Pertanyaan :
Dalam akad kerja sama bagi hasil, pengelola mengajak orang lain untuk ikut bekerja namun digaji. Nah, bolehkah gaji ini diambil dari modal?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Dalam akad mudharabah (kerja sama mengembangkan usaha dagang), ada 2 pihak sebagai subjek:
[1] Shohibul Mal (pemilik modal)
[2] Mudharib (Pengelola modal)
Keterlibatan shohibul mal dalam akad ini adalah modal yang dia berikan. Sementara keterlibatan mudharib adalah kerja yang dia lakukan dalam mengelola modal.
Karena keterlibatan inilah, masing-masing memiliki hak untuk mendapatkan keuntungan, sebagaimana pula masing-masing juga memiliki peluang terjadinya resiko kerugian.
Untuk itulah, jika keterlibatan ini tidak ada, maka masing-masing tidak memiliki hak untuk mendapatkan keuntungan. Misalnya, mudharib tidak mau bekerja, tapi semua dia limpahkan ke orang lain yang mengerjakannya, kemudian gaji orang yang bekerja itu diambilkan dari modal.
Prof. Dr. Hasan Abdul Ghani dalam risalahnya – al-Ahkam al-Fiqhiyah al-Muta’alliqah bi Aqd al-Mudharabah – menyebutkan bahwa untuk mengukur kerja apa yang boleh meminta bantuan orang lain, dirinci menjadi 2:
[1] Kerja yang tidak mungkin ditangani mudharib sendiri. Baik karena ketidak-mampuannya mengelola itu atau karena faktor lain, misalnya jika ditangani mudharib bisa membahayakan kelangsungan mudharabah.
Dalam hal ini, mudharib bisa mempekerjakan orang lain, dan upahnya dijadikan sebagai biaya operasional mudharabah.
[2] Kerja yang sangat mungkin dilakukan mudharib, sehingga tidak perlu bantuan orang lain, dalam hal ini mudharib tidak boleh mempekerjakan orang lain dan dibebankan sebagai biaya operasional mudharabah.
Karena bagi hasil yang menjadi peluang penghasilan mudharib adalah ganti dari kerja yang wajib dilakukan mudharib.
Sehingga jika mudharib tetap mempekerjakan orang lain, biaya operasional dibebankan kepada harta pribadinya dan BUKAN pada modal mudharabah.
Dan ukuran berat dan tidaknya kerja semacam ini, kembali kepada urf (tradisi) yang berlaku di masyarakat.
Dalam hal ini berlaku kaidah,
العادة محكَّمة
Adat dan kebiasaan masyarakat menjadi acuan dalam menetapkan hukum.
Selanjutnya, gaji untuk orang yang dipekerjakan oleh mudharib, jika memang itu dibutuhkan, boleh dijadikan sebagai biaya operasional. Dan biaya operasional untuk pengembangan usaha dalam akad mudharabah boleh diambil dari modal mudharabah. Seperti transportasi, iklan, perjalanan, dan semua kebutuhan riil untuk pengembangan usaha mudharabah. Standar kebutuhan riil dalam hal ini kembali kepada urf (kebiasaan) yang berlaku di masyarakat. Kecuali jika ada kesepakatan antara shohibul mal dengan mudharib.
Dan ini masuk dalam ranah teknis, sehingga kembali kepada tradisi yang berlaku di masyarakat atau kesepakatan yan dibuat bersama.
Sementara biaya yang TIDAK termasuk operasional mudharabah tidak boleh dibebankan ke modal mudharabah, tapi ditanggung sendiri oleh mudharib. Seperti nafkah keluarga, konsumsi di luar kerja mudharib, dst.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits