Tampilkan postingan dengan label Istri. Tampilkan semua postingan

Nafkah Ke Orang Tua Atau Istri yang di Dahulukan?


RMI Alur Cucur- Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam- keluarga dan para sahabatnya.

Nafkah Ke Orang Tua Atau Istri yang di Dahulukan?. Itu Merupakan Pertanya buat anak yang telah menikah dan memiliki pekerjaan. Suami memiliki kewajiban nafkah kepada istri dan anak - anaknya. Ia juga berkewajiban menafkahi orang tuanya jika keduanya miskin; tidak punya harta dan pekerjaan yang mencukupi kebutuhannya.

Ibnul Mundzir berkata: "Para ulama sepakat, menafkahi kedua orang tua yang miskin yang tidak punya pekerjaan dan tidak punya harta merupakan kewajiban yang ada dalam harta anak, baik kedua orang tua itu muslim atau kafir, baik anak itu laki-laki atau perempuan."


Beliau mendasarkannya kepada firman Allah Ta'ala,


وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا


"Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik." (QS. Luqman: 15)

di antaranya melalui nafkah dan pemberian yang membuat mereka senang.

Jika ia mampu menafkahi semuanya secara keseluruhan maka ia wajib melakukannya. Jika tidak mampu – karena hartanya sedikit atau penghasilannya tidak mencukupi, maka ia wajib mendahulukan nafkah istri dan anak-anaknya atas selain mereka.

Memang benar tidak ditemukan keterangan dalam Al-Qur'an agar mendahulukan istri atas lainnya dalam urusan nafkah. Namun, kita temukan dalam Sunnah Nabawiyah petunjuknya. Antara Lain :

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Mulailah bershadaqah dengannya untuk dirimu sendiri. Jika masih ada sisanya, maka untuk keluargamu. Jika masih ada sisanya, maka untuk kerabatmu. Dan jika masih ada sisanya, maka untuk orang-orang di sekitarmu.” (HR. Muslim)



Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu berkata:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّدَقَةِ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ عِنْدِي دِينَارٌ فَقَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى نَفْسِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى وَلَدِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى زَوْجَتِكَ أَوْ قَالَ زَوْجِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى خَادِمِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ أَنْتَ أَبْصَرُ


“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam memerintahkan bersedekah. Lalu ada seseorang yang  berkata, “Wahai Rasulullah, aku punya dinar.” Beliau bersabda, “Sedekahkanlah untuk dirimu.” Ia berkata, “Aku masih punya yang lain.” Beliau bersabda, “Sedekahkanlah untuk istrimu.” Ia berkata, “Aku masih punya yang lain.” Beliau bersabda, “Sedekahkanlah untuk orang tuamu.” Ia berkata, “Aku masih punya yang lain.” Beliau bersabda, “Sedekahkanlah untuk pembantumu.” Ia berkata, “Aku masih punya yang lain.” Beliau bersabda, “Kamu lebih tahu”.” (HR. Abu Dawud dan Al-Nasai, ini lafadz Abu Dawud. Dihassankan Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 895)


Al-Muhallab berkata, “Nafkah kepada keluarga adalah wajib berdasarkan ijma’. Sesungguhnya Syari’ (Allah) menyebutnya sedekah karena takut mereka menduga bahwa menunaikan kewajiban ini tidak ada pahala di dalamnya. Padahal mereka telah tahu, ada pahala dalam sedekah. Lalu Allah memberitahu mereka bahwa nafkah itu menjadi sedekah mereka sehingga mereka tidak mengeluarkannya kepada selain keluarganya kecuali setelah mencukupkan kebutuhan mereka. Ini sebagai dorongan untuk mereka agar memberikan sedekah yang wajib sebelum sedekah sunnah.” (Dinukil dari Fathul Baari: 9/623)


