Hukum Pencantuman Nama Suami di Belakang Nama Istri


Assalamu ‘alaikum wr. wb.
semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Kami ingin menanyakan tentang hukum pencantuman nama suami di belakang nama istri. Sementara saya pernah mendengar ustadz tidak memperbolehkan pencantuman suami setelah nama istri. Mohon keterangannya. Atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Mahmud/Jakarta)

Jawaban
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa lazimnya nama yang dicantumkan di belakang nama seseorang adalah orang tuanya, terutama bapak kandung yang bersangkutan. Pencantuman itu adakalanya dibubuhi dengan “bin”, “binti”, atau tanpa itu semua. Nama anak itu digandeng langsung dengan nama orang tuanya. Ada juga yang menyandingkan namanya dengan nama kedua orang tuanya sekaligus seperti Abdullah bin Ubay bin Salul.

قوله على ابن أبي وكان رئيس الخزرج وينسب لأيبه وأمه. فأبوه أبي وأمه سلول. وكان اسمه عبد الله اهـ شيخنا

Artinya, “(Abdullah bin Ubay bin Salul) bin Ubay adalah pemuka Khazraj. Ia dinisbahkan kepada bapak dan ibunya. Bapaknya bernama Ubay. Ibunya bernama Salul. Namanya sendiri adalah Abdullah sebagai keterangan guru kami,” (Lihat Syekh Sulaiman Umar Al-Jamal, Al-Futuhatul Ilahiyah bi Taudhihi Tafsiril Jalalain lid Daqa’iqil Khafiyyah, Beirut, Darul Fikr, 2003 M/1423 H, juz III halaman 302).

Pencantuman nama orang tua di belakang nama anak biasanya dipakai untuk sejumlah kepentingan. Salah satunya pencantuman nama itu dimaksudkan untuk penegasan nasab atau hubungan biologis. Karenanya pencantuman nama orang lain yang bukan orang tua kandung di belakang nama seseorang terhitung aib yang sangat tercela dalam Islam seperti disebutkan Rasulullah SAW berikut ini.

عن أبي ذر رضي الله عنه أنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول ليس من رجل ادعى لغير أبيه وهو يعلمه إلا كفر

Artinya, “Dari Abu Dzar, ia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Tiada seorangpun yang menisbahkan diri kepada selain bapaknya dengan sengaja melainkan ia menjadi kufur,’” (HR Bukhari).

Penjelasan hadits di atas diulas oleh Badruddin Al-Aini dalam ‘Umdatul Qari Syarhu Shahihil Bukhari berikut ini.

ويروي إلى غير أبيه قوله وهو يعلمه جملة حالية أي والحال أنه يعلم أنه غير أبيه وإنما قيد بذلك لأن الإثم يتبع العلم وفي بعض النسخ إلا كفر بالله ولم تقع هذه اللفظة في رواية مسلم ولا في غير رواية أبي ذر فالوجه على عدم هذه اللفظة أن المراد بالكفر كفران النعمة أو لا يراد ظاهر اللفظ وإنما المراد المبالغة في الزجر والتوبيخ أو المراد أنه فعل فعلا يشبه فعل أهل الكفر

Artinya, “(Kepada selain bapaknya) dan (dengan sengaja) kalimat hal atau penunjuk waktu kekinian. Artinya ia saat itu sadar bahwa nama penisbahan di belakang namanya itu bukanlah bapaknya. Penisbahan itu dikaitkan dengan kesengajaan karena kesalahan dianggap dosa ketika dilakukan dengan sengaja. Sebagian naskah menyebut, ‘kufur kepada Allah’ yang mana hal ini tidak terdapat dalam riwayat Muslim. Dan tidak ada pada riwayat selain Abu Dzar. Tidak adanya penyebutan ‘kufur kepada Allah’ bisa jadi dipahami sebagai kufur nikmat atau maksudnya tidak seperti yang tertera secara harfiah. Tetapi maksudnya adalah penegasan larangan dan aib atas penisbahan seseorang kepada orang lain yang bukan bapak kandungnya. Hadits itu juga bisa dipahami bahwa penisbahan itu merupakan perilaku yang serupa dengan perbuatan orang kafir,” (Lihat Badruddin Al-Aini, ‘Umdatul Qari Syarhu Shahihil Bukhari, juz 24, halaman 35).

Dalil lain yang diangkat sebagai pengharaman penisbahan nama orang lain adalah Surat Al-Ahzab ayat 5.

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ الله

Artinya, “Kaitkan panggilan mereka (anak-anak angkat) itu dengan nama orang tua kandung mereka. Itu lebih adil statusnya di sisi Allah.”

Ada baiknya kita lihat keterangan singkat Syekh Wahbah Az-Zuhayli perihal ayat ini dalam tafsirnya berikut ini.

انسبوا الأبناء لآبائهم الحقيقيين الذين هم من أصلابهم لا للذين تبنوهم فنسب الابن لأبيه الأصيل هو أعدل حكما

Artinya, “Nisbahkan anak-anak (angkat) itu kepada bapak mereka yang sebenarnya di mana mereka adalah orang tua kandung mereka, bukan kepada orang tua angkat mereka. penisbahan anak kepada bapak kandung itu lebih adil statusnya,” (Lihat Wahbah Az-Zuhayli, At-Tafsirul Wajiz ala Hamisyil Qaur’anil Azhim, Damaskus, Darul Fikr, cetakan kedua 1416 H/ 1996 M, halaman 419).

Namun begitu, penjelasan Sayyid Al-Alusi berikut ini sedikit banyak menjawab masalah yang ditanyakan. Menurutnya, penisbahan nama secara biologis kepada selain orang tua itu dilarang kalau memang dilakukan secara sengaja.

وظاهر الآية حرمة تعمد دعوة الإنسان لغير أبيه ، ولعل ذلك فيما إذا كانت الدعوة على الوجه الذي كان في الجاهلية ، وأما إذا لم تكن كذلك كما يقول الكبير للصغير على سبيل التحنن والشفقة يا ابني وكثيراً ما يقع ذلك فالظاهر عدم الحرمة

Artinya, “Secara lahiriyah, ayat ini mengharamkan dengan sengaja penyebutan nisbah seseorang kepada selain bapaknya. Bisa jadi keharaman itu karena penyebutan nama dilakukan seperti tradisi masyarakat Jahiliyah. Sedangkan panggilan yang berbeda dengan konsep penyebutan nama dalam Jahiliyah seperti bentuk panggilan orang dewasa kepada mereka yang lebih muda dengan sapaan ‘Anakku’ dan banyak sapaan kasih-sayang dan ramah-bersahabat serupa itu, secara lahiriyah tidaklah haram,” (Lihat Sayyid Mahmud Al-Alusi, Ruhul Ma‘ani, Beirut, Daru Ihya’it Turatsil Arabi, tanpa tahun, juz 21, halaman 149).

Berangkat dari berbagai penjelasan di atas, kita mengambil sejumlah kesimpulan. 
Pertama, Islam mengecam keras mereka yang mencantumkan nama orang lain di belakang namanya secara sengaja dengan niat nisbah biologis. Karena perbuatan itu merupakan pengingkaran terhadap bapak kandungnya sendiri. Ini bagian dari kufur nikmat dan kedurhakaan.

Kedua, pencantuman nama suami di belakang nama istri jelas tidak dimaksudkan untuk penisbahan biologis. Dengan demikian boleh saja seorang istri membubuhi nama suami di belakang namanya.

Ketiga, sapaan seseorang yang lebih dewasa kepada mereka yang lebih muda atau sebaliknya dengan kata “Nak”, “Dik”, “Pak”, “Om”, "Tante", “Cing”, “Bu”, “Pak dhe”, atau sapaan serupa lainnya untuk menunjukkan kehangatan dan keakraban dua orang yang sama sekali tidak berkaitan secara biologis, tidak diharamkan seperti penjelasan Al-Alusi di atas.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.


(Alhafiz Kurniawan)

Menikah dengan Saudara Tiri

Bolehkah menikah dengan saudara tiri?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Kami berikan ilustrasi untuk memudahkan dalam memahami siapa yang dimaksud saudara tiri..

Parjio seorang duda, memiliki anak perempuan dari istri pertama, bernama Ani. Ngatiyem seorang janda, memilliki anak laki-laki dari suami pertama, bernama Rudi.

Parjio menikah dengan Ngatiyem, sehingga hubungan Ani dengan Rudi adalah saudara tiri.

Bolehkah mereka menikah?

Allah telah jelaskan siapa saja wanita yang tidak boleh dinikahi lelaki… Allah jelaskan di surat an-Nisa,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ…

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu…” (QS. an-Nisa: 23).

Dalam ayat ini, Allah menyebutkan ada 11 orang yang menjadi mahram kita… siapa saja mereka? anda bisa mempelajarinya di artikel ini:



Adakah saudara tiri di sana?

Jawabannya tidak ada… Tidak ada saudara tiri di sana.

Karena itu, mereka boleh menikah..sebab mereka BUKAN mahram.

Imam Ibnu Baz pernah ditanya tentang hukum menikah dengan saudara tiri..

Jawaban beliau,

ليس هناك حرج إذا تزوج أخو زيد من الأم أخته من الأب ، لا بأس ؛ لأنه ليس بينهما قرابة ، ولم يكن بينهما رضاع .

زيد له أخت من الأب وله أخ من الأم ، فأخوه من الأم ينكح أخته من الأب ، لا بأس به ؛ لأنه ليس بينهما قرابة

Tidak masalah.. ketika saudara seibu dari Zaid menikah dengan saudara sebapak dari Zaid, tidak masalah. Karena keduanya tidak ada hubungan kemahraman, dan keduanya bukan saudara sepersusuan.
Atau Zaid punya saudari sebapak dan punya saudara seibu, tidak jadi masalah. Karena keduanya tidak memiliki hubungan kekerabatan. (Muhadharah wujub al-amal bis sunnah, Imam Ibu Baz)

Fatwa yang semisal disampaikan lembaga fatwa Syabakah Islamiyah,

فلا مانع شرعا أن يتزوج الرجل بأخت أخيه غير الشقيق- من النسب أو الرضاعة- ما داما لم تحصل بينهما المحرمية بسبب آخر لأنه لا علا قة بينهما. فالله تعالى إنما حرم الأخوات بالنسب أو الرضاعة

Tidak masalah seorang lelaki menikah dengan saudari tirinya – baik saudari tiri nasab maupun sepersusuan – selama keduanya tidak memiliki hubungan kemahraman dengan sebab yang lain. Karena tidak ada hubungan antara keduanya. Allah hanya mengharamkan pernikahan dengan saudara perempuan karena nasab atau sepersusuan.

