Apa itu Baitul Makmur?


Pertanyaan :
Apa itu baitul makmur? Saya sering mendengarnya, mohon dijelaskan? Bolehkah kita menamai masjid dg Baitul Makmur

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Nama Baitul Makmur disebutkan oleh Allah dalam al-Quran, tepatnya di surat at-Thur,

وَالْبَيْتِ الْمَعْمُورِْ وَالسَّقْفِ الْمَرْفُوعِْ . وَالْبَحْرِ الْمَسْجُورِ

“Demi Baitul Ma’mur. Demi atap yang ditinggikan (langit). Demi laut yang di dalam tanahnya ada api,” (QS. at-Thur: 4 – 6)

Baitul Makmur adalah bangunan yang sangat mulia, berada di langit ketujuh. Di sanalah para Malaikat beribadah, sebagaimana manusia beribadah di sekitar Ka’bah.

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalani peristiwa Isra Mi’raj, sesampainya di langit ketujuh, beliau melihat Baitul Makmur.

Ketika mengisahkan peristiwa Isra Mi’raj, beliau mengatakan,

فَأَتَيْنَا السَّمَاءَ السَّابِعَةَ فَأَتَيْتُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ مَرْحَبًا بِكَ مِنِ ابْنٍ وَنَبِىٍّ، فَرُفِعَ لِي الْبَيْتُ الْمَعْمُورُ فَسَأَلْتُ جِبْرِيلَ ، فَقَالَ : هَذَا الْبَيْتُ الْمَعْمُورُ ، يُصَلِّي فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ ، إِذَا خَرَجُوا لَمْ يَعُودُوا إِلَيْهِ آخِرَ مَا عَلَيْهِمْ

Kami mendatangi langit ketujuh. Lalu aku mendatangi Nabi Ibrahim, aku memberi salam kepadanya dan belia menyambut, “Selamat datang putraku, sang Nabi.” Lalu aku melihat Baitul Makmur. Akupun bertanya kepada Jibril.

“Ini adalah Baitul Makmur, setiap hari, tempat ini dikunjungi 70.000 Malaikat untuk melakukan shalat di sana. Setelah mereka kaluar, mereka tidak akan kembali lagi ke tempat ini.” (HR. Bukhari 3207 & Muslim 162).

Karena itulah, Allah jadikan tempat ini sebagai sumpah-Nya, sebagaimana disebutkan pada ayat di atas, “Demi Baitul Makmur.” Dan seperti yang kita tahu, makhluk yang Allah jadikan sebagai sumpah adalah makhluk yang mulia, yang menunjukkan keagungan Sang Penciptanya.

Baitul Makmur, Ka’bahnya Penghuni Langit

Al-Hafidz Ibnu Katsir ketika menjelaskan tafsir ayat di atas, beliau mengatakan,

ذاك البيت هو كعبة أهل السماء السابعة ؛ ولهذا وجد إبراهيم الخليل عليه السلام ، مسندا ظهره إلى البيت المعمور ؛ لأنه باني الكعبة الأرضية ، والجزاء من جنس العمل

Baitul makmur itu adalah ka’bah bagi penghuni langit ketujuh. Untuk itu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Nabi Ibrahim ‘alahis salam menyandarkan punggungnya di Baitul Makmur. Karena beliau yang membangun Ka’bah di bumi, dan balasan sejenis dengan amal. (Tafsir Ibnu Katsir, 7/428)

Baitul Makmur Sejajar Ka’bah

At-Thabari meriwayatkan bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu tentang Baitul Makmur.

Jawaban Ali Radhiyallahu ‘anhu,

بيت في السماء بحيال البيت، حرمة هذا في السماء كحرمة هذا في الأرض، يدخله كل يوم سبعون ألف ملك، ولا يعودون إليه

Itu adalah bangunan di langit, sejajar dengan Ka’bah. Kemuliaan bangunan ini di langit sebagaimana kemuliaan Ka’bah di bumi. Setiap hari dimasuki oleh 70.000 malaikat, dan mereka tidak kembali lagi. (Tafsir at-Thabari 22/455 dan dishahihkan al-Albani).

At-Thabari juga menyebutkan riwayat yang mursal dari Qatadah (ulama tabi’in), beliau mengatakan,

ذكر لنا؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم قال يوماً لأصحابه: هل تدرون ما البيت المعمور؟ قالوا: الله ورسوله أعلم، قال: فإنه مسجد في السماء، تحته الكعبة، لو خرّ لخر عليها

Sampai kepada kami informasi bahwa satu hari, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda di hadapan para sahabatnya, “Tahukah kalian, apa itu Baitul Makmur?” jawab beliau, “Allah dan Rasul-Nya yang paling tahu.”

Lalu beliau menjelaskan, “Baitul Makmur adalah bangunan masjid di langit, tepat di bawahnya adalah Ka’bah. Andai masjid ini jatuh, dia akan jatuh di atas Ka’bah.” (Tafsir at-Thabari 22/456. Riwayat ini juga dikutip Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, 7/429).

Dalam Silsilah as-Shahihah dinyatakan,

وجملة القول أن هذه الزيادة ((حيال الكعبة)) ثابتة بمجموع طرقها

Kesimpulan keterangan bahwa tambahan riwayat ‘sejajar dengan Ka’bah’ statusnya shahih, dengan gabungan semua jalur periwayatannya. (as-Silsilah as-Shahihah, 1/476).

Tidak Boleh Menamai Masjid dengan Baitul Makmur

Kesimpulan ini disampaikan dalam Fatwa Islam,

وإذا كان هذا البيت بهذه المثابة والمنزلة ، فلا يجوز أن يسمى به أي بيت أو محل أو منشأة ، كما لا يجوز أن تسمى هذه الأشياء بالكعبة أو بالبيت الحرام أو بغير ذلك من الأسماء المعظمة ؛ لما في ذلك من الامتهان ، وانتفاء المشابهة

Mengingat bangunan ini memiliki kedudukan yang sangat mulia seperti yang disebutkan, maka kalimat ini tidak boleh digunakan untuk menamakan satu rumah, atau tempat, atau bangunan apapun. Sebagaimana kita tidak boleh memberi nama tempat di sekitar kita dengan nama Ka’bah atau Baitul Haram, atau nama-nama lainnya yang diagungkan. Karena termasuk bentuk pennghinaan dan agar tidak dianggap menyerupakan. (Fatawa al-Islam, no. 120126)

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Hukum Menerima Beasiswa LPDP


Hukum Menerima Beasiswa LPDP

Apa hukum beasiswa LPDP? Ada yang mengatakan itu berasal bunga deposito dana abadi APBN. Ada juga yang mengatakan, itu dari pajak rakyat, dst. Kami sendiri ragu mengenai statusnya.

Jawab:

Jika kita sepakat bahwa dana asal LPDP adalah APBN yang ‘dikembangkan’, maka kita bisa memahami bahwa beasiswa LPDP untuk para pelajar adalah pemberian (athiyah) dari pemerintah kepada rakyat.

Pemberian (athiyah) dari pemerintah kepada rakyat memiliki hukum yang berbeda-beda, tergantung sumber harta pemberian itu. Berikut ini kami cantumkan keterangan dari al-Hafidz Ibnu Hajar – ulama ahli hadis bermadzhab Syafii –.

Al-Hafidz Ibnu Hajar membuat kesimpulan mengenai hukum menerima pemberian dari pemerintah. Dalam Fathul Bari Penjelasan Sahih Bukhari,

وكان بعضهم يقول يحرم قبول العطية من السلطان وبعضهم يقول يكره وهو محمول على ما إذا كانت العطية من السلطان الجائر والكراهة محمولة على الورع وهو المشهور من تصرف السلف والله أعلم


Sebagian ulama mengatakan, haram menerima pemberian dari pemerintah. Sebagian mengatakan makruh. Untuk yang mengatakan haram, dipahami pada pemberian dari pemerintah yang dzalim. Sementara untuk yang mengatakan makruh, dipahami sebagai bagian dari sikap wara’. Dan sikap ini sesuatu masyhur bagi muamalahnya para ulama salaf – Allahu a’lam –

والتحقيق في المسألة أن من علم كون ماله حلالا فلا ترد عطيته ومن علم كون ماله حراما فتحرم عطيته ومن شك فيه فالاحتياط رده وهو الورع ومن أباحه أخذ بالأصل


Kesimpulan dari masalah ini, bahwa siapa yang mengetahui status harta itu adalah harta halal, maka jangan ditolak pemberiannya. Dan siapa yang mengetahui bahwa status harta itu adalah harta haram, maka haram pemberiannya. Dan siapa yang ragu, maka sebagai bentuk kehati-hatian, harta itu dikembalikan. Dan itulah sikap wara’. Sementara orang yang membolehkannya (harta meragukan), dia berpijak kepada hukum asal. (Fathul Bari, 3/338)

Maksud kalimat, ‘Sementara orang yang membolehkannya (harta meragukan), dia berpijak kepada hukum asal’ bahwa hukum asalnya harta pemberian itu tidak bercampur dengan sesuatu yang haram.

