Telah dibahas bahwa zakat hewan ternak dikeluarkan dengan hewan ternak pula. Zakat hasil pertanian dikeluarkan 10% atau 5% dari hasil panen. Begitu pula dengan zakat emas dan perak dikeluarkan 2,5% dari keduanya. Apakah kita harus mengeluarkan zakat sesuai dengan yang sudah ditentukan ini? Ataukah zakat boleh saja dikeluarkan dengan sesuatu yang senilai (qimah), misalnya uang?
Qimah adalah sesuatu yang senilai dengan kewajiban zakat, bisa jadi disetarakan dengan uang, makanan atau pakaian.
Untuk pembahasan bolehkah zakat fithri ditunaikan dengan qimah, maka kita harus meninjau dari sisi zakat harta (emas, perak, mata uang, barang dagangan, hasil pertanian, hewan ternak, harta karun) dan zakat fithri.
Tinjauan pertama: Zakat harta
Ada dua pendapat dalam masalah ini.
Pendapat pertama: Tidak boleh, tetap harus dikeluarkan sesuai dengan bentuk yang ditetapkan dalam dalil.
Demikian pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Daud Azh Zhohiri. Alasannya karena ketentuannya telah demikian. Yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama ini adalah hadits-hadits berikut ini.
Abu Bakr Ash Shiddiq menyebutkan jumlah zakat sesuai yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan,
فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا وَعِشْرِينَ فَفِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ إِلَى أَنْ تَبْلُغَ خَمْسًا وَثَلاَثِينَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ فَابْنُ لَبُونٍ
“Jika unta telah mencapai 25-35 ekor, maka ada kewajiban zakat dengan 1 bintu makhodh (unta betina umur 1 tahun). Jika tidak ada bintu makhodh, maka boleh dengan 1 ibnu labun (unta jantan umur 2 tahun).”[1] Jika boleh diganti dengan yang lain yang senilai semacam uang, tentu akan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan.
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri berupa satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum …”[2] Dalam hadits ini juga tidak disebutkan qimah (sesuatu yang senilai dengan kewajiban zakat fithri tadi) semisal uang. Padahal jika ada hajat hal tersebut pasti dijelaskan. Namun tetap dibatasi hanya pada makanan pokok seperti kurma dan gandum.
Pendapat kedua: Boleh dikeluarkan dengan yang senilai, misalnya dengan uang dan pakaian.
Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Ats Tsauri, pendapat Imam Bukhari, salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i dan salah satu pendapat Imam Ahmad.
Di antara dalil yang digunakan:
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah menulis surat kepadanya (tentang aturan zakat) sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu,
مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنْ الْإِبِلِ صَدَقَةُ الْجَذَعَةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنْ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ الْحِقَّةُ وَعِنْدَهُ الْجَذَعَةُ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْجَذَعَةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ إِلَّا بِنْتُ لَبُونٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ لَبُونٍ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ وَعِنْدَهُ بِنْتُ مَخَاضٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ مَخَاضٍ وَيُعْطِي مَعَهَا عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ
“Barangsiapa yang memiliki unta dan terkena kewajiban zakat jadza’ah (unta betina berumur 4 tahun) sedangkan dia tidak memiliki jadza’ah dan yang dia miliki hanya hiqqoh (unta betina berumur 3 tahun); maka dibolehkan dia mengeluarkan hiqqah sebagai zakat, namun dia harus menyerahkan pula bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa yang telah terkena kewajiban zakat hiqqoh sedangkan dia tidak memiliki hiqqoh namun dia memiliki jadza’ah; maka diterima zakat darinya berupa jadza’ah dan dia diberi dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa telah terkena kewajiban zakat hiqqoh namun dia tidak memilikinya kecuali bintu labun (unta berumur 2 tahun); maka diterima zakat darinya berupa bintu labun, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun dan dia hanya memiliki hiqqoh; maka diterima zakat darinya berupa hiqqah dan dia menerima dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa yang telah terkena kewajiban zakat bintu labun sedangkan dia tidak memilikinya kecuali bintu makhod (unta betina berumur 1 tahun); maka diterima zakat darinya berupa bintu makhod, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua puluh dirham atau dua ekor kambing.“[3]
Hadits di atas menunjukkan diperbolehkannya membayar zakat yang diwajibkan dengan sesuatu yang senilai dengannya.
Mu’adz radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada penduduk Yaman,
ائْتُونِى بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ فِى الصَّدَقَةِ ، مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ ، وَخَيْرٌ لأَصْحَابِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ
“Berikanlah kepadaku barang berupa pakaian pakaian atau baju lainnya sebagai ganti gandum dan jagung dalam zakat. Hal itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik/ bermanfaat bagi para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Madinah.”[4] Hadits ini menunjukkan bahwa Mu’adz menarik zakat dengan sesuatu yang senilai, bukan dengan gandum sesuai ketetapan.
Pendapat rojih (terkuat)
Yang lebih tepat dalam masalah ini adalah menggabungkan di antara dalil-dalil dari kedua kubu di atas. Pada asalnya, zakat harus dibayarkan sesuai dengan jenis yang disebutkan dalam dalil. Namun jika terpaksa atau karena adanya kebutuhan dan pertimbangan maslahat, maka diperbolehkan membayarkan zakat dengan nilainya (uang atau yang lainnya). Demikian yang jadi pendapat pilihan Ibnu Taimiyah dalam fatawanya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya, “Bagaimana dengan hukum orang yang mengeluarkan zakat dengan qimah (sesuatu yang senilai dengan kewajiban zakat semisal uang)? Karena jika dikeluarkan dengan qimah akan lebih bermanfaat untuk orang miskin. Seperti itu boleh ataukah tidak?”
Ibnu Taimiyah menjawab, “Mengeluarkan zakat dengan qimah dalam zakat, kafaroh dan semacamnya, maka telah ma’ruf dalam madzhab Malik dan Syafi’i akan tidak bolehnya. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan. Adapun Imam Ahmad rahimahullah dalam salah satu pendapat melarang mengeluarkan zakat dengan qimah. Namun di kesempatan lain Imam Ahmad membolehkannya. Ada sebagian ulama Hambali mengeluarkan perkataan tegas dari Imam Ahmad dalam masalah ini dan ada yang menjadikannya menjadi dua pendapat.
Pendapat terkuat dalam masalah ini: mengeluarkan zakat dengan qimah (nilai) tanpa ada kebutuhan dan maslahat yang lebih besar jelas terlarang. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan zakat dengan dua unta atau 20 dirham, dst dan beliau tidak beralih pada uang seharga barang-barang tadi. Karena jika kita nyatakan boleh secara mutlak pengeluaran zakat dengan uang senilai, maka nanti si pemberi zakat akan mengeluarkan dari yang jelek dan akan memudhorotkan si penerima zakat dalam perhitungan. Karena zakat dibangun atas dasar ingin menyenangkan orang yang butuh. Kita dapat melihat hal ini dari besarnya zakat yang dikeluarkan dan jenis zakat tersebut.
Adapun mengeluarkan zakat jika terdapat hajat (kebutuhan), maslahat dan keadilan, maka boleh saja dikeluarkan dengan qimah (sesuatu yang senilai). Semisal seseorang menjual kebunnya atau tanamannya dan memperoleh uang dirham. Lalu ia keluarkan zakat hasil pertanian dengan dirham tadi, ini boleh. Ia tidak perlu bersusah payah membeli buah atau gandum sebagai zakatnya. Karena seperti ini pun telah sama-sama menyenangkan si miskin. Bahkan ada nash dari Imam Ahmad akan bolehnya hal ini.
Contohnya lagi, bagi yang memiliki lima ekor unta, maka ia punya kewajiban berzakat dengan seekor kambing. Namun sayangnya, kala itu tidak ada seorang pun yang mau menjualkan seekor kambing untuknya. Akhirnya, ia mengeluarkan zakat dengan sesuatu yang senilai (qimah). Jadi ia tidak perlu bersusah payah bersafar ke kota lain untuk membeli kambing.