Kemudian dicantumkan firman Allah di surat an-Nisa ayat 23 di atas. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 95208)

Catatan:
Berikut ini BUKAN saudara tiri..

Budi seorang duda, memiliki anak perempuan bernama Rahmah. Lalu Budi menikah lagi dengan Maryam, lalu memiliki anak laki-laki bernama Luqman. Hubungan Rahmah dengan Luqman BUKAN saudara tiri, tapi saudara seBAPAK. Dan mereka mahram, sehingga tidak boleh menikah.

Atau sebaliknya,

Siti seorang janda, memiliki anak perempuan bernama Shofiyah. Lalu Siti menikah lagi dengan Hasan, lalu memiliki anak laki-laki bernama Nurman. Hubungan Shofiyah dengan Nurman BUKAN saudara tiri, tapi saudara seIBU. Dan mereka mahram, sehingga tidak boleh menikah.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

AMR bin ASH Sang Penakluk Mesir


Namanya adalah Amr bin Ash bin Wail bin Hisyam bin Said bin Sahm al-Qurasyi as-Sahmi. Di antara jasa besarnya adalah ketika Umar bin Khattab mengamanatinya untuk menaklukkan Mesir, dan dia berhasil menunaikan amanat tersebut. Amr merupakan salah seorang pahlawan bangsa Arab yang sangat terkenal, sekaligus seorang politisi yang cemerlang. Terkenal dengan kecerdasan dan kepintarannya mengatur siasat.

Sebelum Memeluk Islam

Kuniah Amr bin al-Ash adalah Abu Abdullah atau Abu Muhammad. Ia adalah seorang pedagang yang biasa bersafar ke Syam, Yaman, Mesir, dan Habasyah. Amr bin al-Ash memiliki bakat alamiah yang komplit, seorang penunggang kuda yang mahir, termasuk di antara kesatrinya kaum Quraisy, negosiator ulung, dan ia juga seorang penyair yang puitis dan fasih bahasanya. Tidak heran, mengapa orang-orang Quraisy mengirimnya untuk melobi an-Najasyi agar mengembalikan orang-orang Mekah yang hijrah ke Habasyah.

Keislaman Amr bin al-Ash

Amr bin al-Ash masuk Islam pada tahun 8 H setelah kegagalan Quraisy dalam perang Ahzab dan enam bulan sebelum penaklukkan Kota Mekah. Saat itu ia datang bersama Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah ke Kota Madinah. Ketika tiga orang ini menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 
Rasulullah menatap ketiganya, lalu bersabda, “Mekah telah memberikan putra terbaiknya untuk kalian (umat Islam).”

Amr bin al-Ash mengatakan, “Pada saat Allah menganugerahkan hidayah Islam di hatiku, aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Aku mengatakan, ‘Julurkanlah tangan Anda, aku akan membaiat Anda’. Rasulullah pun menjulurkan tangan kanannya kepadaku. Lalu kutahan tanganku –sebentar-.

Rasulullah bertanya, ‘Ada apa wahai Amr?’

Kujawab, ‘Aku ingin Anda memberikan syarat kepadaku’.

Rasulullah mengatakan, ‘Apa syarat yang kau inginkan?’

Aku menjawab, ‘Agar dosa-dosaku diampuni.’

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidakkah engkau ketauhi, bahwa keislaman menghapuskan dosa-dosa sebelumnya? Demikian juga hijrah menafikan kesalahan-kesalahan yang telah lalu? Dan juga haji menyucikan hilaf dan dosa terdahulu?’ (HR. Muslim).”

Di masa keislamannya, Rasulullah dekat kepadanya dan mendidiknya dengan pendidikan tauhid yang murni. Rasulullah tahu, Amr adalah orang yang istimewa, terkenal dengan keberanian dan bakat-bakat lainnya. Rasulullah mengutus kepadanya seorang utusan yang membawa pesan, “Bawalah pakaian dan senjatamu, lalu temuilah aku.”

Amr mengatakan, “Lalu aku menemui beliau yang saat itu sedang berwudhu. Beliau menatapku lalu menganguk-anggukkan kepalanya. Setelah itu beliau bersabda,

إِنِّى أُرِيدُ أَنْ أَبْعَثَكَ عَلَى جَيْشٍ فَيُسَلِّمَكَ اللَّهُ وَيُغْنِمَكَ وَأَرْغَبُ لَكَ مِنَ الْمَالِ رَغْبَةً صَالِحَةً

“Sesungguhnya aku hendak mengutusmu berperang bersama pasukan. Semoga Allah menyelamatkanmu, memberikan ghanimah, dan aku berharap engkau mendapat harta yang baik.”

Amr menanggapi, “Wahai Rasulullah, aku masuk Islam bukan untuk mencari harta, akan tetapi aku berislam karena aku mencintai agama ini. Dan menjadi salah seorang yang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (sahabatmu).

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا عَمْرُو؛ نِعْمَ المَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ

“Wahai Amr, sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki orang yang shaleh.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no.17798 dan Hakim no.2926).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عَمْرَو بْنَ العَاصِ مِنْ صَالحِي قُرَيْشٍ

“Sesungguhnya Amr bin al-Ash adalah di antara orang-orang yang baik dari kalangan Quraisy.” (HR. Tirmidzi dalam Sunan-nya no.3845).

Dalam riwayat Hakim dalam Mustadrak Rasulullah mempersaksikan bahwa Amr bin al-Ash adalah orang yang beriman bukan seorang laki-laki yang munafik.

ابْنَا الْعَاصِ مُؤْمِنَانِ هِشَامٌ وَعَمْرٌو

“Dua orang anak laki-laki al-Ash adalah orang yang beriman, yaitu Hisyam dan Amr.” (HR. Hakim no.5053 dan Ahmad dalam Musnad-nya no. 8029)

Ini adalah persaksian dari manusia yang paling mulia, yang perkataannya adalah wahyu yang tidak didustakan, atas keimanan Amr bin al-Ash. Rasulullah sangat mencintai dan mengagumi kemampuan Amr bin al-Ash, terbukti dengan beliau mengangkatnya sebagai pimpinan pasukan perang Dzatu Salasil dan mengangkatnya sebagai amir wilayah Oman sampai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.

Penaklukkan oleh Amr bin al-Ash

Pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq, Amr bin al-Ash turut serta dalam memerangi orang-orang murtad. Setelah itu Abu Bakar mengangkatnya sebagai panglima salah satu pasukan yang diberangkatkan menuju wilayah Syam. Lalu ia bergabung dengan Khalid bin Walid dalam Perang Yarmuk. Kemudian ia merampungkan penaklukkan wilayah Syam. Melalui pemimpin ulung ini, wilayah Gaza, Yafa, Rafah, Nabulus, dll. berhasil dikuasai kaum muslimin.

Pada masa Umar bin Khattab, ia dipercaya memimpin wilayah Palestina. Kemudian Umar memerintahkannya berangkat menuju Mesir untuk menghadapi pasukan Romawi. Umar sangat mengagumi kecerdasan yang dimiliki Amr bin al-Ash, sampai-samapi ia memujinya dengan mengatakan, “Tidak pantas, bagi Abu Abdullah (Amr bin al-Ash) berjalan di muka bumi ini kecuali sebagai seorang pemimpin.” (Riwayat Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 46:155).

Tibalah waktu dimana Umar bin Khattab memerintahkan Amr untuk berangkat ke Mesir memerangi orang-orang Romawi. Menyerang negara adidaya ini, Amr hanya diberi bekal 4000 orang pasukan yang berangkat bersamanya. Tanpa perasaan gentar dan takut, pasukan pun bertolak menuju ke tanah para Firaun itu.

Amirul mukminin, Umar bin Khattab tetap memantau pasukan ini, ia senantiasa meneliti kabar-kabar tentang Romawi di Mesir dan juga senantiasa berdiskusi dengan pembesar sahabat. Setelah beberapa diskusi dan mendengar kabar-kabar tentang Romawi, Umar khawatir dengan pasukan Amr, khawatir mereka tidak mampu menghadapi pasukan Romawi yang begitu kuat dan banyak jumlahnya. Akhirnya amirul mukminin menulis surat kepada Amr,

إذا بلغتكَ رسالتي قبل دخولك مصر فارجع، وإلَّا فسِرْ على بركة الله

Apabila suratku sampai kepadamu sebelum engkau memasuki Mesir, maka kembalilah! Tetapi jika engkau sudah memasukinya, lanjutkanlah dengan keberkahan dari Allah.

Akhirnya surat tersebut sampai ke tangan Amr yang kala itu sudah memasuki wilayah Arisy (pinggiran Mesir pen.). Amr bertanya kepada pasukannya, “Apakah kita sudah memasuki Mesir atau masih berada di wilayah Palestina?” Pasukannya menjawab, “Sekarang kita sudah di Mesir.” Lalu Amr mengatakan, “Jika demikian kita lanjutkan perjalanan sebagaimana yang diperintahkan amirul mukminin.”

Pemimpin yang cerdik dan pemberani ini membawa pasukannya menaklukkan kota demi kota di wilayah Mesir. Dimulai dari Kota Farma, kemudian Belbis, dan Ummu Danain. Setelah itu sampailah Amr di kota besar Iskandariyah. Di kota ini terdapat 50.000 orang pasukan Romawi.

4000 pasukan yang tenaganya telah tercurah dalam beberapa peperangan sebelumnya, dengan gagah berani mengepung Kota Iskandariyah yang memiliki pasukan yang besar. Di tengah pengepungan, tersiar kabar bahwa Raja Romawi di Konstantinopel wafat dan digantikan dengan adiknya. Sang adik yang tidak banyak mengetauhi tentang konflik di Mesir ini, memandang tidak ada celah untuk mengalahkan umat Islam. Ia memerintahkan perwakilannya di Mesir, Raja Muqauqis, agar mengikat perjanjian damai dengan umat Islam.

Dalam perjanjian damai itu, tersebutlah beberapa poin berikut ini: 
(1) Setiap orang menyerahkan dua dinar, kecuali orang tua dan anak-anak, 
(2) Orang-orang Romawi pergi dengan harta dan barang-barang mereka dari Kota Iskandariyah, 
(3) Umat Islam menghormati gereja-gereja Kristiani saat memasuki kota, dan syarat lainnya. 
Setelah itu, Amr mengirimkan kabar gembira ke Madinah bahwa Mesir sudah jatuh ke tangan umat Islam.

Menjadi Gubernur Mesir

Masjid Amr bin al-Ash di Kairo. Masjid ini adalah masjid pertama yang dibangun di benua Afrika, pada tahun 21 H/641 M

Orang-orang Mesir menyambut gembira kedatangan umat Islam, hal itu dikarenakan mereka mengetahui keadilan umat Islam dan mereka bebas dari kezaliman dan sifat kasar orang-orang Romawi. Amr bin al-Ash berkata kepada penduduk Mesir, “Wahai penduduk Mesir, sesungguhnya Nabi kami telah mengabarkan bahwa Allah akan menaklukkan Mesir untuk umat Islam, dan beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mewasiatkan kami agar berbuat baik kepada kalian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا افْتَتَحْتُمْ مِصْرَ فَاسْتَوْصُوا بِالْقِبْطِ خَيْرًا؛ فَإِنَّ لهُمْ ذِمَّةً وَرَحِمًا

‘Jika kalian menaklukkan Mesir, maka aku wasiatkan agar kalian berbuat baik kepada orang-orang Qibthi ini. Mereka berhak atas perlindungan dan kasih sayang’.” (HR. Muslim no.2543).

Selama masa-masa memimpin Mesir, Amr sangat mencintai dan dicintai rakyatnya. Ia memperlakukan mereka dengan adil dan penuh hikmah. Pada masanya juga Mesir mengalami kemajuan pembangunan, di antaranya perencanaan pembangunan Kota Fustat (sekarang disebut Kairo).

Wafatnya Amr bin al-Ash

Amr bin al-Ash wafat pada tahun 43 H atau 663 M, saat itu umurnya lebih dari 90 tahun. Ia telah meriwayatkan 39 hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika ia sedang sakit yang mengantarkannya kepada wafat, anaknya Abdullah bin Amr datang menemuianya. Abdullah melihat ayahanda tercinta sedang menangis, lalu ia mengatakan, “Wahai ayahanda, bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kabar gembira kepadamu, bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kabar gembira kepadamu.”

Kemudian Amr menghadapkan wajahnya dan mengatakan, “Aku mengalami tiga fase perjalanan hidup; dahulu aku adalah orang yang sangat membenci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku sangat senang apabila aku berhasil menangkapnya lalu membunuhnya dengan tanganku. Seandainya aku wafat dalam fase ini, pastilah aku menjadi penduduk neraka.

Ketika Allah menghadirkan kecintaan terhadap Islam di dalam hatiku, aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kukatakana kepada beliau, ‘Julurkanlah tangan Anda, aku akan membaiat Anda’. Rasulullah pun menjulurkan tangan kanannya kepadaku. Lalu kutahan tanganku –sebentar-.

Beliau bertanya, ‘Ada apa wahai Amr?’

Kujawab, ‘Aku ingin Anda memberikan syarat kepadaku’.

Rasulullah mengatakan, ‘Apa syarat yang kau inginkan?’

Aku menjawab, ‘Agar dosa-dosaku diampuni.’

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidakkah engkau ketauhi, bahwa keislaman menghapuskan dosa-dosa sebelumnya? Demikian juga hijrah menafikan kesalahan-kesalahan yang telah lalu? Dan juga haji menyucikan hilaf dan dosa terdahulu?’

Tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mataku senantiasa membayangkan dirinya. Aku segan menahan pandanganku –menatap matanya saat matanya menatap mataku- yang demikian, karena aku sangat menghormatinya. Kalau sekiranya aku dipinta untuk menjelaskan fisik beliau, -mungkin- aku tidak mampu, karena aku tidak pernah menyorotkan mataku kepadanya karena rasa hormatku untuknya. Jika aku wafat dalam keadaan demikian, aku berharap aku termasuk penduduk surga.

Kemudian terjadilah suatu perkara, yang aku tidak tahu bagaimana keadaanku kala itu. Tidak bersamaku angin yang berhembus demikian juga api. Saat kalian menguburkanku dan kalian lempari aku dengan tanah pekuburan, kemudian kalian berdiri sesaat di pemakamanku, dan aku menunggu apa yang aku akan jawab dari pertanyaan utusan (malaikat) Rab-ku.” (Riwayat Muslim dalam kitab al-iman, no.121)

Demikianlah Amr bin al-Ash, seorang sahabat yang mulia, seseorang yang memiliki jasa besar terhadap penyebaran dan kekuatan Islam juga terhadap umat Islam. Seorang yang dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifah setelahnya. Semoga Allah meridhai beliau…

Sumber: islamstory.com

Ahli Waris Habib Bugak Bicara Wakaf Bugak di Mekkah


Bugak - Sebagaimana telah tersebar luas berita di masyarakat Aceh tentang rencana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) RI mengelola Tanah Waqaf Habib Bugak Aceh di Mekkah Al Mukarramah Saudi Arabia, maka atas nama Forum Silaturrahmi Keturunan Habib Bugak Aceh, menyatakan sebagai berikut:

Pertama

Habib Abdurrahman Al Habsyi atau Habib Bugak Asyi pada 1224 Hijriah atau tahun 1809 Masehi di hadapan Hakim Mahkamah Syariah Makkah telah mewakafkan tanah dan bangunan serta isinya sebagai Waqaf Muqayyad (waqaf bersyarat) dan bukan Waqaf Mutlaq. Salah satu syarat waqaf tersebut adalah diberikan manfaatnya kepada seluruh Rakyat Aceh hingga hari qiyamat dan tidak bisa berpindah tangan kepada siapapun sampai qiyamat. Jadi sampai saat ini tanah waqaf tersebut adalah milik sah Rakyat Aceh yang tidak bisa dialihkan kepemilikannya kepada siapapun selama masih ada rakyat Aceh, termasuk kepada keluarga dan keturunan beliau sekalipun. Apalagi kepada pemerintah Indonesia.

Kedua

Sesuai dengan ikrar waqaf Habib Bugak, bahwa pengelolaan (dewan Kenaziran) Waqaf selama ini dikelola oleh Dewan Nadzir Waqaf Habib Bugak yang mana penunjukannya sejak awal langsung oleh Habib Bugak dan diteruskan oleh keturunan Nadzir sebelumnya dari Ulama Aceh di Makkah. Maka tidak ada yang berhak mengelola waqaf tersebut selain Nazir yang telah ditentukan persyaratannya oleh Habib Bugak terdahulu. Maka dalam hal ini keinginan PBKH RI untuk MENGELOLA waqaf Habib Bugak dengan sendirinya bertentangan dengan ikrar waqaf. Apalagi para penerima waqaf dalam hal ini rakyat Aceh menolak rencana tersebut, maka tidak ada alasan bagi BPKH RI untuk meneruskan rencananya.

Ketiga

Terakhir Ketua BPKH RI telah mengeluarkan pernyataan bahwa mereka hanya berkeinginan untuk investasi dalam aset waqaf Habib Bugak. Jika maksudnya hanya sebatas investasi murni tanpa tujuan mengambil alih pengelolaan waqaf secara menyeluruh sebagaimana yang telah dilakukan para investor lain sebelumnya dengan persyaratan dan ketentuan yang berlaku. maka rencana itu masih bisa dipertimbangan selama mendapat restu Nazir waqaf dan tentu atas pertimbangan Pemerintah dan Masyarakat Aceh melalui DPRA. Demikian pula BPKH RI diminta untuk transparan menyampaikan program kerjasamanya dalam investasi di aset Waqaf Habib Bugak karena melibatkan dana haji milik umat yang perlu mendapat persetujuannya.

Keempat

Memohon kepada Pemerintah Aceh dan juga DPRA untuk secara lebih aktiv memperhatikan dengan serius pengelolaan waqaf di Mekkah

Kelima

Menyerukan kepada seluruh rakyat Aceh agar selalu aktif mengawasi dan mengkritisi perkembangan waqaf Habib Bugak. Disamping terus mendoakan beliau dan keturunannya agar selalu mendapat bimbingan Allah serta menyambung silaturrahmi sebagai bentuk penghargaan kepada jasa Habib Bugak kepada rakyat Aceh.

Keenam

Kepada Allahlah kita serahkan segala urusan kita semoga mendapat ridha dan balasan dari Nya. Amin.

Wassalamualaikum. www.

Bugak, 12 Maret 2018

Sayyid Jamaluddin Al-Habsyi.
Presiden Forum Silaturrahmi Keturunan Habib Bugak
Hp: +628126960812

Sumber : acehinfo.com

Usamah Bin Zaid – Panglima Perang Termuda Kesayangan Rasulullah SAW


Kita sekarang kembali ke Mekah, tahun ketujuh sebelum hijrah. Ketika itu Rasulullah saw. sedang susah karena tindakan kaum Qurasy yang menyakiti beliau dan para sahabat. Kesulitan dan kesusahan berdakwah menyebabkan beliau senantiasa harus bersabar. Dalam suasana seperti itu, tiba-tiba seberkas cahaya memancar memberikan hiburan yang menggembirakan. Seorang pembawa berita mengabarkan kepada beliau, “Ummu Aiman melahirkan seorang bayi laki-laki.” Wajah Rasulullah berseri-seri karena gembira menyambut berita tersebut.

Siapakah bayi itu? Sehingga, kelahirannya dapat mengobati hati Rasulullah yang sedang duka, berubah menjadi gembira ? Itulah dia, Usamah bin Zaid.

Orangtua Usamah

Para sahabat tidak merasa aneh bila Rasulullah bersuka-cita dengan kelahiran bayi yang baru itu. Karena, mereka mengetahui kedudukan kedua orang tuanya di sisi Rasulullah. Ibu bayi tersebut seorang wanita Habsyi yang diberkati, terkenal dengan panggilan “Ummu Aiman”. Sesungguhnya Ummu Aiman adalah bekas sahaya ibunda Rasulullah Aminah binti Wahab. Dialah yang mengasuh Rasulullah waktu kecil, selagi ibundanya masih hidup. Dia pulalah yang merawat sesudah ibunda wafat. Karena itu, dalam kehidupan Rasulullah, beliau hampir tidak mengenal ibunda yang mulia, selain Ummu Aiman

Rasulullah menyayangi Ummu Aiman, sebagaimana layaknya sayangnya seroang anak kepada ibunya. Beliau sering berucap, “Ummu Aiman adalah ibuku satu-satunya sesudah ibunda yang mulia wafat, dan satu-satunya keluargaku yang masih ada.”

Itulah ibu bayi yang beruntung ini.

Adapun bapaknya adalah kesayangan Rasulullah, Zaid bin Haritsah. Rasulullah pernah mengangkat Zaid sebagai anak angkatnya sebelum ia memeluk Islam. Dia menjadi sahabat beliau dan tempat mempercayakan segala rahasia. Dia menjadi salah seorang anggota keluarga dalam rumah tangga beliau dan orang yang sangat dikasihi dalam Islam.

