Islam merupakan agama yang syamil mutakamil. Sejalan dengan ayat Al-Qur’an yang terakhir turun,
“…Hari ini telah Kusempurnakan agamamu bagimu,. Aku cukupkan nikmatku untukmu dan Aku Ridhai Islam sebagai agamamu…” (QS. Al-Maidah : 3),
Islam didesain oleh Allah SWT untuk mampu menjawab segala problematika dan tantangan zaman. Al-Islam huwal Hallu; Islam adalah solusi.
Karena itulah sumber hukum Islam bukan hanya Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ada sumber hukum lain di bawah keduanya, yakni ijtihad. Jika Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah pasti dan berlaku kekal sampai akhir zaman, maka ijtihad cukup dinamis untuk merespon permasalahan-permasalahan kekinian. Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan wahyu yang dianugerahkan Allah sebagai petunjuk bagi orang beriman. Namun ijtihad mengambil dari keduanya untuk menjawab segala persoalan yang datang kemudian.
Di dalam syariat ada hal-hal yang bersifat tetap atau permanen (tsawabit) dan ada yang berubah atau fleksibel (mutaghayyirat). Di antara hal yang bersifat tsawabit adalah aqidah, pokok-pokok ibadah, pokok-pokok larangan, dan pokok-pokok akhlaq. Pada ranah ini tidak ada ijtihad. Sedangkan hal-hal yang bersifat tsawabit misalnya masalah fiqih. Di sinilah letak keistimewaan Islam. Sekaligus di sinilah jawaban bagi orang-orang sekuler seperti Kemal Ataturk yang mengatakan: “Kehidupan senantiasa berubah sedangkan syariat tetap. Bagaimana mungkin kita bisa menghukumi kehidupan yang berubah dengan hukum-hukum syariat yang tetap?”
Di antara bentuk ijtihad adalah fatwa. Berbagai pertanyaan berkenaan dengan berbagai masalah kehidupan dilontarkan kepada ulama atau mufti, baik secara lisan maupun tertulis, dan ulama atau mufti harus menjawabnya. Terlebih lagi jika tidak ada orang lain yang mampu menjawabnya selain dia, untuk saat yang dibutuhkan waktu itu. Jawaban ini tentu saja berangkat dari ijtihad. Dengan demikian, fatwa muncul untuk merespon realita.
Para ulama’ telah menjelaskan bahwa fatwa bisa berubah. Karenanya kita dapati para ulama’ (bahkan Rasulullah) pernah memberikan fatwa yang berbeda untuk permasalahan yang sama. Lebih jauh bahkan Imam Syafi’i memiliki kumpulan fatwa baru (qaul jadid) yang berbeda dari fatwa-fatwa lama (qaul qadim). Faktor yang mempengaruhi perubahan fatwa itu adalah: perubahan tempat, perubahan waktu, perubahan kondisi, dan perubahan tradisi (‘urf).
Selain faktor hal di atas, melalui buku ini Dr. Yusuf Qaradhawi menambahkan enam faktor lagi: perubahan informasi (maklumat), perubahan kebutuhan manusia, perubahan kemampuan manusia, perubahan kondisi sosial ekonomi politik, perubahan pendapat dan pemikiran, serta musibah (ujian dan cobaan). Jadilah semuanya 10 faktor pengubah fatwa.
Perubahan Tempat
Lingkungan bisa mempengaruhi pemikiran dan tingkah laku. Karenanya para ulama’ menjadikan perubahan tempat sebagai salah satu faktor perubahan fatwa. Artinya, dalam satu masalah yang sama bisa berbeda fatwa karena subyeknya berbeda tempat/lingkungan. Di antaranya :
Antara badui dan kota
Orang badui yang masuk Islam diharuskan hijrah ke kota untuk mencari ilmu dan mengenal peradaban. Fatwa hijrah ini tidak untuk orang kota. Sebagian ahli fiqih melarang kesaksian badui atas orang kota karena ketidaktahuan mereka bisa berdampak negatif.
Negara bersuhu panas dan negara bersuhu dingin
Karena ini menentukan perbedaan kebutuhan hidup dan tingkat emosi. Penduduk negeri bersuhu panas biasanya lebih kasar dan cepat marah dibandingkan penduduk negeri bersuhu dingin.
Perubahan tempat oleh perubahan iklim
Ini berkaitan dengan curah hujan yang bisa menghalangi keluar rumah dan terkait dengan banyak ibadah seperti shalat jamaah, wudhu, tayamum, dan sebagainya.
Perubahan tempat bagi negeri Islam dan lainnya
Fatwa bisa berbeda karena status negeri itu; apakah negeri perang (darul harb), negeri yang terikat perjanjian (darul ‘ahd), atau negeri kafir (dar kufr). Orang Islam yang tinggal di negeri lain, tuntutan ilmu syar’i-nya lebih ringan dari kaum muslimin di negeri Islam karena hambatan yang ada tidak memungkinkannya mempelajari itu semua.
Perubahan Waktu
Yang dimaksudkan di sini bukan berubahnya fatwa karena perubahan tahun. Tetapi konteks pada waktu tersebut.
Pada zaman Rasulullah, hukuman bagi orang yang minum khamr tidak memiliki batasan tertentu, tetapi diterapkan dengan ta’zir. Pada masa Abu Bakar hukuman ditetapkan menjadi 40 kali cambukan. Karena banyak orang yang berani mabuk, Umar menetapkan 80 kali cambukan, disetarakan dengan pencemaran nama baik. Dan ini yang paling ringan.
Untuk kejahatan perkosaan Yusuf Qaradhawi mendukung fatwa ulama Saudi yang memutuskan hukuman mati. Karena, ia bisa mencegah orang yang selalu menodai kehormatan.