Diceritakan oleh Syaikh Abdurrahman as-Suhaim bahwa Syaikh Ibnu Baz dalam pelajarannya pernah menyampaikan,

إذا جاءه مال مِن قريبه أو صديقه ، وهو لا يعلم حقيقته ؛ فَلَه أخذه. أما إن عَلِم أنه مال فلان ، أو أنه ثمن خمر ، أو أنه رِبا ؛ فلا يأخذه


Ketika seseorang mendapatkan harta dari kerabat atau teman, dan dia tidak tahu hakekatnya, maka dia boleh menerima harta itu. Namun jika dia tahu, bahwa harta yang diberikan kepadanya adalah harta milik si A atau hasil jualan khamr atau hasil riba, maka dia tidak boleh menerimanya.

Sumber: http://www.almeshkat.net/vb/showthread.php?t=126836
Apakah Beasiswa LPDP Halal?

Ini kembali kepada pertanyaan, dari mana asal dana beasiswa ini. Kami sendiri belum mendapatkan informasi yang memadai mengenai asal dana beasiswa LPDP. Namun pada prinsipnya, jika anda yakin dana itu berasal dari riba atau sesuatu yang haram lainnya, maka seharusnya dihindari. Dan siapa yang masih ragu, bisa menggunakan acuan seperti yang dinyatakan al-Hafidz Ibnu Hajar.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Tanda-Tanda Terkena Gangguan Jin dan Penyakit ‘Ain



Pertanyaan:
Bagaimana seseorang bisa mungkin mengetahui kalau dirinya terkena gangguan jin atau terkena penyakit ‘ain?

Jawaban:

Segala puji bagi Allah Ta’ala.

Orang-orang yang ahli ruqyah syar’iyyah meneyebutkan beberapa tanda (gejala) yang bisa digunakan sebagai petunjuk bahwa seseorang terkena gangguan jin atau terkena penyakit ‘ain. Ini adalah tanda-tanda yang tidak pasti, terkadang berbeda-beda sesuai dengan keadaan, dan terkadang bertambah parah atau ringan pada keadaan yang lain.

Adapun tanda-tanda gangguan jin adalah:
  1. Berpaling atau lari (menjauh) yang ekstrim dari mendengar adzan atau mendengar (bacaan) Al-Qur’an.
  2. Pingsan, tidak sadar, kejang (kesurupan), atau jatuh saat dibacakan Al-Qur’an kepadanya.
  3. Banyaknya melihat hal-hal yang menakutkan.
  4. Menyendiri, menyepi atau perilaku-perilaku aneh.
  5. Terkadang jin yang mengganggu tersebut bisa berbicara ketika dibacakan (Al-Qur’an) kepadanya.

Adapun tanda terkena gangguan ‘ain, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz As-Sadhan hafidzahullahu Ta’ala berkata,

“Tanda-tanda (‘ain) berikut ini, jika bukan karena penyakit jasmani (penyakit medis), maka umumnya dalam bentuk:

sakit kepala yang berpindah-pindah; pucat di wajah; sering berkeringat dan buang air kecil; nafsu makan lemah; mati rasa, panas atau dingin di anggota badan; “deg-degan” di jantung (detak jantung yang cepat dan tidak beraturan, pen.); rasa sakit yang berpindah dari bawah punggung dan bahu; bersedih dan merasa sempit (sesak) di dada; berkeringat di malam hari; perilaku (emosi) berlebihan, seperti ketakutan yang tidak wajar; sering bersendawa, menguap atau terengah-engah; menyendiri atau suka mengasingkan diri; diam atau malas bergerak; senang (terlalu banyak) tidur; adanya masalah kesehatan tertentu tanpa ada sebab-sebab medis yang diketahui.

Tanda-tanda tersebut atau sebagiannya bisa ditemukan tergantung pada kuat atau banyaknya ‘ain.” (Ar-Ruqyah Syar’iyyah, hal. 10)

Sebagai faidah tambahan, bisa melihat fatwa kami nomor 240 [1] dan 20954 [2].

***

@Erasmus MC NL Na-1001, 16 Dzulqa’dah 1439/ 31 Juli 2018

Penerjemah: M. Saifudin Hakim


Catatan kaki:
[1] https://islamqa.info/ar/240
[2] https://islamqa.info/ar/20954
[3] Fatwa di atas kami terjemahkan dari: https://islamqa.info/ar/125543

ISLAM DI NUSANTARA - Ustadz Abdul Somad, Lc. MA

Berikut Merupakan Kajian dari Ustadz Abdul Somad, Lc. MA dengan Tema ISLAM DI NUSANTARA. Semoga dengan Kajian ini dapat mematahkan tentang Islam Nusantara yang di katakan oleh sebagian orang untuk menghancurkan Islam dari dalam.
Karena ISLAM sudah sempurna.


Sumber Video Youtube/Tafaqquh video

Pedagang Wajib Memberitahu Cacat Barang!


Pertanyaan :
Jika kita menjual barang, ada aibnya tetapi kita diam saja.. bagaimana hukumnya?


Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Pada asalnya, diam saja dan menceritakan apapun, tidak termasuk berdusta. Dinilai berdusta, ketika seseorang menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai realita. Sementara di sini, dia diam saja, sehingga tidak termasuk berdusta.

Ada kaidah yang disampaikan Imam as-Syafii,

لا يُنسَب إلى ساكت قولٌ

“Ucapan tidak dikembalikan kepada orang yang diam.”

Dinyatakan as-Suyuthi kaidah ini disampaikan as-Syafii. (al-Asybah wa an-Nadzair, hlm. 142).

Namun kaidah ini tidak berlaku untuk diam yang dilakukan penjual ketika bertransaksi jual beli.

Diam tidak menyebutkan aib barang yang diketahui termasuk menipu.

Mengapa bisa disebut menipu?

Karena diam penjual ketika menawarkan barang, sama dengan mendeklarasikan bahwa barang yang dia jual itu selamat sesuai yang anda lihat.

Terdapat kaidah menyatakan,

الأصل في البيع أنه على شرط السلامة

Pada asalnya dalam akad jual beli harus dalam kondisi selamat.

Karena itulah, ketika si A menawarkan barang x dengan harga sekian juta, lalu setelah dipelajari si B, dia setuju dan dilakukan akad jual beli, pada hakekatnya si B telah ridha untuk membeli barang dengan harga sekian juta untuk barang dengan kondisi sebagaimana yang dia lihat. Sehingga, jika di sana ada kekurangan terhadap barang yang DIKETAHUI penjual, namun TIDAK diketahui pembeli maka penjual wajib memberi tahu.

Jika dia tidak memberi tahu, sama dengan menyatakan bahwa kondisi barang sesuai yang anda lihat.

Disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,

Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan (gandum). Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam gundukan makanan itu. Ternyata di dalamnya basah.

Beliau bertanya, “Wahai pemilik makanan, ini kenapa?”

“Terkena hujan ya Rasulullah…” jawab penjual makanan.

Kemudian beliau bersabda,

أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ حَتَّى يَرَاهُ النَّاسُ»، ثُمَّ قَالَ: «مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا

Mengapa kamu tidak taruh di permukaan, sehingga bisa dilihat orang.

Kemudian beliau bersabda, “Siapa yang menipu, bukan bagian dari golonganku.” (HR. Turmudzi 1315 dan dishahihkan al-Albani)

Penjual makanan ini tidak meneriakkan ke pengunjung pasar bahwa gandum yang dia jual bagus. Namun dia hanya menyimpan gandum basah di dalam agar tidak kelihatan, kemudian dia diam.. tapi ini disebut menipu.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Menjual Barang Service yang tidak diambil Pemiliknya



Tukang servis membuat aturan, barang yang tidak diambil lebih dari 1 bulan akan dijual, dan hasilnya akan diinfakkan. Apakah ini dibolehkan?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ada beberapa pengantar untuk memahami itu,

Pertama, Ada 2 jenis penjual jasa yang dibahas dalam kajian fiqh muamalah,


[1] Ajir khas – orang yang menjual jasanya kepada orang lain untuk satu tugas tertentu, dan tidak bisa ‘disambi’ (merangkap pekerjaan) dengan yang lain selama masa kerjanya. Misalnya, sopir pribadi atau tukang pijit atau tukang yang memperbaiki rumah. Ketika dia sedang menangani tugas tertentu, dia tidak bisa menerima tugas klien lainnya.

[2] Ajir ‘aam – orang yang menjual jasanya kepada orang lain secara terbuka, sehingga bisa mengerjakan tugas lebih dari satu klien. Misalnya, tukang jahit yang bisa menerima banyak orderan, atau tukang servis hp, laptop, dst.. perbedaan ajir khas dengan ajir am, ajir am bisa melayani banyak konsumen dalam satu waktu.

Kedua, Posisi seseorang ketika memegang hart orang lain ada 2:

[1] Amin (orang yang mendapat amanah).

Seorang yang memegang harta orang lain di posisi sebagai amin, dia tidak menanggung resiko apapun terhadap harta atau barang yang dia bawa jika terjadi kerusakan. Kecuali kerusakan yang ditimbulkan karena kesalahannya atau keteledorannya.

Misalnya: orang yang dititipi. Dalam akad wadiah, orang yang dititipi merupakan amin bagi orang yang menitipkan.

[2] Dhamin (orang yang menanggung resiko). Yaitu pemegang harta orang lain, dan dia harus menanggung semua resiko terhadap harta itu, apapun yang terjadi. Misalnya: orang yang berutang atau orang yang meminjam barang orang lain.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا ضَمَانَ عَلَى مُؤْتَمَنٍ

“Orang yang mendapatkan amanah tidak menanggung resiko.” (HR. ad-Daruquthni 2961 dan dihasankan al-Albani)

Ketiga, Tukang Servis itu Amin atau Dhamin?

Ulama sepakat bahwa ajir khas statusnya amin. Sehingga dia tidak menanggung resiko normal terhadap barang yang dia tangani.

Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

واتفقوا كذلك على أن الأجير الخاص أمين، فلا ضمان عليه فيما تلف في يده من مال، أو ما تلف بعمله إلا بالتعدي، أو التفريط؛ لأنه نائب المالك في صرف منافعه إلى ما أمر به، فلم يضمن كالوكيل

Ulama sepakat bahwa ajir khas adalah amin (orang yang mendapat amanah). Dan dia tidak menanggung resiko terhadap kerusakan harta orang lain di tangannya. Atau kerusakan diakibatkan kerjanya, kecuali jika berlebihan atau teledor. Karena posisi dia sebagai wakil dari pemilik untuk memanfaatkan barang itu, sesuai yang dia perintahkan. Sehingga dia tidak menanggung resiko, sebagaimana wakil.

Sementara ajir am, seperti tukang servis, termasuk dhamin ataukah amin?

Ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Pendapat yang lebih mendekati adalah ajir ‘am termasuk amin. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, pendapat Imam as-Syafii menurut riwayat yang lebih kuat, dan pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat.

(al-Hidayah fi Syarh al-Bidayah, 3/242 – al-Bayan fi Madzhab as-Syafii, 7/385, dan al-Kafi fi Fiqh Ahmad, 2/184)

Karena itu, ketika ada resiko terhadap barang di luar keteledorannya, dia tidak turut menanggungnya.

Keempat, ketika konsumen menyerahkan barang kepada tukang servis, maka status barang itu adalah barang titipan, yang wajib diberi penjagaan normal oleh tukang servis. Dia berhak memperlakukan benda itu, sesuai kebutuhan normal sebagai tukang servis, misalnya membongkar, mengganti onderdil, meng-uji coba, dst.

Ketika barang sudah selesai, statusnya masih menjadi barang titipan (wadiah), sehingga menjadi barang amanah hingga dikembalikan ke pemiliknya.

Allah berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. an-Nisa: 58)

Kelima, hukum asal menerima wadiah adalah mubah

Dalam arti, ketika si A dititipi orang lain, si A berhak untuk menolaknya.

Karena orang boleh menolak ketika diberi amanah, dengan pertimbangan apapun yang melatar-belakanginya.

Dalam al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab as-Syifii dinyatakan,

يتناول الوديعة الأحكام الخمسة … الإباحة: بمعنى ان للوديع ان يقبل الإيداع وله ان لا يقبل، ويستوى الحال بالنسبة اليه، وذلك في حال انه لا يثق بأمانته في المستقبل، او كان عاجزا عن حفظ الوديعة

Wadiah memiliki 5 hukum… diantaranya mubah, dalam arti orang yang dititpi berhak menerima titipan dan juga berhak tidak menerimanya. Dan status hukumnya sama bagi dia. Bisa jadi penolakan itu dilakukan karena dia tidak merasa yakin bisa menjaga amanah itu ke depan, atau tidak mampu untuk menjaga barang titipan itu. (al-Fiqh al-Manhaji, 7/87)

Karena itu, boleh saja tukang servis menolak amanah itu, ketika tidak memungkinkan untuk menjaga terus barang itu. Sehingga dia boleh membatasi masa tinggal barang itu di tempatnya, misal 1 bulan.

Artinya, selama rentang 1 bulan, tukang servis bersedia menjadikan barang itu sebagai wadiah yang diamanahkan kepadanya. Selebihnya, tidak menerima amanah itu.

Keenam, jika tidak menerima titipan, lalu dikemanakan barang itu?

Pada prinsipnya ketika seseorang tidak menerima untuk dititipi barang, sementara pemilik memaksa untuk tetap menitipkannya, maka dia sudah tidak lagi berkewajiban untuk menjaganya. Sehingga dia berhak menaruh barang itu di luar kawasannya atau di gudang, dst. Selanjutnya semua kerusakan barang itu, dia tidak menanggung resiko.

Namun tidak boleh dijual. Karena pemiliknya tetap ada. Sehingga jika hendak dijual harus izin ke pemilik.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Menjual Rumah yang Disewakan



Ustadz, saya punya rumah kontrakan yg disewa orang lain, bolehkah menjual rumah yang sedang disewakan tersebut? Sukran

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ada beberapa pengantar yang perlu kita ketahui untuk memahami kasus ini,

Pertama, bahwa akad yang lazim (mengikat) tidak bisa dibatalkan sepihak.

Sewa rumah adalah akad ijarah. Ketika akad telah dilakukan, maka dia mengikat dan tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Bahkan meskipun rumah belum ditempati. Selanjutnya pemilik rumah berhak mendapat uang sewa, dan penyewa berhak mendapat hak guna menempati rumah.

Ketika si A telah melakukan akad sewa rumah si B, maka tidak bisa dibatalkan sepihak, sekalipun masa sewa masih lama, bahkan sekalipun belum ditempati.

Dalam al-Muqni’ dinyatakan,

والإجارة عقدٌ لازمٌ من الطرفين ليس لأحدهما فسخها، وإن بدا له قبل تقضي المدة فعليه الأُجرة، وإن حوَّله المالك قبل تقضيها لم يكن له أُجرة لما سكن، نصَّ عليه، ويحتمل أن له من الأُجرة بقسطه

Ijarah adalah akad lazim (mengikat) kedua pihak, dan salah satu pihak tidak berhak membatalkannya. Jika penyewa ingin membatalkannya sebelum selesai masa sewa, maka dia wajib bayar biaya sewa. Namun jika pemilik menyuruhnya untuk pindah, sebelum selesai masa sewa, maka pemilik tidak berhak menerima biaya sewa selama masa tinggal di rumah. Demikian yang ditegaskan (Imam Ahmad). Bisa juga dipahami, dia berhak mendapat biaya sewa sesuai waktu yang digunakan. (al-Muqni’, hlm. 208)

Kedua, bedakan antara akad jual beli dan penyerahan objek akad jual beli.

Akad jual beli berkonsekuensi memindahkan hak milik. Sehingga ketika transaksi jual beli telah selesai, maka barang menjadi milik pembeli, dan uang sebagai pembayaran menjadi milik penjual. Meskipun bisa jadi belum diserah terimakan.

Ketiga, menjual rumah yang disewa, tidak otomatis membatalkan akad sewa.

Ketika rumah dijual, belum tentu langsung diserahkan kepada pembeli. Bisa saja, akad dilakukan sekarang, sehingga terjadi perpindahan hak milik, namun penyerahan barang dilakukan sekian bulan kemudian.

Karena itulah, jika calon pembeli rumah meminta agar setelah akad dilakukan serah terima bangunan rumah, maka pemilik harus meminta penyewa rumah untuk meninggalkan rumah sebelum masa sewa selesai, dan ini termasuk membatalkan akad sewa. Dan hak penyewa untuk menerima pembatalan ini atau menolaknya.

Menjual Rumah yang Disewa

Dengan pertimbangan di atas, ulama berbeda pendapat mengenai hukum menjual barang yang sedang disewakan.

[1] Menurut Imam Abu Hanifah, tidak boleh dijual kecuali atas kerelaan yang menyewa. Atau karena alasan darurat, semisal dia punya utang, sementara rumah itu satu-satunya aset yang bisa dicairkan. (al-Mabsuth, 23/153).

[2] Sementara menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, boleh menjual barang yang sedang disewa orang, baik yang membeli adalah penyewa atau orang lain. Namun nanti pembeli baru boleh menerimanya setelah masa sewa selesai. (Hasyiyah ad-Dasuqi, 2/487 dan Kasyaf al-Qina, 9/127).

Sementara Imam as-Syafii memiliki 2 pendapat dalam hal ini.

Dalam Kasyaf al-Qina’ dinyatakan,

ولا تنفسخ الإجارة بشراء مستأجرها أي العين المؤجرة لأنه كان مالكا للمنفعة ثم ملك الرقبة، ولا تنافي بينهما.

Akad ijarah tidak batal karena yang menyewa membeli barang yang disewakan. Karena awalnya penyewa memiliki manfaat atas barang itu (dengan akad sewa), kemudian dia memiliki barang itu. Dan ini tidak saling bertentangan. (Kasyaf al-Qina’, 4/31).

Ibnu Qudamah menjelaskan,

إذا أجر عيناً ثم باعها صح البيع نص عليه أحمد، باعها للمستأجر أو لغيره

Ketika ada orang yang menyewakan barang, kemudian dia menjual barang itu, maka akad jual belinya sah. Demikian yang ditegaskan Imam Ahmad. Baik dijual ke yang menyewa atau ke orang lain. (al-Mughni, 5/350).

Kita memiliki satu kaidah,

وكلُّ مَشْغُولٍ فليس يُشْغَلُ *** بمُسقطٍ لما به يَنْشَغِلُ

Semua yang sibuk tidak boleh disibukkan *** dengan kegiatan yang bisa menggugurkan kesibukan sebelumnya. (Syarh Mandzumah Ushul al-Fiqh, Ibnu Utsaimin)

Ketika rumah itu sedang disewakan, maka rumah ini sedang disibukkan dengan akad sewa, sampai masa berakhirnya sewa. Sehingga tidak boleh dilibatkan dengan kesibukan yang kdua, yaitu akad lainnya, yang bisa menggugurkan akad sewa.

Imam Ibnu Utsaimin,

فإن شُغِلَ بما لا يسقط فلا بأس، لكن إذا كان مشغولاً، ثم شغلناه بما يسقط الشغل الأول فإن ذلك لا يجوز

Jika dia disibukkan dengan yang tidak menggugurkan kesibukan pertama, tidak masalah. Namun jika objek itu sibuk kemudian kita sibukkan dengan yang menggugurkan kesibukan pertama, maka ini yang tidak boleh. (Syarah Mandzumah Ushul al-Fiqh, Ibnu Utsaimin)

Karena itu, selama masih memungkinkan untuk digabungkan, dimana akad kedua tidak mengganggu keberlangsungan pada akad pertama, maka tidak masalah dilakukan bersamaan.

Karena itu, dari kasus di atas, kita bisa memberikan rincian,

[1] Jika pembeli menginginkan agar rumah itu segera dipindah tangankan setelah akad jual beli maka penjual memiliki 2 pilihan,

(a) Meminta kerelaan penyewa untuk membatalkan sewanya. Jika penyewa bersedia, maka akad jual beli bisa dilangsungkan.

(b) Meminta kerelaan pembeli agar penyerahan rumah ditunda sampai selesai masa sewanya. Jika calon pembeli bersedia, akad jual beli bisa dilangsungkan.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Hukum Franchise


Pertanyaan : Mohon dijelaskan hukum franchise…!

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Untuk memahami transaksi franchise, terlebih dahulu kita akan memahami tawabi’ al-Aqd. Tawabi’ al-Aqd adalah akad kedua yang mengikuti akad pertama, karena akad kedua merupakan konsekuensinya.

Sebagai contoh orang yang membeli tanah di dalam, dia harus membeli jalan untuk akses menuju tanah itu.

Terdapat kaidah mengatakan,

التابع تابع

“Yang menjadi pengikut, hanya bisa mengikuti.”

Syaikh Dr. Muhammad Sidqi al-Burnu menjelaskan kaidah ini,

إن ما كان تابعاً لغيره في الوجود لا ينفرد بالحكم، بل يدخل في الحكم مع متبوعه والمراد بالتابع هنا: ما لا يوجد مستقلا بنفسه، بل وجوده تابع لوجود غيره، فهذا لا ينفك حكمه عن حكم متبوعه

Sesuatu yang keberadaannya mengikuti lainnya, hukumnya tidak disendirikan, namun hukumnya mengikuti hukum yang diikuti (yang utama). Yang dimaksud tabi’ (yang mengikuti) di sini adalah sesuatu yang tidak bisa berdiri sendiri, namun keberadaannya mengikuti keberadaan lainnya (matbu’). Sehingga hukumnya tidak terpisah dari hukum yang diikuti (matbu’).

Kemudian beliau menyebutkan beberapa contohnya,

[1] Orang yang menjual hewan betina yang hamil, maka janin yang ada dalam kandungannya harus diikutkan dalam transaksi, karena dia mengikuti induknya. Dan tidak boleh dijual secara terpisah.

[2] Jalan yang menjadi akses untuk masuk ke sebuah tanah, diikutkan dalam transaksi jual beli tanah, dan hukumnya tidak disendirikan.

Kemudian Syaikh Dr. al-Burnu menyimpulkan,

فعلى هذا كل ما جرى في العرف على أنه من مشتملات المبيع في البيع من غير ذكر

Kaidah ini berlaku untuk semua benda yang secara urf (tradisi) menjadi bagian dari objek transaksi untuk diikutkan dalam jual beli, meskipun tidak disebutkan. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah, hlm. 331).

Mengenal Franchise

Ada banyak model transaksi franchise yang dijalankan di masyarakat. Dan tentu saja, kami tidak mungkin merinci semuanya. Karena itu, pada kesempatan ini, kami hanya akan mengupas model franchise secara umum.

[1] Pelaku akad franchise

Ada dua pihak yang terlibat,

– Franchisor: penjual dan pemilik royalty franchise
– Franchisee: pembeli merk dan semua turunanya dalam franchise

[2] Objek akad franchise

Kita ambil contoh, franchise ayam bakar Mukidi. Apa saja yang menjadi objek akad,

(a) Brand – termasuk di dalamnya adalah peluang pasar yang melekat dengannya, karena merk sudah dikenal masyarakat.

(b) Sistem – termasuk di dalamnya adalah managemen dan SOP kelola perusahaan.

(c) Bahan baku – seperti bumbu, pilihan jenis bahan yang dibutuhkan untuk produksi ayam bakar Mukidi sesuai standar.

Objek franchise ada 2:

Fokuskan di bagian objek akad franchise,

Dari semua objek franchise di atas, bisa kita bagi menjadi 2:

[1] Objek utama – objek yang menjadi tujuan utama franchise

[2] Objek yang mengikuti (tabi’) – objek transaksi yang harus diikutkan, ketika ada objek utama karena ini merupakan pelengkap dari akad pertama.

Dalam transaksi franchise, yang menjadi objek utama transaksi adalah brand. Diantara indikasinya,

[a] Brand merupakan sebab adanya royalty. Dan bagian ini yang menjadi tujuan akad.

[b] Brand merupakan pembeda antara satu produk dengan produk yang lain. Di bawah brand, ada peluang pasar, ada sistem, managemen, SOP, hingga bahan baku. Agar produk yang dijual memenuhi standar kualitasnya.

Karena itu, ketika brand ditransaksikan, maka semua yang mengikuti brand juga harus ditransaksikan. Karena objek yang lain adalah pelengkap dari brand. Jika tidak diikutkan, bisa merusak standar kualitas produk yang dimaksud.

