Taubatnya Wanita Pezina


DALAM Islam kita dilarang untuk mendekati zina. Maka, melakukannya pun sudah pasti mendapat larangan keras. Hal ini termasuk ke dalam kategori dosa besar. Dan orang yang melakukannya, ketika di dunia, harus dihukum dengan hukuman yang berat. Hukuman apa itu? Dalam Islam, pelaku zina diberi hukuman dilempari batu hingga wafat, jika ia telah menikah. Dan memperoleh hukuman rajam dan diasingkan, jika ia belum menikah.

Hanya saja, zaman sekarang ini, pelaku zina sudah mulai dilakukan secara terang-terangan. Hanya saja, hukuman Islam itu tidak diberlakukan di negara kita. Hanya ada hukuman diasingkan, yakni dipenjara, jika ia terbukti berlaku zina.

Bagi Anda yang kini masih mendekati atau pun berbuat zina, maka belajarlah dari sosok wanita dari Bani Juhainah. Tak ada seorang manusia pun yang tahu bahwa ia telah berbuat zina. Tetapi, tak disangka bahwa ia mendatangi Rasulullah dan mengaku telah berbuat zina.

Wanita itu menemui Rasulullah dalam keadaan hamil. Ia mengaku bahwa anak yang tengah dikandungnya itu merupakan hasil dari zina. Kemudian ia meminta agar Rasul memberikan hukuman padanya. Hanya saja, Rasulullah tidak melakukannya. Beliau menyuruh wanita itu untuk menemuinya kembali jika sudah melahirkan.

Sembilan bulan berlalu, wanita tersebut telah melahirkan. Kemudian, ia kembali mendatangi Rasulullah . Tetapi, Rasulullah masih bersikap sama. Beliau memintanya untuk kembali menemuinya jika masa menyusui anak itu telah habis.

Waktu terus berlalu. Menginjak dua tahun kemudian, anak dari wanita itu tidak lagi menyusui padanya. Kemudian, wanita tersebut datang lagi menemui Rasulullah. Kali ini, tanggapan beliau berbeda. Ia pun memberikan hukuman rajam pada wanita itu. Alhasil, wanita tersebut dirajam hingga wafat.

Nasib anak itu diberikan pada orang yang mau untuk mengasuhnya. Dan Rasulullah memberikan jaminan pahala bagi mereka yang mau merawat anak dari wanita itu.

Setelah wanita itu wafat, Rasulullah ﷺ menyolatkannya. Hal ini tentu membuat Umar merasa heran. Umar pun berkata, “Engkau menyolatkan dirinya, wahai Nabi Allah, padahal dia telah berbuat zina?” Beliau bersabda, “Wanita ini telah bertaubat dengan taubat yang seandainya taubatnya tersebut dibagi kepada 70 orang dari penduduk Madinah maka itu bisa mencukupi mereka. Apakah engkau dapati taubat yang lebih baik dari seseorang mengorbankan jiwanya karena Allah Ta’ala?” (HR. Muslim no. 1696).

Sungguh indah nasib pezina itu. Ia tidak mensia-siakan kesempatan hidup yang masih diberikan oleh Allah padanya. Ia mengakui kesalahannya dan bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya taubat. Ia rela tidak merasakan lagi dunia, hanya untuk memenuhi perintah Allah, yakni menebus kesalahannya dengan menjalani hukuman. Hasil usahanya ini membuahkan hasil yang sangat baik, yakni memperoleh surga, tempat terindah sepanjang masa.

Cara Shalat Ibu Hamil


Cara Shalat Ibu Hamil

Apakah ada anak d kandungan tetap wajib shalat?. Llau bagaimn cara shalat ibu hamil?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ibu hamil statusnya sama seperti yang lainnya, sama-sama mendapatkan kewajiban syariat. Karena itu, mereka berkewajiban melakukan shalat atau ibadah yang lainnya, sebagaimana muslim yang lain.

Bagaimana Cara Shalatnya?

Kaidah dalam masalah perintah adalah lakukan semampunya, karena Allah tidak membebani jiwa di luar kemampuannya. Allah berfirman,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Bertaqwalah kepada Allah semampu kalian. (QS. at-Taghabun: 16)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Apabila aku perintahkan kalian, maka lakukanlah semampu kalian. (HR. Bukhari 7288 & Muslim 1337)

Posisi orang yang shalat, ada 3:

[1] berdiri, dan ini posisi utama
[2] duduk, dan ini posisi pengganti pertama jika posisi berdiri tidak bisa
[3] berbaring, dan ini posisi pengganti kedua jika posisi duduk tidak bisa

Dulu ada sahabat bernama Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, beliau terkena bawasir. Ketika beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tata cara shalat, beliau mengatakan,

صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu, kerjakan sambil duduk, jika tidak mampu, kerjakan dengan berbaring miring. (HR. Bukhari 1117).

Berdasarkan keterangan di atas, ibu hamil yang memungkinkan untuk shalat secara sempurna sebagaimana muslim yang lain, maka dia harus shalat dengan sempurna. Berdiri tegak, rukuk sempurna, sujud sempurna, dan duduk sempurna.

Jika tidak bisa berdiri sama sekali, misal karena alasan kelelahan, maka bisa shalat sambil duduk. Dan dianjurkan untuk duduk bersila.

Dari A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan,

رَأَيْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يُصَلِّي مُتَرَبِّعاً

“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sambil duduk bersila.” (HR. Nasa’i 1672, Daruquthni 1499 & disahihkan al-Albani)

Jika tidak bisa sebagian, dia kerjakan yang bisa dilakukan, sementara yang lain dilakukan dengan isyarat pengganti.

Misalnya, bisa berdiri, tapi tidak bisa rukuk atau sujud. Dalam hal ini, ibu hamil bisa membaca surat sambil berdiri, isyarat rukuk sambil berdiri, seperti membungkuk sedikit sebisanya. Kemudian sujudnya dilakukan dengan isyarat sambil duduk di kursi.

Imam Ibnu Qudamah menjelaskan,

ومن قدر على القيام وعجز عن الركوع أو السجود لم يسقط عنه القيام ويصلي قائما فيومئ بالركوع ثم يجلس فيومئ بالسجود وبهذا قال الشافعي

Orang yang mampu berdiri, namun tidak bisa rukuk dan sujud, maka kewajiban berdiri tidak menjadi gugur baginya. Namun dia tetap shalat sambil berdiri, dan berisyarat ketika rukuk (dengan posisi berdiri). Kemudian duduk dan berisyarat untuk sujud. Dan ini merupakan pendapat as-Syafii. (al-Mughni, 1/813).

Dalam hal ini berlaku kaidah,

الميسور لا يسقط بالمعسور

Bagian yang mudah, tidak menjadi gugur karena ada bagian yang susah.



Demikian, semoga bermanfaat, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Siapa itu Sabi’in yang Sering Disebutkan Dalam Al-Quran?



Siapa itu Sabi’in?

Siapa itu shabi’in? mohon penjelasan.. mengapa mereka bisa masuk surga, sementara orang musyrik tidak?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Dalam al-Quran, kata shabi’in disebutkan 3 kali:

[1] Firman Allah di surat al-Baqarah:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحاً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 62)

[2] Firman Allah di surat al-Maidah:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحاً فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Maidah: 69)

[3] Firman Allah di surat al-Hajj:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصَارَى وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا إِنَّ اللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (QS. Al-Hajj: 17)

Makna Shabiin

Secara bahasa, kata Shabiin [الصَّابِئِينَ] merupakan bentuk jamak. Kata tunggal (mufrad)-nya Shabi’ [صابئ], dari kata shaba’a – yasba’u yang artinya keluar meninggalkan satu agama ke agama yang lain. Istilah lainnya shabi’ah.

At-Thabari mengatakan,

والصابئون ، جمع صابئ ، وهو المستحدث سوى دينه دينا ، كالمرتد من أهل الإسلام عن دينه ، وكل خارج من دين كان عليه إلى آخر غيره ، تسميه العرب : صابئا

Shabiun bentuk jamak dari kata shabi’, yaitu orang yang membuat agama baru di luar agama yang dia sebelumnya. Seperti orang muslim yang murtad dari agamanya. Dan semua orang yang keluar meninggalkan agama sebelumnya lalu berpindah ke agama yang lain, disebut orang arab dengan shabi’. (Tasir at-Thabari, 2/145).

Sementara makna secara istilah, kata shabi’ digunakan untuk menyebut semua orang yang mengikuti ajaran agama baru, yang berbeda dengan agama masyarakatnya. Dulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disebut shabi’ oleh orang musyrikin, terutama paman beliau, Abu Lahab.

Rabi’ah bin Ibad bercerita pengalamannya yang kala itu masih jahiliyah,

Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di pasar Dzi Majaz, terus mengajak masyarakat,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، تُفْلِحُوا

“Wahai manusia, ucapkanlah Laa ilaaha illallah… kalian akan beruntung.”

Beliau masuk ke lorong-lorong jalan. Banyak orang yang mengerumuni beliau, dan tidak ada satupun berkomentar, sementara beliau tidak henti-hentinya menyatakan,

“Wahai manusia, ucapkanlah Laa ilaaha illallah… kalian akan beruntung.”

Hanya saja di belakang beliau ada orang yang wajahnya sangat putih, jambulnya menjuntai – itulah Abu Lahab – dia selalu mengatakan,

إِنَّهُ صَابِئٌ، كَاذِبٌ

“Dia itu shabi’ (pembawa agama baru), pendusta.

Saya bertanya, ‘Siapa ini?’

Mereka mengatakan, “Muhammad bin Abdillah. Dia mengaku jadi nabi.”

‘Lalu siapa yang menyebutnya dusta?’ tanyaku.

“Pamannya, Abu Lahab.” Jawab mereka.

(Ahmad 16023 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut shabi’, karena beliau membawa ajaran agama baru yang tidak dikenal masyarakatnya. Meskipun sejatinya itu ajaran tauhid, millah Ibrahim ‘alaihis salam yang sudah dilupakan masyarakat Jahiliyah.

Berangkat dari makna ini, kata shabi’ bisa digunakan untuk menyebut orang yang agamanya baik dan bisa juga digunakan untuk menyebut penganut agama sesat.

Ibnul Qoyim mengatakan,

الصابئة أمة كبيرة ، فيهم السعيد والشقي ، وهي إحدى الأمم المنقسمة إلى مؤمن وكافر

Shabi’ah termasuk umat yang besar. Ada yang baik (lurus) dan ada yang celaka (menyimpang). Dan ini termasuk salah satu umat yang terbagi menjadi mukmin dan kafir.

Kemudian Ibnul Qoyim menyebutkan dalil ayat di atas. Lalu beliau mengatakan,

وهم أنواع : صابئة حنفاء ، وصابئة مشركون . وكانت حران دار مملكة هؤلاء قبل المسيح ، ولهم كتب وتآليف وعلوم ، وكان في بغداد منهم طائفة كبيرة ، منهم إبراهيم بن هلال الصابئ صاحب الرسائل ، وكان على دينهم ويصوم رمضان مع المسلمين ، وأكثرهم فلاسفة

Shabi’ah itu bermacam-macam, ada shabi’ah hanif (pengikut tauhid) dan ada shabi’ah musyrik. Dan daerah Harran merupakan tempat kerajaan mereka sebelum al-Masih. Mereka memiliki kitab, tulisan-tulisan, dan artikel. Di Baghdad ada banyak penganutnya. Diantara mereka Ibrahim bin Hilal as-Shab’i, penulis beberapa karya. Dia menganut shabi’ah, berpuasa Ramadhan seperti kaum muslimin. Dan mayoritas mereka orang-orang filsafat. (Ahkam Ahli az-Dzimmah, 1/236 – 238)

Siapakah Shabiin yang Dijamin Surga?

Pada 2 ayat di atas, yaitu al-Baqarah: 62 dan al-Maidah: 69, Allah Ta’ala menjamin, siapapun diantara shabiin yang beriman dan beramal shaleh, maka mereka masuk surga.

Ayat ini memiliki Sababun Nuzul. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Mujahid, dari Salman al-Farisi Radhiyallahu ‘anhu,

سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن أهل دين كنت معهم، فذكرت من صلاتهم وعبادتهم، فنزلت: {إن الذين آمنوا والذين هادوا والنصارى والصابئين

Aku pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang para penganut agama yang dulu aku ikuti. Aku sebutkan cara shalat mereka dan ibadah mereka. Lalu Allah menurunkan firman-Nya, .. di surat al-Baqarah: 62).

Karena itu, shabi’in yang dijamin surga sebelum ada Nabi, adalah mereka yang beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal shaleh. Sementara setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, semua manusia wajib menjadi pengikut beliau, tanpa kecuali.

Allahu berfirman,

وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ

Akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”. (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka… (QS. Al-A’raf: 156 – 157)

Yang dimaksud sang Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan,

وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ! لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هـٰذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Demi Rabb yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak seorangpun dari umat ini, baik Yahudi atau Nasrani yang mendengar diutusnya aku (Muhammad), lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan ajaran yang aku bawa (Islam), niscaya dia termasuk penghuni neraka. (HR. Muslim 153)

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Apakah Arasy itu Makhluk?


Arsy itu Makhluk

Apakah arsy itu makhluk? Mohon penjelasannya sesuai Al-Quran dan hadis, matur suwun

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Dalam kitab al-Ushul ats-Tsalatsah (3 landasan utama), Imam Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi mengatakan,

وكل ما سوى الله عالم، وأنا واحد من ذلك العالم

“Semua selain Allah adalah alam. Dan saya salah satu bagian dari alam.” (al-Ushul ats-Tsalarsah, hlm. 3)

Dan Arsy selain Allah, sehingga Arsy termasuk alam. Dan Allah Rab semesta alam. Allah berfirman,

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Segala puji bagi Allah, Rab semesta alam.” (QS. Al-Fatihah)

Allah juga menyatakan bahwa Dia Rabnya Arsy. Allah berfirman,

وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

“Dan Dia Rab al-Arsy yang agung.” (QS. At-Taubah: 129)

Allah juga berfirman,

فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ

“Maka Maha Suci Allah Rab ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al-Anbiya: 22)

Allah juga berfirman,

فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Rab ‘Arsy yang mulia. (QS. Al-Mukminun: 116).

Dalil tentang ini sangat banyak, yang menunjukkan bahwa Arsy adalah makhluk Allah.

Karena Allah adalah Sang Khaliq, sehingga segala sesuatu selain Allah adalah makhluk ciptaan-Nya. Allah berfirman,

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ

“Allah yang menciptakan segala sesuatu.” (QS. Ar-Ra’d: 16 dan az-Zumar: 62).

Para ulama sepakat, Arsy adalah makhluk

Ada beberapa penegasan dari para ulama bahwa Arsy adalah makhluk. Diantaranya,

[1] Penegasan dari Ibnu Hazm,

اتفقوا أن الله وحده لا شريك له ، خالق كل شيء غيره ، وأنه تعالى لم يزل وحده ، ولا شيء غيرُه معه ، ثم خلق الأشياء كلَّها كما شاء، وأن النفس مخلوقة، والعرش مخلوق، والعالم كله مخلوق


Ulama sepakat bahwa Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, pencipta segala sesuatu selain Dia. Dia selalu Maha Esa. Tiada sesuatu selain Allah yang membersamai-Nya. Kemudian Dia mencipatakan segala sesuatu sesuai yang Dia inginkan. Jiwa itu makhluk, arsy itu makhluk, dan alam semuanya adalah makhluk. (Maratib al-Ijma’, hlm. 167).

[2] Keterangan Syaikhul Islam,

العرش مخلوق أيضا فإنه يقول: ” وهو رب العرش العظيم ” وهو خالق كل شيء: العرش وغيره ورب كل شيء: العرش وغيره


Arsy juga makhluk, karena Allah berfirman, (yang artinya), “Dia Rab Arsy yang agung.” Dia menciptakan segala sesuatu, arsy dan yang lainnya. Rab segala sesuatu, arsy dan yang lainnya. (Majmu’ Fatawa, 18/214).

[3] Keterangan ad-Dzahabi,

وسلف الأمة وأئمتها يقولون: إن القرآن والسنة قد دلا على أن العرش مخلوق من مخلوقات الله تعالى خلقه وأوجده؛ قال تعالى {وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ} [التوبة 129] ، فالعرش موصوف بأنه مربوب وكل مربوب مخلوق، فالعرش مخلوق من مخلوقات الله

Generasi umat masa silam dan para ulamanya mengatakan bahwa al-Quran dan Sunah menegaskan, bahwa Arsy merupakan salah satu makhluk Allah Ta’ala. Allah yang menciptakan-Nya dan mewujudkan-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Dia Rab al-Arsy yang agung.” (QS. At-Taubah: 129). Arsy disifati dengan marbub. Dan semua yang marbub adalah makhluk. Sehingga Arsy termasuk salah satu makhluk Allah. (al-Arsy li ad-Dzahabi, 1/307).

