Ilustrasi Laki Laki Mengikat Rambut (Sumber : Vox Media) |
Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.
Terdapat hadis shahih yang berbunyi,
أَنَّ كُرَيْبًا مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، حَدَّثَهُ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ رَأَى عَبْدَ اللهِ بْنَ الْحَارِثِ، يُصَلِّي وَرَأْسُهُ مَعْقُوصٌ مِنْ وَرَائِهِ فَقَامَ فَجَعَلَ يَحُلُّهُ، فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: مَا لَكَ وَرَأْسِي؟ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّمَا مَثَلُ هَذَا، مَثَلُ الَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوفٌ
Kuraib, maula Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, telah menceritakan kabar dari Abdullah bin Abbas, bahwa beliau pernah melihat Abdullah bin Harits sholat dengan kondisi rambut kepala terikat di belakangnya. Lalu Ibnu Abbas bergegas melepas rambut yang terikat itu.Seusai sholat, Abdullah bin Harits menemui Ibnu Abbas, “Mengapa Anda memperlakukan rambut kepalaku seperti itu?”
“Aku mendengar…” Jawab Ibnu Abbas,”Rasulullah ﷺ bersabda, “Permisalan orang yang sholat dengan rambut terikat seperti ini, seperti orang yang sholat dengan kondisi kedua tangannya diikat ke belakang.” (HR. Muslim dan yang lainnya)
Hadis ini menjelaskan bahwa, orang yang sholat dengan kondisi rambut kepala terikat, seperti orang sholat dengan keadaan kedua tangan terikat ke belakang.
Mengapa dipermisalkan demikian?
Imam Al Manawi –rahimahullah– memberikan penjelasan dalam kitab Faidhul Qodirلأن شعره إذا لم يكن منتشرا لا يسقط على الأرض ، فلا يصير في معنى الشاهد بجميع أجزائه ، كما أن يدي المكتوف لا يقعان على الأرض في السجود
“Karena rambut yang terikat tidak akan jatuh mengurai ke tanah. Sehingga kondisi seperti ini, tidak menunjukkan persaksian utuh. Seperti kondisi orang yang sujud sementara kedua tangan terikat, sehingga tidak menyentuh tanah (pent, sujud tidak sempurna). (Faidhul Qodir 3/6)Apa Hikmahnya?
Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu menjelaskan hikmahnya, saat beliau menegur seorang yang sholat dengan rambut terikat,إذا صليت فلا تعقص شعرك، فإن شعرك يسجد معك، ولك بكل شعرة أجر
Jika anda sholat, jangan diikat rambut anda. Karena rambut anda akan ikut sujud bersama anda. Dan anda mendapat pahala, dari setiap helai rambut anda. (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, dinukil dari Nailul Author 2/379)Inilah yang mendasari larangan sholat dengan rambut terikat. Namun ada beberapa catatan penting tentang larangan ini:
[1]. Hanya sebatas makruh, bukan haram.
Sebagaimana diterangkan dalam Ensiklopedia Fikih,اتفق الفقهاء على كراهة عقص الشعر في الصلاة ، والعقص هو شد ضفيرة الشعر حول الرأس كما تفعله النساء ، أو يجمع الشعر فيعقد في مؤخرة الرأس ، وهو مكروه كراهة تنزيه ، فلو صلى كذلك فصلاته صحيحة
Para ulama sepakat bahwa sholat dalam kondisi rambut terikat adalah hukumnya makruh. Mengikat di sini maksudnya mengikat rambut bagian belakang seperti yang dilakukan pada wanita atau mengikat keseluruhan rambut kemudian di kebelakangkan. Sholat dengan kondisi seperti ini, hukumnya makruh tanzih (pent, makruh yang kita kenal, bukan makruh yang bermakna haram/makruh tahrim). Namun jika seorang sholat dengan keadaan seperti ini, tetap sah. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyyah, 26/109)[2]. Hanya berlaku saat sholat saja, tidak di luar sholat.
Seperti dijelaskan oleh Imam Malik rahimahullah,النهي مختص بمن فعل ذلك للصلاة
Larangan ini hanya berlaku untuk orang yang mengikat rambutnya saat sholat saja. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyyah, 26/110)[3]. Hanya berlaku untuk laki-laki, tidak untuk perempuan.
Dalam Nailul Author, Imam Syaukani rahimahullah menukil penjelasan Imam Al ‘Iroqi rahimahullah berkenaan hadis di atas,وَهُوَ مُخْتَصٌّ بِالرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ ؛ لِأَنَّ شَعْرَهُنَّ عَوْرَةٌ يَجِبُ سَتْرُهُ فِي الصَّلَاةِ ، فَإِذَا نَقَضَتْهُ رُبَّمَا اسْتَرْسَلَ وَتَعَذَّرَ سَتْرُهُ فَتَبْطُلُ صَلَاتُهَا
Larangan tersebut berlaku khusus untuk laki-laki, bukan untuk perempuan. Karena rambut perempuan adalah aurat. Wajib ditutup (terlebih) saat sholat. Jika rambut itu terurai, bisa menyebabkan terlihat keluar hijab, dan dia tidak mampu menutupinya. Sehingga akan menyebabkan batalnya sholat. (Nailul Author 2/379)Demikian, Wallahua’lam bis shawab.
***