Jenis Akad dalam Franchise

Brand menjadi hak paten yang melekat pada diri pemilik. Sehingga brand tidak dijual atau dipindahkan kepemilikannya kepada Franchisee (pembeli waralaba). Namun brand hanya bisa dipindahkan hak gunanya. Franchisee berhak menggunakan brand tersebut sesuai kesepakatan.

Sementara pelengkap brand, sistem, managemen, dan bahan baku, bisa disewakan dan bisa dijual belikan. Yang habis pakai, seperti bahan baku, bisa diperjual belikan, karena tidak mungkin disewakan.

Karena itu, ada 3 kemungkinan akad yang bisa dilakukan dalam franchise,

[1] Akad musyarakah – pemilik brand (Franchisor) tidak menyewakan brand-nya, tapi menjadikan brand sebagai bagian dari keterlibatan modal. Dari akad ini, Franchisor berhak mendapatkan bagi hasil sesuai kesepakatan.

[2] Akad ijarah (sewa) – Franchisor menyewakan sistem, managemen, SOP dan semua turunannya dan Franchisee berhak menggunakan itu semua selama rentang waktu sesuai kesepakatan.

[3] Jual beli – Franchisor menjual bahan baku yang habis pakai kepada Franchisee.

Akad utama dari 3 akad di atas adalah akad musyarakah brand. Sementara akad kedua dan ketiga merupakan pelengkapnya.

Jika franchise ayam bakar Mukidi dihargai 5jt selama 5th, dengan biaya royalty 5% dari omzet, dan nilai bahan baku sesuai stok yang dibutuhkan,

[1] Nilai 5 juta adalah nilai sewa sistem, managemen, SOP dan semua turunannya selama 5 tahun.

[2] Nilai 5% adalah bagi hasil atas penggunaan brand ayam bakar Mukidi

[3] Biaya bahan baku – hasil dari akad jual beli.

Dan bentuk akad semacam ini dibolehkan, mengingat tidak ada pelanggaran terhadap aturan syariat.

Sementara adanya ketentuan lain yang menguntungkan sepihak, seperti pihak Franchisee tidak boleh menjual produk selain produk Pihak Franchisor, atau pihak Franchisee hanya dibenarkan menjual produk di area tertentu, ketentuan ini dibolehkan. Karena hukum asal setiap kesepakatan dibolehkan, selama tidak melanggar syariat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ

“Setiap muslim harus mengikuti setiap kesepakatan diantara mereka.” (HR. Abu Daud 3596 dan yang lainnya – dishahihkan al-Albani)

Demikian…

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Zubair bin Awwam Sang Pengawal Rasulullah



Masa Kecil Hingga Hijrah ke Madinah

Zubair bin Awwam adalah salah seorang sahabat yang mulia. Ia termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga walaupun ia belum meninggal dunia. Ia salah seorang dari enam ahli syura, yang memusyawarahkan pengganti khalifah Umar bin Khattab, ini merupakan pengakuan terhadap keilmuan dan kematangannya.

Zubair merupakan keponakan dari ibunda Khadijah radhiallahu ‘anha, karena ayahnya adalah saudara laki-laki sang ummul mukminin. Adapun ibunya adalah bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Shafiyyah binti Abdul Muthalib. Nasab laki-laki Quraisy ini adalah sebagai berikut: Zubair bin Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay bin Kilab al-Qurasyi al-Asadi. Kun-yahnya adalah Abu Abdullah, Hawari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hawari Rasulullah ini dilahirkan 28 tahun sebelum hijrah, masuk Islam di Mekah saat berusia 15 tahun melalui perantara Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu‘anhu. Tentu saja keislamannya menimbulkan kemarahan orang-orang kafir Quraisy, terutama dari kalangan keluarganya. Pamannya menggulung badannya dengan tikar, lalu dipanaskan dengan api agar ia kembali ke agama nenek moyangnya. Namun dengan keyakinan yang kuat ia katakan, “Aku tidak akan kembali kepada kekufuran selama-lamanya”.

Di antara keistimewaan Zubair yang lainnya adalah ia turut serta dalam dua kali hijrah, hijrah ke Habasyah lalu menikah dengan putri Abu Bakar, Asma binti Abu Bakar radhiallahu ‘anha, kemudian ke Madinah dan mendapat anugerah putra pertama yang diberi nama Abdullah dan putra kedua Mush’ab radhiallahu ‘anhuma.

Kedudukan Zubair

– Orang pertama yang menghunus pedang di jalan Allah adalah Zubair. Dari Aurah dan Ibnu al-Musayyib keduanya berkata, “Laki-laki pertama yang menghunuskan pedangnya di jalan Allah adalah Zubair.” Peristiwa tersebut terjadi saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diganggu, lalu ia menghunuskan pedangnya kepada orang-orang yang mengganggu Nabi.

– Hawari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di hari Perang Ahzab, “Siapa yang akan memerangi Bani Quraidhah?” Zubair menjawab, “Saya (ya Rasulullah)” Beliau kembali bertanya, “Siapa yang akan memerangi Bani Quraidhah?” Zubair kembali merespon, “Saya” Lalu Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setiap nabi memiliki hawari (teman-teman setia), dan hawariku adalah Zubair.”

– Malaikat Jibril tampil dengan fisik Zubair bin Awwam di Perang Badar. Dari Aurah bin Zubair, “Zubair mengenakan mantel kuning (di hari itu), lalu Jibril turun dengan menyerupai Zubair. Di Perang Badar, Rasulullah menempatkan Zubair di sayap kanan pasukan, lalu ada sosok Zubair dekat dengan Rasulullah, beliau berkata kepadanya, “Perangilah mereka wahai Zubair!” Lalu orang itu menjawab, “Aku bukan Zubair.” Akhirnya Rasulullah mengetahui bahwa itu adalah malaikat yang Allah turunkan dengan sosok Zubair, untuk membantu kaum muslimin di Perang Badar.

Perselisihan Antara Para Sahabat

Sebagaimana telah masyhur dalam sejarah, terjadi perselisihan antara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tuntutan hukum terhadap pembunuh Utsmani bin Affan radhiallahu ‘anhu. Perselisihan yang mengakibatkan peperangan di antara mereka karena disusupi oleh orang-orang yang mengadu domba. Perselisihan ini sekaligus ujian bagi kita, apakah kita akan menjadi pencela sahabat Nabi atau kita tetap menghormati mereka sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah memuliakan mereka.

Ini adalah di antara takdir-takdir Allah yang terjadi kepada para hamba-Nya. Sebagaimana terjadi kepada bapak kita, Nabi Adam ‘alaihissalam. Lantaran Allah menakdirkan agar manusia menetapi bumi sebagai tempat tinggal mereka, Allah takdirkan Nabi Adam melakukan suatu perbuatan yang menyebabkannya dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke dunia. Lalu apakah kita akan mencela Nabi Adam dengan mengatakan, “Seandainya Nabi Adam tidak memakan buah khuldi, pasti kita sekarang tidak perlu merasakan beratnya cobaan di dunia, kita pasti sekarang sedang menikmati indahnya tinggal di surga.” Tentu kita tidak akan mengatakan demikian bukan.. Sama halnya kita tidak mencela para sahabat Nabi dan melupakan keutamaan-keutamaan yang telah Allah dan Rasul-Nya sematkan untuk mereka. Kita hanya katakan,

إِذَا حَضَرَ القَدَرُ ذَهَبَ البَصَرُ

“Kalau takdir terjadi (telah ditetapkan), akal pun jadi hilang.”

Saat terjadi perselisihan antara sahabat tersebut, dua orang ahli syura dan termasuk orang yang dijamin masuk surga, yaitu Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam berada di pihak yang berseberangan dengan Ali bin Abi Thalib. Kedua orang sahabat Nabi ini, bertolak dari Mekah menuju Bashrah di Irak untuk menuntut ditegakkannya hukum atas para pembunuh Utsman. Peristiwa itu terjadi para tahun 36 H, puncaknya, terjadi Perang Jamal.

Berlinang air mata Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu melihat sekedup ibunda Aisyah berada di tengah medan perang, lalu ia berteriak kepada Thalhah, “Wahai Thalhah, apakah engkau datang untuk memerangi pengatinnya Rasulullah, sementara istrimu aman berada di rumah?” Lalu Thalhah pun terperanjat dengan ucapan tersebut, ia berlari dari medan fitnah, namun sebuah anak panah lepas dari busurnya dan tepat menyasar urat kakinya. Karena pendarahan dari luka tersebut, setelah beberapa waktu, Thalhah radhiallahu ‘anhu pun wafat.