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Apa Itu Nikah Sirri?


Nikah sirri atau “nikah ‘urfi/zawaj ‘urfi” memiliki dua pengertian atau definisi sebagaimana yang menyebar di masyarakat.

1. Nikah tanpa wali dan saksi
Ini hukumnya TIDAK SAH karena tidak terpenuhi rukun san syarat nikah

2. Nikah dengan memenuhi sempurna syarat dan rukunnya, akan tetapi tidak terlalu disebar luaskan, hanya beberapa orang atau kelompok yang tahu dan pernikahan ini tidak dicatat di KUA pendapat terkuat hukum SAH akan tetapi berdosa karena tidak patuh dengan aturan pemerintah/waliyul ‘amr

Berikut pembahasannya:

Nikah tanpa wali dan saksi


Ini hukumnya TIDAK SAH karena tidak terpenuhi rukun sah syarat nikah
Semisal dua sejoli yang tidak direstui kedua orang tua lari bersama kemudian menikah tanpa wali atau tanpa saksi
Nikahnya tidak sah karena nikah harus ada wali. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻻَ ﻧِﻜَﺎﺡَ ﺇِﻻَّ ﺑِﻮَﻟِﻲٍّ، ﻭَﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥُ ﻭَﻟِﻲُّ ﻣَﻦْ ﻻَ ﻭَﻟِﻲَّ ﻟَﻪُ .

“Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali, dan penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali.”[1]

Diriwayat yang lain,

ﻻَ ﻧِﻜَﺎﺡَ ﺇِﻻَّ ﺑِﻮَﻟِﻲٍّ، ﻭَﺷَﺎﻫِﺪَﻱْ ﻋَﺪْﻝٍ .

“Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali dan dua orang saksi yang adil.”[2]

Allah berfirman,

ﻭَﻟَﻜِﻦ ﻻَّ ﺗُﻮَﺍﻋِﺪُﻭﻫُﻦَّ ﺳِﺮًّﺍ

“…Dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia” (Al-Baqarah/2: 235).

Nikah dengan memenuhi sempurna syarat dan rukunya, akan tetapi tidak terlalu disebar luaskan, hanya beberapa orang atau kelompok yang tahu dan pernikahan ini tidak dicatat di KUA



Pendapat terkuat hukumnya SAH akan tetapi berdosa karena tidak patuh dengan aturan pemerintah/waliyul ‘amr.

Terdapat perselisihan ulama mengenai hukum nikah ini apakah sah atau tidak, pendapat terkuat ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,

ﻓﺈﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺍﻟﻌﺮﻓﻲ ﻗﺪ ﺗﻢَّ ﺑﺈﻳﺠﺎﺏ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻟﻲ ﻭﻗﺒﻮﻝ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻭﺝ، ﻭﺷﻬﺪ ﻋﻠﻴﻪ ﺷﺎﻫﺪﺍﻥ، ﻭﺟﺮﻯ ﺍﻹﻋﻼﻥ ﻋﻨﻪ، ﻓﻬﺬﺍ ﺯﻭﺍﺝ ﺷﺮﻋﻲٌّ ﺻﺤﻴﺢ، ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺴﺠﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻭﺍﺋﺮ ﺍﻟﺮﺳﻤﻴﺔ،

“Apabila nikah ‘urfi telah sempurna ijab dan qabulnya, disaksikan oleh dua orang saksi dan telah diumumkan, maka ini adalah pernikahan yang syar’i dan sah. Walaupun tidak dicatat di kantor resmi (KUA).”[3]

Karena sudah ada saksi dan dihadiri oleh beberapa orang dan keluarga dekat, ini sudah termasuk i’lan (pengumuman) dan bukan rahasia lagi. Hanya saja tidak tercatat di KUA dan tidak tersebar lebih luas atau pengumuman menyebar lebih luas.

Demikian juga fatwa dari Al-Lajnah Ad-Da`imah menjelaskan bahwa nikah ini sah akan tetapi mencatatnya di KUA hukumnya wajib,

إذا تم القبول والإيجاب مع بقية شروط النكاح وانتفاء موانعه صح، وإذا كان تقييده قانونا يتوقف عليه ما للطرفين من المصالح الشرعية الحاضرة والمستقبلة للنكاح وجب ذلك

“Apabila telah sempurna akad ijab qabul dan semua syarat nikah telah terpenuhi serta tidak ada penghalang yang membatalkan akad tersebut, maka pernikahan semacam ini hukumnya adalah sah. Apabila terdapat peraturan/undang-undang bahwa pencatatan akad nikah membawa masalahat bagi kedua mempelai baik untuk masa sekarang maupun masa depan, maka pencatatan akad ini (pencatatan di KUA) wajib dipatuhi.”[4]

Tidak mencatatkan nikah di KUA hukumnya berdosa karena ini merupakan perintah syariat agar taat dan patuh kepada penguasa selama tidak melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya.

Allah berfirman,

يُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu” (QS. An-Nisa’: 59).

Terlebih-lebih pencatatan ini sangat bermanfaat untuk beberapa kasus ke depan dan sebagai penguat apabila saksi lupa atau telah meninggal, atau untuk kasus semisal mahar yang tertunda ditunaikan dan beberapa permasalahan lainnya.

Demikian semoga bermanfaat
Artikel Muslim.or.id

Catatan kaki:
[1]. HR. At-Tirmidzi no. 1102, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ VI/203 dan al-Irwaa’ VI/238
[2]. HR. ‘Abdurrazzaq VII/215 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa’ no. 1858.
[3] Majmu’ Fatawa 8/220
[4] Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah no. 7910, pertanyaan ketiga

Jual Beli Inden itu Dilarang?


Pertanyaan : 
Apa hukum inden barang dengan bayar DP. Dimana penjual belum memiliki barang. Apakah ini termasuk menjual barang yang belum dimiliki?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Diantara bentuk transaksi yang terlarang adalah jual beli utang dengan utang. Dasar larangan ini adalah konsensus (ijma’) ulama bahwa transaksi al-Kali’ bil Kali – jual beli utang dengan utang – hukumnnya terlarang.

Imam as-Syafii dalam kitabnya al-Umm pernah membahas hukum menjual barang yang masih dalam tanggungan. Beliau mengatakan,

والمسلمون ينهون عن بيع الدين بالدين


“Kaum muslimin dilarang untuk jual beli utang dengan utang.” (al-Umm, 4/30)

Pernyataan kesepakatan ulama,

Ibnu Qudamah menukil keterangan ijma’ ulama dari Ibnul Mundzir,

قال ابن المنذر: أجمع أهل العلم على أن بيع الدين بالدين لا يجوز. وقال أحمد : إنما هو إجماع


Ibnul Mundzir mengatakan, ‘Ulama sepakat bahwa jual beli utang dengan utang tidak boleh. Imam Ahmad mengatakan, “Ulama sepakat dalam masalah ini.” (al-Mughni, 4/186).

Ijma’ inilah yang menjadi landasan kita untuk menyatakan bahwa jual beli utang dengan utang hukumnya terlarang.

Pengertian Jual Beli Utang dengan Utang

Kata al–Kali’ [الكالئ] secara bahasa artinya sesuatu yang tertunda (nasiah). Dari kata kala-a ~ yakla-u [كلأ – يكلأ] yang artinya tertunda. (an-Nihayah, Ibnul Atsir, 4/194)

Dalam kitab al-Muwatha’, terdapat penjelasan tentang jual beli al-Kali’ bil Kali

وَالْكَالِئُ بِالْكَالِئِ أَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ دَيْنًا لَهُ عَلَى رَجُلٍ بِدَيْنٍ عَلَى رَجُلٍ آخَرَ


Jual beli al-Kali’ bil Kali adalah seseorang (si A) menjual barang miliknya yang masih terutang kepada pembeli (si B) dengan pembayaran yang masih terutang di tempat orang lain (si C). (Muwatha’ Malik, 2/659)

Diantara menjual barang yang belum dimiliki dengan pembayaran yang tidak tunai. Karena yang terjadi adalah tukar menukar barang yang belum ada, dengan uang yang juga belum ada.