Kegembiraan Kaum Muslimin dan Sayangnya Rasulullah SAW kepada Usamah

Kaum muslimin turut bergembira dengan kelahiran Usamah bin Zaid, melebihi kegembiraan meraka atas kelahiran bayi-bayi lainnya. Hal itu bisa terjadi karena tiap-tiap sesuatu yang disukai Rasulullah juga mereka sukai. Bila beliau bergembira mereka pun turut bergembira. Bayi yang sangat beruntung itu mereka panggil “Al-Hibb wa Ibnil Hibb” (kesayangan anak kesayangan).

Kaum muslimin tidak berlebih-lebihan memanggil Usamah yang masih bayi itu dengap panggilan tersebut. Karena, Rasulullah memang sangat menyayangi Usamah sehingga dunia seluruhnya agaknya iri hati. Usamah sebaya dengan cucu Rasulullah, Hasan bin Fatimah az-Zahra. Hasan berkulit putih tampan bagaikan bunga yang mengagumkan. Dia sangat mirip dengan kakeknya, Rasulullah saw. Usamah kulitnya hitam, hidungnya pesek, sangat mirip dengan ibunya wanita Habsyi. Namun, kasih sayang Rasulullah kepada keduanya tiada berbeda. Beliau sering mengambil Usamah, lalu meletakkan di salah satu pahanya. Kemudian, diambilnya pula Hasan, dan diletakkannya di paha yang satunya lagi. Kemudian, kedua anak itu dirangkul bersama-sama ke dadanya, seraya berkata, “Wahai Allah, saya menyayangi kedua anak ini, maka sayangi pulalah mereka!”

Begitu sayangnya Rasulullah kepada Usamah, pada suatu kali Usamah tersandung pintu sehingga keningnya luka dan berdarah. Rasulullah menyuruh Aisyah membersihkan darah dari luka Usamah, tetapi tidak mampu melakukannya. Karena itu, beliau berdiri mendapatkan Usamah, lalu beliau isap darah yang keluar dari lukanya dan ludahkan. Sesudah itu, beliau bujuk Usamah dengan kata-kata manis yang menyenangkan hingga hatinya merasa tenteram kembali.

Sebagaimana Rasulullah menyayangi Usamah waktu kecil, tatkala sudah besar beliau juga tetap menyayanginya. Hakim bin Hazam, seorang pemimpin Qurasy, pernah menghadiahkan pakaian mahal kepada Rasulullah. Hakam membeli pakaian itu di Yaman dengan harga lima puluh dinar emas dari Yazan, seorang pembesar Yaman. Rasulullah enggan menerima hadiah dari Hakam, sebab ketika itu dia masih musyrik. Lalu, pakaian itu dibeli oleh beliau dan hanya dipakainya sekali ketika hari Jumat. Pakaian itu kemudian diberikan kepada Usamah. Usamah senantiasa memakainya pagi dan petang di tengah-tengah para pemuda Muhajirin dan Anshar sebayanya.

Sejak Usamah meningkat remaja, sifat-sifat dan pekerti yang mulia sudah kelihatan pada dirinya, yang memang pantas menjadikannya sebagai kesayangan Rasulullah. Dia cerdik dan pintar, bijaksana dan pandai, takwa dan wara. Ia senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan tercela.

Dikisahkan bahwasanya pada suatu hari, terjadilah pencurian dimana pelakunya adalah seorang wanita ternama dari bangsa Quraisy, maka kaum Quraisy pun terlena, apa yang semestinya diputuskan terhadap wanita tersebut sedangkan hukuman untuk pencuri adalah potong tangan, kemudian mereka ingin menanyakan hal ini kepada Rasulullah SAW namun ketidak beranian yang mereka miliki membuat mereka bimbang. hingga terbesitlah dihati salah satu diantara mereka bahwasanya orang yang paling berani untuk menanyakan hal ini adalah Usamah, karena dia adalah orang yang paling dekat dan paling dikasihi oleh Rasulullah saw.

Dengan segera mereka menemuinya dan memintanya agar meminta keringanan kepada Rasulullah saw terhadap wanita tersebut. Ketika Usamah menceritakan hal ini kepada Rasulullah saw, maka Rasulullah bersabda:
Janganlah engkau meminta keringanan dalam masalah hukum agama, sesungguhnya bangsa-bangsa terdahulu binasa karena hal itu, bila diantara mereka orang bangsawan mencuri maka mereka mengampuninya dan bila orang miskin yang mencuri maka ditegakkan hukum sebaik-baiknya dan sesungguhnya bila Fatimah Binti Muhammad mencuri niscaya saya akan memotong tangannya.

Usamah Dalam Perang Uhud

Waktu terjadi Perang Uhud, Usamah bin Zaid datang ke hadapan Rasulullah saw. beserta serombongan anak-anak sebayanya, putra-putra para sahabat. Mereka ingin turut jihad fi sabilillah. Sebagian mereka diterima Rasulullah dan sebagian lagi ditolak karena usianya masih sangat muda. Usamah bin Zaid termasuk kelompok anak-anak yang tidak diterima. Karena itu, Usamah pulang sambil menangis. Dia sangat sedih karena tidak diperkenankan turut berperang di bawah bendera Rasulullah.

Usamah Dalam Perang Khandaq

Dalam Perang Khandaq, Usamah bin Zaid datang pula bersama kawan-kawan remaja, putra para sahabat. Usamah berdiri tegap di hadapan Rasulullah supaya kelihatan lebih tinggi, agar beliau memperkenankannya turut berperang. Rasulullah kasihan melihat Usamah yang keras hati ingin turut berperang. Karena itu, beliau mengizinkannya, Usamah pergi berperang menyandang pedang, jihad fi sabilillah. Ketika itu dia baru berusia lima belas tahun.

Usamah Dalam Perang Hunain

Ketika terjadi Perang Hunain, tentara muslimin terdesak sehingga barisannya menjadi kacau balau. Tetapi, Usamah bin Zaid tetap bertahan bersama-sama dengan ‘Abbas (paman Rasulullah), Sufyan bin Harits (anak paman Usamah), dan enam orang lainnya dari para sahabat yang mulia. Dengan kelompok kecil ini, Rasulullah berhasil mengembalikan kekalahan para sahabatnya menjadi kemenangan. Beliau berhasil menyelamatkan kaum muslimin yang lari dari kejaran kaum musyrikin.

Usamah Dalam Perang Mu’tah

Dalam Perang Mu’tah, Usamah turut berperang di bawah komando ayahnya, Zaid bin Haritsah. Ketika itu umurnya kira-kira delapan belas tahun. Usamah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tatkala ayahnya tewas di medan tempur sebagai syuhada. Tetapi, Usamah tidak takut dan tidak pula mundur. Bahkan, dia terus bertempur dengan gigih di bawah komando Ja’far bin Abi Thalib hingga Ja’far syahid di hadapan matanya pula.

Usamah menyerbu di bawah komando Abdullah bin Rawahah hingga pahlawan ini gugur pula menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid. Kemudian, komando dipegang oleh Khalid bin Walid. Usamah bertempur di bawah komando Khalid. Dengan jumlah tentara yang tinggal sedikit, kaum muslimin akhirnya melepaskan diri dari cengkeraman tentara Rum.

Seusai peperangan, Usamah kembali ke Madinah dengan menyerahkan kematian ayahnya kepada Allah SWT. Jasad ayahnya ditinggalkan di bumi Syam (Syria) dengan mengenang segala kebaikan almarhum.

Pengangkatan Usamah dalam Perang Melawan Romawi

Ketika Islam berjaya pada masa Rasulullah di Arab. Dengan suka rela, setiap insan yang mendengar seruan kalimat Laa Ilaaha Illallalah Muhammadur Rasulullah berbondong-bondong menyambutnya. Wajah-wajah kusut yang semula diselimuti kabut kemusyrikan menjadi cerah disinari pancaran cahaya Ilahi. Tidak ketinggalan juga Farwah bin Umar Al-Judzami, kepala daerah Ma’an dan sekitarnya yang diangkat Kaisar Romawi.

Mengetahui hal itu, para penguasa Romawi marah dan mereka segera menangkap Farwah dan menjebloskannya ke penjara. Selanjutnya, ia dibunuh dan kepalanya dipancung, lalu diletakkan di sebuah mata air bernama Arfa’ di Palestina. Mayatnya disalib untuk menakut-nakuti para penduduk agar tidak mengikuti jejaknya.

Mendengar desas-desus yang seolah menyepelekan kemampuan Usamah itu, Umar bin Khatthab segera menemui Rasulullah. Beliau sangat marah, lalu bergegas mengambil sorbannya dan keluar menemui para sahabat yang tengah berkumpul di Masjid Nabawi. Setelah memuji Allah dan mengucapkan syukur, beliau bersabda,

“Wahai sekalian manusia, saya mendengar pembicaraan mengenai pengangkatan Usamah, demi Allah, seandainya kalian menyangsikan kepemimpinannya, berarti kalian menyangsikan juga kepemimpinan ayahnya, Zaid bin Haritsah. Demi Allah, Zaid sangat pantas memegang kepemimpinan, begitu juga dengan putranya, Usamah. Kalau ayahnya sangat saya kasihi, maka putranya pun demikian. Mereka adalah orang yang baik. Hendaklah kalian memandang baik mereka berdua. Mereka juga adalah sebaik-baik manusia di antara kalian.”

Pada tahun kesebelas hijriah Rasulullah menurunkan perintah agar menyiapkan bala tentara untuk memerangi pasukan Rum. Dalam pasukan itu terdapat antara lain Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khattab, Sa’ad bin ABi Waqqas, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan lain-lain sahabat yang tua-tua.

Rasulullah mengangkat Usamah bin Zaid yang muda remaja menjadi panglima seluruh pasukan yang akan diberangkatkan. Ketika itu usia Usamah belum melebihi dua puluh tahun. Beliau memerintahkan Usamah supaya berhenti di Balqa’ dan Qal’atut Daarum dekat Gazzah, termasuk wilayah kekuasaan Rum.

Setelah itu, beliau turun dari mimbar dan masuk ke rumahnya. Kaum muslimin pun berdatangan hendak berangkat bersama pasukan Usamah. Mereka menemui Rasulullah yang saat itu dalam keadaan sakit. Diantara mereka terdapat Ummu Aiman, ibu Usamah.

“Wahai Rasulullah bukankah lebih baik, jika engkau biarkan Usamah menunggu sebentar di perkemahannya sampai engkau merasa sehat. Jika dipaksa berangkat sekarang, tentu dia tidak akan merasa tenang dalam perjalanannya,” ujarnya.

Namun Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Biarkan Usamah berangkat sekarang juga.”

Kata Usamah, “Tatkala sakit Rasulullah bertambah berat, saya datang menghadap beliau diikuti orang banyak, setelah saya masuk, saya dapati beliau sedang diam tidak berkata-kata karena kerasnya sakit beliau. Tiba-tiba beliau mengangkat tangan dan meletakkannya ke tubuh saya. Saya tahu beliau memanggilku.”

Ketika Usamah mencium wajahnya, beliau tidak mengatakan apa-apa selain mengangkat kedua belah tanganya ke langit serta mengusap kepala Usamah, mendoakannya.

Sikap Khalifah Abu Bakar atas Adanya Usulan Penggantian Usamah

Usamah segera kembali ke pasukannya yang masih menunggu. Setelah semuanya lengkap, mereka mulai bergerak. Belum jauh pasukan itu meninggalkan Juraf, tempat markas perkemahan, datanglah utusan dari Ummu Aiman memberitahukan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam telah wafat. Usamah segera memberhentikan pasukannya. Bersama Umar bin Khatthab dan Abu Ubaidah bin Jarraf, ia segera menuju rumah Rasulullah. Sementara itu, tentara kaum muslimin yang bermarkas di Juraf membatalkan pemberangkatan dan kembali juga ke madinah.

Abu Bakar Shidiq terpilih dan dilantik menjadi khalifah. Khalifah Abu Bakar meneruskan pengiriman tentara di bawah pimpinan Usamah bin Zaid, sesuai dengan rencana yang telah digariskan Rasulullah. Tetapi, sekelompok kaum Anshar menghendaki supaya menangguhkan pemberangkatan pasukan. Mereka meminta Umar bin Khattab membicarakannya dengan Khalifah Abu Bakar.

Abu Bakar segera memanggil Usamah untuk kembali memimpin pasukan, sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah sebelumnya. Tindakan Khalifah tentu saja mendapat reaksi dari beberapa sahabat. Apalagi saat itu beberapa kelompok kaum muslimin murtad dari agama Islam. Kota Madinah memerlukan penjagaan ketat.

Kata mereka, “Jika khalifah tetap berkeras hendak meneruskan pengiriman pasukan sebagaimana dikehendakinya, kami mengusulkan panglima pasukan (Usamah) yang masih muda remaja ditukar dengan tokoh yang lebih tua dan berpengalaman.”

Mendengar ucapan Umar yang menyampaikan usul dari kaum Anshar itu, Abu Bakar bangun menghampiri Umar seraya berkata dengan marah, “Hai putra Khattab! Rasulullah telah mengangkat Usamah. Engkau tahu itu. Kini engkau menyuruhku membatalkan putusan Rasululllah. Demi Allah, tidak ada cara begitu!”

Abu Bakar juga berkata, “Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, seandainya aku tahu akan dimakan binatang buas sekalipun, niscaya aku akan tetap mengutus pasukan ini ketujuannya. Aku yakin, mereka akan kembali dengan selamat. Bukankah Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam yang diberikan wahyu dari langit telah bersabda, “Berangkatkan segera pasukan Usamah!’

Tatkala Umar kembali kepada orang banyak, mereka menanyakan bagaimana hasil pembicaraannya dengan khalifah tentang usulnya. Kata Umar, “Setelah saya sampaikan usul kalian kepada Khalifah, belaiu menolak dan malahan saya kena marah. Saya dikatakan sok berani membatalkan keputusan Rasulullah.

Maka, pasukan tentara muslimin berangkat di bawah pimpinan panglima yang masih muda remaja, Usamah bin Zaid. Khalifah Abu Bakar turut mengantarkannya berjalan kaki, sedangkan Usamah menunggang kendaraan.

Kata Usamah, “Wahai Khalifah Rasulullah! Silakan Anda naik kendaraan. Biarlah saya turun dan berjalan kaki. “
Jawab Abu Bakar, “Demi Allah! jangan turun! Demi Allah! saya tidak hendak naik kendaraan! Biarlah kaki saya kotor, sementara mengantar engkau berjuang fisabilillah! Saya titipkan engkau, agama engkau, kesetiaan engkau, dan kesudahan perjuangan engkau kepada Allah. Saya berwasiat kepada engkau, laksanakan sebaik-baiknya segala perintah Rasulullah kepadamu!”

Kemudian dibalas oleh Usamah dengan jawaban yang penuh makna, “Aku menitipkan kepada Allah agamamu, amanatmu juga penghujung amalmu dan aku berwasiat kepadamu untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah.”

Kemudian, Khalifah Abu Bakar lebih mendekat kepada Usamah. Katanya, “Jika engkau setuju biarlah Umar tinggal bersama saya. Izinkanlah dia tinggal untuk membantu saya. Usamah kemudian mengizinkannya.

Kemenangan Usamah

Usamah dan pasukannya terus bergerak dengan cepat meninggalkan Madinah. Setelah melewati beberapa daearah yang masih tetap memeluk Islam, akhirnya mereka tiba di Wadilqura. Usamah mengutus seorang mata-mata dari suku Hani Adzrah bernama Huraits. Ia maju meninggalkan pasukan hingga tiba di Ubna, tempat yang mereka tuju. Setelah berhasil mendapatkan berita tentang keadaan daerah itu, dengan cepat ia kembali menemui Usamah. Huraits menyampaikan informasi bahwa penduduk Ubna belum mengetahui kedatangan mereka dan tidak bersiap-siap. Ia mengusulkan agar pasukan secepatnya bergerak untuk melancarkan serangan sebelum mereka mempersiapkan diri.

Usamah setuju. Dengan cepat mereka bergerak. Seperti yang direncanakan, pasukan Usamah berhasil mengalahkan lawannya. Hanya selama empat puluh hari, kemudian mereka kembali ke Madinah dengan sejumlah harta rampasan perang yang besar, dan tanpa jatuh korban seorang pun.

Usamah berhasil kembali dari medan perang dengan kemenangan gemilang. Mereka membawa harta rampasan yang banyak, melebihi perkiraan yang diduga orang. Sehingga, orang mengatakan, “Belum pernah terjadi suatu pasukan bertempur kembali dari medan tempur dengan selamat dan utuh dan berhasil membawa harta rampasan sebanyak yang dibawa pasukan Usamah bin Zaid.”

Kecintaan Kaum Muslimin Kepada Usamah

Usamah bin Zaid sepanjang hidupnya berada di tempat terhormat dan dicintai kaum muslimin. Karena, dia senantiasa mengikuti sunah Rasulullah dengan sempurna dan memuliakan pribadi Rasul.

Khalifah Umar bin Khattab pernah diprotes oleh putranya, Abdullah bin Umar, karena melebihkan jatah Usamah dari jatah Abdullah sebagai putra Khalifah.

Kata Abdullah bin Umar, “Wahai Bapak! Bapak menjatahkan untuk Usamah empat ribu dinar, sedangkan kepada saya hanya tiga ribu dinar. Padahal, jasa bapaknya agaknya tidak akan lebih banyak daripada jasa Bapak sendiri. Begitu pula pribadi Usamah, agaknya tidak ada keistimewaannya daripada saya.

Jawab Khalifah Umar, “Wah?! jauh sekali?! Bapaknya lebih disayangi Rasulullah daripada bapak kamu. Dan, pribadi Usamah lebih disayangi Rasulullah daripada dirimu.” Mendengar keterangan ayahnya, Abdullah bin Umar rela jatah Usamah lebih banyak daripada jatah yang diterimanya.

Apabila bertemu dengan Usamah, Umar menyapa dengan ucapan, “Marhaban bi amiri!” (Selamat, wahai komandanku?!). Jika ada orang yang heran dengan sapaan tersebut, Umar menjelaskan, “Rasulullah pernah mengangkat Usamah menjadi komandan saya.”

Setelah menjalani hidupnya bersama para sahabat, Usamah bin Zaid wafat tahun 53 H / 673 M pada masa pemerintahan khalifah Mu’awiyah.

Itulah cuplikan dari kisah seorang pemuda yang berani dalam membela agama Allah tanpa mempedulikan sesuatu yang mengancam jiwanya, dari sinilah kita sebagai pemuda penerus bangsa dan agama alangkah patutlah meniru sosok seorang sahabat yang pemberani Usamah bin Zaid.

Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada para sahabat yang memiliki jiwa dan kepribadian agung seperti mereka ini. Wallahu a’lam.

Abu Ubaidah bin Al Jarrah - Orang Kepercayaan Umat Ini


Abu Ubaidah Al-Jarrah inilah yang pertama-tama dijuluki sebagai pemimpin para pemimpin (Amirul Umara). Dialah orang yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kanannya seraya bersabda mengenai dirinya,

إِنَّ لَكُمْ أُمَّةً أَمِيْنًا، وَإِنَّ أَمِيْنَ هذِهِ اْلأُمَّةِ أَبُوْ عُبَيْدَةَ بْنُ اْلجَرَّاحِ

“Sesungguhnya setiap umat memiliki orang kepercayaan, dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.“

Orang kepercayaan inilah yang disebut-sebut Al-Faruq radhiallahu ‘anhu pada saat akan menghembuskan nafas terakhirnya, “Seandainya Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiallahu ‘anhu masih hidup, niscaya aku menunjuknya sebagai penggantiku. Jika Rabb-ku bertanya kepadaku tentang dia, maka aku jawab, ‘Aku telah menunjuk kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya sebagai penggantiku’.”

Ia masuk Islam lewat perantaraan Ash-Shiddiq di masa-masa awal Islam sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk Darul Arqam. Ia berhijrah ke Habasyah yang kedua. Kemudian kembali untuk berdiri di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salalm dalam Perang Badar. Ia mengikuti peperangan seluruhnya, kemudian melanjutkan berbagai peperangan bersama Ash-Shiddiq dan Al-Faruq radhiallahu ‘anhuma.

Sikap yang ditunjukkannya dalam perang Uhud menjelaskan kepada kita bahwa ia benar-benar kepercayaan umat ini, di mana ia tetap menebaskan pedangnya yang terpercaya kepada pasukan kaum paganis. Setiap kali situasi dan kondisi perang mengharuskannya jauh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berperang sembari kedua matanya memperhatikan di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertempur.

Di salah satu putarannya dan peperangan telah mencapai puncaknya, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu dikepung oleh segolongan kaum musyrikin. Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu kehilangan kesadarannya, ketika melihat anak panah meluncur dari tangan orang musyrik lalu mengenai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menyerang orang-orang yang mengepungnya dengan pedangnya dan seolah-olah ia memegang seratus pedang, sehingga membuat mereka tercerai berai. Lantas ia berlari bak terbang menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia melihat darah beliau yang suci mengalir dari wajahnya, dan melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengusap darah itu dengan tangan kanannya seraya bersabda,

كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ خَضَبُوْا وَجْهَ نَبِيِّهِمْ، وَهُوَ يَدْعُوْهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ

“Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melumuri wajah Nabi mereka, padahal dia menyeru kepada Rabb mereka.” (Lihat, Tafsir al-Qurthubi, 4/ 199)

Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu menerangkan kepada kita tentang fenomena ini lewat pernyataannya, “Pada saat perang Uhud, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkena lemparan sehingga dua bulatan besi menancap di dahinya, aku cepat-cepat menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara ada seseorang yang datang dari arah timur berlari kencang seperti terbang, maka aku katakan, ‘Ya Allah, jadikanlah itu sebagai ketaatan.’ Ketika kami sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata ia adalah Abu Ubaidah bin Jarrah yang telah datang lebih dulu daripadaku. Ia berkata, ‘Aku meminta kepadamu, dengan nama Allah, wahai Abu Bakar, biarkan aku mencabutnya dari wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Aku pun membiarkannya. Ubaidah mengambil dengan gigi serinya salah satu bulatan besi itu, lalu mencabutnya dan jatuh ke tanah, gigi serinya pun jatuh bersamanya. Kemudian ia mengambil sepotong besi lainnya dengan gigi serinya yang lain sampai jatuh. Sejak saat itu, Abu Ubaidah di tengah khalayak dijuluki dengan Atsram (yang terpecah giginya, atau jatuh dari akarnya).

Pada saat delegasi Najran dari Yaman datang untuk menyatakan keislaman mereka, dan meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengutus bersama mereka orang yang mengajarkan kepada mereka Alquran, Sunnah dan Islam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka,

لأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلاً أَمِيْنًا، حَقَّ أَمِيْنٍ، حَقَّ أَمِيْنٍ، حَقَّ أَمِيْنٍ

“Aku benar-benar akan mengutus bersama kalian seorang pria yang sangat dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya.” (Thabaqat Ibn Sa’d, 3/ 314)

Semua sahabat berharap bahwa dialah yang bakal dipilih oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata persaksian ini menjadi keberuntungannya.

Umar Al-Faruq radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak menyukai suatu jabatan pun sebagaimana aku menyukainya pada saat itu, karena berharap akulah yang bakal memperolehnya. Aku pergi untuk shalat Zhuhur dengan berjalan kaki. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Zhuhur bersama kami, beliau mengucapkan salam, kemudian memandang ke kanan dan ke kiri. Aku menegakkan punggungku agar beliau melihatku. Tapi beliau terus mengarahkan pandangannya hingga melihat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Kemudian beliau memanggilnya seraya bersabda,

اُخْرُجْ مَعَهُمْ، فَاقْضِ بَيْنَهُمْ بِالْحَقِّ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ

‘Keluarlah bersama mereka. Putuskan perkara di antara mereka dengan haq dalam segala hal yang mereka perselisihkan’.“

Akhirnya, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu pergi bersama mereka.

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu berjalan di bawah panji Islam. Sekali waktu ia bersama para pasukan biasa, dan pada kesempatan yang lain bersama para panglima. Sampai datanglah masa Umar radhiallahu ‘anhu, ia menjabat sebagai panglima pasukan Islam di salah satu peperangan besar di Syam. Ia mendapatkan kemenangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam peperangan ini, hingga ia menjadi hakim dan gubernur negeri Syam, dan perintahnya ditaati.

Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu mengunjungi Syam, dan bertanya kepada orang-orang yang menyambutnya, “Di manakah saudaraku?” Mereka bertanya, “Siapa?” Ia menjawab, “Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” Ketika Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu datang, Umar memeluknya. Kemudian Abu Ubaidahradhiallahu ‘anhu membawa Umar radhiallahu ‘anhu ke rumahnya. Di dalam rumah tersebut, Umar tidak melihat sedikit pun perkakas rumah tangga, kecuali pedang, perisai dan untanya. Umar radhiallahu ‘anhu bertanya kepadanya sembari tersenyum, “Mengapa engkau tidak memiliki sesuatu untuk dirimu sebagaimana dilakukan orang lain?” Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu menjawab, “Wahai Amirul Mu’minin, inilah yang bisa mengantarkanku ke akhirat.”

Pada suatu hari, pada saat Al-Faruq Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berada di Madinah, seorang informan datang kepadanya untuk mengabarkan bahwa Abu Ubaidah telah meninggal dunia. Mendengar hal itu, Al-Faruq radhiallahu ‘anhu memejamkan kedua matanya dalam keadaan penuh dengan air mata. Air mata pun mengalir, lalu dia membuka kedua matanya dalam kepasrahan. Ia memohonkan rahmat Allah untuk sahabatnya dalam keadaan air mata mengalir dari kedua matanya, air mata orang-orang shalih. Air mata mengalir karena kematian orang-orang yang shalih. Al-Faruq Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Seandainya aku boleh berangan-angan, maka aku hanya mengangankan sebuah rumah yang dipenuhi orang-orang semisal Abu Ubaidah.”

Kepercayaan umat meninggal dunia di atas bumi yang telah dibersihkannya dari paganisme Persia yang beragama Majusi dan dari keangkara murkaan Romawi. Di sana pada hari ini, di bawah tanah Yordan, jasad yang suci dikebumikan. Ia menjadi tempat bagi ruh yang baik dan jiwa yang tentram.

Sumber: Rijal Haula ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 160-180 alsofwah.or.id)

Artikel www.KisahMuslim.com dengan penyuntingan bahasa oleh redaksi.

Kapan Terjadi Syirik Cinta?



Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa syirik adalah larangan terbesar dalam Islam. Kesyirikan adalah menyekutukan Allah dalam hak-hak khusus bagi Allah. Berikut kami sebutkan beberapa bahaya:
  1. Pelaku Kesyirikan diancam masuk neraka dan diharamkan masuk surga. (lihat QS. Al Maidah: 72).
  2. Pelaku kesyirikan seluruh amalannya bisa terhapus tanpa tersisa sedikitpun (lihat QS. Al Bayyinah: 6).
  3. Pelaku kesyirikan tidak akan diampuni oleh Allah jika mati dan belum bertaubat dari kesyirikannya (lihat QS. Al An’am: 88).
  4. Kesyirikan adalah kezaliman yang paling zalim dan dosa yang paling berdosa (lhat QS. An Nisa’: 48).
  5. Kesyirikan itu hakikatnya merendahkan diri kepada makhluk plus pembodohan, padahal manusia itu mulia (lihat QS. Lukman: 13).

Sebelum memahami kapan terjadi syirik cinta, perlu dipahami pembagian cinta (mahabbah) dalam pelajaran tauhid.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan pembagian cinta (mahabbah) ada dua:


القسم الأول
محبة عبادة، وهي التي توجب التذلل والتعظيم، وأن يقوم بقلب الإنسان من إجلال المحبوب وتعظيمه ما يقتضي أن يمتثل أمره ويجتنب نهيه، وهذه خاصة بالله، فمن أحب مع الله غيره محبة عبادة، فهو مشرك شركاً أكبر .
القسم الثاني:
محبة ليست بعبادة في ذاتها، وهذه أنواع:
النوع الأول:
المحبة لله وفي الله، وذلك بأن يكون الجالب لها محبة الله، أي: كون الشيء محبوباً لله تعالى من أشخاص: كالأنبياء، والرسل، والصديقين، والشهداء، والصالحين
أو أعمال: كالصلاة، والزكاة، وأعمال الخير، أو غير ذلك.
وهذا النوع تابع للقسم الأول الذي هو محبة الله .
النوع الثاني:
محبة إشفاق ورحمة، وذلك كمحبة الولد، والصغار، والضعفاء، والمرضى.
النوع الثالث:
محبة إجلال وتعظيم لا عبادة، كمحبة الإنسان لوالده، ولمعلمه، ولكبير من أهل الخير.
النوع الرابع:
محبة طبيعية ، كمحبة الطعام ، والشراب ، والملبس ، والمركب ، والمسكن


Pertama: Cinta Ibadah

Yaitu cinta yang berkonsekuensi kecintaan merendahkan diri dan pengagungan. Hati manusia akan mengagungkan yang dicintai dan menyebabkan patuh terhadap perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Hal ini khusus untuk Allah saja. Barang siapa mencintai cinta ibadah kepada Allah dan kepada yang lainnya juga, maka ia termasuk orang kafir dan musyrik akbar

Kedua: Cinta Musytarakah (Umum)

Yaitu cinta yang bukan ibadah dan ada empat macam:
  1. Cinta lillah wa fillah Yaitu apa yang bisa mendatangkan kecintaan kepada Allah. Yang ia cintai itu karena Allah semisal mencintai manusia, yaitu para nabi, rasul, orang shalih, syuhada. Berupa amal misalnya shalat, zakat, amal kebaikan yang lainnya. Cinta jenis ini merupakan turunan dari cinta kelompok pertama (cinta ibadah).
  2. Cinta isyfaq wa rahmah (kasih sayang dan belas kasih) seperti kecintaan kepada anak kecil, orang lemah, sakit dan lainnya.
  3. Cinta ijlal wa ta’dzim yang bukan ibadah (penghormatan dan penghargaan) misalnya cinta kepada orang tua, guru dan senior yang melakukan kebaikan.
  4. Cinta thabiah (tabiat manusia) misalnya cinta makan, minum, pakaian, kendaraan dan tempat tinggal.

Kapan bisa terjadi syirik cinta?

Syirik cinta terjadi jika:

Pertama: Melakukan syirik cinta ibadah
Yaitu cinta ibadah kepada Allah dan kepada lainnya juga dalam hal ibadah semisal cinta dan suka berdoa meminta kepada penghuni kuburan
Allah berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللّهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللّهِ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبّاً

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” (Al Baqarah 165).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَلَيْسَ شَيْءٌ مِنْهُ مَغْفُورٌ، فَمِنْهُ الشِّرْكُ بِاللَّهِ فِي الْمَحَبَّةِ وَالتَّعْظِيمِ:

أَنْ يُحِبَّ مَخْلُوقًا كَمَا يُحِبُّ اللَّهَ، فَهَذَا مِنَ الشِّرْكِ الَّذِي لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ،

وَهُوَ الشِّرْكُ الَّذِي قَالَ سُبْحَانَهُ فِيهِ: {وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا
يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ} [سُورَةُ الْبَقَرَةِ: 165]

“(Syirik yang) tidak ada baginya ampunan sedikitpun (jika tidak bertaubat di dunia, pent) diantaranya adalah menyekutukan Allah dalam cinta dan pengagungan. Yaitu mencintai makhluk sebagaimana mencintai Allah. Syirik jenis inilah yang Allah tidak akan mengampuninya. Inilah syirik yang Allah sebut dalam firman-Nya, “dan diantara manusia ada yang menjadikan sekutu-sekutu selain Allah. Mereka mencintanya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” surat Al-Baqarah ayat 165.”

Kedua: Ketika kecintaan jenis cinta musytarakah mengalahkan cinta kepada Allah dan hal tersebut mengandung konsekuensi ibadah. Misalnya: demi pacarnya, ia rela melakukan syirik ibadah. Semua waktunya dihabiskan untuk mengingat pacarnya saja bahkan lalai mengingat Allah kemudian ia berkata: “Aku tidak bisa hidup tanpa kamu.” Inilah yang disebut dengan level mabuk cinta (al-’isyq) tertingi yaitu [المحبة المردان] “al-mahabbatul murdan” , yaitu rasa cinta yang sampai tingkat menjadi hamba kepada cinta.

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata tentang hal ini,

هُوَ مَقْتٌ عِنْدَ اللَّهِ وَبُعْدٌ مِنْ رَحْمَتِهِ، وَهُوَ أَضَرُّ شَيْءٍ عَلَى الْعَبْدِ فِي دِينِهِ وَدُنْيَاهُ،
وَهُوَ عِشْقُ الْمُرْدَانِ وَهَذِهِ الْمَحَبَّةُ هِيَ الَّتِي جَلَبَتْ عَلَى قَوْمِ لُوطٍ مَا جَلَبَتْ، فَمَا أُتُوا إِلَّا مِنْ هَذَا الْعِشْقِ

“Ia adalah kemurkaan disisi Allah dan jauh dari rahmatnya. Merupakan sesuatu yang paling berbahaya bagi seorang hamba pada agama dan dunianya, yaitu “al-’isyq al-murdan”. Inilah cinta yang menimpa kaum nabi Luth ‘alaihissalam .mereka tidak diberi [azdab] kecuali “al-’isyq al-murdan”.

Demikain semoga bermanfaat

@ Markaz YPIA yogyakarta
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel muslim.or.id

Salah Paham Terhadap Nanggroe Aceh Darussalam



Oleh: Sarah Mantovani, SH.

Tulisan ini tak bermaksud untuk membuka kembali luka lama Aceh tetapi hanya untuk meluruskan sejarah yang ada.


Kenapa harus Aceh?.

Pencarian saya tentang sejarah Aceh berawal dari kesalahpahaman teman saya di Kairo dengan mahasiswa Aceh yang juga teman saya di Kairo, bahwa mahasiswa Aceh di sana itu eksklusif, tertutup, dan suka membanggakan suku sendiri (contohnya seperti penyebutan masyarakat Aceh yang berubah menjadi rakyat Aceh). Seketika timbul pertanyaan di benak saya : Kenapa dengan orang Aceh? Ada apa dengan mereka? Apa sebabnya teman saya mengatakan seperti itu?. Lalu, saat saya meminta klarifikasi langsung dari salah satu teman saya yang menjadi mahasiswa Aceh di sana via Facebook, saya mendapatkan satu kesimpulan bahwa “Orang Aceh pernah punya pengalaman buruk di masa lalu dengan orang Jawa”. Dan saat itu saya baru teringat bahwa teman saya yang salah paham itu adalah orang Jawa.

Pada awalnya pun saya sempat agak terpengaruh juga dengan ucapan teman saya karena jujur saja, saya paling tidak suka dengan orang yang sukuis (membanggakan suku sendiri lebih baik dari suku yang lain) tapi saya juga tidak bisa menilai dari satu pihak saja, saya harus mencari sendiri apa penyebabnya.

Pikiran saya langsung tertuju pada cerita teman saya yang mahasiswa Aceh bahwa, “Mereka yang di kuburkan di kuburan Kherkof Belanda di Aceh kebanyakan adalah orang-orang Pribumi, bisa dikatakan orang-orang Jawa yang meninggal di Aceh karena termakan taktik devide et impera-nya Tentara Belanda juga ikut di kubur di situ”. Tak hanya itu, saya langsung teringat dengan komentar Pramudya Ananta Toer terhadap Novel Bidadari Hitam yang di tulis oleh T.I Thamrin-orang Aceh asli, “Setiap kali ada yang datang dari suku Aceh, saya selalu minta maaf sebagai orang Jawa. Sudah lebih 100 tahun orang Jawa memerangi Aceh, saya ikut-ikutan bersalah…”.
Dialog-dialog yang ada di dalam Novel tersebut pun membuat saya jadi makin penasaran dengan apa yang terjadi pada Aceh di masa lalu…

“Tidak, nong. Nama kita semua adalah Aceh. Karena itu kita memang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa di mata orang Jakarta. Aceh yang pernah menolong dan memberi makan mereka, membelikan mereka 2 pesawat terbang, membiayai NKRI yang lagi terjepit ekornya. Tapi, ketika mereka sudah berani mengambil sendiri di lumbung kita, mereka melecehkan, memburu dan membunuh kita seperti kecoak. Kita bilang, silahkan ambil tapi jangan mencuri dan jangan kemaruk, lalu mereka marah besar, menuduh kita pemberontak, karena itu wajib dibunuh. Perempuan kita yang melawan juga diburu dan diperkosanya, seperti tak malu pada Ibu dan saudarinya sendiri. Seperti Ibu dan saudarinya bukan perempuan saja.”.

Timbul banyak pertanyaan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh saya, “Ada apa dengan Aceh pada masa lalu? Kenapa Aceh pernah sangat ingin memisahkan diri dari NKRI? Bagaimana hal itu bisa terjadi? Alasan apa yang menyebabkan Aceh sampai ingin bergabung dengan NII dan mendirikan DI/TII atau GAM? Kenapa Pemerintah pada jaman dulu (era Presiden Sukarno sampai Presiden Megawati) harus bertindak brutal, kejam dan sadis hanya karena ingin mempertahankan Aceh untuk tetap di wilayah NKRI? Kenapa cara-cara tersebut harus di lakukan oleh Pemerintah?”
Dan dari situ saya baru menyadari bahwa ada potongan sejarah lain yang belum saya ketahui dari Aceh.

Aceh masa lalu adalah Sebuah Negara.

Tak etis rasanya bila saya tidak menceritakan saat Aceh masih menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri.

Sejarawan Said ‘Alawi Thahir al-Haddad dalam bukunya “Al-Madkhal ilaa Taarikh al-Islam fi al-Syarq al-Aqsa” menyebutkan satu dokumen kuno dari Dinasti Yang di Cina, yang menceritakan pada tahun 518 M telah datang kepada raja Cina utusan dari kerajaan Puli yang terletak di ujung utara pulau Sumatera (kerajaan Puli adalah kerajaan Puli atau Indra Puri yang memang telah ada di Aceh sebelum Islam datang. Namun, karena kesulitan mengucap huruf R dalam dialek Cina, maka berubah menjadi L sehingga tertulis “Puli” dalam dokumen Dinasti Yang tersebut. Sisa-sisa dari kerajaan ini masih bisa ditemukan di kawasan Indra Puri, Aceh Besar). Dokumen ini juga menceritakan bahwa kerajaan Puli terbagi dalam 136 wilayah dengan luas wilayah 50 hari perjalanan kaki dari utara ke selatan dan 20 hari perjalanan kaki dari barat ke timur. Dokumen ini membuktikan bahwa sejak abad ke-6 M, orang-orang yang mendiami daerah pesisir Aceh telah mengenal suatu tata cara kehidupan yang berperadaban cukup maju dibanding kawasan-kawasan lain di Nusantara, kecuali kawasan pinggiran sungai Mahakam di Kalimantan Timur, dimana kerajaan Hindu Kutai telah berdiri sejak abad ke 5 M, begitu juga kawasan Jawa Barat dengan kerajaan Taruma Negaranya.

Daerah pesisir utara Aceh mulai disinggahi para pedagang Muslim dari Malabar di India atau langsung dari Jazirah Arab pada abad ke-7 M (1 H), sebagaimana disebutkan L. Van Rijck Vorsel dalam bukunya “Riwayat kepulauan Hindia Timur”. Ia juga menyebutkan bahwa orang-orang Arab telah lebih dahulu tiba di Sumatera 750 tahun sebelum kedatangan Belanda ke sana.

Namun, kerajaan Islam baru muncul pada awal abad ke-9 M. Di antara kerajaan-kerajaan Islam yang pertama di Aceh adalah kerajaan Peureulak di pesisir timur Aceh yang berdiri pada tahun 804 M, kerajaan Lamuri dan Samudra Pasai di pesisir utara Aceh.

Pada awal abad ke 16 M, berdirilah kerajaan Islam Aceh Darussalam yang berbentuk kesultanan Aceh dengan raja pertamanya Sultan Ali Mughayat Syah (1513-1530) putra dari sultan Syamsu Syah dan cucu dari sultan Inayat Syah dari kerajaan Lamuri. Kerajaan Aceh Darussalam yang lahir pada tanggal 12 Dzulqa’idah 916 (1513 M) adalah sebuah kerajaan Federasi yang terdiri dari kerajaan Islam Peureulak, kerajaan Islam Samudra Pasai, kerajaan Lamuri, kerajaan Islam Lamno Jaya, kerajaan Islam Lingge, kerajaan Islam Pedir dan kerajaan Islam Teuming. Peleburan kerajaan-kerajaan Islam Aceh dalam satu wadah itu kemudian diberi nama kerajaan Aceh Raya Darussalam, atau lebih dikenal dengan proklamasi Samudra Pasai.

Kerajaan Aceh Darussalam mencapai masa keemasannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Ia mampu menempatkan kerajaan Islam di Aceh pada peringkat kelima di antara kerajaan terbesar Islam di dunia pada abad ke 16. Kelima kerajaan Islam tersebut adalah kerajaan Islam Turki Utsmani di Istanbul, kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara, kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah, kerajaan Islam Akra di India dan kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara. (Mutiara Fahmi, tesis: Gerakan Kemerdekaan di Aceh dalam pertimbangan Hukum Islam, 2006, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hlm. 70-72)

Lalu kenapa Aceh pernah sangat ingin memisahkan diri dari NKRI?

Berikut ini adalah beberapa faktor kenapa Aceh pernah ingin memisahkan diri dari NKRI:

Sikap pemimpin RI yang dipandang oleh Tgk. Daud Beureueh telah menyimpang dari jalan yang benar.

Karena pada waktu itu Presiden Sukarno pernah berjanji memberikan hak kepada Aceh untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan syari’at Islam dan janji tersebut tak pernah diwujudkan. Hal ini diperkuat oleh pengakuan saksi dan pelaku sejarah Tgk. H. Syech Marhaban Hasan yang menceritakan, saat kunjungan Soekarno ke Aceh, Soekarno pernah meminta kepada Tgk. Daud Beureueh untuk membantu perang bersenjata antara Indonesia dengan Belanda, Daud Beureueh menyanggupi asalkan dengan 2 syarat : perang yang dikobarkan adalah perang Fisabilillah dan rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan syari’at Islam di dalam daerahnya apabila perang telah usai. Akhirnya Soekarno menyanggupi 2 syarat tersebut, Namun, Daud Beureueh meragukan janji Soekarno dan meminta Soekarno untuk menuliskan janjinya tersebut di atas secarik kertas. Melihat hal itu, Soekarno langsung menangis terisak-isak dan merasa tidak dipercaya. Melihat Soekarno menangis, Daud Beureueh menjadi terharu dan kemudian berkata, “Bukan kami tidak percaya saudara presiden. Akan tetapi, hanya sekedar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang”. Lalu Soekarno menyeka air matanya dan menjawab: “Wallahi, Billahi, kepada Daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai syari-at Islam. Dan Wallahi, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan syari’at Islam di dalam daerahnya”. Menurut keterangan Daud Bereueh, karena iba hatinya melihat Presiden menangis terisak-isak, dirinya tak sampai hati lagi meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji Presiden Soekarno. (Ibid, hlm. 119-121)

Kekecewaan rakyat Aceh saat status propinsi Aceh yang belum genap berumur setahun dibubarkan oleh kebijakan Pemerintah Pusat dan menggabungkannya dengan Propinsi Sumatera Utara (yang berbeda latar belakang serta kebudayaannya) dengan alasan yang cukup ironis yaitu karena bertentangan dengan hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang hanya mengakui 10 propinsi dalam wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS). Padahal, RIS itu sendiri justru lahir dan mendapat pengakuan Internasional karena masih adanya Aceh sebagai satu-satunya wilayah modal Indonesia yang tidak dapat kembali di duduki oleh Belanda dalam perjuangan fisik. (Ibid, hlm. 121)

Saat Aceh masih menjadi sebuah Negara, Aceh tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada Belanda, sehingga secara hukum, Aceh bukan Hindia Belanda dan dengan demikian saat Hindia Belanda menjadi Indonesia, Aceh tidak secara otomatis berada di dalamnya. Menurut teori Ilmu Negara dan Hukum Internasional, bangsa dan Negara Aceh belum lebur tapi bermasalah. Hilangnya status suatu bangsa dan negara menurut Sofyan Ibrahim Tiba, SH (juru runding Gerakan Aceh Merdeka) karena satu dari dua alasan, yaitu alasan alam, seumpama buminya hancur atau tenggelam. Dan alasan sosial politik, jika negara atau bangsa itu telah menggabungkan diri ke dalam atau bersama bangsa lain. Oleh karena itu, menurut GAM, penggabungan Aceh ke dalam Indonesia saat proklamasi 17 Agustus 1945 belum sah dan merupakan kekeliruan ketata-negaraan. Aceh menurutnya, sejak proklamasi tidak pernah menyatakan bergabung dengan NKRI seperti halnya Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman melalui keputusan Kotikokootai (Dewan Perwakilan Rakyat) tanggal 19 Agustus 1945. (Ibid, hlm. 141-142)

Karena perlakuan tidak adil dari pemerintah pusat terhadap Aceh. Seperti sikap sentralistik pemerintah Orba terhadap Aceh yang telah melahirkan kesenjagan sosial-ekonomi yang cukup mencolok di daerah istimewa Aceh. Sebagai contoh, penerimaan APBD propinsi Daerah Istimewa Aceh tahun 1997/1998 hanya berkisar 150 milyar dari +/- Rp. 32 triliun yang disumbangkannya untuk negara pada tahun yang sama. Artinya, apa yang diterima Aceh tidak sampai 0,5 % dari total yang disumbangkannya. (lihat Said Mudhakar Ahmad, Masalah Aceh: Dilema antara Sikap, Martabat dan Rasa Keadilan, Waspada (Harian), Medan 31 Agustus 1998). (Ibid, hlm. 82).

Alih-alih ingin mengamankan situasi dari tindakan suatu gerakan yang disebut pemerintah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM), banyak korban sipil yang menjadi korban pelanggaran HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against Humanity) dalam pemberlakuan status DOM tersebut. Seperti adanya pembunuhan, adanya penyiksaan atau penganiayaan baik secara fisik maupun mental, adanya penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, adanya kekerasan seksual, adanya penghilangan paksa dll. (untuk mengetahui lebih jauh tentang jumlah korban DOM, lihat buku yang ditulis oleh Al-Chaidar, (Ibid, hlm. 84).

Karena efek dari kesalahpahaman teman saya inilah yang akhirnya membuat saya menjadi jatuh cinta pada Aceh dan masa lalunya. Seharusnya mereka yang kontra terhadap pemberlakuan syari’at Islam di Aceh dengan alasan karena terbentur dengan undang-undang yang ada di atasnya bisa mengingat kembali janji dan sumpah Presiden Sukarno dulu terhadap Tgk Daud Beureueh-khususnya pada rakyat Aceh.

Apakah Wanita yang Sudah Menapause Boleh Buka Aurat?

Pertanyaan:

Apakah wanita yang sudah tua/menoupose boleh melepas jilbabnya dan terlihat auratnya.. karena banyak ibu2 yang sudah tua terlihat leher, lengan atau kakinya berdalih dengan firman Allah

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاء اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya : “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), mereka tidak berdosa untuk menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan bersifat iffah (menjaga kesucian) adalah lebih baik bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nur: 60)

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Sebelumnya perlu dibedakan antara dalil dan cara menyimpulkan dalil. Dalil dari al-Quran wajib kita yakini keabsahannya, tapi cara menyimpulkan dalil belum tentu sesuai kebenaran.

Ketika sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu bertemu dengan gerombolan khawarij, mereka mengkafirkan Ali, berdalil dengan firman Allah,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. al-Maidah : 44).

Mendengar komentar mereka, Ali bin Abi Thalib mengatakan,

كَلِمَةُ حَقٍّ أُرِيدَ بِهَا بَاطِل

“Ucapan yang hak (benar), namun digunakan untuk membela kebatilan” (HR. Ibnu Hibban 6939)

Dalil yang digunakan orang khawarij adalah al-Quran, dan kita tidak mungkin mengingkarinya. Sementara cara memahami ayat itu sangat menyimpang, hingga dijadikan alasan mengkafirkan Ali bin Abi Thalib.

Karena itu, tugas orang yang hendak membuat kesimpulan hukum dari dalil, dia harus memastikan, dalilnya benar dan cara pendalilannya juga benar. Salah satu upaya yang bisa kita lakukan adalah dengan merujuk pada keterangan ulama ahlus sunah. Imam Ahmad pernah memberi nasehat kepada muridnya, Abul Hasan al-Maimuni,

أبا الحسن؛ إياك أن تتكلم في مسألة ليس لك فيها إمام

Wahai Abul Hasan, jangan sampai kamu menyampaikan permasalahan yang di sana kamu tidak memiliki imam (ulama pendahulu). (Manaqib al-Imam Ahmad, Ibnul Jauzi)

Keterangan Ulama untuk Surat an-Nur: 60

Kita akan mengulang dalil yang anda sebutkan.

Allah berfirman,

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاء اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan bersifat iffah (menjaga kesucian) adalah lebih baik bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nur: 60)

Makna ayat:

[1] perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin

Al-Qurthubi menukil perkataan Rabi’ah,

قال ربيعة: هي التي إذا رأيتها تستقذرها من كبرها؛ وقال أبو عبيدة: اللاتي قعدن عن الولد، وليس ذلك بمستقيم لأن المراة تقعد عن الولد وفيها مستمتع، قاله المهدوي

“Rabi’ah mengatakan, “Mereka adalah para wanita yang jika kamu melihatnya, kamu merasa risih kepadanya karena sudah tua.” Abu Ubaidah mengatakan, ‘Diterjemahkan para wanita yang tidak bisa melahirkan anak. Tapi ini tidak sesuai, karena ada wanita yang tidak bisa melahirkan anak, sementara masih terlihat indah lelaki. Demikian keterangan al-Mahduwi.” (Tafsir al-Qurthubi, 12/309)

Berarti, termasuk pemahaman yang tidak benar bahwa wanita menapause pada ayat di atas yang diartikan sebagai wanita yang tidak haid. Karena wanita di awal-awal usia menapause masih terlihat menarik. Sehingga yang benar, seperti keterangan yang disampaikan al-Qurthubi, yang dimaksud wanit di sini adalah wanita yang sama sekali tidak membuat lelaki tertarik, bahkan terasa risih jika melihatnya.

[2] pakaian yang boleh dilepaskan

Pada ayat di atas ada pernyataan, ‘mereka tidak berdosa untuk menanggalkan pakaian mereka’..

Pakaian apakah yang dimaksud di sini?

Yang dimaksud pakaian di sini adalah pakaian luar, seperti abaya atau kain penutup luaran. Dan bukan maksudnya membuka aurat.

Al-Alusi mengatakan,

يعني الثياب الظاهرة التي لا يفضي وضعها لكشف العورة كالجلباب والرداء والقناع الذي فوق الخمار

Maksudnya adalah pakaian luaran, yang ketika dilepas tidak menyebabkan terbuka auratnya, seperti jilbab luar, kerudung luar, atau kain penutup yang berada di atas pakaian. (Tafsir al-Alusi, 14/11)

Bahkan al-Jashas menegaskan bahwa ulama sepakat siapapun wanita tidak boleh membuka auratnya, baik tua maupun muda. Al-Jashas mengatakan,

لا خلاف في أن شعر العجوز عورة لا يجوز للأجنبي النظر إليه كشعر الشابة، وأنها إن صلت مكشوفة الرأس كانت كالشابة في فساد صلاتها

Tidak ada perbedaan diantara ulama bahwa rambut nenek-nenek tidak boleh diperlihatkan kepada lelaki yang bukan mahram, sebagaimana rambut wanita muda. Dan nenek-nenek yang shalat dengan kepala terbuka, shalatnya batal sebagaimana wanita muda.

Lalu al-Jashas mengatakan,

إنما أباح للعجوز وضع ردائها بين يدي الرجال بعد أن تكون مغطاة الرأس، وأباح لها بذلك كشف وجهها ويدها لأنها لا تشتهى

Yang dibolehkan bagi nenek-nenek adalah melepaskan kerudung luar di depan lelaki lain, dengan tetap tertutup kepalanya. Dan dia boleh membuka wajah dan tangannya, karena tidak ada daya tarik lagi. (Ahkam al-Quran, 5/196).

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)