Ali juga mengingatkan Zubair, “Wahai Zubair, aku memanggilmu atas nama Allah. Tidakkah engkau ingat, suatu hari dimana engkau lalui bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat itu kita berada di suatu tempat, Rasulullah bertanya kepadamu, ‘Wahai Zubair, apakah engkau mencintai Ali?’

Kau jawab, ‘Bagaimana bisa aku tidak mencintai anak dari pamanku (baik dari pihak ayah ataupun ibu) dan dia seagama denganku’.

Beliau melanjutkan sabdanya, ‘Demi Allah wahai Zubair, sungguh engkau akan memeranginya dan saat itu engkau berada di pihak yang keliru’.”

Zubair mengatakan, ‘Aku ingat sekarang, dan aku hilaf dari pesan beliau itu. Demi Allah, aku tidak akan memerangimu.” Setelah pergi dari perang fitnah itu, akhirnya saat sedang shalat, Zubair wafat dibunuh oleh seorang penghianat yang bernama Amr bin Jurmuz.

Dalam perselisihan yang terjadi antara para sahabat Nabi ini, penulis mengingatkan agar para pembaca tidak ‘sembrono’ dalam bersikap sehingga mendudukkan sahabat Nabi tidak pada kedudukan yang layak untuk mereka, sebagaimana yang telah Allah dan Rasul-Nya tempatkan mereka pada kedudukan yang tinggi di dalam agama kita. Apa yang terjadi pada mereka adalah bagian takdir Allah yang Allah sendiri paling tahu akan hikmah-hikmahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلنُّجُوْمُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ. فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُوْمُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوْعَدُ. وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِـيْ. فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ. وَأَصْحَابِـيْ أَمَنَـةٌ لِأُمَّتِيْ. فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِـيْ أَتَى أُمَّتِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ

“Bintang-bintang itu sebagai penjaga langit, apabila bintang-bintang itu hilang maka datanglah apa yang dijanjikan atas langit itu. Dan aku adalah penjaga bagi para shahabatku, apabila aku telah pergi (meninggal dunia) maka akan datang kepada shahabatku apa yang dijanjikan kepada mereka (fitnah dan pembunuhan). Dan para shahabatku adalah penjaga bagi umatku, apabila shahabatku telah pergi (meninggal dunia) maka akan datang apa yang dijanjikan kepada mereka’.” (HR. Muslim no. 2531).

Wafatnya Zubair

Zubair bin Awwam radhiallahu ‘anhu wafat pada bulan Rabiul Awal tahun 36 H. Saat itu beliau berusia 66 atau 67 tahun. Ia dibunuh oleh seorang yang bernama Amr bin Jurmuz. Kabar wafatnya Zubair membawa duka yang mendalam bagi amirul mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Nerakalah bagi pembunuh putra Shafiyyah ini.” Saat pedang Zubair dibawakan ke hadapannya, Ali pun menciumi pedang tersebut sambil berurai air mata, lalu berucap “Demi Allah, pedang yang membuat pemilikinya mulia (dengan berjihad) dan dekat dengan Rasulullah (sebagai hawari pen.).

Setelah jasad Zubair dimakamkan, Ali mengucapkan kalimat perpisahan kepada Zubair, “Sungguh aku berharap bahwa aku, Thalhah, Zubair, dan Utsman termasuk orang-orang yang difirmankan Allah,

وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ

“Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (QS. Al-Hijr: 47)

Ali menatap kubur Thalhah dan Zubair sambil mengatakan, “Sungguh kedua telingaku ini mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Thalhah dan Zubair berjalan di surga.”

Semoga Allah senantiasa meridhai dan merahmatimu wahai hawari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menempatkanmu di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan. Amin..

Sumber: islamstory.com

Hukum Investasi BOT



Investasi BOT

Si A memiliki lahan, tapi tidak bisa mengembangkan karena masalah modal. Datang si B sebagai investor. Dia akan membangun hotel di lahan si A. dengan perjanjian, untuk hasil 20 tahun pertama, semua hasil milik si B (investor). Tahun selanjutnya, hotel menjadi milik si A (pemilik lahan). Apakah investasi dengan cara seperti ini dibolehkan?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Diantara metode yang kami gunakan dalam memahami akad adalah melihat akad berdasarkan konsekuensinya. Karena menentukan akad itu melihat hakekatnya, bukan semata melihat namanya. Dalam hal ini berlaku kaidah fiqhiyah yang berlaku dalam kajian fiqh muamalah maliyah,

العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني

“Yang menjadi acuan dalam akad melihat maksud dan hakekat akad, bukan berdasarkan lafadz dan kalimat” (al-Wajib fi Idhah al-Qawaid al-Kulliyah, hlm. 147).

Bisa jadi konsumen menyebutnya ‘minta’, padahal hakekatnya beli. Bisa juga konsumen menyebutnya ‘pinjam’, tapi hakekatnya sewa. Semua itu melihat konsekuensi dan hakekat akad.

Sebagai contoh, si A pinjam mobil ke si B untuk dipakai perjalanan dari Jakarta ke Bogor. Si B mensyaratkat, boleh pinjam mobil asal BBM diisi pertamax penuh ketika dikembalikan. Padahal saat dibawa, BBM mobil di bawah garis merah.

Sekilas transaksi yang terjadi adalah pinjam meminjam. Namun yang benar tidak, karena pinjaman yang disyaratkan harus memberikan imbalan (iwadh), statusnya sewa. Sehingga yang benar, si A sewa mobil ke si B dengan harga BBM pertamax penuh 1 tanki mobil.

Investasi BOT

Kita ulang pertanyaan di atas,

Si A memiliki lahan, tapi tidak bisa mengembangkan karena kendala modal. Datang si B sebagai investor. Dia akan membangun hotel di lahan si A. dengan perjanjian, untuk hasil 20 tahun pertama, semua hasil milik si B (investor). Tahun selanjutnya, hotel menjadi milik si A (pemilik lahan).

Ada 2 kemungkinan pendekatan untuk memahami akad seperti yang anda ceritakan;

[1] Akad yang terjadi adalah akad musyarakah

Si A dan si B melakukan syirkah, dengan modal yang berbeda. Modal si A dalam bentuk lahan, modal si B dalam bentuk bangunan.

[2] Akad yang terjadi adalah sewa menyewa

Si B sebagai pemilik bangunan, menyewa lahan milik si A untuk didirikan hotel, selama 20 tahun, dengan pembayaran dalam bentuk bangunan hotel di usia 20 tahun.

Penjelasan:

Jika kita pahami sebagai akad musyarakah, di sana ada kesepakatan yang cacat. Karena dalam akad musyarakah, salah satu pihak tidak boleh menguasai hasil di rentang tertentu tanpa melibatkan pihak kedua. Sehingga ketika si B sebagai pemilik bangunan meminta agar hasil selama 20 tahun menjadi milik dia, akad yang berlangsung bukan lagi musyarakah yang sah. Karena kita tidak tahu, di tahun berapa usaha ini bisa memberikan hasil yang lebih.

Penjelasan selengkapnya, bisa anda pelajari di:

Bagi Hasil Beda Tahap

Si A dan si B melakukan transaksi mudharabah. Si A sbg pemodal dan si B sbg mudharib. Si A membuat perjajian, untuk masa usaha 1 tahun pertama, bagi hasilnya 90:10. Dimana 90% menjadi...
Read More

Karena itu, yang lebih mendekati, dalam transaksi BOT (build operate transfer), akad yang terjadi adalah akad sewa menyewa. Di mana pengembang (kontraktor) menyewa lahan dari pemilik untuk dijadikan properti selama waktu tertentu, dengan pembayaran properti yang dibangun di usia ketika transfer.

Dalam kasus di atas, si B menyewa lahan dari si A selama 20 tahun, dengan pembayaran berupa hotel di usia 20 tahun. Ini lebih sejalan dengan aturan yang berlaku dalam akad sewa, dibandingkan akad musyarakah.

Hanya saja, ada bagian aturan akad yang perlu disempurnakan, terutama di posisi hotel sebagai alat pembayaran.

Dalam akad ijarah (sewa), nilai sewa harus jelas. Jika nilai sewa tidak jelas, berarti akad yang dilakukan statusnya gharar.

As-Sarkhasi mengatakan,

وجهالة الأجرة تفسد الإجارة

Tidak diketahuinya nilai ujrah, menyebabkan akad sewa menjadi batal. (al-Mabsuth, 15/157).