Definisi ini dinyatakan an-Nawawi dalam al-Majmu’,

لا يجوز بيع نسيئة بنسيئه بأن يقول بعني ثوبا في ذمتي بصفته كذا إلى شهر كذا بدينار مؤجل إلى وقت كذا فيقول قبلت وهذا فاسد بلا خلاف


Tidak boleh menjual utang dengan utang. Bentuknya ada pembeli mengatakan,

“Tolong jual sehelai kain untukku tertunda dengan kriteria tertentu, dan tolong serahkan bulan sekian, dengan harga 1 dinar dibayar kredit sampai tanggal sekian.”

Kemudian penjual menerimanya.

Transaksi ini batal, tanpa ada perbedaan pendapat ulama. (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 9/400).

Bahkan Syaikh Islam membatasi, bahwa bentuk jual beli kali’bil kali’ yang terlarang hanya bentuk ini. Beliau mengatakan,

وإنما ورد النهي عن بيع الكالئ بالكالئ والكالئ هو المؤخر الذي لم يقبض بالمؤخر الذي لم يقبض وهذا كما لو أسلم شيئا في شيء في الذمة وكلاهما مؤخر فهذا لا يجوز بالاتفاق وهو بيع كالئ بكالئ


Adanya larangan jual beli kali’ bil kali – al-Kali’ artinya tertunda yang belum ada di tangan, ditukar dengan sesuatu yang juga belum ada di tangan. Ini seperti orang yang melakukan akad salam untuk barang yang masih dalam tanggungan dengan bayaran tertunda, sehingga keduannya tertunda. Jual beli semacam ini tidak boleh dengan sepakat ulama. itulah ba’I al-Kali’ bil Kali’. (Majmu’ Fatawa, 20/512).

Contoh riil jual beli semacam ini di zaman kita adalah jual beli inden. Pesan barang kepada seorang penjual, sementara si penjual belum memiliki barang, dan konsumen diminta bayar DP.

Sebagai ilustrasi,

Mukidi pemilik konter HP. Datang Paijo hendak membeli HP merk ‘JaDe’. Saat itu Mukidi tidak punya barang yang dimaksud, dan Mukidi menjanjikan barangnya akan dipesankan ke produsennya dan akan datang sebulan lagi. Lalu Mukidi minta agar Paijo bayar DP dulu 10%. Lalu mereka melakukan akad dan transaksi, deal harga dan berpisah.

Ketika Paijo membayar DP, pembayarannya tidak tunai. Sehingga uang terutang. Sementara Mukidi belum memiliki barang. Sehingga barangnya juga terutang. Ketika ini ditransaksikan, jadilah tukar menukar antara utang dengan utang.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Roqib dan ‘Atid Bukan Nama Malaikat?

Benarkah Nama Malaikat Pencatat Amal itu Raqib dan Atit
Ilustrasi: Buku dan Kopi

Benarkah Nama Malaikat Pencatat Amal itu Raqib dan Atit?

Bismillah, wassholaatu wassalam ala Rasulillah, waba’du.

Informasi yang kita dapatkan terkait Roqib dan Atid, adalah nama dua malaikat pencatat amal. Roqib adalah malaikat yang mencatat amal baik, sedangkan Atid adalah pencatat amal buruk. Pernyataan ini disimpulkan dari firman Allah ta’ala,

إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17) مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ (18)


Wahai manusia, ingatlah ketika dua malaikat yang ditugaskan mencatat amal setiap amal manusia saling bertemu. Yang satu berada di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kirinya. Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya Raqib dan Atid. (QS. Qaaf: 17-18).


Namun yang mengejutkan, setelah kita mempelajari penjelasan para ulama, tentang makna Raqib dan ‘Atid pada ayat ini, ternyata tidak menunjukkan bahwa kedua sebutan ini adalah nama daripada dua malaikat pencatat amal.
Para ulama menjelaskan, bahwa raqib dan atid ini adalah dua sifat yang dimiliki oleh malaikat pencatat amal perbuatan, bukan sebagai nama dua malaikat. Jadi roqib itu sifat dan atid itu sifat. Sehingga pemaknaan yang tepat, malaikat pencatat amal yang berada di sebelah kanan memiliki sifat raqib dan atid. Demikian pula yang disebelah kiri, memiliki sifat raqib dan atid.

Lalu apa makna raqib dan apa makna atid?

Imam Qurtubi menjelaskan dalam kitab tafsir beliau,

Terkait makna Raqib ada tiga pendapat :
  • Yang senantiasa mengikuti
  • Penjaga, ini dinyatakan oleh As-Suddi
  • Saksi, dinyatakan oleh Ad-Dhohak.

Adapun Atid, ada dua pendapat :
  • Yang senantiasa menyertai tanpa pernah absen.
  • Penjaga yang disiagakan untuk menjaga hamba atau sebagai saksi atas amal perbuatan seorang hamba.

(Lihat kitab tafsir beliau, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Quran, untuk tafsiran surat Qaf ayat 18).

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin memberikan kesimpulan tentang makna Raqib dan Atid. Beliau menjelaskan,

(رقيب ) مراقب ليلاً ونهاراً ، لا ينفك عن الإنسان . ( عتيد ) حاضر ، لا يمكن أن يغيب ويوكل غيره ، فهو قاعد مراقب حاضر ، لا يفوته شيء.


Raqib adalah yang senantiasa mengawasi siang dan malam, tidak pernah berpisah dengan manusia.

Atid maknanya, yang senantiasa hadir, tidak mungkin absen atau mewakilkan tugas kepada yang lain. Dia selalu berada memgawasi dan hadir. Tidak ada satupun yang terluput.

(Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Ibnu ‘Utsaimin, hal. 93. Surat Al-Hujurat – Al Hadid).

Syaikh Sulaiman Al-Asyqor dalam buku beliau A’lam Al-Malaikah (Alam-Alam Malaikat), menyampaikan kritikan terhadap pernyataan yang menyebutkan bahwa raqib dan atid adalah nama dua malaikat pencatat amal,

يذكر بعض العلماء أن من الملائكة من اسمه رقيب وعتيد ، استدلالاً بقوله تعالى : ( ما يلفظ من قولٍ إلاَّ لديه رقيب عتيدٌ ) وما ذكروه غير صحيح ، فالرقيب والعتيد هنا وصفان للملكين اللذين يسجلان أعمال العباد ، ومعنى رقيب وعتيد أي : ملكان حاضران شاهدان ، لا يغيبان عن العبد ، وليس المراد أنهما اسمان للملكين


Sebagian ulama menyebutkan, bahwa diantara malaikat ada yang bernama Raqib dan Atid. Berdalil dengan firman Allah ta’ala, “Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya Raqib dan Atid.” Pernyataan mereka ini kurang tepat. Raqib dan Atid di sini maksudnya adalah dua sifat yang melekat pada dua malaikat yang mencatat amal perbuatan para hamba. Raqib dan atid maknanya, dua malaikat yang senantiasa hadir (di sisi manusia) dan menjadi saksi, dua malaikat yang tidak pernah absen dari seorang hamba. Dan bukanlah makna yang dimaksud, bahwa raqib dan atid ini adalah nama untuk dua malaikat. (A’lam Al-Malaikah, hal. 18).

Lantas siapa nama dua malaikat pencatat amal ini?

Bila kita melihat tekstual surat Qaf ayat 17 di atas, hanya disebutkan malaikat yang berada di sebelah kiri dan malaikat di sebelah kanan. Tidak ada dalil yang menjelaskan namanya. Maka, sikap yang tepat adalah mengikuti istilah-istilah yang digunakan oleh dalil. Kaidah yang berlaku dalam masalah iman kepada malaikat, di jelaskan oleh Syaikh Abdulkarim al-Hudair dalam salah satu sesi ceramah beliau,

ومنهم من بقي على الغيب، إنما أخبرنا عنه إجمالاً، فنؤمن به إجمالاً، وما أخبرنا عنه تفصيلاً يجب علينا أن نؤمن به تفصيلاً


Di antara malaikat ada yang tidak dikabarkan nama dan tugasnya, hanya dikabarkan secara global saja. Maka kita imani secara global. Malaikat yang dikabarkan kepada kita secara detail (seperti nama, tugas dan sifatnya), kita imani secara detail pula.

(http://shkhudheir.com/lecture/1569280081)

Di samping itu, pengetahuan terkait nama malaikat pencatat amal ini, tidak berpengaruh pada tambah dan berkurangnya amal. Cukup bagi seorang mengetahui subtansinya itu sudah cukup untuk memupuk ketakwaan. Yaitu ada malaikat yang berada di sebelah kanan, mencatat amal kebaikan dan malaikat di sebelah kiri kita, yang tugasnya mencatat amal keburukan.

Dari Abu Umamah, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

ان صاحب الشمال ليرفع القلم ست ساعات عن العبد المسلم المخطئ, فان ندم واستغفر الله منها ألقاها, والا كتبت واحدة


Sesungguhnya malaikat yang berada di sebelah kiri, akan mengangkat penanya selama enam jam, dari mencatat amal seorang hamba yang berbuat dosa. Jika dia menyesal dan memohon ampun kepada Allah atas dosa itu, maka malaikat itu tidak akan mencatatnya. Jika tidak, maka dosa itu akan dicatat sebagai satu dosa.

(HR. Tabrani, dinilai shahih dalam Shahih Al-Jami’ 2/212).

Demikian..

Wallahua’lam bis showab.Ditulis oleh: Ustadz Ahmad Anshori, Lc

https://konsultasisyariah.com/

Nikah Dibatalkan, Cincin Tunangan Dikembalikan?


Pertanyaan : " Saya sudah memberi cincin kepada seorang wanita sebagai tanda dia untuk menjadi istri saya lalu dia membatalkan nya bagaimana sikat saya?bahwa kedua belah pihak sudah setuju,terima kasih"

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Lamaran (khitbah) merupakan pengantar pernikahan. Sehingga, status khitbah hanya sebatas janji untuk menikah, dan bukan akad yang mengikat. Karena itu, membatalkan akad nikah setelah khitbah, diperbolehkan, karena ini merupakan hak masing-masing calon pasangan.

Bagian dari tradisi masyarakat kita, dalam kegiatan lamaran, umumnya terjadi pemberian hadiah. Calon suami memberikan hadiah ke calon istri atau sebaliknya. Termasuk diantaranya adalah cincin tunangan.

Jika akad nikah tidak jadi dilangsungkan, sementara calon suami telah memberikan hadiah ke calon istri, apakah hadiah harus dikembalikan?

Sebelumnya, kita akan membaca beberapa dalil yang membicarakan masalah hadiah,

[1] Hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِىَ عَطِيَّةً أَوْ يَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعَ فِيهَا إِلاَّ الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِى وَلَدَهُ


Tidak halal bagi seseorang yang memberi hadiah atau hibah, lalu dia menariknya kembali. Kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. (HR. Abu Daud 3541, Ibnu Hibban 5123 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

[2] Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


الرَّجُلُ أَحَقُّ بِهِبَتِهِ مَا لَمْ يُثَبْ مِنْهَا


“Seorang itu lebih berhak dengan hibahnya selama orang yang diberi belum membalasnya” (HR Ibnu Majah 2477 dan ad-Daruquthni 3014).

Secara eksplisit, dua hadis ini terlihat bertentangan. Hadis pertama secara tegas melarang menarik kembali pemberian, hibah atau hadiah yang sudah kita serahkan ke orang lain. Hadis kedua membolehkan menarik kembali hibah, selama belum dibalas.

Sayid Sabiq menyebutkan keterangan Ibnul Qoyim untuk memahami kompromi kedua hadis ini,

ويكون الواهب الذي لا يحل له الرجوع هو من وهب تبرعا محضا لا لاجل العوض، والواهب الذي له الرجوع هو من وهب ليتعوض من هبته، ويثاب منها


Pemberi hibah yang tidak halal menarik kembali hibahnya adalah orang yang memberi hibah secara suka rela – semata untuk tujuan sosial –, bukan untuk mengharapkan imbalan. Sementara pemberi hibah yang berhak menarik kembali hibahnya adalah orang yang memberi hibah karena mengharap imbalan dan balasan. (Fiqh as-Sunah, 2/33)

Kesimpulan ini, berdasarkan keterangan at-Turmudzi. Beliau mengatakan,

والعمل على هذا الحديث عند بعض أهل العلم من أصحاب النبى -صلى الله عليه وسلم- وغيرهم قالوا من وهب هبة لذى رحم محرم فليس له أن يرجع فيها ومن وهب هبة لغير ذى رحم محرم فله أن يرجع فيها ما لم يثب منها


Para ulama di kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya, mengamalkan hadis ini. Mereka mengatakan, “Orang yang menghibahkan sesuatu kepada kerabat yang menjadi mahramnya maka dia tidak boleh menariknya” (Jami’ at-Turmudzi, 5/251).

Hadiah Lamaran

Ketika seorang calon suami memberi hadiah kepada calon istri, latar belakang terbesarnya adalah karena beliau berharap hubungan mereka bisa dilanjutkan sampai jenjang pernikahan. Untuk mendapatkan harapan itu, salah satu pasangan memberikan hadiah.

Karena itulah, ketika terjadi perpisahan, dan lamaran tidak dilanjutkan ke jenjang pernikahan, apakah hadiah dari calon suami bisa ditarik?

Ulama berbeda pendapat dalam hal ini,

[1] Dalam madzhab Malikiyah diberikan rincian,

Jika yang membatalkan pernikahan adalah pihak calon istri, maka calon suami berhak untuk menarik kembali hadiahnya. Baik hadiah itu masih utuh, atau sudah dihabiskan. Jika tidak utuh, diganti dengan yang semisal atau dibayar dengan uang. Namun jika yang membatalkan adalah pihak calon suami, tidak ada hak bagi calon suami untuk menarik hadiah yang telah dia berikan ke pihak wanita.

Sayid Sabiq mengatakan,

وللمالكية في ذلك تفصيل بين أن يكون العدول من جهته أو جهتها: فإن كان العدول من جهته فلا رجوع له فيما أهداه، وإن كان العدول من جهتها فله الرجوع بكل ما أهداه، سواء أكان باقيا على حاله، أو كان قد هلك، فيرجع ببدله إلا إذا كان عرف أو شرط، فيجب العمل به.


Menurut Malikiyah, dalam hal ini ada rincian, apakah yang membatalkan pihak lelaki ataukah pihak wanita. Jika yang membatalkan pihak lelaki, maka si calon suami tidak memiliki hak untuk membatalkan hadiah yang telah dia berikan. Jika yang membatalkan pihak wanita, maka pihak lelaki berhak menarik semua hadiah yang pernah dia berikan. Baik hadiah itu masih utuh, atau sudah rusak, dan diganti. Kecuali jika ada kesepakatan atau ada tradisi yang berlaku di masyarakat, maka harus mengikuti aturan kesepakatan atau tradisi itu. (Fiqh as-Sunah, 2/33)

[2] Sementara dalam Madzhab Syafiiyah, jika tidak jadi nikah, maka semua hadiah boleh ditarik, siapapun yang membatalkannya.

Sayid Sabiq menyatakan,

وعند الشافعية ترد الهدية سواء أكانت قائمة أم هالكة، فإن كانت قائمة؛ ردت هي ذاتها، وإلا ردت قيمتها. وهذا المذهب قريب مما ارتضيناه.


“Menurut Syafiiyyah, hadiah bisa ditarik baik masih utuh atau pun tidak. Jika masih utuh, dikembalikan utuh.

Jika sudah tidak utuh, dikembalikan nilai hadiah. Dan madzhab ini lebih mendekati yang kami setujui. (Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 2/28).

Berdasarkan keterangan di atas, cincin tunangan yang pernah anda berikan ke pihak wanita, boleh diminta kembali. Meskipun boleh saja anda tidak memintanya, dan anda ikhlaskan. Karena ini murni hak pemberi hadiah.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Tata Cara Taaruf


Pertanyaan : "Bagaimana cara ta’aruf yg sesuai syar’i. terima kasih…"

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ta’aruf [التعارف] secara bahasa dari kata ta’arafa – yata’arafu [تعارف – يتعارف], yang artinya saling mengenal. Kata ini ada dalam al-Quran, tepatnya di surat al-Hujurat,

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا

“Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang pria dan seorang wanita, lalu menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal (li-ta’arofu) …” (QS. al-Hujurat: 13).

Ketika manusia itu berbeda-beda, mereka bisa saling kenal… ini ciri orang Melayu, ini orang Arab, ini ciri orang Cina, ini orang Eropa, dst. Anda semua ciri manusia sama, tentu kita tidak bisa saling kenal seperti ini.

Diambil dari makna bahasa di atas, ta’aruf antara lelaki dan wanita yang hendak menikah, berarti saling kenalan sebelum menuju jenjang pernikahan.

Sebelumnya ada 3 hal yang perlu dibedakan,

[1] Ta’aruf: saling perkenalan. Dan umumnya dilakukan sebelum khitbah

[2] Khitbah: meminang atau lamaran, menawarkan diri untuk menikah

Khitbah, ada yang disampaikan terang-terangan dan ada yang disampaikan dalam bentuk isyarat.
Khitbah secara terang-terangan, misalnya dengan menyatakan, “Jika berkenan, saya ingin menjadikan anda sebagai pendamping saya..” atau yang bentuknya pertanyaan, “Apakah anda bersedia untuk menjadi pendamping saya?”
Khitbah dalam bentuk isyarat, misalnya dengan mengatakan, “Sudah lama aku mendambakan wanita yang memiliki banyak kelebihan seperti kamu…” atau kalimat semisalnya, meskipun bisa jadi ada kesan menggombal…

Allah berfirman,

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ

Tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya. (QS. Al-Baqarah: 235)

Berdasarkan ayat di atas, bagi wanita yang sedang menjalani masa iddah, tidak boleh dilamar dengan kalimat terang-terangan.

[3] Nadzar: melihat calon pasangan.

Biasanya ini dilakukan ketika ta’aruf atau ketika melamar.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا، فَلْيَفْعَلْ

“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika dia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” (HR. Ahmad 3/334, Abu Dawud 2082 dan dihasankan al-Albani).

Bagaimana Cara Ta’aruf yang Benar?

Tidak ada cara khusus dalam masalah ta’aruf. Intinya bagaimana seseorang bisa menggali data calon pasangannya, tanpa melanggar aturan syariat maupun adat masyarakat. Hanya saja, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan terkait ta’aruf,

[1] Sebelum terjadi akad nikah, kedua calon pasangan, baik lelaki maupun wanita, statusnya adalah orang lain. Sama sekali tidak ada hubungan kemahraman. Sehingga berlaku aturan lelaki dan wanita yang bukan mahram.

Mereka tidak diperkenankan untuk berdua-an, saling bercengkrama, dst. Baik secara langsung atau melalui media lainnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا

“Jangan sampai kalian berdua-duaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya), karena setan adalah orang ketiganya.” (HR. Ahmad dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).

Setan menjadi pihak ketiga, tentu bukan karena ingin merebut calon pasangan anda. Namun mereka hendak menjerumuskan manusia ke maksiat yang lebih parah.

[2] Luruskan niat, bahwa anda ta’aruf betul-betul karena ada i’tikad baik, yaitu ingin menikah. Bukan karena ingin koleksi kenalan, atau cicip-cicip, dan semua gelagat tidak serius. Membuka peluang, untuk memberi harapan palsu kepada orang lain. Tindakan ini termasuk sikap mempermainkan orang lain, dan bisa termasuk kedzaliman.

Sebagaimana dirinya tidak ingin disikapi seperti itu, maka jangan sikapi orang lain seperti itu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Kalian tidak akan beriman sampai kalian menyukai sikap baik untuk saudaranya, sebagaimana dia ingin disikapi baik yang sama. (HR. Bukhari & Muslim)

[3] Menggali data pribadi, bisa melalui tukar biodata
Masing-masing bisa saling menceritakan biografinya secara tertulis. Sehingga tidak harus melakukan pertemuan untuk saling cerita. Tulisan mewakili lisan. Meskipun tidak semuanya harus dibuka. Ada bagian yang perlu terus terang, terutama terkait data yang diperlukan untuk kelangsungan keluarga, dan ada yang tidak harus diketahui orang lain.

Jika ada keterangan dan data tambahan yang dibutuhkan, sebaiknya tidak berkomunikasi langsung, tapi bisa melalui pihak ketiga, seperti kakak lelakinya atau orang tuanya.

[4] Setelah ta’aruf diterima, bisa jadi mereka belum bertemu, karena hanya tukar biografi. Karena itu, bisa dilanjutkan dengan nadzar.

Dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan,

“Suatu ketika aku berada di sisi Nabi shallallahu’alaihi wasallam, tiba-tiba datanglah seorang lelaki. Dia ingin menikahi wanita Anshar. Lantas Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bertanya kepadanya,

“Apakah engkau sudah melihatnya?”

Jawabnya, “Belum.”

Lalu beliau memerintahkan,

انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا

“Lihatlah wanita itu, agar cinta kalian lebih langgeng.” (HR. Turmudzi 1087, Ibnu Majah 1865 dan dihasankan al-Albani)

Nadzar bisa dilakukan dengan cara datang ke rumah calon pengantin wanita, sekaligus menghadap langsung orang tuanya.

[5] Dibolehkan memberikan hadiah ketika proses ta’aruf

Hadiah sebelum pernikahan, hanya boleh dimiliki oleh wanita, calon istri dan bukan keluarganya.

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا كَانَ مِنْ صَدَاقٍ أَوْ حِبَاءٍ أَوْ عدةٍ قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لَهَا وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ أُعْطِيَهُ أَوْ حُبِىَ

“Semua mahar, pemberian dan janji sebelum akad nikah itu milik penganten wanita. Lain halnya dengan pemberian setelah akad nikah, itu semua milik orang yang diberi” (HR. Abu Daud 2129)

Jika berlanjut menikah, maka hadiah menjadi hak pengantin wanita. Jika nikah dibatalkan, hadiah bisa dikembalikan. Selengkapnya anda bisa pelajari ini: Nikah Batal, Nikah Tunangan Wajib Dikembalikan? 

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Petunjuk Syariat dalam Menerima dan Menyebar (Share) Berita



Kita dengan sangat mudah men-share berita, entah dengan menggunakan media sosial semacam facebook, atau aplikasi whatsapp, atau media yang lainnya. Akibatnya, muncullah berbagai macam kerusakan, seperti kekacauan, provokasi, ketakutan, atau kebingungan di tengah-tengah masyarakat

Tergesa-gesa dalam Menyebarkan Berita

Pada masa ini, ketika arus informasi demikian mudahnya, seringkali tanpa berfikir panjang kita langsung menyebarkan (men-share) semua berita dan informasi yang kita terima, tanpa terlebih dahulu meneliti kebenarannya. Kita dengan sangat mudah men-share berita, entah dengan menggunakan media sosial semacam facebook, atau aplikasi whatsapp, atau media yang lainnya. Akibatnya, muncullah berbagai macam kerusakan, seperti kekacauan, provokasi, ketakutan, atau kebingungan di tengah-tengah masyarakat akibat penyebaran berita semacam ini.

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas mengatakan,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta apabila dia mengatakan semua yang didengar.” (HR. Muslim no.7)

Janganlah kita tergesa-gesa menyebarkan berita tersebut, karena sikap seperti ini hanyalah berasal dari setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

التَّأَنِّي مِنَ اللهِ , وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ

“Ketenangan datangnya dari Allah, sedangkan tergesa-gesa datangnya dari setan.” (HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 10/104 dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya 3/1054)

Periksalah Kebenaran sebuah Berita dengan Cermat

Allah Ta’ala pun memerintahkan kepada kita untuk memeriksa suatu berita terlebih dahulu karena belum tentu semua berita itu benar dan valid. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 6)

Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk memeriksa suatu berita dengan teliti, yaitu mencari bukti-bukti kebenaran berita tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan menelusuri sumber berita, atau bertanya kepada orang yang lebih mengetahui hal itu.

Oleh karena itu, sungguh saat ini kita sangat perlu memperhatikan ayat ini. Suatu zaman di mana kita mudah untuk men-share suatu link berita, entah berita dari status facebook teman, entah berita online, dan sejenisnya, lebih-lebih jika berita tersebut berkaitan dengan kehormatan saudara muslim atau berita yang menyangkut kepentingan masyarakat secara luas. Betapa sering kita jumpai, suatu berita yang dengan cepat menjadi viral di media sosial, di-share oleh ribuan netizen, namun belakangan diketahui bahwa berita tersebut tidak benar. Sayangnya, klarifikasi atas berita yang salah tersebut justru sepi dari pemberitaan.

Hukuman bagi yang Sembarangan Menyebar Berita

Bagi kita yang suka asal dan tergesa-gesa dalam menyebarkan berita, maka hukuman di akhirat kelak telah menanti kita. Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan mimpi beliau,

رأيت الليلة رجلين أتياني، فأخذا بيدي، فأخرجاني إلى أرض فضاء، أو أرض مستوية، فمرا بي على رجل، ورجل قائم على رأسه بيده كلوب من حديد، فيدخله في شدقه، فيشقه، حتى يبلغ قفاه، ثم يخرجه فيدخله في شدقه الآخر، ويلتئم هذا الشدق، فهو يفعل ذلك به

“Tadi malam aku bermimpi melihat ada dua orang yang mendatangiku, lalu mereka memegang tanganku, kemudian mengajakku keluar ke tanah lapang. Kemudian kami melewati dua orang, yang satu berdiri di dekat kepala temannya dengan membawa gancu dari besi. Gancu itu dimasukkan ke dalam mulutnya, kemudian ditarik hingga robek pipinya sampai ke tengkuk. Dia tarik kembali, lalu dia masukkan lagi ke dalam mulut dan dia tarik hingga robek pipi sisi satunya. Kemudian bekas pipi robek tadi kembali pulih dan dirobek lagi, dan begitu seterusnya.”

Di akhir hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat penjelasan dari malaikat, apa maksud kejadian yang beliau lihat,

أما الرجل الأول الذي رأيت فإنه رجل كذاب، يكذب الكذبة فتحمل عنه في الآفاق، فهو يصنع به ما رأيت إلى يوم القيامة، ثم يصنع الله به ما شاء

“Orang pertama yang kamu lihat, dia adalah seorang pendusta. Dia membuat kedustaan dan dia sebarkan ke seluruh penjuru dunia. Dia dihukum seperti itu sampai hari kiamat, kemudian Allah memperlakukan orang tersebut sesuai yang Dia kehendaki.” (HR. Ahmad no. 20165) [2]

Apabila kita sudah berusaha meneliti, namun kita belum bisa memastikan kebenarannya, maka diam tentu lebih selamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَمَتَ نَجَا

“Barangsiapa yang diam, dia selamat.” (HR. Tirmidzi no. 2501) [3]

Bertanyalah, Adakah Manfaat Menyebarkan suatu Berita Tertentu?

Lalu, apabila kita sudah memastikan keberannya, apakah berita tersebut akan kita sebarkan begitu saja? Jawabannya tentu saja tidak. Akan tetapi, kita lihat terlebih dahulu apakah ada manfaat dari menyebarkan berita (yang terbukti benar) tersebut? Jika tidak ada manfaatnya atau bahkan justru berpotensi menimbulkan salah paham, keresahan atau kekacauan di tengah-tengah masyarakat dan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya, maka hendaknya tidak langsung disebarkan (diam) atau minimal menunggu waktu dan kondisi dan tepat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 74)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu untuk menyebarkan ilmu yang dia peroleh karena khawatir akan menimbulkan salah paham di tengah-tengah kaum muslimin. Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,

فَقَالَ: «يَا مُعَاذُ، تَدْرِي مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ؟ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ؟» قَالَ: قُلْتُ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: «فَإِنَّ حَقَّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللهَ، وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا» ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ، قَالَ: «لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا»

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Wahai Mu’adz, apakah kamu tahu apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba dan apa hak hamba yang wajib dipenuhi oleh Allah?’ Aku menjawab, ‘Allah dan Rasul-nya yang lebih mengetahui.’ Beliau pun bersabda, ‘Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah supaya mereka beribadah kepada-Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikit pun kepada-Nya. Adapun hak hamba yang wajib dipenuhi oleh Allah adalah Allah tidak akan mengazab mereka yang tidak berbuat syirik kepada-Nya.’

Lalu aku berkata, ’Wahai Rasulullah, bagaimana kalau aku mengabarkan berita gembira ini kepada banyak orang?’ Rasulullah menjawab, ’Jangan, nanti mereka bisa bersandar.’” (HR. Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 154)

Mari kita perhatikan baik-baik hadits ini. Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan suatu berita (ilmu) kepada Mu’adz bin Jabal, namun beliau melarang Mu’adz bin Jabal untuk menyampaikannya kepada sahabat lain, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir kalau mereka salah paham terhadap kandungan hadits ini. Artinya, ada suatu kondisi sehingga kita hanya menyampaikan suatu berita kepada orang tertentu saja. Dengan kata lain, terkadang ada suatu maslahat (kebaikan) ketika menyembunyikan atau tidak menyampaikan suatu ilmu pada waktu dan kondisi tertentu, atau tidak menyampaikan suatu ilmu kepada orang tertentu. [4]

Mu’adz bin Jabal akhirnya menyampaikan hadits ini ketika beliau hendak wafat karena beliau khawatir ketika beliau wafat, namun masih ada hadits yang belum beliau sampaikan kepada manusia. Mu’adz bin Jabal juga menyampaikan kekhawatiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu, agar manusia tidak salah paham dengan hadits tersebut. [5]

Semoga tulisan singkat ini menjadi panduan kita di zaman penuh fitnah dan kerusakan seperti sekarang ini, yang salah satunya disebabkan oleh penyebaran berita yang tidak jelas asal-usul dan kebenarannya. [6]

***

Selesai disempurnakan di pagi hari, Rotterdam NL 3 Dzulhijjah 1438/26 Agustus 2017

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Artikel: Muslim.or

Catatan kaki:
[1] Dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-shahihah no. 1795.
[2] Dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth.
[3] Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani.
[4] Al-Qaulul Mufiid ‘ala Kitaabit Tauhiid, 1/55.
[5] I’anatul Mustafiid, 1/50.
[6] Dikutip dari buku penulis, “Islam, Sains dan Kesehatan”, hal. 49-54 dengan beberapa penambahan yang dianggap penting. Penerbit Pustaka Muslim, Yogyakarta tahun 2016.

Tentang Puasa Arafah, Begini Penjelasannya!

“Diantara ibadah yang utama dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah adalah puasa pada hari Arafah (9 Dzulhijjah)”

Dalam hadis dari sahabat Abu Qatadah dinyatakan, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah ditanya tentang puasa arafah dan puasa Asyuro, beliau menjawab,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

“Puasa satu hari Arafah (9 Dzulhijjah), saya berharap kepada Allah, Dia akan menghapuskan dosa satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya. Dan puasa hari ‘Asyura’ (10 Muharram), saya berharap kepada Allah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya.” (HR. Muslim, no 1162).

Dari keterangan hadis ini kita mengetahui, puasa arafah memiliki keutamaan dapat menghapus dosa satu tahun sebelum dan satu tahun sesudahnya.

Namun pertanyaannya, apakah hal ini berlaku untuk seluruh dosa, sehingga seorang tidak perlu istighfar dan taubat?

Atau bila perlu seorang bisa beralasan dengan puasa Arafah untuk melegalkan maksiat yang dia lakukan?

Mari kita simak penjelasan Imam Nawawi berikut, ketika menjelaskan hadis di atas,

معناه يكفر ذنوب صائمه في السنتين، قالوا: والمراد بها الصغائر…. فإن لم تكن صغائر يرجى التخفيف من الكبائر، فإن لم يكن رفعت درجاته

Makna hadis ini, puasa arafah akan menghapus dosa selama dua tahun (yakni 1 tahun sebelum dan sesudahnya, pent) bagi orang yang melakukan puasa ini, para ulama mengatakan, ”Maksudnya dosa-dosa yang terhapus itu adalah dosa kecil.”

Bila dia tidak memiliki dosa kecil, diharapkan puasa ini menjadi penyebab meringankan dosa besar yang dia lakukan. Apabila tidak memiliki dosa besar, puasa ini akan menjadi penyebab naiknya derajat dia. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, 8/51)

Jadi, pembaca sekalian yang dimuliakan Allah.. dosa yang terampuni dengan sebab puasa arafah dan amal sholih lainnya, hanya dosa kecil saja. Tidak berlaku untuk dosa besar.

Maka tidak benar beralasan dengan puasa arofah, untuk menghibur diri supaya merasa aman/legal melakukan dosa besar. Karena dosa yang disinggung dalam hadis, yang terhapus dengan sebab puasa arafah, maksudnya adalah dosa kecil saja. Dosa besar, hanya terampuni dengan bertaubat yang jujur kepada Allah, yakni memohon ampunan, penyesalan, serta tekad untuk tidak mengulangi.

Justru terus-menerus melakukan dosa, tanpa ada upaya bertaubat, adalah penyebab dosa itu semakin besar di sisi Allah. Tidak ada situasi aman untuk orang-orang yang seperti ini anggapannya. Bahkan dosa kecil saja, yang dilakukan terus-menerus, bisa menjadi dosa besar, apalagi dosa besar yang dilakukan secara kontinyu dan tidak ada rasa menyesal yang mendorongnya untuk bertaubat.

