang menyebutkan keterangan Aisyah tentang usia ketika beliau menikah dan beliau kumpul bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Apakah Beliau Radhiyallahu ‘anha Bahagia?

Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha menyatakan bahwa beliau sangat bahagia.

Beliau menceritakan perasaannya ketika menjadi istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَزَوَّجَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى شَوَّالٍ وَبَنَى بِى فِى شَوَّالٍ فَأَىُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّى

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meikahiku di bulan Syawal, dan kumpul bersamaku di bulan Syawal. Manakah istri beliau yang lebih beruntung di dekat beliau melebihi diriku? (HR. Muslim 3548, Tirmidzi 1116 dan yang lainnya)
Jika ada yang meragukan dengan alasan kesulitan untuk memahami, bagaimana mungkin gadis kecil bisa bahagia ketika dinikahi lelaki usia 50 tahun?

Memang kebahagiaan tidak bisa diukur dengan logika. Kaum muslimin melaksanakan berbagai ibadah, seperti shalat 5 waktu, puasa ramadhan, berdzikir, membaca al-Quran dan seterusnya. Mereka yang bisa mendalami ibadah-ibadah itu bisa merasakan kebahagiaan dengan ibadah yang mereka kerjakan. Meskipun bagi orang kafir, ini dianggap sangat merepotkan. Nalar mereka kesulitan untuk memahami kebahagiaan seorang muslim.

Kita melihat ada anak jalanan, mereka tidur di emperan pertokoan bersama kawan-kawannya.. menurut mereka itu membahagiakan. Padahal mereka punya rumah, punya orang tua, atau bisa tinggal di pondok rehabilitasi. Kita kesulitan untuk bisa memahami, bagaimana mereka bisa bahagia.

Karena bahagia terkadang tidak bisa diukur dengan logika..

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Mantan Suami Sudah Menikah, Siapakah yang Berkewajiban Menafkahi Anak?


Nafkah Anak Setelah Bercerai?

Assalaamualaikum…saya mau bertanya soal nafkah anak yang diberikan ayah kepada anaknya yang dibawa mantan istri. Saya menikah dengan seorang duda anak 1. Setiap minggu mantan istrinya minta nafkah buat anaknya , bahkan saya pernah hanya makan satu kali sehari bersama suami saya, karena uangnya harus diberikan kepada anaknya. Banyak orang yang berasumsi bahwa mantan istri tersebut hanya memanfaatkan suami saya saja. Pertanyaanya, apakah saya tetap harus menuruti keinginan si mantan tersebut, sedangkan saya juga punya kebutuhan hidup yang justru lebih sulit daripada dia? Dan walau suami saya masih sering memberikan nafkah kepada anaknya tersebut, ia tidak pernah dipertemukan dengan sang anak semenjak perceraian terjadi. Dan si mantan tersebut pun telah memiliki suami baru dan berkehidupan layak, berbeda dengan saya. Terimakasih. Wassalaam.

Jawaban:

Wa’alaykissalaam wa rahmatullaahi wa barokaatuh.

Alhamdulillaahi wahdah, wa-sh sholaatu wa-s salaamu alaa man laa nabiyya ba’dah, wa ba’d…

Ahlan wa sahlan saudariku penanya…

Kewajiban nafkah seorang ayah terhadap anaknya memiliki 3 syarat yang disepakati oleh para ulama. Dalam lampiran ini akan kami sampaikan 2 syarat yang terkait dengan pertanyaan anda.
  • Syarat yang pertama adalah kemiskinan dan kebutuhan si anak akan nafkah tersebut, serta ketidakmampuan dirinya untuk mencari nafkah bagi dirinya sendiri.
  • Syarat yang kedua adalah kemampuan si ayah, yang mana ia memiliki kelebihan harta untuk menafkahi si anak tersebut.
Adapun jika salah satu dari dua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka nafkah tidaklah wajib atas si ayah. Namun jika ia tetap ingin memberikannya, maka itu semata-mata sebagai bentuk muwaasaah (bantuan/donasi), bukan sebagai suatu kewajiban. (Lihat: Minhaaj ath-Thaalibiin, Al-Mughni, dan Asy-Syarh Al-Mumti’)

Dengan melihat kasus anda, maka dapat disimpulkan bahwa suami anda tidak lagi berkewajiban memberikan nafkah kepada si anak tersebut, karena dari satu sisi ia masih kesulitan memenuhi kebutuhan rumah tangganya yang baru (anda dan anak-anak anda), dan di sisi lain si anak pun telah tercukupi berada di bawah tanggungan suami baru dari ibunya.

Komite Fatwa Arab Saudi pernah ditanya tentang masalah menafkahi anak-anak yang sudah berkecukupan dan memiliki penghasilan sendiri, dan jawabannya adalah:

“Anda hanya wajib menafkahi anak anda yang benar-benar membutuhkan, dan tidak memiliki pekerjaan. Adapun yang sudah berkecukupan dengan pekerjaannya, maka anda tidak lagi berkewajiban untuk menafkahinya, karena ia sudah tidak lagi membutuhkannya.” (Jilid 21. Ketua: Abdul Aziz bin Baz. Anggota Komite: Bakr Abu Zaid, Abdul Aziz Alu Syaikh, Shalih Al-Fauzan, dan Abdullah Al-Ghudayyan)

Wallaahu ta’aala a’lam, wa shallallaahu alaa nabiyyinaa wa sallam.

Dijawab oleh Ustadz Muhammad Afif Naufaldi

Antara Pakaian Sunnah dan Pakaian Adat


Definisi Pakaian Sunah

Alhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Dalam Syarah Nazom Al Waroqot, Syekh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menejelaskan definisi pakaian Sunah :

وأما ما فعله على سبيل العادة فكلام المؤلف رحمه الله يقتضي أنه مباح، لكن ينبغي ألا نقتصر على الإباحة، فنقول : ما فعله على سبيل العادة، ففعله مستحب، لكن لا بالعين، بل بالجنس .

Perbuatan yang Nabi shallallahu’alaihi wasallam lakukan sebagai adat/kebiasaan, maka berdasarkan penjelasan penulis (Nazom Al Waroqot), hukumnya mubah.

Namun, baiknya kita tidak membatasi pada hukum mubah saja. Kita katakan, “Perbuatan yang beliau lakukan sebagai adat/kebiasaan, maka melakukannya dianjurkan. Namun, anjuran ini bukan berkaitan dengan bentuk spesifiknya (‘ain), tapi pada jenisnya.”

مثال ذلك: في عهد الرسول عليه الصلاة والسلام اعتاد الناس أن يلبسوا إزارا ورداء وعمامة في الغالب، فنقول: كون الناس في ذلك الوقت يلبسون هذا اللباس أفضل وأحسن؛ لئلا يشذ الإنسان عنالناس، ولئلا يكون لباسه شهرة.

Contohnya: Di zaman Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, umumnya masyarakat di kala itu biasa memakai sarung, selendang dan imamah (lilitan kain penutup kepala). Maka kita katakan, “Memakai pakaian seperti itu di zaman itu, adalah model pakaian yang paling afdhol dan baik.”

– Supaya orang tidak terlihat kampungan (pent, karena pakaiannya yang tidak seperti lumrahnya masyarakat).

– Dan supaya pakaiannya tidak tergolong pakaian syuhroh (tenar).

كن لو أردنا أن نطبق ذلك في عهدنا الآن، ونأتي إلى الصلاة، كل واحد منا لابس إزارا ورداءوعمامة، نقول : هذا شهرة، ليس مستحبا،

Akan tetapi, jika kita ingin menerapkan model pakaian seperti itu, di zaman kita sekarang. Kemudian kita pakai untuk sholat, setiap kita memakai sarung, selendang dan imamah. Kita katakan bahwa ini adalah pakaian syuhroh. Tidak dianjurkan.

فالمستحب أن تلبس ما اعتاده الناس عندنا ، ولهذا كان الصحابة رضي الله عنهم لما فتحواالبلاد صاروا يلبسون لباس الناس؛ لئلا يكون الإنسان متميزة يشتهر في المجالس، يقولون : فلان كذا.

Yang disunahkan adalah, Anda memakai pakaian yang lumrah dipakai masyarakat di daerah yang kita tinggali. Oleh karena itu, para sahabat Nabi -semoga Allah meridhoi mereka-, ketika berhasil menaklukkan banyak negeri, mereka berpakaian sebagaimana pakaian masyarakat setempat. Supaya seorang tidak tampak menonjol, sehingga membuatnya jadi bahan omongan. Orang-orangpun membicarakannya, “Itu lho si anu…..”

ولهذا نهى النبي عن لباس الشهرة, إذا ما فعله على سبيل التعبد فقد تبين حكمه. وما فعله على سبيل الجبلة قلنا: لا حكم له، وما فعله على سبيل العادة قلنا: إنه مستحب، لكن بالجنس، لا بالعين


Oleh karenanya, Nabi shallallahu’alaihi wasallam melarang memakai pakaian syuhroh.

Jadi kesimpulannya tentang hukum perbuatan Nabi, perbuatan Nabi yang:
  • Dilakukan sebagai jibilah / tabi’at (pent, yang dilakukan Nabi dalam kapasitas beliau sebagai manusia, seperti duduk, tidur, berbaring dan berdiri). Dan kita katakan, tidak ada hukumnya.
  • Dilakukan sebagai adat/kebiasaan. Kita katakan, hukum meneladaninya sunnah, tapi sunnah yang dimaksud, meneladani pada jenisnya, bukan bentuk spesifiknya.

(Lihat : Syarah Nazom Al Waroqot, Ibnu ‘Utsaimin, hal. 149 – 150)
_______

Catatan :
Disebut berpakaian Sunnah, adalah berpakaian mengikuti umumnya pakaian masyarakat yang kita tinggali. Karena:

[1] Demikianlah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan para sahabat beliau.

[2] Menghindari pakaian syuhroh.
Pakaian syuhroh adalah, pakaian yang dipandang asing oleh masyarakat di daerah yang kita tinggali. Sehingga dengan memakainya, seorang tampak beda dan menjadi buah bibir masyarakat.
Dalam kamus bahasa Arab Lisanul Arob dijelaskan,

الشهرة ظهور الشيء في شنعة حتى يشهره الناس

Pengertian syuhroh adalah, menonjol dalam kesan yang negatif. Sehingga hal tersebut membuatnya tenar di tengah masyarakat. (Lisanul Arob, 4/498)

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakai pakaian syuhroh. Dijelaskan dalam hadis Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

« من لبس ثوب شهرة ألبسه الله ثوب مذلة يوم القيامة »

“Siapa saja yang memakai pakaian syuhroh maka Allah akan memberinya pakaian kehinaan pada hari Kiamat” (HR Abu Daud, dinilai hasan oleh al Mundziri dalam at Targhib).

[3] Definisi pakaian sunnah adalah jenisnya, bukan bentuk spesifiknya.
Jadi yang disunahkan adalah meneladani pada jenis pakaian beliau shallallahu’alaihi wasallam.

Apa jenisnya ?

Jawab: Pakaian sesuai adat masyarakat yang beliau tinggali.

Cara mengetahuinya dengan melihat, motivasi apa Nabi mengenakan pakaian itu. Terjawab bahwa motivasi beliau adalah, mengikuti lumrahnya pakaian di daerah yang beliau tinggali. Ini terbukti dengan larangan beliau memakai pakaian syuhroh.

Bukan pada bentuk spesifiknya (‘ainnya). Sehingga keliru jika dipandang pakaian sunah adalah, memakai imamah, jubah/qomis dll.

Berdasarkan definisi ini, bentuk pakaian sunah itu fleksibel, longgar dan bisa selaras dengan daerah yang kita tinggali dan zaman di mana kita berada.

Demikian…

Wallahua’lam bis showab.

Hukum Beli Emas Virtual Antam


Pertanyaan

Ustadz di butik emas antam kita bisa beli emas virtual, jadi kita tidak beli fisik emasnya, tapi kita mnyerahkan uang ke butik emas sejumlah gram yg kita mau beli dg harga di bawah fisik emas, ada administrasinya pertahun, bedanya dg tabungan di bank, dia nilai rupiahnya mengikuti berat emas yg kita beli. klebihannya dia bisa diuangkan sewaktu-waktu sesuai kebutuhan kita tidak harus seluruhnya. apa itu diperbolehkan menurut hukum syar’i?

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Bagian dari syarat jual beli emas adalah harus dilakukan secara tunai, dari tangan ke tangan.

Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ مِثْلاً بِمِثْلٍ ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ ، يَدًا بِيَدٍ ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Jika emas dibarter dengan emas, perak dengan perak, gandum halus dengan gandum halus, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, maka takarannya harus sama dan harus tunai. Jika benda yang dipertukarkan berbeda, maka takarannya sesuai yang kalian inginkan, asalkan tunai.” (HR. Muslim 2970)

Anda bisa perhatikan kalimat yang terakhir,

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Jika benda yang dipertukarkan berbeda, maka takarannya sesuai yang kalian inginkan, asalkan tunai.”

Ketika kita beli emas, berarti terjadi pertukaran uang dengan emas. Dan ini dua benda ribawi yang berbeda, namun satu kelompok, dan dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyaratkan harus dilakukan secara tunai.

Kembali kepada kasus di atas,

Ada dua pendekatan untuk kasus di atas,

[1] Membeli emas secara virtual berarti membeli emas secara tidak tunai, dalam arti uangnya diserahkan sekarang, sementara emasnya belum ada (tertunda).

Uang (tunai) <==> Emas (tertunda)

Ketika transaksi ini dilakukan, berarti melanggar hadis Ubadah bin Shamit di atas, dan itu termasuk bentuk riba nasiah.

Malik bin Aus radhiyallahu ‘anhu bercerita, bahwa beliau pernah mendatangi kerumunan beberapa orang, lalu aku sampaikan, “Siapa yang mau menukarkan dirhamnya? Ini saya punya dinar.”

Di sana ada Thalhah bin Ubaidillah yang ketika itu berada di dekat Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sahabat Thalhah merespon, “Tunjukkan emasmu, sini saya bawa dulu. Jika nanti pembantuku datang, akan saya serahkan dirhamku.”

Mendengar ini, Umar langsung mengingatkan,

كَلَّا، وَاللهِ لَتُعْطِيَنَّهُ وَرِقَهُ، أَوْ لَتَرُدَّنَّ إِلَيْهِ ذَهَبَهُ

Tidak boleh seperti itu, demi Allah, kamu harus serahkan perakmu (dirham) sekarang, atau kamu kembalikan emas itu kepadanya. (HR. Muslim 1586)

Dalam kejadian di atas, Umar mengingkari praktek yang dilakukan Sahabat Malik dengan Sahabat Thalhah, ketika mereka melakukan tukar menukar emas dengan perak secara tidak tunai. Dimana Malik bin Aus menyerahkan emasnya, sementara Thalhah menyerahkan peraknya setelah pembantunya datang. Ada penundaan di sana, dan itu dilarang.

[2] Hakekat transaksi ini adalah utang piutang, namun ada kelebihan.

Misalnya, harga emas saat ini adalah 700rb/gr. Lalu anda menyetorkan uang ke butik emas senilai 7jt, sehingga dicatat telah memiliki emas 10gr. Tiga bulan berikutnya, harga emas 750rb/gr. Lalu anda setor lagi senilai 6jt, sehingga tercatat membeli emas 8gr. Total emas anda 18gr. Selang setahun, harga emas naik menjadi 800rb/gr. Kemudian anda mengambilnya dalam bentuk uang.

Uang yang akan anda terima adalah 14.400.000. Padahal yang anda setorkan senilai 7jt + 6jt = 13jt. Selisih 1.400.000 adalah riba utang piutang, dan bukan selisih jual beli emas, karena tidak ada emasnya.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Bolehkah Berpuasa Asyura Saja tanpa Berpuasa Tasua atau 11 Muharram?


Puasa Asyura merupakan salah satu puasa sunnah yang dilakukan dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Namun dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa melaksanakan Puasa Asyura juga harus diikuti dengan puasa Tasua (puasa satu hari sebelum Asyura) atau setelah asyura, yakni tanggal 11 Muharram.

عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم صام يوم عاشوراء فقالوا يا رسول الله إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: فإذا كان العام المقبل إن شاء الله تعالى صمنا اليوم التاسع، قال: فلم يأت العام المقبل حتى توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Dari Ibn Abbas RA, sesungguhnya Rasulullah SAW berpuasa hari Asyura, kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasul SAW, sesungguhnya asyura adalah hari agung bagi kaum Yahudi dan Nasrani,” kemudian Rasul berkata, “Jika tiba muharram tahun depan, insya Allah kita berpuasa di hari kesembilan. Ibn Abbas berkata, “Rasulullah wafat sebelum datang bulan Muharram tahun selanjutnya.

Hadis ini menunjukkan keinginan Rasul untuk melakukan puasa sebelum hari asyura. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad berikut, juga dijelaskan bahwa Rasul memerintahkan untuk berpuasa di hari sebelum atau sesudah hari asyura, agar berbeda dengan kaum Yahudi.

صوموا يوم عاشوراء وخالفوا اليهود وصوموا قبله يوما وبعده يوما

“Berpuasalah di hari Asyura, dan jangan menyamai kaum Yahudi, berpuasalah kalian satu hari sebelumnya atau satu hari setelahnya.”

Lalu, bagaimana jika kita hanya puasa Asyura saja, tidak disertai dengan puasa tasua (9 Muharram) atau setelah Asyura (11 Muharram)? Bolehkah demikian? Akankah kita termasuk golongan Yahudi jika tidak berpuasa sebelum atau sesudah Asyura?

Mari kita kaji!

Di hadis pertama, sama sekali tidak ada nash sharih (ketentuan secara jelas) keharusan untuk melakukan puasa dua hari, baik Asyura dengan hari sebelumnya, maupun Asyura dengan hari setelahnya.

Karena tidak ada ketetapan yang jelas tersebut para ulama berbeda pendapat. Imam an-Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat terkait hal ini.

Pertama, Imam as-Syafii dan para pengikutnya menjelaskan bahwa pernyataan Nabi ingin menambah hari puasa Muharram adalah upaya menyempurnakan kebaikan puasa di bulan Muharram, walaupun ada kesan ingin berbeda dengan kaum Yahudi. Menurut Imam as-Syafii, ada hadis lain yang menjelaskan keutamaan puasa di bulan Muharram, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalur Abu Hurairah, yaitu:

أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم

“Puasa terbaik setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.”

Dari pendapat Imam as-Syafii tersebut bisa disimpulkan bahwa menambah puasa di tanggal kesembilan Muharram sebagaimana yang ingin dilakukan Rasul adalah kesunnahan bukan kewajiban dan keharusan.

Kedua, pendapat ulama yang menyebutkan bahwa puasa yang diinginkan Rasul adalah untuk tidak menyerupai kaum Yahudi. Hal ini juga didasarkan pada hadis kedua riwayat Imam Ahmad yang telah disebutkan di atas:

صوموا يوم عاشوراء وخالفوا اليهود وصوموا قبله يوما وبعده يوما

“Berpuasalah di hari Asyura, dan jangan menyamai kaum Yahudi, berpuasalah kalian satu hari sebelumnya atau satu hari setelahnya.”

Sayangnya, hadis ini adalah hadis daif, bahkan disebutkan sebagai hadis yang mungkar oleh Imam as-Syaukani, sebagaimana disebutkan oleh al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, Syarh Sunan at-Tirmidzi.

Menurut al-Mubarakfuri, Nabi tidak selamanya berbeda dengan ahlul kitab (Yahudi), dalam beberapa hal, nabi melakukan hal yang dilakukan oleh ahli kitab, atau terkadang sebaliknya.

Dalam kasus puasa Asyura ini, Rasul malah pernah bersabda bahwa kaum muslim lebih berhak memperingati kemenangan Nabi Musa dengan berpuasa di hari Asyura, sebagaimana dilaksanakan oleh Yahudi.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

“Dari Ibn Abbas RA, ketika Rasul SAW sampai di kota Madinah, Rasul melihat orang Yahudi berpuasa hari Asyura, kemudian Rasul bertanya kepada Yahudi tersebut, “Apa yang kau lakukan hari ini?” Yahudi itu menjawab, “Ini adalah hari yang baik, hari diselamatkannya Bani Israil dari para musuh-musuhnya, sehingga Nabi Musa AS. berpuasa pada hari ini.” Rasul kemudian bersabda, “Aku lebih berhak atas Musa dari pada kalian.” Kemudian Rasul berpuasa dan memerintahkan kepada para sahabat untuk berpuasa.

Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa hadis pertama di atas adalah keinginan Rasul untuk memindah puasa Asyura dari tanggal 10 ke tanggal 9. Ada juga yang berpendapat bahwa Rasul ingin melakukan puasa di dua hari tersebut. Nah, untuk berhati-hati (ihtiyath), maka para ulama melaksanakan puasa di dua hari tersebut, bahkan ada juga para sahabat dan tabiin, sebagaimana disebutkan dalam Umdatul Qari dan Faidhul Qadhir, yang melakukan puasa hingga tiga hari, yakni tanggal 9,10, dan 11 Muharram, dengan alasan untuk berhati-hati dengan hadis pertama di atas.

Karena hadis di atas tidak disebutkan dengan jelas, apakah Rasul ingin mengganti puasa Asyura dari tanggal 10 ke tanggal 9, atau menambah puasanya menjadi dua hari. Untuk itu, para ulama melakukan puasa dua hari, bahkan tiga hari.

Dari tiga pendapat tersebut, Imam an-Nawawi sendiri cenderung lebih mengunggulkan pendapat yang pertama, yakni pendapat Imam as-Syafii yang menyebutkan kesunahan menambah satu hari sebelum tanggal 10.

Pendapat Imam as-Syafii ini juga didukung dengan bukti bahwa Imam as-Syafii memperbolehkan kita hanya puasa di tanggal 10 Muharram (Asyura) saja, tanpa menambah di tanggal 9 atau 11. Akan tetapi lebih baik jika ditambah. Hal ini disebutkan juga oleh Sayyid Muhammad Syatha’ dalam Ianatut Thalibin-nya.

وفي الأم لا بأس أن يفرده أي لا بأس أن يصوم العاشر وحده

“Dalam kitab al-Umm (karangan Imam as-Syafii) dijelaskan bahwa tidak masalah jika hanya berpuasa satu hari saja, yakni tidak masalah jika berpuasa di tanggal 10 Muharram saja.”

Wallahu A’lam.

Haid Di Waktu Sholat Sementara Belum Sempat Sholat


Pertanyaan :
Assalamu’alaikum ustadz

Mau tanya, Ini ada yang titip bertanya “kalau kita mandi suci setelah haid sekitar jam 6.15 pagi (karena bangunnya kesiangan) dan sebelum haidnya sudah masuk waktu isya namun blm shalat isya, pertanyaannya shalat subuh boleh di tunaikan tidak karena melihat waktu sudah kesiangan? Terus kodo shalat isyanya di kerjakan pagi itu atau nunggu isya???
Syukron..
Wassalamu’alaikum wr wb
Dari: Ibu Ainun, di Surabaya

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah, ‘amma ba’du.

Dari pertanyaan yang Ibu sampaikan, kami menangkap ada tiga permasalahan:

  1. Suci sebelum atau di waktu subuh, namun belum sempat mandi besar sampai habis waktu subuh.
  2. Mengalami haid di waktu isya, namun belum sempat menunaikan sholat Isya.
  3. Teknis meng-qodo’ sholat bagi wanita haid.
Dengan memohon pertolongan kepada Allah, kita uraikan satu-persatu.

Kasus Pertama, suci sebelum atau di waktu subuh, namun belum sempat mandi besar sampai habis waktu subuh.

Ada dua kewajiban yang harus dilakukan untuk yang mengalami seperti ini:

[a]. Meng-qodo’ sholat Subuh.

Karena yang menjadi patokan adalah waktu sucinya, bukan mandi besarnya. Selama darah haid berhenti di dalam waktu sholat, saat itu pula dia berstatus kembali layak dibebani kewajiban ibadah, maka saat itu pula dia wajib melakukan sholat sesegera mungkin.

Syekh Abdulaziz bin Baz rahimahullah menegaskan,

الحائض لو أخرت الغسل إلى طلوع الشمس وهي طهرت في أول الوقت أو في آخر الليل عليها أن تقضي صلاة الفجر تصلي صلاة الفجر،

Wanita haid yang mengakhirkan mandi besar (janabah) sampai terbit matahari, padahal dia sudah suci haid dari sejak awal waktu subuh atau di ujung malam, dia wajib meng-qodo’ sholat subuh tersebut. (Dikutip dari situs resmi beliau : https://binbaz.org.sa/fatwas/16158/حكم-قضاء-الصلاة-الفاىتة-للجنب)

[b]. Bertaubat kepada Allah.

Karena dia telah mengulur waktu bersuci (mandi besar) sampai keluar waktu sholat. Ini termasuk dosa besar, dan wajib ia bertobat.

Syekh Abdulaziz bin Baz rahimahullah kembali menjelaskan,

ولا يجوز لها هذا العمل ولا يجوز للجنب هذا العمل، يجب على الجنب أن يغتسل في الوقت، وهكذا الحائض يجب عليها أن تغتسل في الوقت وتصلي في الوقت، لكن لو أخرا أثما.. أثما بهذا وعليهما التوبة مع فعل الصلاة.

Menunda-nunda mandi besar seperti ini tidak boleh dilakukan oleh orang yang junub demikian pula wanita yang haid. Meraka wajib mandi segera di waktu sholat kemudian wajib segera melakukan sholat tersebut. Adapun jika menundanya, maka mereka berdosa… Berdosa karena perbuatan tersebut. Sehingga mereka wajib bertaubat dan wajib melakukan sholat yang bersangkutan.
(Dikutip dari situs resmi beliau :https://binbaz.org.sa/fatwas/16158/حكم-قضاء-الصلاة-الفاىتة-للجنب)


Kasus Kedua, haid di waktu isya, namun belum sempat menunaikan sholat Isya.

Ada tiga pendapat ulama terkait kasus ini:

Pendapat pertama, selama masih sempat melakukan takbiratul ihram, maka dia wajib meng-qodo’.

Pendapat kedua, selama waktu masih cukup untuk melakukan sholat secara sempurna, maka wajib meng-qodo’.

Pendapat ketiga, selama waktu mencukupi untuk melakukan satu raka’at, maka wajib meng-qodo’.

Pendapat ketiga ini insyaallah yang lebih mendekati kebenaran. Karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من أدرك ركعة من الصلاة فقد أدرك الصلاة

Siapa yang sempat mendapatkan satu raka’at, maka dia telah masuk dalam satu sholat. (HR. Bukhori dan Muslim)

Jadi selama yang bersangkutan saat suci di waktu Isya, rentang waktunya cukup untuk melakukan satu raka’at sholat Isya, maka dia wajib meng-qodo’ sholat isyanya. Jika tidak, maka tidak wajib meng-qodo’.

Waktu sholat isya di mulai sejak hilangnya cahaya kemerahan di ufuk barat, sampai pertengahan malam. Berdasarkan penjelasan malaikat Jibril ‘alaihis salam saat menjelaskan waktu-waktu sholat fardhu kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,

وَوَقْتُ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَسْقُطْ ثَوْرُ الشَّفَقِ وَوَقْتُ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ

Waktu sholat Maghrib selama belum habis cahaya mega di ufuk barat. Adapun waktu sholat Isya membentang sampai pertengahan malam. (HR. Muslim)

Setengah malam cara mengukurnya : dijumlahkan jam antara awal waktu sholat Maghrib s/d Subuh, kemudian dibagi dua. Misal sholat Maghrib pukul 18.00, sholat subuh pukul 04.30, kita jumlahkan jamnya ketemu: 10 jam 30 menit. Kemudian dibagi dua, ketemulah akhir sholat isya yaitu pukul: 11.15.

Kasus Ketiga, teknis meng-qodo’ sholat bagi wanita haid.

Pertama, qodo harus dilakukan sesegera mungkin. Tidak perlu menunggu tiba waktu sholat yang bersangkutan.
Hal ini karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من نام عن صلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها

“Siapa yang tertidur hingga ia melewatkan sholat, atau terlupa, hendaklah ia mengerjakan shalat saat ia ingat.”

Bahkan jika bertepatan dengan waktu terlarang sholatpun, tidak mengapa. Berdasarkan keumuman hadis di atas.

Kedua, menjamak sholat yang mungkin di jamak.
Sholat yang bisa dijamak adalah: Dhuhur bersama Ashar, dan Maghrib bersama Isya.

Jadi jika suci di waktu Ashar, dia wajib meng-qodo’ sholat Dhuhur dan Asar, dengan cara menjamak. Atau suci di waktu Isya, maka wajib meng-qodo’ sholat Maghrib dan Isya dengan dijamak.

Dalam Zaadul Mustaqni’ diterangkan,

ومن صار أهلا لوجوبها قبل خروج وقتها : لزمته وما يجمع إليها قبلها

Siapa yang berstatus layak mendapat kewajiban sholat (pent, seperti saat wanita haid suci kembali), sebelum keluar waktu sholat tertentu, maka dia wajib meng-qodo’sholat tersebut dan menjamak sholat sebelumnya jika memungkinkan untuk dijamak. (Lihat : Ar-Roudhul Murbi’ Syarah Zaadil Mustaqni’, hal. 56)

Demikian.
Wallahua’lam bis showab.
****
Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)

Mengenal Khiyar Majlis di Pasar


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Sebelum kita membahas khiyar majlis, terlebih dahulu kita akan memahami hak khiyar.
Di dalam buku ensiklopedi Fiqh Islam disebutkan definisi khiyar,

هُوَ حَقُّ الْعَاقِدِ فِي فَسْخِ الْعَقْدِ أَوْ إِمْضَائِهِ ، لِظُهُورِ مُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ أَوْ بِمُقْتَضَى اتِّفَاقٍ عَقَدِيٍّ

“Hak pelaku akad untuk membatalkan atau melanjutkan akad disebabkan alasan yang syar’i atau karena ada kesepakatan ketika akad.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 20/41).

Berdasarkan definisi di atas, ada beberapa catatan yang bisa kita simpulkan,

  1. Bahwa hak khiyar melindungi semua pelaku akad, yang mencakup penjual dan pembeli. Sehingga hak khiyar tidak hanya melindungi pembeli semata, tapi juga penjual.
  2. Hak khiyar adalah turunan dari akad, dalam arti di mana ada akad jual beli maka di situ ada hak khiyar. Karena itu, tidak ada hak khiyar tanpa akad jual beli.
  3. Hak khiyar ada karena dua alasan:
    • Sebab yang diizinkan oleh syariat, seperti masih di majlis akad atau adanya aib atau sebab dibodohi.
    • Karena kesepakatan pelaku akad, seperti hak khiyar syarat.
  4. Khiyar hanya berlaku untuk akad yang lazim (mengikat kedua pihak). Sementara akad yang jaiz (bisa dibatalkan sepihak), tidak berlaku khiyar.

Ibnu Hubairah – ulama Hambali w. 560 H,

واتَّفقوا على أن خيار المجلس لا يثبت في العقود التي هي غير لازمة كالشركة، والوكالة، والمضاربة

Ulama sepakat bahwa khiyar majlis tidak berlaku untuk akad yang tidak lazim (mengikat), seperti syirkah, wakalah atau mudharabah. (Ikhtilaf al-Aimmah, Ibnu Hubairah, 1/350).

Hak Khiyar Majlis

Selanjutnya, di bagian ini kita akan membahas khusus mengenai hak khiyar majlis.
Khiyar majlis adalah hak khiyar bagi pelaku akad untuk melanjutkan atau membatalkan transaksi selama keduanya masih berada di majlis akad.

Keberadaan hak khiyar majlis telah dinyatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا تَبَايَعَ الْمُتَبَايِعَانِ بِالْبَيْعِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مِنْ بَيْعِهِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا

Jika ada dua orang yang melakukan akad jual beli, maka masing-masing memiliki hak khiyar dalam akad jual beli yang mereka lakukan, selama mereka belum berpisah. (HR. Muslim 3935)

Dalam riwayat lain, dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُتَبَايِعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَفْتَرِقَا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَفْقَةَ خِيَارٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَ صَاحِبَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيلَهُ

Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar selama mereka belum berpisah. Kecuali jika ada perpanjangan khiyar. Dan tidak halal baginya untuk meninggalkan lawan akadnya, karena khawatir akad dibatalkan. (HR. Nasai 4500, Abu Daud 3458 dan dihasankan al-Albani)

Dalam hadis yang kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut ‘tidak halal’ bagi orang yang tidak memberikan hak khiyar majlis. Ini menunjukkan bahwa khiyar majlis hukumnya wajib.

Batasan Khiyar Majlis

Apa batasan masa khiyar majlis, apakah selama masih di sekitar pasar ataukah selama masih bertatap muka antara penjual dan pembeli?

Jawabannya: batasan khiyar majlis adalah selama penjual dan pembeli masih bertatap muka. Karena ketika sudah berpisah badan, berarti sudah disebut berpisah secara makna bahasa.

Al-Wazir Ibnu Hubairah menjelaskan mengenai makna ‘berpisah’ untuk khiyar majlis,

والتفرق في اللغة لا يحمل إلا على التفرق بالأبدان

Berpisah secara bahasa tidak memiliki makna selain berpisah secara fisik. (al-Ifshah, 4/127).

Dan seperti inilah yang dipahami sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, selaku sahabat yang meriwayatkan hadis tentang Khiyar Majlis.

Nafi’ – menantunya Ibnu Umar – menceritakan,

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا اشْتَرَى شَيْئًا يُعْجِبُهُ فَارَقَ صَاحِبَهُ

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma ketika membeli sesuatu yang beliau sukai, maka (selesai akad) beliau segera tinggalkan penjualnya. (HR. Bukhari 2107)

Dalam riwayat lain, Nafi’ mengatakan,

فَكَانَ إِذَا بَايَعَ رَجُلاً فَأَرَادَ أَنْ لاَ يُقِيلَهُ قَامَ فَمَشَى هُنَيَّةً ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ

Ibnu Umar ketika melakukan transaksi dengan seseorang, dan beliau ingin agar tidak dibatalkan (mengikat) maka beliau berpindah sedikit, lalu kembali lagi ke penjual. (HR. Muslim 3935).

Ketika si A dan si B melakukan akad di pasar, mereka saling bertemu. Ketika akad sudah deal dilakukan, lalu si A berpindah ke penjual sampingnya, maka akad menjadi mengikat, karena khiyar majlis sudah tidak berlaku. Konsekuensi akad yang mengikat (lazim), akad itu tidak bisa dibatalkan sepihak.

Hikmah Adanya Khiyar Majlis

Apa hikmah khiyar majlis diwajibkan dalam setiap akad?

Banyak kejadian orang melakukan akad tanpa pikir panjang. Sehingga bisa jadi setelah akad, dia menyesal, karena mereka rugi. Islam memberikan hak khiyar majlis, untuk mengindari peluang penyesalan semacam ini. Agar tidak ada pihak yang dirugikan.

Ibnul Qoyim menjelaskan hikmah adanya Khiyar Majlis,

إن الشارع صلوات الله وسلامه عليه وعلى آله أثبت خيار المجلس في البيع حكمة ومصلحة للمتعاقدين وليحصل تمام الرضي الذي شرطه تعالى فيه فإن العقد قد يقع بغته من غير ترو ولا نظر في القيمة فاقتضت محاسن هذه الشريعة الكاملة أن يجعل للعقد حريما يتروى فيه المتبايعان ويعيدان النظر ويستدرك كل واحد منهما عيبا كان خفيا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan khiyar majlis dalam transaksi jual beli, karena ada hikmah dan maslahat bagi pelaku akad. Agar terjadi keridhaan yang sempurna seperti yang Allah sebutkan dalam al-Quran. Karena akad terkadang terjadi secara tiba-tiba tanpa pikir panjang mengenai harganya, sehingga bagian dari kebaikan syariah yang sempurna ini, adanya jeda agar masing-masing pelaku akad bisa merasa puas, mempertimbangkan ulang, sehingga masing-masing mengetahui aib yang tersembunyi. (I’lam al-Muwaqqi’in, 3/164)

Dalam artikel yang ditulis oleh Dr. Ali Abdullah dan Dr. Ahmad Syahdah disebutkan,

إن الحاجة – وهي مما جاءت العقود لتلبيتها وإشباعها – داعية لإثبات هذا الخيار؛ ذلك أن كلا من المتعقدين قد يقبلان على البيع بغتة من غير ترو؛ فيحصل لهما الندم على ما عقداه، فلو قلنا بلزوم العقد بمجرد الإيجاب والقبول لتضررا من ذلك؛ فناسب أن يشرع خيار المجلس لكل منهما دفعا للضرر

Pertimbangan kebutuhan – yang merupakan tujuan besar dilakukannya akad – sangat mendesak untuk menetapkan keberadaan khiyar ini. karena masing-masing pelaku akad, bisa jadi menyetujui akad jual beli secara tiba-tiba dan tidak berfikir panjang. Sehingga mereka menyesali akad yang mereka lakukan. Jika kita nyatakan bahwa akad itu mengikat hanya dengan ijab qabul, tentu akan merugikan mereka. Sehingga sangat sesuai ketika disyariatkan adanya khiyar majlis bagi masing-masing untuk menghindari hal yang merugikan. (Majallah as-Syariah wal Qanun, hlm 201)

Demikian, semoga bermanfaat.

Allahu a’lam.

Sumber: Buku Pasar Muslim & Dunia Makelar

Tata Cara Pelaksanaan Shalat Tasbih


Salah satu shalat sunnah yang dianjurkan oleh para ulama kita adalah shalat tasbih. Dinamakan demikian karena di dalam shalat tersebut banyak dibaca tasbih. Sebagian masyarakat muslim di Indonsia menjadikan shalat tasbih sebagai sarana untuk mendapatkan lailatul qadr di bulan Ramadhan. Untuk menjaring malam yang sangat mulia ini mereka melakukan shalat malam secara berjamaah di sepuluh malam terakhir Ramadhan dan shalat tasbih dipilih untuk menjadi sarananya.

Para ulama mendasarkan kesunnahan shalat tasbih pada sebuah hadits riwayat Abu Rafi’ di mana Rasulullah memberitahukan kepada paman beliau Abbas tentang tata cara dan berbagai keutamaan melakukan shalat tasbih. Dalam berbagai kitab fiqih yang menuturkan perihal shalat tasbih para ulama menyebut hadits yang cukup panjang tersebut. Meski dipandang sebagai hadits dlaif (lemah) namun para ulama Syafi’iyah seperti Abu Muhammad Al-Baghawi dan Abul Mahasin Ar-Rayani menetapkan kesunnahan shalat tasbih ini. Ini sebagaimana dituturkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Adzkâr (Jakarta, Darul Kutub Al-Islamiyah, 2004, hal. 202).

Bila dilihat dari sisi keutamaannya para ulama memandang shalat tasbih memiliki keutamaan yang begitu besar sampai Imam As-Subki menyatakan bahwa tidaklah orang yang mendengar tentang keutamaan shalat tasbih namun ia meninggalkannya (tidak melakukannya) kecuali orang itu adalah orang yang merendahkan agama (lihat: Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhâjul Qawîm, Beirut: Darul Fikr, tt., hal. 203).

Adapun waktu pelaksanaan shalat tasbih dapat dilakukan kapan saja, baik siang hari ataupun malam hari, sepanjang tidak pada waktu yang dilarang untuk shalat. Hanya saja Imam Nawawi memiliki pendapat yang menyatakan adanya perbedaan dalam teknis pelaksanaan shalat tasbih di siang dan malam hari. Bagi beliau bila shalat tasbih dilakukan di malam hari maka akan lebih baik bila dilakukan dua rakaat – dua rakaat masing-masing dengan satu salam. Namun bila dilakukan di siang hari maka bisa dilakukan dua rakaat satu salam atau langsung empat rakaat dengan satu salam. Dalam kitab Al-Adzkâr-nya beliau menyatakan:

فإن صلى ليلاً فأحبّ إليّ أن يسلّم في ركعتين؛ وإن صلّى نهاراً، فإن شاء سلّم، وإن شاء لم يسلم

Artinya: “Bila shalat dilakukan di malam hari maka lebih kusukai bila bersalam dalam dua rakaat. Namun bila di siang hari maka bila mau bersalam (pada dua rakaat) dan bila mau maka tidak bersalam (di dua rakaat).”

Lalu bagaimana tata cara melakukan shalat tasbih?