Al-Khathabi berkata, “Urutan ini, apabila kamu perhatikan niscaya kamu tahu bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam  mendahulukan yang utama, lalu baru yang paling lebih dekat (hubungannya).” Kemudian beliau memberikan urutannya: diri sendiri, anak, istri, orang tua, pembantu, lalu orang lain. (Aunul Ma’bud: 5/76)


Imam Nawawi berkata: "apabila ada beberapa orang yang sangat membutuhkan uluran tangan dari orang yang wajib dinafkahi oleh seseorang, maka ia lihat; jika cukup hartanya atau penghasilannya untuk menafkahi mereka semua maka ia wajib menafkahi mereka semuanya yang dekat maupun yang jauh. Jika tidak tersisa setelah kebutuhan pribadinya kecuali untuk satu orang, ia utamakan nafkah istrinya atas kerabat-kerabatnya. . . karena kewajiban menafkahinya lebih ditekankan. Sebab, menafkahi istri terus berlaku baginya sepanjang masa dan dalam kondisi pailit.” (Raudhah al-Thalibin: 9/93)

Al-Mardawi dalam al-inshaf (9/392), menyebutkan pendapat yang shahih dari madhab Hambali kewajiban menafkahi kedua orang tua apabila masih ada kelebihan untuk dirinya dan istrinya.


Al-Syaukani berkata: Sesungguhnya telah tegak ijma’ atas wajibnya menafkahi istri, lalu apabila masih ada sisa maka diberikan kepada kerabat dekatnya.” (Nailul Authar: 6/381)


Ringkasnya, tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama untuk mendahulukan istri dalam nafkah atas orang tua. Maka bagi seorang suami (kepala keluarga) agar mencukupkan nafkah kepada istri dan anak-anaknya dengan baik. Jika masih ada kelebihan, maka wajib atasnya untuk memberikan nafkah untuk kedua orang tuanya. Wallahu Ta’ala A’lam...

Adab Dalam Melihat Calon Istri (Nadzar)


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Ada beberapa adab dan batasan yang perlu diperhatikan ketika seorang lelaki melakukan nadzar dengan wanita yang dia lamar,


Pertama, pihak laki-laki harus benar-benar serius dan memiliki keinginan untuk menikahinya.

Berdasarkan hadis dari sahabat Abu Humaid Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً، فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَةٍ، وَإِنْ كَانَتْ لَا تَعْلَم


“Apabila kalian melamar seorang wanita, tidak ada dosa baginya untuk me-nadzar-nya, jika tujuan dia melihatnya hanya untuk dipinang. Meskipun wanita itu tidak tahu.”(HR. Ahmad 23603, At-Thabrani dalam Al-Ausath 911 dan sanadnya dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Kedua, Ada peluang untuk menikahinya

Seperti, memungkinkan untuk diizinkan walinya, atau memungkinkkan untuk diterima pihak wanita. Jika kemungkinan besar pasti ditolak, baik oleh pihak wali atau wanita yang dinadzar maka tidak boleh tetap nekad untuk nadzar.


Ibnul Qatthan Al-Fasi dalam Ahkam An-Nadzar mengatakan,

لو كان خاطب المرأة عالما أنها لا تتزوجه ، وأن وليها لا يجيبه ، لم يجز له النظر ، وإن كان قد خطب [ يعني : وإن كان يطلب خِطبتها ] ؛ لأنه إنما أبيح له النظر ليكون سببا للنكاح، فإذا كان على يقين من امتناعه ، بقي النظر على أصله من المنع

Jika lelaki yang hendak meminang wanita mengetahui bahwa pihak wanita tidak akan bersedia nikah dengannya, atau pihak wali tidak akan mengabulkan pinanganya, maka tidak boleh dia melakukan nadzar. Meskipun dia sudah menyampaikan lamarannya. Karena dibolehkannya nadzar, hanya karena menjadi sebab untuk menikah. Jika dia yakin bahwa dia pasti ditolak, maka kembali pada hukum asal melihat wanita, yaitu dilarang. (An-Nadzar fi Ahkam An-Nadzar, hal. 391)

Ketiga, tidak boleh ada sentuhan anggota badan sedikitpun

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، والقلب تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ

“Sesungguhnya Allah menetapkan jatah dosa zina untuk setiap manusia. Dia akan mendapatkannya dan tidak bisa dihindari: Zina mata dengan melihat, zina lisan dengan ucapan, zina hati dengan membayangkan dan gejolak syahwat, sedangkan kemaluan membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Bukhari 6243)

Az-Zaila’I mengatakan,

ولا يجوز له أن يمس وجهها ولا كفيها – وإن أَمِن الشهوة – لوجود الحرمة ، وانعدام الضرورة

Tidak boleh menyentuh wajahnya, telapak tangannya – meskipun aman dari gejolak syahwat – karena adanya larangan dan tidak ada alasan dharurat. (Tabyin al-Haqaiq, 16/361).

Keempat, tidak boleh berduaan, harus ada pihak keluarga yang menemaninya, terutama keluarga pihak wanita

dari Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

“Jangan sampai seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang perempuan. Jika terjadi makhluk ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad 177, Turmudzi 2165, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Ibnu Qudamah mengatakan,

ولا يجوز له الخلوة بها لأنها مُحرّمة ، ولم يَرد الشرع بغير النظر فبقيت على التحريم

Lelaki yang melamar, tidak boleh berduaan dengan wanita yang dilamarnya, karena ini haram. Dan tidak ada dalil yang menyebutkan pengecualian larangan ini, ‘kecuali nadzar’. Sehingga kembali kepada hukum diharamkan. (al-Mughni, 7/453).

Kelima, tidak boleh sambil menikmati apa yang dilihat

Melihat dengan cara penuh menikmati (taladzudz) termasuk diantara bentuk zina mata. Nadzar disyariatkan untuk mewujudkan sunah, dan bukan untuk menikmati keindahan parasnya. Sehingga jika sudah cukup membuat pihak lelaki tertarik untuk menikahinya, itu sudah cukup baginya.


Imam Ahmad pernah mengatakan,

ينظر إلى الوجه ، ولا يكون عن طريق لذة .  وله أن يردّد النظر إليها ، ويتأمل محاسنها ، لأن المقصود لا يحصل إلا بذلك

Dia melihat ke wajahnya, namun tidak boleh dengan cara menikmati. Dia boleh melihat berulang-ulang, dan menimbang kecantikannya. Karena tujuan saling mencintai hanya bisa diwujudkan dengan cara itu.

Keenam, dibolehkan untuk melakukan komunikasi, berbicara langsung dengannya, selama tidak berduaan

Imam Ibnu Baz mengatakan,

يجوز للرجل إذا أراد خطبة المرأة أن يتحدث معها ، وأن ينظر إليها من دون خلوة … ، فإذا كان الكلام معها فيما يتعلق بالزواج والمسكن وسيرتها ، حتى تعلم هل تعرف كذا ، فلا بأس بذلك إذا كان يريد خطبتها

Boleh bagi lelaki yang hendak melamar wanita untuk berbincang-bincang dengannya dan melihatnya tanpa berduaan… jika pembicaraan dilakukan untuk membahas terkait pernikahan, tempat tinggal, atau latar belakang keluarga, sehingga kita tahu apakah dia tahu tentang itu, ini dibolehkan. Jika dia hendak menikahinya. (Majmu’ Fatawa, 20/429).

Ketujuh, boleh untuk melihat berkali-kali ke arah calon pasangan

Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

يجوز تكرار النظر إن احتاج إليه ليتبين هيئتها، فلا يندم بعد النكاح، إذ لا يحصل الغرض غالبا بأول نظرة

Boleh mengulang-ulang melihat wanita yang dilamar, jika dibutuhkan, sehingga semakin jelas semua kondisinya. Agar tidak menyesal setelah nikah. Karena tujuan itu umumnya tidak terwujud di awal nadzar. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 22/17)

Allahu a’lam.