Atau contoh lain, seseorang yang berhak menerima zakat (semisal fakir miskin) meminta agar diberikan sesuatu yang senilai dengan harta zakat, lalu mereka diberi seperti itu atau ini dirasa lebih bermanfaat bagi orang miskin, maka itu boleh. Sebagaimana dinukil dari Mu’adz bin Jabal bahwa ia berkata pada penduduk Yaman, “Berikan padaku pakaian atau baju yang mudah dan baik menurut kalian yang nanti akan diserahkan pada orang Muhajirin dan Anshor di Madinah.” Ada yang mengatakan riwayat tadi membicarakan masalah zakat dan ada yang mengatakan pada masalah jizyah (upeti).” Demikian perkataan Ibnu Taimiyah.[5]
Dari penjelasan Ibnu Taimiyah ini bukan berarti kita bermudah-mudahan mengeluarkan zakat dengan sesuatu yang senilai semisal dengan uang. Namun tetap asalnya zakat dikeluarkan sesuai yang disebutkan dalam dalil. Kalau diperintahkan dikeluarkan dengan satu ekor kambing, maka demikian penunaiannya, dan seterusnya. Tidak boleh beralih ke sesuatu yang senilai (qimah) kecuali jika dalam keadaan darurat, hajat (dibutuhkan), atau ada maslahat yang jadi pertimbangan.[6]
Tinjauan kedua: Zakat Fithri (Zakat Fitrah)
Jika zakat harta yang kita bahas di atas boleh ditunaikan dengan uang atau yang senilai dengannya, berbeda halnya dengan zakat fithri. Zakat fithri harus tetap dengan makanan pokok dan tidak bisa diganti uang. Ada beberapa alasan dalam hal Ini:
1. Para sahabat mengkonversikan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum dengan setengah sho’ burr (sejenis gandum). Dalil-dalil yang dimaksud:
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
قَالَ فَرَضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ أَوْ قَالَ رَمَضَانَ عَلَى الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ فَعَدَلَ النَّاسُ بِهِ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri, atau zakat Ramadlaan bagi setiap laki-laki maupun wanita, orang merdeka maupun budak; berupa satu sho’kurma atau satu sho’gandum”. Kemudian orang-orang menyamakannya dengan setengah sho’ burr.”[7]
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,
فَعَدَلَ النَّاسُ بَعْدُ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ
“Orang-orang menyamakan setelah itu dengan setengah sho’ burr”. Naafi’ berkata : “’Abdullah (bin ‘Umar) memberikan kurma. Lalu penduduk Madinah pun kesulitan untuk mendapatkan kurma, lalu ia (‘Abdullah) memberikan gandum.”[8]
‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mengeluarkan zakat fithri satu sho’kurma atau satu sho’gandum”. Ibnu ‘Umar berkata,
فَجَعَلَ النَّاسُ عَدْلَهُ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ
“Orang-orang menyamakannya dengan dua mudd (setengah sho’) hinthah (sejenis gandum).”[9] Hadits-hadits di atas masih menunjukkan bahwa zakat fithri dengan makanan, bukan dengan uang, pakaian atau sesuatu yang senilai lainnya.
2. Hadits yang dipahami bolehnya zakat dengan qimah seperti diterangkan dalam hadits Anas mengenai surat Abu Bakr dan riwayat Mu’adz yang memerintahkan membayar zakat dengan pakaian, hanya berlaku untuk zakat harta yaitu zakat hewan ternak serta zakat gandum dan jagung (hasil pertanian), qimah-nya pun terbatas yang disebutkan dalam hadits.
3. Tujuan zakat fithri adalah untuk memberi makanan pada orang miskin. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orangmiskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”[10] Sedangkan jika yang dibutuhkan fakir miskin adalah uang, emas, atau hewan ternak, maka diperoleh bukan dari zakat fithri tetapi dari zakat harta.