Ibnu Hajar Al-Haitami di dalam kitabnya Al-Minhâjul Qawîm menuliskan:

و صلاة التسبيح وهي أربع ركعات يقول في كل ركعة بعد الفاتحة والسورة: سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر، زاد في الإحياء: ولا حول ولا قوة إلا بالله خمس عشرة مرة وفي كل من الركوع والاعتدال وكل من السجدتين والجلوس بينهما والجلوس بعد رفعه من السجدة الثانية في كل عشرة فذلك خمس وسبعون مرة في كل ركعة

Artinya: “dan (termasuk shalat sunnah) adalah shalat tasbih, yaitu shalat empat rakaat di mana dalam setiap rakaatnya setelah membaca surat Al-Fatihah dan surat lainnya membaca kalimat subhânallâh wal hamdu lillâh wa lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar—di dalam kitab Ihyâ ditambahi wa lâ haulâ wa lâ quwwata illâ billâh—sebanyak 15 kali, dan pada tiap-tiap ruku’, i’tidal, sujud, duduk di antara dua sujud, dan duduk setelah sujud yang kedua masing-masing membaca (kalimat tersebut) sebanyak 10 kali. Maka itu semua berjumlah 75 kali dalam setiap satu rakaat.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhâjul Qawîm, Beirut: Darul Fikr, tt., hal. 203)

Dari penjelasan Ibnu Hajar di atas dapat disimpulkan tata cara pelaksanaan shalat tasbih sebagai berikut:

  1. 1. Pada dasarnya tata cara pelaksanaan shalat sunnah tasbih tidak jauh berbeda dengan tata cara pelaksanaan shalat-shalat lainnya, baik syarat maupun rukunnya. Hanya saja di dalam shalat tasbih ada tambahan bacaan kalimat thayibah dalam jumlah tertentu.
  2. Setelah membaca surat Al-Fatihah dan surat lainnya, sebelum ruku’ terlebih dahulu membaca kalimat subhânallâh wal hamdu lillâh wa lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar (selanjutnya kalimat ini disebut tasbih) sebanyak 15 kali. Setelah itu baru kemudian melakukan ruku’.
  3. Pada saat ruku’ sebelum bangun untuk i’tidal terlebih dahulu membaca tasbih sebanyak 10 kali. Setelah itu baru kemudian bangun untuk i’tidal.
  4. Pada saat i’tidal sebelum turun untuk sujud terlebih dahulu membaca tasbih sebanyak 10 kali, baru kemudian sujud.
  5. Pada saat sujud yang pertama sebelum bangun membaca tasbih sebanyak 10 kali, baru kemudian bangun untuk duduk.
  6. Pada saat duduk di antara dua sujud sebelum melakukan sujud kedua membaca tasbih sebanyak 10 kali, baru kemudian melakukan sujud yang kedua.
  7. Pada saat sujud kedua sebelum bangun membaca tasbih sebanyak 10 kali.
  8. Setelah sujud yang kedua tidak langsung bangun untuk berdiri memulai rakaat yang kedua, namun terlebih dahulu duduk untuk membaca tasbih sebanyak 10 kali. Setelah itu barulah bangun untuk berdiri kembali memulai rakaat yang kedua.
Dengan demikian maka dalam satu rakaat telah terbaca tasbih sebanyak 75 kali. Untuk rakaat yang kedua tata cara pelaksanaan shalat dan jumlah bacaan tasbihnya sama dengan rakaat pertama, hanya saja pada rakaat kedua setelah membaca tasyahud sebelum salam terlebih dahulu membaca tasbih sebanyak 10 kali, baru kemudian membaca salam sebagaimana biasa sebagai penutup shalat.

Mengapa Kita Tidak Boleh Menggambar Nabi Muhammad SAW ?


Pertanyaan : Assalamu 'alaikum
Baru-baru ini tersiar kabar bahwa di luar negeri sana ada lomba mewarnai gambar Nabi Muhammad SAW. Memang selama ini yang kita ketahui bahwa salah satu cara orang-orang kafir dalam menghina Nabi Muhammad SAW adalah dengan membuat gambar penghinaan kepada beliau SAW.
Namun dibalik semua itu, dalam hati saya kemudian muncul pertanyaan agak 'nakal'. Bagaimana kalau seandainya kita menggambar sosok Rasulullah SAW juga, tetapi bukan dengan niat untuk menghina. Niatnya justru untuk membangun kedekatan kita kepada karakter beliau. Maka gambarnya dibuat menjadi sosok yang tampan rupawan, siapa pun yang melihatnya akan mengagumi gambar itu.
Apalagi misalnya untuk kepentingan pendidikan, khususnya anak-anak kita agar lebih mengenal sosok Rasulullah SAW, bukankah ini menjadi hal yang penting?
Maksudnya dari pada anak-anak kita tumbur dan dibesarkan dengan mengidolakan tokoh kartun hayalan, apalagi lewat karakter yang umumnya didatangkan dari luar yang notabene bukan sosok islami. Apa tidak sebaiknya malah kita buatkan 'gambar' sosok Rasulullah SAW saja?
Kira-kira bagaimana pandangan secara syariahnya, adakah kajian dalam masalah hal ini? Atau barangkali ada khilafiyah di antara para ulama tentang boleh dan tidak bolehnya, mohon dijelaskan ustadz.
Demikian pertanyaan kami, semoga ustadz berkenan menjawabnya.
Wassalam

Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Seandainya kita lewatkan pembahasan hukum melukis makhluk hidup, yang mana para ulama masih berbeda pendapat di dalamnya. Dan seandainya kita lewatkan bab haramnya menggambar sosok Nabi Muhammad SAW dengan niat buruk dan tujuan jelek, sehingga digambar dengan wujud yang bagus dan rupawan. Dan seandainya kita punya tujuan yang mulia, yaitu ingin mendekatkan sosok karakter Rasulullah SAW kepada umat Islam. Maka tetap saja semua itu masih menyisakan satu masalah penting dan fundamental, yaitu masalah kedudukan sosok dan penampilan Rasulullah SAW yang menjadi rujukan hukum dalam agama.

Perlu kita ketahui bahwa kedudukan Rasulullah SAW dalam aqidah Islam itu bukan sekedar menjadi pembawa wahyu dari Allah semata. Namun peran beliau jauh lebih luas dari itu. Beliau SAW adalah representasi semua perintah dan larangan Allah SWT, bukan hanya sebatas teks-teks wahyu, tetapi semua yang beliau katakan, semua yang beliau lakukan, bahkan segala penampilan dan gerak-gerik beliau. Semuanya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa beliau adalah sosok resmi utusan Allah SWT.

Maka penampilan beliau dalam ekspresi wajah, senyum, marah, tertawa, bahkan cara beliau berpakaian, menyisir rambut, merapikan jenggot dan kumis serta hal-hal kecil lainnya, tidak bisa dilepaskan dari sumber hukum dalam syariah Islam.

Dan semua informasi tentang sosok Rasulullah SAW itu harus valid, shahih, benar, dan punya landasan ilmiyah serta bukti otentik. Tidak boleh hanya semata didasarkan pada hayal, ilusi, imajinasi serta perkiraan subjektif dari orang yang tidak pernah bertemu langsung dengan beliau.

Dalam menjadi validitas syariah, apapun perkataaan yang dianggap sebagai perkataan Rasulullah SAW, pasti akan kita tolak mentah-mentah kalau tidak ada jalur periwayatannya yang shahih dan valid. Dan apapun perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan beliau SAW, juga akan kita buang ke tong sampah, selama tidak ada jalur periwayatan secara resmi dan memenuhi standar baku dan prosedur yang benar.

Maka kalau ada penghayal dari negeri antah berantah melukis wajah manusia, lantas dia mengklaim bahwa gambar itu adalah wajah Rasulullah SAW, seluruh umat Islam sudah berijma' sepakat bulat bahwa 100% gambar itu bukan gambar beliau SAW.

Kenapa kita tolak mentah-mentah?

Karena kedudukan lukisan Nabi Muhammad SAW itu setara dengan hadits palsu alias hadits maudhu'. Maka kedudukannya cukup kita buang ke tong sampah. Haram hukumnya kita mengatakan bahwa gambar itu adalah gambar Nabi Muhammad SAW. Karena sama saja kita membuat dan menyebarkan hadits palsu kepada orang-orang. Padahal ada ancaman berat tentang orang-orang yang menyebarkan hadits palsu.

مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ

Siapa meriwayatkan suatu hadits dariku dan dia tahu bahwa itu adalah dusta, maka dia adalah salah satu dari para pendusta. (HR. Muslim)

Lukisan Nabi SAW Karya Shahabat?

Kalau ada orang iseng dan berandai-andai sambil bertanya begini : seandainya ada seorang shahabat yang pernah membuat gambar beliau SAW di masa hidup beliau, bukankah lukisan itu asli?

Memang kelihatannya demikian, tetapi kalau kita ikuti logika itu, tetap saja masih menyisakan masalah besar. Anggaplah shahabat itu memang pernah berjumpa langsung dengan beliau SAW, tetapi masih ada beberapa masalah fundamental lainnya yang harus dijawab :

Pertama, seberapa ahli shahabat itu dalam melukis wajah orang? Jangan-jangan lukisannya malah tidak mirip dan berbeda dari aslinya. Sampai disitu saja masalah lukis melukis wajah beliau SAW sudah jadi masalah.

Kedua, anggaplah ada shahabat yang berprofesi sebagai pelukis ulung dimana lukisannya amat mirip dengan aslinya, tetap saja masih ada masalah. Masalanya adalah siapa yang bisa menjamin lukisan itu terjaga keasliannya hingga 15 abad ini?

Di sisi lain, semua pengandaiannya itu sendiri terlalu memaksakan. Toh tidak pernah ada shahabat Nabi yang diriwayatkan secara orang yang jago menggambar wajah manusia. Dan tidak pernah ada kasus dimana ada lukisan manusia yang diklaim sebagai wajah Rasulullah SAW sepanjang sejarah umat Islam 15 ini.

Kesimpulannya, para ulama telah ijma' tentang haramnya melukis wajah Rasulullah SAW, apapun alasannya, bahkan meskipun barangkali tujuannya mulia. Dan bab pelarangannya bukan semata karena penghinaan, melainkan karena kepalsuan dan tidak adanya jaminan validitasnya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

dijawab Oleh Ahmad Sarwat, Lc., MA

Ambil Dulu, Bayar Belakangan

Ilustrasi Pedagang Kue
Pertanyaan:
Apa hukumnya jual beli di sebuah toko sembako, dimana konsumen dibebaskan mengambil sembako apapun yang dia inginkan, kemudian dilaporkan setiap pengambilan, lalu tagihannya disampaikan di akhir bulan, sesuai total barang yang diambil. Apakah ini boleh?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Model jual beli dengan cara konsumen mengambil barang dari penjual, lalu di akhir periode dibayar total seluruh harganya, disebut dengan jual beli istijrar.

Istilah istijrar diambil dari kata jarra – yajurru [جر يجر] yang artinya menyeret atau menarik. Karena konsumen mengambil barang dari penjual sedikit demi sedikit, kemudian ditotal di akhir waktu yang disepakati. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 4/516).

Istilah jual beli istijrar banyak digunakan dalam madzhab Hanafi dan Syafiiyah (Nihayatul Muhtaj, ar-Ramli, 3/375). Sementara dalam madzhab Maliki, jual beli ini diistilahkan dengan ‘bai’ ahli Madinah’. (al-Bayan wa at-Tahshil, 7/208).

Hukum Jual Beli Istijrar

Ulama sepakat, jual beli istijrar diperbolehkan jika harganya pasti atau telah diketahui. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 5/183; Mughni al-Muhtaj, as-Syarbini, 2/326)

Misalnya, toko A menyediakan aneka sembako. Di masing-masing produk yang dijual, ada harga yang tertera. Setiap konsumen yang mengambil barang, dia sudah tahu berapa harga barang yang dia ambil.

Ulama berbeda pendapat jika harganya tidak diketahui oleh pembeli ketika mengambil barang. Pembeli baru tahu harga setelah ditotal di akhir, ketika hendak melakukan pembayaran.

Pendapat pertama, jual belinya dilarang

Ini merupakan pendapat jamahir ulama (hampir semua ulama) dari 4 madzhab. Bahkan an-Nawawi menyatakan bahwa para ulama sepakat jual beli tanpa diketahui harganya adalah batal.

Alasannya,

Bahwa ketika akad dilakukan, harga barang harus jelas. Jika harga barang tidak diketahui kedua pihak, maka termasuk jual beli gharar. dan islam melarang jual beli gharar.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

نَهَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan lemparan kerikil dan jual beli gharar. (HR. Muslim)

An-Nawawi mengatakan,

اما إذا أخذ منه شيئا ولم يعطه شيئا ولم يتلفظا ببيع بل نويا أخذه بثمنه المعتاد كما يفعله كثير من الناس؛ فهذا باطل بلا خلاف لانه ليس ببيع لفظي ولا معاطاة ولا يعد بيعا

Adapun praktek, dimana konsumen mengambil barang, dan tidak membayar apapun, juga tidak mengucapkan kalimat jual beli, namun sebatas niat mengambil barang berdasarkan harga standar umum sebagaimana yang dilakukan umumnya masyarakat, maka ini jual beli yang batil dengan sepakat ulama. Karena praktek ini tidak bisa disebut jual beli baik dengan ijab qabul maupun tanpa ijab qabul (ba’i mu’athah), dan tidak disebut jual beli.

Kemudian beliau melanjutkan,

ولا نغتر بكثرة من يفعله فان كثيرا من الناس يأخذ الحوائج من البياع مرة بعد مرة من غير مبايعة ولا معاطاة ثم بعد مدة يحاسبه ويعطيه العوض وهذا باطل بلا خلاف

Dan kita tidak tertipu dengan praktek yang dilakukan umumnya masyarakat, dimana mereka mengambil barang yang mereka butuhkan dari penjual sedikit demi sedikit, tanpa ada pernyataan transaksi. Kemudian setelah berlalu sekian waktu, dihitung dan dibayar uangnya. Dan transaksi ini batil dengan sepakat ulama. (al-Majmu’, 9/164)

Pendapat kedua, jual belinya sah dan diperbolehkan selama ada harga pasar (as-Si’rul Mitsl) yang berlaku umum.

Ini adalah salah satu pendapat ulama syafiiyah. Salah satu riwayat dalam madzhab Hambali, dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyim.

Salah satu pendapat dalam madzhab as-Syafii, dinyatakan oleh An-Nawawi,

وحكى الرافعى وجها ثالثا أنه يصح مطلقا للتمكن من معرفته كما لو قال بعت هذه الصبرة كل صاع بدرهم يصح البيع وإن كانت جملة الثمن في الحال مجهولة وهذا ضعيف شاذ

Ar-Rafi’i menyebutkan pendapat ketiga, sah secara mutlak, karena memungkinkan untuk diketahui total harganya. Seperti seorang penjual mengatakan, ‘Saya jual makanan ini, harganya 1 dirham/sha’. Jual beli semacam ini sah, meskipun berapa total harga dari semua makanan yang diambil konsumen tidak jelas.
Kemudian an-Nawawi berkomentar,
Pendapat ini lemah, aneh. (al-Majmu’, 9/333)

Syaikhul Islam menjelaskan transaksi yang total harganya diketahui belakangan,

كما يشترون الخبز والأدم والفاكهة واللحم وغير ذلك من الخباز واللحام والفومي وغير ذلك وقد رضوا أن يعطيهم ثمن المثل وهو السعر الذي يبيع به للناس وهو ما ساغ به مثل تلك السلعة في ذلك المكان والزمان وهذا البيع صحيح نص عليه أحمد وإن كان في مذهبه نزاع فيه

Seperti masyarakat membeli roti, lauk, buah, daging, atau komoditas lainnya dari tukang roti, penjual daging, atau penjual buah, atau yang lainnya, dan mereka ridha untuk membayar harga pasar, yaitu harga yang umum berlaku di masyarakat, dan itu sesuai standar normal yang berlaku untuk barang tersebut di waktu tersebut dan di tempat tersebut. Jual beli seperti ini sah, sebagaimana keterangan Imam Ahmad, meskipun dalam madzhab beliau ada perbedaan pendapat. (Majmu’ Fatawa, 29/345).

Dan diantara alasan yang sering disampaikan oleh Syaikhul Islam adalah qiyas dengan mahar akad nikah. Ketika terjadi akad nikah, sementara suami belum menyebutkan mahar, maka istri berhak mendapatkan mahar mitsl. Dan ulama menegaskan bahwa pernikahan semacam ini sah. Sehingga, jika dalam pernikahan yang nilai maharnya dikembalikan kepada mahar umumnya yang berlaku (mahar mitsl) terhitung sah, maka dalam jual beli dengan harga yang dikembalikan kepada harga umum (tsaman mitsl) juga sah. (Nadzariyat al-Aqd, 145 – 155)

Dan insyaaAllah pendapat kedua ini yang lebih mendekati.

Allahu a’lam.

***
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Hukum Mengikat Rambut saat Sholat

Ilustrasi Laki Laki Mengikat Rambut (Sumber : Vox Media)


Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Terdapat hadis shahih yang berbunyi,

أَنَّ كُرَيْبًا مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، حَدَّثَهُ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ رَأَى عَبْدَ اللهِ بْنَ الْحَارِثِ، يُصَلِّي وَرَأْسُهُ مَعْقُوصٌ مِنْ وَرَائِهِ فَقَامَ فَجَعَلَ يَحُلُّهُ، فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: مَا لَكَ وَرَأْسِي؟ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّمَا مَثَلُ هَذَا، مَثَلُ الَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوفٌ

Kuraib, maula Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, telah menceritakan kabar dari Abdullah bin Abbas, bahwa beliau pernah melihat Abdullah bin Harits sholat dengan kondisi rambut kepala terikat di belakangnya. Lalu Ibnu Abbas bergegas melepas rambut yang terikat itu.
Seusai sholat, Abdullah bin Harits menemui Ibnu Abbas, “Mengapa Anda memperlakukan rambut kepalaku seperti itu?”
“Aku mendengar…” Jawab Ibnu Abbas,”Rasulullah ﷺ bersabda, “Permisalan orang yang sholat dengan rambut terikat seperti ini, seperti orang yang sholat dengan kondisi kedua tangannya diikat ke belakang.” (HR. Muslim dan yang lainnya)


Hadis ini menjelaskan bahwa, orang yang sholat dengan kondisi rambut kepala terikat, seperti orang sholat dengan keadaan kedua tangan terikat ke belakang.

Mengapa dipermisalkan demikian?

Imam Al Manawi –rahimahullah– memberikan penjelasan dalam kitab Faidhul Qodir

لأن شعره إذا لم يكن منتشرا لا يسقط على الأرض ، فلا يصير في معنى الشاهد بجميع أجزائه ، كما أن يدي المكتوف لا يقعان على الأرض في السجود

“Karena rambut yang terikat tidak akan jatuh mengurai ke tanah. Sehingga kondisi seperti ini, tidak menunjukkan persaksian utuh. Seperti kondisi orang yang sujud sementara kedua tangan terikat, sehingga tidak menyentuh tanah (pent, sujud tidak sempurna). (Faidhul Qodir 3/6)

Apa Hikmahnya?

Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu menjelaskan hikmahnya, saat beliau menegur seorang yang sholat dengan rambut terikat,

إذا صليت فلا تعقص شعرك، فإن شعرك يسجد معك، ولك بكل شعرة أجر

Jika anda sholat, jangan diikat rambut anda. Karena rambut anda akan ikut sujud bersama anda. Dan anda mendapat pahala, dari setiap helai rambut anda. (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, dinukil dari Nailul Author 2/379)

Inilah yang mendasari larangan sholat dengan rambut terikat. Namun ada beberapa catatan penting tentang larangan ini:

[1]. Hanya sebatas makruh, bukan haram.

Sebagaimana diterangkan dalam Ensiklopedia Fikih,

اتفق الفقهاء على كراهة عقص الشعر في الصلاة ، والعقص هو شد ضفيرة الشعر حول الرأس كما تفعله النساء ، أو يجمع الشعر فيعقد في مؤخرة الرأس ، وهو مكروه كراهة تنزيه ، فلو صلى كذلك فصلاته صحيحة

Para ulama sepakat bahwa sholat dalam kondisi rambut terikat adalah hukumnya makruh. Mengikat di sini maksudnya mengikat rambut bagian belakang seperti yang dilakukan pada wanita atau mengikat keseluruhan rambut kemudian di kebelakangkan. Sholat dengan kondisi seperti ini, hukumnya makruh tanzih (pent, makruh yang kita kenal, bukan makruh yang bermakna haram/makruh tahrim). Namun jika seorang sholat dengan keadaan seperti ini, tetap sah. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyyah, 26/109)

[2]. Hanya berlaku saat sholat saja, tidak di luar sholat.

Seperti dijelaskan oleh Imam Malik rahimahullah,

النهي مختص بمن فعل ذلك للصلاة

Larangan ini hanya berlaku untuk orang yang mengikat rambutnya saat sholat saja. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyyah, 26/110)

[3]. Hanya berlaku untuk laki-laki, tidak untuk perempuan.

Dalam Nailul Author, Imam Syaukani rahimahullah menukil penjelasan Imam Al ‘Iroqi rahimahullah berkenaan hadis di atas,

وَهُوَ مُخْتَصٌّ بِالرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ ؛ لِأَنَّ شَعْرَهُنَّ عَوْرَةٌ يَجِبُ سَتْرُهُ فِي الصَّلَاةِ ، فَإِذَا نَقَضَتْهُ رُبَّمَا اسْتَرْسَلَ وَتَعَذَّرَ سَتْرُهُ فَتَبْطُلُ صَلَاتُهَا

Larangan tersebut berlaku khusus untuk laki-laki, bukan untuk perempuan. Karena rambut perempuan adalah aurat. Wajib ditutup (terlebih) saat sholat. Jika rambut itu terurai, bisa menyebabkan terlihat keluar hijab, dan dia tidak mampu menutupinya. Sehingga akan menyebabkan batalnya sholat. (Nailul Author 2/379)

Demikian, Wallahua’lam bis shawab.
***

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori

Apa Itu Syariah?


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Syariah [arab: الشريعة] secara bahasa artinya jalan yang dilewati untuk menuju sumber air. (Lisan Al-Arab, 8/175).

Secara bahasa, kata syariat juga digunakan untuk menyebut madzhab atau ajaran agama. (Tafsir Al-Qurthubi, 16/163).

Atau dengan kata lebih ringkas, syariat berarti aturan dan undang-undang.

Aturan disebut syariat, karena sangat jelas, dan mengumpulkan banyak hal. (Al-Misbah Al-Munir, 1/310). Ada juga yang mengatakan, aturan ini disebut syariah, karena dia menjadi sumber yang didatangi banyak orang untuk mengambilnya.

Namun, dalam perkembangannya, istilah syariat lebih akrab untuk menyebut aturan islam.

Secara istilah, syariat islam adalah semua aturan yang Allah turunkan untuk para hamba-Nya, baik terkait masalah aqidah, ibadah, muamalah, adab, maupun akhlak. Baik terkait hubungan makhluk dengan Allah, maupun hubungan antar-sesama makhluk. (Tarikh Tasyri’ Al-Islami, Manna’ Qathan, hlm. 13).

Allah berfirman,

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا

“Kemudian Aku jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu…” (QS. Al-Jatsiyah: 18)

Makna ayat,

“Aku jadikan kamu berada di atas manhaj (jalan hidup) yang jelas dalam urusan agama, yang akan mengantarkanmu menuju kebenaran.” (Tafsir Al-Qurthubi, 16/163).

Rincian Syariat Para Nabi Berbeda-beda

Allah tegaskan dalam Al-Quran,

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا

Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. (QS. Al-Maidah: 48)

Rincian syariat yang Allah turunkan, berbeda-beda antara satu umat dengan umat lainnya, disesuaikan dengan perbedaan waktu dan keadaan masing-masing umat. Dan semua syariat ini adalah adil ketika dia diturunkan. Meskipun demikian, bagian prinsip dalam syariat, tidak berbeda antara satu umat satu nabi dengan umat nabi lainnya.

(Tafsir As-Sa’di, hlm. 234)
Keistimewaan Syariat Islam
  1. Bersumber dari Sang Pencipta, Tuhan semesta alam. Sehingga mutlak benar
  2. Terjaga dari perubahan, karena Allah menjaga sumbernya
  3. Mencakup semua aspek kehidupan
  4. Menjadi keputusan adil untuk setiap kasus sengketa manusia
  5. Layak diterapkan di setiap zaman dan tempat.
Keterangan di atas, terlepas dari pro-kontra manusia terhadap aturan yang Allah turunkan. Dan dalam hidup pasti ada aturan. Bisa jadi sejalan, bisa jadi berbenturan. Antara syariat Allah dan syariat hawa nafsu manusia.

Orang yang saat ini tidak sedang mengikuti syariat Allah, berarti dia sedang mengikuti syariat hawa nafsunya. Karena hidup tidak akan pernah lepas dari aturan dan syariat, an semua akan dipertanggung jawabkan. Tinggal satu pertanyaan, kemanakah kita hendak memilih?

Untuk Memperjelas tentang Syariah dapat melihat video dibawah ini.