Assalamu ‘alaikum wr. wb.
semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Kami ingin menanyakan tentang hukum pencantuman nama suami di belakang nama istri. Sementara saya pernah mendengar ustadz tidak memperbolehkan pencantuman suami setelah nama istri. Mohon keterangannya. Atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Mahmud/Jakarta)
Jawaban
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa lazimnya nama yang dicantumkan di belakang nama seseorang adalah orang tuanya, terutama bapak kandung yang bersangkutan. Pencantuman itu adakalanya dibubuhi dengan “bin”, “binti”, atau tanpa itu semua. Nama anak itu digandeng langsung dengan nama orang tuanya. Ada juga yang menyandingkan namanya dengan nama kedua orang tuanya sekaligus seperti Abdullah bin Ubay bin Salul.
قوله على ابن أبي وكان رئيس الخزرج وينسب لأيبه وأمه. فأبوه أبي وأمه سلول. وكان اسمه عبد الله اهـ شيخنا
Artinya, “(Abdullah bin Ubay bin Salul) bin Ubay adalah pemuka Khazraj. Ia dinisbahkan kepada bapak dan ibunya. Bapaknya bernama Ubay. Ibunya bernama Salul. Namanya sendiri adalah Abdullah sebagai keterangan guru kami,” (Lihat Syekh Sulaiman Umar Al-Jamal, Al-Futuhatul Ilahiyah bi Taudhihi Tafsiril Jalalain lid Daqa’iqil Khafiyyah, Beirut, Darul Fikr, 2003 M/1423 H, juz III halaman 302).
Pencantuman nama orang tua di belakang nama anak biasanya dipakai untuk sejumlah kepentingan. Salah satunya pencantuman nama itu dimaksudkan untuk penegasan nasab atau hubungan biologis. Karenanya pencantuman nama orang lain yang bukan orang tua kandung di belakang nama seseorang terhitung aib yang sangat tercela dalam Islam seperti disebutkan Rasulullah SAW berikut ini.
عن أبي ذر رضي الله عنه أنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول ليس من رجل ادعى لغير أبيه وهو يعلمه إلا كفر
Artinya, “Dari Abu Dzar, ia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Tiada seorangpun yang menisbahkan diri kepada selain bapaknya dengan sengaja melainkan ia menjadi kufur,’” (HR Bukhari).
Penjelasan hadits di atas diulas oleh Badruddin Al-Aini dalam ‘Umdatul Qari Syarhu Shahihil Bukhari berikut ini.
ويروي إلى غير أبيه قوله وهو يعلمه جملة حالية أي والحال أنه يعلم أنه غير أبيه وإنما قيد بذلك لأن الإثم يتبع العلم وفي بعض النسخ إلا كفر بالله ولم تقع هذه اللفظة في رواية مسلم ولا في غير رواية أبي ذر فالوجه على عدم هذه اللفظة أن المراد بالكفر كفران النعمة أو لا يراد ظاهر اللفظ وإنما المراد المبالغة في الزجر والتوبيخ أو المراد أنه فعل فعلا يشبه فعل أهل الكفر
Artinya, “(Kepada selain bapaknya) dan (dengan sengaja) kalimat hal atau penunjuk waktu kekinian. Artinya ia saat itu sadar bahwa nama penisbahan di belakang namanya itu bukanlah bapaknya. Penisbahan itu dikaitkan dengan kesengajaan karena kesalahan dianggap dosa ketika dilakukan dengan sengaja. Sebagian naskah menyebut, ‘kufur kepada Allah’ yang mana hal ini tidak terdapat dalam riwayat Muslim. Dan tidak ada pada riwayat selain Abu Dzar. Tidak adanya penyebutan ‘kufur kepada Allah’ bisa jadi dipahami sebagai kufur nikmat atau maksudnya tidak seperti yang tertera secara harfiah. Tetapi maksudnya adalah penegasan larangan dan aib atas penisbahan seseorang kepada orang lain yang bukan bapak kandungnya. Hadits itu juga bisa dipahami bahwa penisbahan itu merupakan perilaku yang serupa dengan perbuatan orang kafir,” (Lihat Badruddin Al-Aini, ‘Umdatul Qari Syarhu Shahihil Bukhari, juz 24, halaman 35).
Dalil lain yang diangkat sebagai pengharaman penisbahan nama orang lain adalah Surat Al-Ahzab ayat 5.
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ الله
Artinya, “Kaitkan panggilan mereka (anak-anak angkat) itu dengan nama orang tua kandung mereka. Itu lebih adil statusnya di sisi Allah.”
Ada baiknya kita lihat keterangan singkat Syekh Wahbah Az-Zuhayli perihal ayat ini dalam tafsirnya berikut ini.
انسبوا الأبناء لآبائهم الحقيقيين الذين هم من أصلابهم لا للذين تبنوهم فنسب الابن لأبيه الأصيل هو أعدل حكما
Artinya, “Nisbahkan anak-anak (angkat) itu kepada bapak mereka yang sebenarnya di mana mereka adalah orang tua kandung mereka, bukan kepada orang tua angkat mereka. penisbahan anak kepada bapak kandung itu lebih adil statusnya,” (Lihat Wahbah Az-Zuhayli, At-Tafsirul Wajiz ala Hamisyil Qaur’anil Azhim, Damaskus, Darul Fikr, cetakan kedua 1416 H/ 1996 M, halaman 419).
Namun begitu, penjelasan Sayyid Al-Alusi berikut ini sedikit banyak menjawab masalah yang ditanyakan. Menurutnya, penisbahan nama secara biologis kepada selain orang tua itu dilarang kalau memang dilakukan secara sengaja.
وظاهر الآية حرمة تعمد دعوة الإنسان لغير أبيه ، ولعل ذلك فيما إذا كانت الدعوة على الوجه الذي كان في الجاهلية ، وأما إذا لم تكن كذلك كما يقول الكبير للصغير على سبيل التحنن والشفقة يا ابني وكثيراً ما يقع ذلك فالظاهر عدم الحرمة
Artinya, “Secara lahiriyah, ayat ini mengharamkan dengan sengaja penyebutan nisbah seseorang kepada selain bapaknya. Bisa jadi keharaman itu karena penyebutan nama dilakukan seperti tradisi masyarakat Jahiliyah. Sedangkan panggilan yang berbeda dengan konsep penyebutan nama dalam Jahiliyah seperti bentuk panggilan orang dewasa kepada mereka yang lebih muda dengan sapaan ‘Anakku’ dan banyak sapaan kasih-sayang dan ramah-bersahabat serupa itu, secara lahiriyah tidaklah haram,” (Lihat Sayyid Mahmud Al-Alusi, Ruhul Ma‘ani, Beirut, Daru Ihya’it Turatsil Arabi, tanpa tahun, juz 21, halaman 149).
Berangkat dari berbagai penjelasan di atas, kita mengambil sejumlah kesimpulan.
Pertama, Islam mengecam keras mereka yang mencantumkan nama orang lain di belakang namanya secara sengaja dengan niat nisbah biologis. Karena perbuatan itu merupakan pengingkaran terhadap bapak kandungnya sendiri. Ini bagian dari kufur nikmat dan kedurhakaan.
Kedua, pencantuman nama suami di belakang nama istri jelas tidak dimaksudkan untuk penisbahan biologis. Dengan demikian boleh saja seorang istri membubuhi nama suami di belakang namanya.
Ketiga, sapaan seseorang yang lebih dewasa kepada mereka yang lebih muda atau sebaliknya dengan kata “Nak”, “Dik”, “Pak”, “Om”, "Tante", “Cing”, “Bu”, “Pak dhe”, atau sapaan serupa lainnya untuk menunjukkan kehangatan dan keakraban dua orang yang sama sekali tidak berkaitan secara biologis, tidak diharamkan seperti penjelasan Al-Alusi di atas.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
(Alhafiz Kurniawan)