Sewa lahan di atas dibayar dengan hotel. Sehingga kriteria hotel yang akan dijadikan alat pembayaran harus jelas. Terutama nilai hotel yang dimaksud di usia 20 tahun dalam kondisi normal. Mereka harus memiliki gambaran, semisal melalui informasi dari appraisal. Ini semua dalam rangka menghindari gharar.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Bagi Hasil Beda Tahap



Si A dan si B melakukan transaksi mudharabah. Si A sbg pemodal dan si B sbg mudharib. Si A membuat perjajian, untuk masa usaha 1 tahun pertama, bagi hasilnya 90:10. Dimana 90% menjadi hak si A. Dg ini, si A berharap bisa lebih cepat BEP atas modal yang dia berikan.
Untuk tahun kedua dan seterusnya, bagi hasil 60:40, dengan 60% menjadi hak si B sebagai mudharib. Bolehkah skema mudharabah di atas?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Diantara prinsip dalam mudharbah adalah keseimbangan antara peluang untung dan resiko rugi. Sehingga ketika seseorang berharap bisa mendapatkan keuntungan dalam akad ini, dia juga harus siap menanggung risiko rugi. Jika ada satu pihak yang dia hanya bisa medapat keuntungan, sementara dia bebas dari resiko rugi, berarti ada kedzaliman dalam akad mudharabah yang dijalankan.

Kaidah ini tertuang dalam sebuah hadis, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ

“Hasil itu sebagai ganti dari resiko rugi yang ditanggung”

Ada sebuah kaidah yang disampaikan para ulama,

يستحق الربح إما بالمال أو بالعمل أو بالضمان

“Hak mendapat keuntungan, karena ada modal, pekerjaan, atau resiko kerugian.” (Jamharah al-Qawaid al-Fiqhiyah)

Karena itu, ketika keuntungan dalam satu kerja sama mudharabah tidak jelas, maka keuntungan bagi para pelaku mudharabah juga tidak jelas. Jika ada salah satu pihak dalam kerja sama mudharabah mendapatkan keuntungan yang jelas, bisa dipastikan dia akan mendzalimi yang lain.

Sebagai contoh, si A dan si B bekerja sama membuka warung. Si A sebagai pemodal dan si B sebagai pengelola. Ketika penghasilan warung ini tidak pasti, maka pendapatan untuk si A dan si B juga harus tidak pasti. Sehingga, tidak boleh bagi si A sebagai pemodal, meminta jatah yang pasti, sementara hasil warung tidak pasti.

As-Syirazi –ulama Syafiiyah – menjelaskan bagian dari aturan mudharabah,

ولا يجوز أن يختص أحدهما بدرهم معلوم ثم الباقي بينهما ؛ لأنه ربما لم يحصل ذلك الدرهم ، فيبطل حقه ، وربما لم يحصل غير ذلك الدرهم ، فيبطل حق الآخر

“Salah satu pelaku akad mudharabah tidak boleh dikhususkan untuk mendapatkan uang senilai tertentu, kemudian sisanya dibagi sesuai kesepakatan keduanya. Karena bisa jadi uang senilai itu tidak didapatkan, sehingga dia tidak mendapatkan apapun. Dan bisa jadi yang didapatkan hanya uang senilai itu, lalu dijadikan gaji sehingga hak kawannya tidak ada.” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 14/366)

Bahkan Ibnul Mundzir menyampaikan, bahwa ulama sepakat, mudharabah menjadi batal jika ada salah satu pihak mendapat jatah khusus.

Ibnul Mundzir mengatakan,

أجمع كل من نحفظ عنه على إبطال القِراض إذا جعل أحدهما أو كلاهما لنفسه دراهم معلومة

“Semua ulama yang saya ketahui, bahwa qiradh menjadi batal apabila salah satu pihak atau masing-masiing pihak ditetapkan mendapatkan uang senilai tertentu.” (al-Mughni, 5/148).

Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada akad pengelolaan lahan pertanian (muzara’ah) dimana salah satu pihak dalam kerja sama mendapatkan hasil tertentu. Kemudian ini dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةِ وَالْمُخَابَرَةِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam malarang muhaqalah, muzabanah, dan mukhabarah… (HR. Muslim 3989, Nasai 3896 dan yang lainnya).

Muhaqalah diantara pengertiannya adalah akad kerja sama pengelolaan lahan pertanian, di mana pihak pemodal mendapatkan jatah tertentu. Sementara mukhabarah kerja sama pengelolaan lahan dengan pembagian sebagian hasilnya. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/349).

Contoh muhaqalah, kerja sama pengelolaan lahan di mana pemodal mendapat jatah tertentu, misal 3 kwintal beras atau uang 5jt atau semacamnya.

Contoh mukhabarah, kerja sama pengelolaan lahan ditanami berbagai tanaman, misal jagung dan kacang, di mana pemodal minta hasil kacang saja, sementara petani mendapatkan kacang saja.

Praktek seperti ini dilarang, mengingat ada sebagian anggota syirkah yang mendapat jatah khusus yang pasti, sementara hasil dari kelola lahan itu tidak pasti.

Belum tentu hasil bisa di atas 5 juta, juga belum tentu kacang lebih banyak hasilnya dari pada jagung.

Kasus yang semisal, jika dalam kerja sama mudharabah pemodal meminta pembagian tertentu, misal dia minta semua hasil di tahun pertama milik pemodal, sementara hasil di tahun kedua milik pengelola, ini tidak dibolehkan. Melanggar ketentuan di atas. Karena dia meminta sesuatu yang pasti atau jatah lebih awal, sementara tidak diketahui mana yang lebih besar hasilnya, antara tahun pertama dengan tahun kedua.

Dalam kasus di atas,

Pemodal meminta 90% untuk masa usaha 1 tahun pertama, dengan harapan bisa lebih cepat kembali modal (BEP). Menurut kami, ini tidak boleh. Sejenis dengan kasus di atas, pemodal meminta semua hasil di tahun pertama, sementara pengelola di tahun kedua. Tidak bisa dipastikan mana yang hasilnya lebih besar.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Saad Bin Abi Waqqash (Singa yang Menyembunyikan Kukunya)


Saad bin Abi Waqqash adalah salah seorang sahabat yang paling pertama memeluk Islam. Hanya beberapa orang sahabat saja yang mendahuluinya. Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu ajma’in merekala orangnya. Laki-laki Quraisy ini mengucapkan dua kalimat syahadat ketika berusia 27 tahun. Di masa kemudian, ia menjadi tokoh utama di kalangan sahabat. Dan termasuk 10 orang yang diberi kabar gembira sebagai penghuni surga.

Nasab Saad bin Abi Waqqash

Merupakan bagian penting dalam rekam jejak seseorang adalah nasab keluarga. Keluarga memiliki peran penting dalam pembentukan karakter seseorang. Ayah Saad adalah anak dari seorang pembesar bani Zuhrah. Namanya Malik bin Wuhaib bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Amir bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan.

Adnan adalah keturunan dari Nabi Ismail bin Ibrahim ‘alaihimassalam.

Malik, ayah Saad, adalah anak paman Aminah binti Wahab, ibu Rasulullah ﷺ. Malik juga merupakan paman dari Hamzah bin Abdul Muthalib dan Shafiyyah binti Abdul Muthalib. Sehingga nasab Saad termasuk nasab yang terhormat dan mulia. Dan memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi ﷺ.

Ibunya adalah Hamnah binti Sufyan bin Umayyah al-Akbar bin Abdu asy-Syams bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Amir bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan.

Ketika Rasulullah sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya, beliau memuji dan mencandai Saad dengan mengatakan,

هَذَا خَالِي فَلْيُرِنِي امْرُؤٌ خَالَهُ

“Ini pamanku, maka hendaklah seseorang memperlihatkan pamannya kepadaku.” (HR. al-Hakim 6113 dan at-Tirmidzi 3752. At-Tirmidzi mengatakan hadist ini hasan).

Masa Pertumbuhan

Saad dilahirkan di Mekah, 23 tahun sebelum hijrah. Ia tumbuh dan terdidik di lingkungan Quraisy. Bergaul bersama para pemuda Quraisy dan pemimpin-pemimpin Arab. Sejak kecil, Saad gemar memanah dan membuat busur panah sendiri. Kedatangan jamaah haji ke Mekah menambah khazanah pengetahuannya tentang dunia luar. Dari mereka ia mengenal bahwa dunia itu tidak sama dan seragam. Sebagaimana samanya warna pasir gurun dan gunung-gunung batu. Banyak kepentingan dan tujuan yang mengisi kehidupan manusia.