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata,

لا كبيرة مع الاستغفار، ولا صغيرة مع الإصرار

Tidak ada dosa besar bila disertai istighfar. Dan tidak ada istilah dosa kecil jika dilakukan terus-menerus.

Syarat Terhapusnya Dosa Kecil dengan Amal Sholih

Tidak cukup dengan melakukan amal sholih kemudian dosa kecil otomatis terhapus. Ada syarat yang harus terpenuhi untuk mendapatkan fadilah ini. Yaitu, meninggalkan dosa-dosa besar.

Selama dia masih konsisten melakukan dosa besar, tidak ada upaya untuk bertaubat, masih enjoy dengan dosa besar yang dia lakukan, maka amal shalihnya tidak akan berfungsi sebagai penghapus dosa-dosa kecil.

Karena Allah ta’ala berfirman,

إِن تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُم مُّدْخَلًا كَرِيمًا ﴿٣١﴾

Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang untuk kalian, maka Kami akan menghapus semua dosa kecil kalian. Dan Kami akan masukkan kalian ke surga. (QS. An-Nisa : 31).

Nabi kita –shallalllahu’alaihi wa sallam– juga bersabda,

الصلوات الخمس والجمعة الى الجمعة ورمضان الى رمضان مكفرات لما بينهما اذا اجتنبت الكبائر

Shalat lima waktu, dari satu (shalat) Jum’at ke Jumat berikutnya, dari ramadhan ke ramadhan berikutnya, bisa menjadi penghapus dosa, yang ada diantara keduanya, bila dosa-dosa besar dijauhi. (HR. Ahmad, Muslim dan At-Tirmidzi, hadis Abi Hurairah)

Ayat dan hadis di atas menunjukkan, bahwa dosa-dosa kecil akan terhapus, apabila dosa-dosa besar ditinggalkan. Hal ini menekankan bahwa meninggalkan dosa besar adalah syarat terhapusnya dosa kecil. Artinya, amal-amal sholih tidak akan berfungsi sebagai penghapus dosa kecil, selama dosa besar belum ditinggalkan dan belum ditaubati.

Ibnul Qoyyim memaparkan, ketika membantah anggapan sebagian orang, bahwa puasa asyuro dapat menghapus seluruh dosa; baik besar maupun kecil,

وكاغترار بعضهم على صوم يوم عاشوراء أو يوم عرفة، حتى يقول بعضهم يوم عاشوراء يكفر ذنوب العام كلها ويبقى صوم عرفة زيادة في الأجر، ولم يدر هذا المغتر أن صوم رمضان والصلوات الخمس أعظم وأجل من صيام يوم عرفة ويوم عاشوراء، وهي إنما تكفر ما بينهما إذا اجتنبت الكبائر… فكيف يكفر صوم تطوع كل كبيرة عملها العبد وهو مصر عليها غير تائب منها, هذا محال..

Seperti terpedayanya sebagian orang dengan puasa asyuro dan puasa arafah. Sampai ada sebagian mereka mengatakan, puasa asyuro dapat menghapus seluruh dosa selama satu tahun. Tinggal puasa arafah berfungsi sebagai penambah pahala… Dia yang sedang terpedaya ini tidak menyadari, bahwa puasa ramadhan dan sholat lima waktu itu lebih agung dan lebih mulia dari puasa arafah dan asyuro (karena ibadah yang wajib lebih utama daripada yang sunah, pent).

Itu pun hanya berfungsi menghapus dosa kecil, jika dosa-dosa besar ditinggalkan.

Lantas bagaimana bisa dikatakan, puasa sunah sehari dapat menghapus seluruh dosa besar yang dilakukan oleh seorang hamba, sementara dia masih terus-menerus melakukan dosa besar itu. Ini mustahil..! (Al-Jawab Al-Kafi hal. 55)

Syaikh Abdulmuhsin Al-‘Abbad -hafidzohullah- (pakar hadis Madinah saat ini), di saat menerangkan hadis tentang puasa arafah dapat menghapus dosa satu tahun sesudah dan sebelumnya, beliau menerangkan senada,

ومعناه: إذا كانت الكبيرة لم تجتنب ، أو كان مصراً عليها ، فإنه لا يحصل معها التكفير

Maknanya adalah, selama dosa besar tidak dijauhi atau dia masih terus-menerus melakukannya, maka pengampunan dosa-dosa kecil ini tidak akan dia dapatkan.

(Syarah Sunan Abi Dawud, http://audio.islamweb.net/audio/Fulltxt.php?audioid=171426)

Wallahua’lam bis showab.
Ditulis oleh : Ustadz Ahmad Anshori, Lc.

Lupa Berdoa saat Berhubungan Suami Istri?

 

Pertanyaan : Bagaimana jika lupa baca doa sebelum berhubungan intim? Apakah harus baca doa setelahnya? Trim’s…


Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Membaca doa sebelum berhubungan memiliki banyak sekali manfaat. Diantaranya,

Pertama, Sebagai tabir aurat manusia dari pandangan jin

Dalam hadis dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سِتْرُ ما بَيْنَ أَعْيُنِ الْجِنِّ وَبَيْنَ عَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ ، إِذَا خَلَعَ الرَّجُلُ ثَوْبَهُ أَنْ يَقُولَ : بِسْمِ 

“Tabir antara pandangan mata jin dengan aurat bani adam (manusia) adalah apabila seseorang melepas pakaiannya, dia membaca: bismillah. (HR. Ibnu Adi, at-Thabrani dalam Mu’jam al-Ausath – al-Mathalib al-Aliyah, al-Hafidz Ibnu Hajar, no. 37).

Kedua, Anak hasil hubungan dilindungi oleh Allah

Dalam hadis dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika salah seorang dari kalian (suami) ketika ingin menggauli istrinya, dan dia membaca doa:

بِاسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا 

“Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami.”

Jika Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya.” (HR. Bukhari 141 dan Muslim 1434)

Bagaimana jika lupa? Jika lupa, tentu saja kesempatan untuk mendapatkan manfaat di atas menjadi hilang. Hanya saja, doa ini tidak wajib, dan tidak ada kaffarah jika ditinggalkan. Dan tidak ada anjuran untuk membacanya di tengah jimak atau setelah jimak.

Dalam Fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan,

وهذا الدعاء مستحب لا واجب، فمن تركه ولو عمدا لم يكن عليه جناح 

Doa ini anjuran dan tidak wajib. Karena itu, siapa yang meninggalkannya, meskipun sengaja, tidak berdosa. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 146507)

Apakah anaknya akan menjadi durhaka? Jika Allah takdirkan jadi anak, apakah anaknya akan menjadi durhaka?

salah satu sebab untuk melindungi anak dari godaan setan adalah dengan membaca doa sebelum melakukan hubungan badan.

Hanya saja perlu dipahami, bahwa itu hanya salah satu sebab. Artinya, masih ada sebab lain yang membentuk karakter seorang anak.

Ulama menegaskan bahwa hadis ini tidaklah menunjukkan bahwa setiap anak terlahir dari hasil hubungan badan yang sebelumnya diawali dengan doa, dia akan menjadi manusia yang makshum, terbebas dari setiap dosa dan godaan setan.

Karena setiap kejadian ada sebab dan ada penghalang. Usaha orang tua, yang berdoa ketika hendak berhubungan badan, merupakan salah satu sebab agar anak tersebut selamat dari godaan setan. Akan tetapi, dalam perjalanan hidupnya, terdapat banyak penghalang dan sebab lainnya, yang membuat anak ini tidak bisa bersih dari godaan setan, sehingga dia melakukan kemaksiatan. (Taisirul Alam Syarah Umdatul Ahkam, 1/588)

Karena itu, bukan jaminan bahwa setiap anak yang terlahir dari hubungan badan yang diawali dengan doa, pasti akan menjadi anak yang soleh. Demikian pula sebaliknya, bukan jaminan, setiap anak yang terlahir dari hubungan badan tanpa diawali doa, atau bahkan terlahir dari hubungan haram (zina), pasti akan menjadi anak setan, atau bala tentara iblis.

Diantara usaha yang bisa dilakukan orang tua adalah memperhatikan pendidikan selama masa tumbuh kembang anak. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ 

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. at-Tahrim: 6)

Termasuk mendoakan agar keluarga selalu mendapat penjagaan, dan diberi hidayah. Seperti doa yang Allah sebutkan di surat al-Furqan ketika Allah bercerita tentang karakter ibadurrahman,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا 

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Furqan: 74).

Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)