Zakat Harta Karun dan Barang Tambang
Rikaz secara bahasa berarti sesuatu yang terpendam di dalam bumi berupa barang tambang atau harta.
Secara syar’i, Rikaz berarti harta zaman jahiliyah berasal dari non muslim yang terpendam yang diambil dengan tidak disengaja tanpa bersusah diri untuk menggali, baik yang terpendam berupa emas, perak atau harta lainnya.
Sedangkan ma’dan berarti menetap atau diam.
Sedangkan secara syar’i yang dimaksud ma’dan adalah segala sesuatu yang berasal dari dalam bumi dan mempunyai nilai berharga. Ma’dan atau barang tambang di sini bisa jadi berupa padatan seperti emas, perak, besi, tembaga, timbal atau berupa zat cair seperti minyak bumi dan aspal.[1]
Demikian Jumhur (mayoritas) ulama membedakan antara rikaz dan ma’dan, berbeda dengan ulama Hanafiyah. Sebagaimana dalam hadits dibedakan antara rikaz dan ma’dan,
وَالْمَعْدِنُ جُبَارٌ ، وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ
“Barang tambang (ma’dan) adalah harta yang terbuang-buang dan harta karun (rikaz) dizakati sebesar 1/5 (20%).”[2]
Dalil wajibnya zakat rikaz dan ma’dan
Firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلَّا أَن تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu” (QS. Al Baqarah: 267).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالْمَعْدِنُ جُبَارٌ ، وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ
“Barang tambang (ma’dan) adalah harta yang terbuang-buang dan harta karun (rikaz) dizakati sebesar 1/5 (20%).”[3]
Membedakan harta yang ditemukan di dalam bumi[4]
Harta yang ditemukan dalam bumi dapat dibagi menjadi menjadi tiga:
1. Harta yang memiliki tanda-tanda kaum kafir (non muslim) dan harta tersebut terbukti berasal masa jahiliyah (sebelum Islam) disebut rikaz.2. Harta yang tidak memiliki tanda-tanda yang kembali ke masa jahiliyah, maka dapat dibagi dua:
- Jika ditemukan di tanah bertuan atau jalan bertuan disebut luqothoh (barang temuan).
- Jika ditemukan di tanah tidak bertuan atau jalan tidak bertuan disebut kanzun (harta terpendam).
Macam-macam harta di atas memiliki hukum masing-masing.
Apa yang dilakukan terhadap barang temuan yang terpendam?[5]
Harta terpendam tidak terlepas dari lima keadaan, yaitu:
1. Ditemukan di tanah tak bertuanSeperti ini menjadi milik orang yang menemukan. Nantinya ia akan mengeluarkan zakat sebesar 20% dan sisa 80% jadi miliknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan mengenai seseorang yang menemukan harta terpendam,
إن كنت وجدته في قرية مسكونة ، أو في سبيل ميتاء ، فعرفه ، وإن كنت وجدته في خربة جاهلية ، أو في قرية غير مسكونة ، أو غير سبيل ميتاء ، ففيه وفي الركاز الخمس
“Jika engkau menemukan harta terpendam tadi di negeri berpenduduk atau di jalan bertuan, maka umumkanlah (layaknya luqothoh atau barang temuan, pen). Sedankan jika engkau menemukannya di tanah yang menunjukkan harta tersebut berasal dari masa jahiliyah (sebelum Islam) atau ditemukan di tempat yang tidak ditinggali manusia (tanah tak bertuan) atau di jalan tak bertuan, maka ada kewajiban zakat rikaz sebesar 20%.”[6]2. Ditemukan di jalan atau negeri yang berpenduduk
Seperti ini diperintahkan untuk mengumumkannya sebagaimana barang temuan (luqothoh). Jika datang pemiliknya, maka itu jadi miliknya. Jika tidak, maka menjadi milik orang yang menemukan sebagaimana disebutkan dalam hadits sebelumnya.
3. Ditemukan di tanah milik orang lain
Ada tiga pendapat dalam masalah ini:
- Tetap jadi milik si pemilik tanah. Demikian pendapat Abu Hanifah, Muhammad bin Al Hasan, qiyas dari perkataan Imam Malik, dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
- Menjadi milik orang yang menemukan. Inilah pendapat yang lain dari Imam Ahmad dan Abu Yusuf. Mereka berkata bahwa yang namanya harta terpendam bukanlah jadi milik si empunya tanah, namun menjadi milik siapa saja yang menemukan.
- Dibedakan, yaitu jika pemilik tanah mengenai harta tersebut, maka itu jadi miliknya. Jika si pemilik tanah di mengenalnya, harta tersebut menjadi milik si pemilik tanah pertama kali. Demikian dalam madzhab Syafi’i.
Ada dua pendapat dalam masalah ini:
- Harta seperti ini menjadi milik yang menemukan di tanah miliknya saat ini. Demikian pendapat Malik, Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad selama pemilik pertama tanah tersebut tidak mengklaimnya.
- Harta tersebut menjadi milik pemilik tanah sebelumnya jika ia mengenal harta tersebut. Jika tidak dikenal, maka menjadi pemilik tanah sebelumnya lagi, dan begitu seterusnya. Jika tidak di antara pemilik tanah sebelumnya yang mengenalnya, maka perlakuannya seperti luqothoh (barang temuan).
Jika ditemukan dengan cara orang kafir dikalahkan (dalam perang), maka status harta yang terpendam tadi menjadi ghonimah (harta rampasan perang).