Begitupun melihat perubahan waktu yang semakin buruk saja akhlaq manusia. Yusuf Qaradhawi memfatwakan hukuman bagi pengedar narkoba sama dengan hukuman membegal (al-harabah), yakni pada surat Al-Maidah ayat 33.
Perubahan Kondisi
Kondisi sempit tidak sama dengan kondisi lapang, kondisi sakit tidak sama dengan kondisi sehat, kondisi bepergian tidak sama dengan kondisi mukim, kondisi perang tidak sama dengan kondisi damai, kondisi takut tidak sama dengan kondisi aman, kondisi kuat tidak sama dengan kondisi lemah, kondisi tua tidak sama dengan kondisi muda, kondisi buta huruf tidak sama dengan kondisi bisa baca-tulis. Mufti yang bijak memperhatikan kondisi-kondisi seperti ini.
Karenanya fatwa izin perang Rasulullah berbeda antara sebelum dan sesudah hijrah. Demikian pula fatwa Ibnu Abbas tentang taubatnya orang yang membunuh. Sebelumnya ia mengatakan taubatnya bisa diterima. Tetapi hari itu saat ada orang bertanya ia menjawab tidak diterima taubatnya. Ketika murid-muridnya bertanya ia menjelaskan: “Karena orang tadi hendak membunuh orang muslim.” Jika saja ia diberi fatwa taubatnya bisa diterima ia tentu akan melaksanakan niat di balik kemarahannya itu.
Perubahan Tradisi
Di antara faktor perubahan fatwa adalah perubahan tradisi yang menjadi pijakan fatwa sebelumnya. Contohnya dalam tradisi perdagangan dan ekonomi. Jika kita membayangkan “menggenggam” (al-qabdh) sebagaimana dijelaskan oleh para ahli fiqih, yaitu dari tangan ke tangan, kita pasti akan mengharamkan cek. Begitupun bolehnya akad melalui telepon, internet, faksimil, dan lain-lain yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Akad sebelumnya terbatasi dengan pertemuan langsung antara penjual dan pembeli.
Perubahan Pengetahuan
Perubahan ini bisa terjadi pada pengetahuan syar’i maupun non syar’i. Pengetahuan syar’i misalnya seorang mufti yang mengetahui derajat hadits yang berbeda dari sebelumnya. Sementara pengetahuan non syar’i misalnya seorang ulama telah mengetahui bahaya rokok yang sebelumnya belum ia ketahui, karenanya ia mengubah fatwanya dari makruh menjadi haram.
Perubahan Kebutuhan Manusia
Misalnya di zaman sekarang, di daerah-daerah panas, AC menjadi kebutuhan primer. Karenanya ia otomatis menjadi pengurang nishab zakat seperti kebutuhan primer lainnya. Sebab nishab zakat merupakan hal lebih dari kebutuhan pokok. Begitupun laptop bagi guru tidak sama tingkat kebutuhannya dengan laptop bagi petani seperti traktor yang menjadi kebalikannya. Ini terkait dengan zakat.
Begitupun hukum memelihara anjing, kurikulum pendidikan, membeli rumah melalui bank, dan sebagainya. Fatwa tentang itu bisa berubah seiring perubahan kebutuhan manusia.
Perubahan Kemampuan Manusia
Sekarang ilmu kedokteran telah mampu mencangkok organ tubuh manusia. Dulu tidak pernah terbayangkan. Perubahan kemampuan menyebabkan perubahan dalam hukum. Begitupun dengan pulang bepergian pada waktu malam. Dulu dilarang oleh hadits karena bisa mengagetkan, istri butuh persiapan, dan lain-lain. Sekarang dengan teknologi HP dan sejenisnya, kita bisa memberi kabar kepulangan kita sehingga tidak masalah jika pulang waktu malam.
Perubahan Situasi Sosial, Ekonomi, dan Politik
Ini juga bisa mengubah fatwa. Misalnya sekarang banyak masyarakat non muslim dalam lingkungan masyarakat Islam. Kita harus melihat permasalahan non-muslim dan wanita dengan pandangan baru. Kita harus mengambil fiqih yang taisir (memudahkan), fiqih yang tadarruj (gradualitas) dalam segala hal, untuk kemudian memperhatikan perubahan-perubahan kondisi.
Seperti juga ketika kondisi politik tidak menguntungkan kaum muslimin dengan berkuasanya rezim otoriter yang memusuhi Islam. Pada kondisi saat itu jika seorang ulama diminta fatwa secara terbuka ia perlu memikirkan akibat fatwa itu bagi umat Islam. Jangan sampai karena fatwanya kondisi umat Islam justru terancam dan gerakan dakwah Islam diberangus.
Perubahan Pendapat dan Pemikiran
Terkadang, ilmu pengetahuan tidak berubah tetapi pemikiran seorang mujtahid bisa berubah. Hal tersebut berdasarkan penelitiannya, perenungan, evaluasi terhadap hal yang sedang dipelajari atau fatwa sebelumnya, sehingga bisa menguak hal yang tersembunyi dan menampakkan hal yang samar.
Ujian dan Cobaan
Maksudnya adalah ujian dan cobaan umum/publik. Para ahli fiqih menjadikan ujian dan cobaan sebagai hal yang dapat memberi keringanan. Seperti televisi, misalnya. Ada yang mengharamkannya karena televisi memuat gambar. Tapi jika tidak melihat televisi umat justru kehilangan banyak informasi dan tertinggal. Begitupun dengan wanita yang keluar rumah karena bekerja, beraktivitas sosial dan sebagainya. Perlu untuk tidak lagi berkutat pada ungkapan lama bahwa wanita diciptakan untuk di rumah dan menjadi permaisuri di dalamnya. Ini karena kondisi umum, ujian dan cobaan yang menimpa umat Islam.