4. Fatwa dari Ibnu Taimiyah dimaksudkan untuk zakat harta dilihat dari contoh-contoh yang beliau sampaikan.
5. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah berpendapat sebagaimana Ibnu Taimiyah, yaitu asalnya mengeluarkan zakat harta sesuai yang diperintahkan dalam dalil kecuali jika ada maslahat boleh dikeluarkan dengan qimah. Namun untuk perihal zakat fithri, Syaikh Ibnu Baz tetap memerintahkan dengan makanan pokok, tidak bisa digantikan dengan qimah atau uang. Karena zakat harta dan zakat fithri adalah dua kewajiban berbeda.
Syaikh Ibnu Baz ditanya, “Bolehkah mengeluarkan zakat hewan ternak dengan harta atau wajib mengeluarkannya dengan hewan ternak pula? Sebagian ikhwah berkata kepadak bahwa boleh mengeluarkan zakat hewan ternak tersebut dengan harta. Karena Allah Ta’alaberfirman,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (QS. At Taubah: 103).
Apakah boleh mengeluarkan zakat fithri dengan uang?”
Jawaban Syaikh Ibnu Baz, “Wajib mengeluarkan zakat dengan harta yang sama, seperti unta, sapi, kambing, dan makanan. Ini wajib dan inilah asalnya sebagaimana diterangkan oleh Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun jika ada hajat dan maslahat mengeluarkan zakat denganqimah (sesuatu yang senilai dengan kewajiban zakat), atau karena perintah dari penguasa yang memerintahkan mengeluarkannya dengan qimah, maka tidak mengapa. Begitu pula boleh mengeluarkan dengan qimah ketika orang yang menunaikan zakat tidak mendapatkan hewan ternak sesuai umur yang diperintahkan untuk dikeluarkan. Atau bisa jadi pula karena orang miskin meminta diberikan qimah (semisal uang) saja karena itu lebih baik bagi mereka. Maka keadaan seperti ini yang diserahkan adalah qimah yang pertengahan. Tidaklah masalah mengeluarkan seperti itu karena ada maslahat syar’i.
Yang dikeluarkan adalah sesuatu seharga unta, sapi, kambing atau makanan yang nilainya pertengahan, artinya tidak terlalu jelek dan tidak kemahalan. Begitu pula ketika seseorang menjual buah-buahan hasil panen berupa kurma atau biji-bijian, maka ketika itu zakat yang dikeluarkan adalah berupa uang sebagai ganti dari makanan-makanan tadi karena makanan tersebut telah dijual dan tidak ada lagi. Jadinya yang diserahkan sebagai zakat adalah uang. Namun jika zakat yang dikeluarkan dengan kurma atau biji-bijian, maka itu lebih baik, lebih sempurna dan lebih hati-hati.
Begitu pula zakat fithri harus dari makanan. Tidak boleh zakat fithri ditunaikan dengan barang lain yang senilai (qimah). Zakat fithri tetap dikeluarkan dengan makanan sebagaimana diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
“(Zakat fithri itu) berupa satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum …”[11] Para sahabat di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengeluarkan zakat dengan satu sho’ keju dan satu sho’ anggur. Semua ini dikeluarkan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang dimaksud satu sho’ untuk kewajiban zakat fithri adalah dari makanan pokok di negeri masing-masing seperti beras. Jadi wajib mengeluarkan zakat fithri dengan makanan pokok yang ada di negeri masing-masing berupa beras, kurma, gandum, jagung atau semacamnya. Inilah pendapat yang dianut mayoritas ulama. Adapun dengan qimah tidaklah dibolehkan untuk zakat fithri. Pendapat yang menyatakan zakat fithri boleh dengan qimah (uang) adalah pendapat yang lemah dan marjuh (tidak kuat). [12]
Intinya, zakat fithri tetap ditunaikan dengan satu sho’ dari makanan pokok, bukan dengan qimah atau uang.
-bersambung insya Allah-
-----------------------------------------
[1] HR. Abu Daud no. 1567, An Nasai no. 2447, Ibnu Majah no. 1798 dan Ahmad 1: 11. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih.
[4] HR. Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad), dan disambungkan oleh Yahyaa bin Aadaam dalam Al-Kharaaj no. 525 dengan sanad shahih sampai Thowus bin Kaisan.
[10] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[12] Fatawa Nur ‘Ala Ad Darb, 15: 69.