Jika harta tersebut mampu dikuasai dengan sendirinya tanpa pertolongan seorang pun, maka ada dua pendapat:
- Harta tersebut menjadi milik orang yang menemukan. Demikian pendapat dalam madzhab Ahmad, mereka qiyaskan dengan harta yang ditemukan di tanah tak bertuan.
- Jika harta tersebut dikenal oleh orang yang memiliki tanah tersebut yaitu orang kafir harbi dan ia ngotot mempertahankannya, maka status harta tersebut adalah ghonimah. Jika tidak dikenal dan tidak ngotot dipertahankan, maka statusnya seperti rikaz (harta karun). Demikian pendapat Malik, Abu Hanifah dan Syafi’i, masing-masing mereka memiliki rincian dalam masalah ini.
Nishob dan haul dalam zakat rikaz
Tidak dipersyaratkan nishob dan haul dalam zakat rikaz. Sudah ada kewajiban zakat ketika harta tersebut ditemukan. Besar zakatnya adalah 20% atau 1/5. Demikian makna tekstual dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ
“Zakat rikaz sebesar 20%”.[7] Inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama).[8]
Di mana disalurkan zakat rikaz?
Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa rikaz disalurkan pada orang yang berhak menerima zakat. Demikian pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Dan Imam Ahmad berkata, “Jika hanya diberikan rikaz tersebut kepada orang miskin, maka sah.”
Pendapat kedua menyatakan bahwa rikaz disalurkan untuk orang yang berhak menerima fai’ (harta milik kaum muslimin yang diperoleh dari orang kafir tanpa melakukan peperangan).
Kedua pendapat ini berasal dari dalil yang lemah. Oleh karena itu yang tepat dalam masalah ini adalah dikembalikan kepada keputusan penguasa. Demikian pendapat Abu ‘Ubaid dalamAl Amwal.[9]
Zakat Barang Tambang
Apakah barang tambang termasuk dalam zakat rikaz? Masalah ini terdapat dua pendapat:
Pertama: Barang tambang yang terkena kewajiban adalah seluruh barang tambang baik emas, perak, tembaga, besi, timbal, minyak bumi. Barang tambang ini termasuk rikaz yang terkena kewajiban untuk dikeluarkan sebagian darinya dan masih diperselisihkan berapa persen yang dikeluarkan. Intinya, ada kewajiban untuk dikeluarkan dari barang tambang berdasarkan
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu” (QS. Al Baqarah: 267). Demikian pendapat jumhur ulama yang mewajibkan zakat pada seluruh barang tambang.
Kedua: Barang tambang yang terkena kewajiban hanyalah emas dan perak. Demikian salah satu pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i dalam pendapatnya yang kedua. Alasan ulama Syafi’iyah sebagaimana dikemukakan oleh An Nawawi, “Dalil kami adalah karena tidak adanya dalil yang menunjukkan wajibnya. Sedangkan untuk barang tambang emas dan perak ada kewajiban zakat sebagaimana ada ijma’ (kata sepakat ulama) dalam hal ini. Oleh karena itu tidak ada kewajiban zakat pada barang tambang lainnya.”[10]
Pendapat terakhir ini lebih dicenderungi. Jika pendapat ini yang dipilih, maka barang tambang baru dikenai zakat setelah mencapai nishob emas dan perak.
Waktu dan Kadar wajib zakat barang tambang
Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban zakat barang tambang adalah 1/40 atau 2,5%. Hal ini diqiyaskan dengan emas dan perak. Untuk emas, sebesar 20 dinar atau 85 gram emas murni. Untuk perak, sebesar 20 dirham atau 595 gram perak murni. Dan zakat tersebut dikeluarkan ketika ditemukan (saat itu juga) dan tidak ada hitungan haul.[11]
Adakah zakat hasil undian?
Sebagian orang menetapkan bahwa zakat undian atau “rezeki nomplok” sama dengan zakat rikaz yaitu dikeluarkan 20%. Ini jelas keliru karena mewajibkan sesuatu yang tidak wajib.
Zakat rikaz sebagaimana diterangkan di atas adalah bagi harta zaman jahiliyah (non muslim) yang terpendam dan ditemukan. Hasil undian tentu tidak demikian. Adapun harta temuan yang itu menjadi milik masyarakat muslim atau sejarahnya kembali ke zaman Islam, maka tidak disebut rikaz, akan tetapi masuk luqothoh (barang temuan). Dan dalam kitab-kitab fiqih di setiap mazhab telah dibedakan antara rikaz dari luqothoh. Status luqothoh adalah tetap milik pemilik yang sebenarnya dan asalnya bukan milik penemunya. Barang temuan semacam ini diumumkan selama satu tahun. Jika ada pemiliknya maka diserahkan, sedangkan jika tidak maka boleh diambil oleh orang yang memungutnya.
-bersambung insya Allah-
-------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------
[1] Lihat bahasan Shahih Fiqh Sunnah, 2: 58.
[2] HR. Bukhari no. 1499 dan Muslim no. 1710.
[3] HR. Bukhari no. 1499 dan Muslim no. 1710.
[4] Lihat Al Wajiz Al Muqorin, hal. 71.
[5] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 58-60.
[6] HR. Abu Daud no. 1710, Syafi’i dalam musnadnya 673, Ahmad 2: 207, Al Baihaqi 4: 155. Syaikh Abu Malik mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
[7] HR. Bukhari no. 1499 dan Muslim no. 1710.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 60 dan Al Wajiz Al Muqorin, hal. 72.
[9] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 60-61.
[10] Al Majmu’, 6: 77.
[11] Lihat Fiqh Sunnah, 1: 343.