Memeluk Islam

Mengenal Islam sejak lahir adalah sebuah karunia yang besar. Karena hidayah yang mahal harganya itu, Allah beri tanpa kita minta. Berbeda bagi mereka yang mengenal Islam di tengah jalannya usia. Keadaan ini tentu lebih sulit. Banyak batu sandungan dan pemikiran yang membingungkan.

Saad bin Waqqash memeluk Islam saat berusia 17 tahun. Ia menyaksikan masa jahiliyah. Abu Bakar ash-Shiddiq berperan besar mengenalkannya kepada agama tauhid ini. Ia menyatakan keislamannya bersama orang yang didakwahi Abu Bakar: Utsman bin Affan, Zubair bin al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Thalhah bin Ubaidillah. Hanya tiga orang yang mendahului keislaman mereka.

Dipaksa Meninggalkan Islam

Ketika Saad bin Abi Waqqash memeluk Islam, menerima risalah kerasulan Muhammad ﷺ, dan meninggalkan agama nenek moyangnya, ibunya sangat menentangnya. Sang ibu ingin agar putranya kembali satu keyakinan bersamanya. Menyembah berhala dan melestarikan ajaran leluhur.

Ibunya mulai mogok makan dan minum untuk menarik simpati putranya yang sangat menyayanginya. Ia baru akan makan dan minum kalau Saad meninggalkan agama baru tersebut.

Setelah beberapa lama, kondisi ibu Saad terlihat mengkhawatirkan. Keluarganya pun memanggil Saad dan memperlihatkan keadaan ibunya yang sekarat. Pertemuan ini seolah-olah hari perpisahan jelang kematian. Keluarganya berharap Saad iba kepada ibunda.

Saad menyaksikan kondisi ibunya yang begitu menderita. Namun keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya berada di atas segalanya. Ia berkata, “Ibu… demi Allah, seandainya ibu mempunyai 100 nyawa. Lalu satu per satu nyawa itu binasa. Aku tidak akan meninggalkan agama ini sedikit pun. Makanlah wahai ibu.. jika ibu menginginkannya. Jika tidak, itu juga pilihan ibu”.

Ibunya pun menghentikan mogok makan dan minum. Ia sadar, kecintaan anaknya terhadap agamanya tidak akan berubah dengan aksi mogok yang ia lakukan. Berkaitan dengan persitiwa ini, Allah pun menurunkan sebuah ayat yang membenarkan sikap Saad bin Abi Waqqash.

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS: Luqman | Ayat: 15).

Doanya Tidak Tertolak

Saad bin Abi Waqqash adalah seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang memiliki doa yang manjur dan mustajab. Rasulullah ﷺ meminta kepada Allah ﷻ agar doa Saad menjadi doa yang mustajab tidak tertolak. Beliau ﷺ bersabda,

اللَّهُمَّ سَدِّدْ رَمَيْتَهُ، وَأَجِبْ دَعْوَتَهُ

“Ya Allah, tepatkan lemparan panahnya dan kabulkanlah doanya.” (HR. al-Hakim, 3/ 500).

Doa Rasulullah ini menjadikan Saad seorang prajurit pemanah yang hebat dan ahli ibadah yang terkabul doanya.

Seorang Mujahid

Saad bin Abi Waqqash adalah orang pertama dalam Islam yang melemparkan anak panah di jalan Allah. Ia juga satu-satunya orang yang Rasulullah pernah menyebutkan kata “tebusan” untuknya. Seperti dalam sabda beliau  dalam Perang Uhud:

اِرْمِ سَعْدُ … فِدَاكَ أَبِيْ وَأُمِّيْ

“Panahlah, wahai Saad… Tebusanmu adalah ayah dan ibuku.”( HR. at-Tirmidzi, no. 3755).

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah ﷺ menebus seseorang dengan ayah dan ibunya kecuali Saad. Sungguh dalam Perang Uhud aku mendengar Rasulullah mengatakan,

اِرْمِ سَعْدُ … فِدَاكَ أَبِيْ وَأُمِّيْ

“Panahlah, wahai Saad… Tebusanmu adalah ayah dan ibuku.”( HR. at-Tirmidzi, no. 3755).

Dan Saad sangat merasa terhormat dengan motivasi Rasulullah ini.

Di antara keistimewaan lain, yang ada pada diri Saad bin Abi Waqqash termasuk seorang penunggang kuda yang paling berani di kalangan bangsa Arab dan di antara kaum muslimin. Ia memiliki dua senjata yang luar biasa; panah dan doa.

Peperangan besar yang pernah ia pimpin adalah Perang Qadisiyah. Sebuah perang legendaris antara bangsa Arab Islam melawan Majusi Persia. 3000 pasukan kaum muslimin beradapan dengan 100.000 lebih pasukan negara adidaya Persia bersenjata lengkap. Prajurit Persia dipimpin oleh palingma mereka yang bernama Rustum. Melaui Saad lah, Allah memberi kemanangan kepada kaum muslimin atas negara adidaya Persia.

Umar Mengakui Amanahnya Dalam Memimpin

Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu pernah mengamanahi Saad jabatan gubernur Irak. Sebuah wilayah besar dan penuh gejolak. Suatu ketika rakyat Irak mengadukannya kepada Umar. Mereka menuduh Saad bukanlah orang yang bagus dalam shalatnya. Permasalahan shalat bukanlah permsalahan yang ringan bagi orang-orang yang mengetahui kedudukannya. Sehingga Umar pun merespon laporan tersebut dengan memanggil Saad ke Madinah.

Mendengar laporan tersebut, Saad tertawa. Kemudian ia menanggapi tuduhan tersebut dengan mengatakan, “Demi Allah, sungguh aku shalat bersama mereka seperti shalatnya Rasulullah. Kupanjangkan dua rakaat awal dan mempersingkat dua rakaat terakhir”.

Mendengar klarifikasi dari Saad, Umar memintanya kembali ke Irak. Akan tetapi Saad menanggapinya dengan mengatakan, “Apakah engkau memerintahkanku kembali kepada kaum yang menuduhku tidak beres dalam shalat?” Saad lebih senang tinggal di Madinah dan Umar mengizinkannya.

Ketika Umar ditikam, sebelum wafat ia memerintahkan enam orang sahabat yang diridhai oleh Nabi  -salah satunya Saad- untuk bermusyawarah memilih khalifah penggantinya. Umar berkata, “Jika yang terpilih adalah Saad, maka dialah orangnya. Jika selainnya, hendaklah meminta tolong (dalam pemerintahannya) kepada Saad”.

Sikap Saad Saat Terjadi Perselisihan Antara Ali dan Muawiyah

Saad bin Abi Waqqash menjumpai perselisihan besar yang terjadi pada kaum muslimin. Antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan, radhiallahu ‘anhum ajma’in. Sikap Saad pada saat itu adalah tidak memihak kelompok manapun. Ia juga memerintahkan keluarga adan anak-anaknya untuk tidak mengabarkan berita apapun kepadanya.

Keponakannya, Hisyam bin Utbah bin Abi Waqqash, berkata kepadanya, “Wahai paman, ini adalah 100.000 pedang (pasukan) yang menganggap Andalah yang berhak menjadi khalifah”. Saad menjawab, “Aku ingin dari 100.000 pedang tersebut satu pedang saja. Jika aku memukul seorang mukmin dengan pedang itu, maka ia tidak membahayakan. Jika dipakai untuk memukul orang kafir (berjihad), maka ia mematikan”. Mendengar jawaban pamannya, Hisyam paham bahwa pamannya, Saad bin Abi Waqqash sama sekali tidak ingin ambil bagian dalam permasalahan ini. Ia pun pergi.

Wafat

Saad bin Abi Waqqash termasuk sahabat yang berumur panjang. Ia juga dianugerahi Allah harta yang banyak. Namun ketika akhir hayatnya, ia mengenakan pakaian dari wol. Jenis kain yang dikenal murah kala itu. Ia berkata, “Kafani aku dengan kain ini, karena pakaian inilah yang aku pakai saat memerangi orang-orang musyrik di Perang Badar”.

Saad wafat pada tahun 55 H. Ia adalah kaum muhajirin yang paling akhir wafatnya. Semoga Allah meridhainya.

Sumber:
http://islamstory.com/