Bagi Hasil Beda Tahap



Si A dan si B melakukan transaksi mudharabah. Si A sbg pemodal dan si B sbg mudharib. Si A membuat perjajian, untuk masa usaha 1 tahun pertama, bagi hasilnya 90:10. Dimana 90% menjadi hak si A. Dg ini, si A berharap bisa lebih cepat BEP atas modal yang dia berikan.
Untuk tahun kedua dan seterusnya, bagi hasil 60:40, dengan 60% menjadi hak si B sebagai mudharib. Bolehkah skema mudharabah di atas?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Diantara prinsip dalam mudharbah adalah keseimbangan antara peluang untung dan resiko rugi. Sehingga ketika seseorang berharap bisa mendapatkan keuntungan dalam akad ini, dia juga harus siap menanggung risiko rugi. Jika ada satu pihak yang dia hanya bisa medapat keuntungan, sementara dia bebas dari resiko rugi, berarti ada kedzaliman dalam akad mudharabah yang dijalankan.

Kaidah ini tertuang dalam sebuah hadis, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ

“Hasil itu sebagai ganti dari resiko rugi yang ditanggung”

Ada sebuah kaidah yang disampaikan para ulama,

يستحق الربح إما بالمال أو بالعمل أو بالضمان

“Hak mendapat keuntungan, karena ada modal, pekerjaan, atau resiko kerugian.” (Jamharah al-Qawaid al-Fiqhiyah)

Karena itu, ketika keuntungan dalam satu kerja sama mudharabah tidak jelas, maka keuntungan bagi para pelaku mudharabah juga tidak jelas. Jika ada salah satu pihak dalam kerja sama mudharabah mendapatkan keuntungan yang jelas, bisa dipastikan dia akan mendzalimi yang lain.

Sebagai contoh, si A dan si B bekerja sama membuka warung. Si A sebagai pemodal dan si B sebagai pengelola. Ketika penghasilan warung ini tidak pasti, maka pendapatan untuk si A dan si B juga harus tidak pasti. Sehingga, tidak boleh bagi si A sebagai pemodal, meminta jatah yang pasti, sementara hasil warung tidak pasti.

As-Syirazi –ulama Syafiiyah – menjelaskan bagian dari aturan mudharabah,

ولا يجوز أن يختص أحدهما بدرهم معلوم ثم الباقي بينهما ؛ لأنه ربما لم يحصل ذلك الدرهم ، فيبطل حقه ، وربما لم يحصل غير ذلك الدرهم ، فيبطل حق الآخر

“Salah satu pelaku akad mudharabah tidak boleh dikhususkan untuk mendapatkan uang senilai tertentu, kemudian sisanya dibagi sesuai kesepakatan keduanya. Karena bisa jadi uang senilai itu tidak didapatkan, sehingga dia tidak mendapatkan apapun. Dan bisa jadi yang didapatkan hanya uang senilai itu, lalu dijadikan gaji sehingga hak kawannya tidak ada.” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 14/366)

Bahkan Ibnul Mundzir menyampaikan, bahwa ulama sepakat, mudharabah menjadi batal jika ada salah satu pihak mendapat jatah khusus.

Ibnul Mundzir mengatakan,

أجمع كل من نحفظ عنه على إبطال القِراض إذا جعل أحدهما أو كلاهما لنفسه دراهم معلومة

“Semua ulama yang saya ketahui, bahwa qiradh menjadi batal apabila salah satu pihak atau masing-masiing pihak ditetapkan mendapatkan uang senilai tertentu.” (al-Mughni, 5/148).

Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada akad pengelolaan lahan pertanian (muzara’ah) dimana salah satu pihak dalam kerja sama mendapatkan hasil tertentu. Kemudian ini dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةِ وَالْمُخَابَرَةِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam malarang muhaqalah, muzabanah, dan mukhabarah… (HR. Muslim 3989, Nasai 3896 dan yang lainnya).

Muhaqalah diantara pengertiannya adalah akad kerja sama pengelolaan lahan pertanian, di mana pihak pemodal mendapatkan jatah tertentu. Sementara mukhabarah kerja sama pengelolaan lahan dengan pembagian sebagian hasilnya. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/349).

Contoh muhaqalah, kerja sama pengelolaan lahan di mana pemodal mendapat jatah tertentu, misal 3 kwintal beras atau uang 5jt atau semacamnya.

Contoh mukhabarah, kerja sama pengelolaan lahan ditanami berbagai tanaman, misal jagung dan kacang, di mana pemodal minta hasil kacang saja, sementara petani mendapatkan kacang saja.

Praktek seperti ini dilarang, mengingat ada sebagian anggota syirkah yang mendapat jatah khusus yang pasti, sementara hasil dari kelola lahan itu tidak pasti.

Belum tentu hasil bisa di atas 5 juta, juga belum tentu kacang lebih banyak hasilnya dari pada jagung.

Kasus yang semisal, jika dalam kerja sama mudharabah pemodal meminta pembagian tertentu, misal dia minta semua hasil di tahun pertama milik pemodal, sementara hasil di tahun kedua milik pengelola, ini tidak dibolehkan. Melanggar ketentuan di atas. Karena dia meminta sesuatu yang pasti atau jatah lebih awal, sementara tidak diketahui mana yang lebih besar hasilnya, antara tahun pertama dengan tahun kedua.

Dalam kasus di atas,

Pemodal meminta 90% untuk masa usaha 1 tahun pertama, dengan harapan bisa lebih cepat kembali modal (BEP). Menurut kami, ini tidak boleh. Sejenis dengan kasus di atas, pemodal meminta semua hasil di tahun pertama, sementara pengelola di tahun kedua. Tidak bisa dipastikan mana yang hasilnya lebih besar.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Assalamulaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Alhamdulillah Saya ucapkan kepada Allah dan Solawat Beserta salam kepada Nabi Muhammad SAW

0 komentar: