Salah seorang da’i yang kini menjadi buah bibir di tengah-tengah masyarakat adalah Ustadz Abdul Somad, seorang da’i muda kelahiran 1977 lulusan Al Azhar Kairo dan Darul Hadist Maroko. Bagaimana kiprah Ustadz yang sering di sapa “UAS” itu dalam dunia dakwah? Dan bagaimana penilaian umat kepada beliau?
Sebagai muqoddimah, saya sendiri belum terlalu lama mengenal beliau, baru 2 tahun. Yaitu saat guru saya Ustadz Ahmad Khusyairy Lc di Tembilahan pada tahun 2015 memberikan beberapa arahan dan masukan, kemana saya akan melangkah setelah menjadi alumni Gontor. Saat itu pula beliau menyebutkan beberapa orang yang kiprahnya cukup membanggakan, salah satunya Ustadz Abdul Somad. Dengan berbagai macam prestasi dan prestise yang di capai. Artinya Ustadz Ahmad Khusyairy mendorong untuk bisa mengenyam pendidikan di Maroko atau Mesir agar dapat menjadi seperti sosok yang beliau ceritakan, yaitu Ustadz Abdul Somad. Dalam hati saya, betapa tawadhu’ dan rendah hati sekali kedua guru saya ini.
Selama beberapa bulan, saya hanya bisa melihat Ustadz Abdul Somad di beberapa video yang ada di youtube. Dan mencoba mencari akun facebook nya. Dengan terkejut, ketika saya ingin menambahkan pertemanan di Facebook, beliau lebih dulu menambahkan pertemana di FB saya. Dari sini sudah tercium aroma ketawadhu’an beliau. Hanya itu media yang dapat menyambungkan saya dengan beliau. Akhirnya Allah pertemukan saya dengan Ustadz Abdul Somad pada Bulan Ramadhan 2016. Saya sisihkan beberapa hari waktu libur di Gontor untuk mengikuti dan menghadiri kajian-kajian beliau di Pekan Baru. Saat itulah muncul rasa bahagia, karna bisa bertatap muka langsung dengan singa vodium bumi Lancang Kuning itu.
Usai ceramah beliau, saya di ajak ke rumahnya, padahal waktu itu sudah menunjukkan pukul 12 lewat. Dengan rasa segan saya katakan “ustadz, ini sudah larut malam untuk antum istirahat. Ana pamit pulang dulu saja, besok kesini lagi”. Spontan beliau menjawab, “Laa, anta tamsyi ma’ii” (jangan, habis ini kamu ikut saya). Dalam hati saya bertanya-tanya, “apakah bener yang di ceritakan bahwa beliau adalah Ulama yang tawadhu’?
Saat itu saya di dampingi oleh sahabat saya Ikhlas Apriandi . Sampai di dalam rumah, beliau pun sangat terbuka menerima kedatangan kami untuk silaturahim. Sekaligus berbincang bincang seputar pengalaman dan meminta nasehat. Ternyata benar beliau adalah sosok ‘Alim yang tawadhu’. Tidak ada gengsi dalam diri beliau, padahal saya siapa dan beliau sudah dimana. Ternyata bukan saja Ilmunya yang tinggi, tapi akhlaknya pun luar biasa.
Begitu pula cerita yang di sampaikan beberapa jama’ah yang kebetulan wali santri yang anak nya belajar di Gontor. Ketika saya masih di berikan izin untuk mengabdikan diri mengajar di pondok. Saya bertemu wali santri yang juga berasal dari Riau, tepatnya Pekanbaru dan sekitarnya, yang sedang menjenguk anak nya di Gontor. Saat sharing tentang anak nya di pondok, beberapa wali santri yang sering hadir di Masjid Agung An-nur ini pun menceritakan tentang Ustadz Dr. Musthofa Umar Lc MA yang merupakan salah satu Putra terbaik Gontor dengan kiprahnya yang gemilang di Riau, beliau adalah pakar Tafsir (sedang menulis Tafsir Al Ma’rifah dan Tafsir digital) ketua MUI Riau sekaligus Imam besar Masjid Agung An-nur, dan beliau juga yang menjadi pimpinan redaksi Tafaqquh yang menjadi lahan dakwah guru-guru kita di Riau.
Kemudian di sambung dengan cerita tentang ketawadhu’an sosok Ustadz Abdul Somad. Dari cara beliau berbicara dengan jama’ah, cara beliau menyambut tamu, atau pun penilaian masyarakat mengenai penampilan beliau. Dan Setau saya, sejauh apapun jarak yang di tempuh beliau untuk ceramah. Beliau tidak mau di jemput oleh siapapun, selagi beliau mampu untuk berangkat sendiri. Terkadang masyarakat pun khawatir kalau beliau pergi sendiri, tapi Alhamdulillah di perjalanan selalu ada yang mendampingi beliau. Yaitu akhi Bismar, atau Ustadz Dayat dan tim Redaksi Tafaqquh lainnya.
Baiklah, pembahasan pertama. Kita masuk pada retorika dakwah Ustadz Abdul Somad.
Retorika di sini maksudnya adalah seni dalam berbicara. Tidak banyak orang yang memiliki kemampuan retorika dalam berbicara. Karna ada orang yang punya Ilmu, namun ketika diminta menyampaikan di depan umum tidak bisa. Ada juga yang hanya punya skil, tapi ilmu nya tidak ada. Ada juga yang tak punya skil, juga tak punya ilmu, jenis yang ketiga ini mungkin termasuk saya sendiri.
Retorika dakwah beliau yang begitu memukau bagi siapa saja yang mendengarnya. Dengan penyesuaian tinggi rendah nya nada, bahasa tubuh yang sinkron dengan isi, di tambah beliau kaya dengan perbendaharaan kata, penjabaran yang luas, sumber atau referensi kitab yang begitu banyak, segudang pengalaman dan perjalanan hidup, serta kisah kisah menarik yang di tuangkan. Menjadikan setiap ceramah beliau dapat di kemas dengan renyah dan menarik. Kalau di dalam Ilmu Tarbiyah namanya “Murattab Manthiqiy” yaitu tersusun rapi, logis dan mudah di cerna. Beliau tidak akan pindah ke point selanjutnya, sebelum point pertama di bahas tuntas, sehingga pembahasan meruncing kepada tema, dan tidak melebar kemana mana. Ini lah yang sulit bagi para da’i kalau tidak menguasai materi dan permasalahan.
Apalagi saat beliau menyampaikan khutbah Jum’at yang tidak pernah sama sekali menggunakan teks, saya yakin beliau meniru guru-guru atau para Masyayikh Azhar yang juga tidak pernah menggunakan teks dalam khutbah.
Saya sendiri yang menjelajahi semua isi ceramah beliau yang ada di youtube. Saya membaca satu persatu gaya bahasa beliau. Bagi orang yang pertama kali mengintip ceramah UAS di youtube, biasanya langsung berkomentar bahwa ceramah beliau selain menambah tsaqofah (wawasan), ceramah beliau juga tidak membosankan. Karna terkadang kita akan terhibur dengan logat bawaan beliau yang khas melayu. Atau beliau membuat hadirin semua tertawa dengan guyonan-guyonan yang spontanitas. Bukan karna di buat buat. Artinya, beliau termasuk orang yang punya skil juga punya ilmu.
Padahal beliau tidak pernah belajar public speaking, melainkan beliau belajar dari senior atau guru beliau Dr. Musthofa Umar Lc MA, dan Dr. Mawardi Muhammad Shaleh Lc MA. Belajar mengenai senam muka dan lain lain, juga pernah di minta untuk menjadi pembawa acara di TVRI. Hanya itu saja latihan beliau, pada hal orang orang yang pernah mondok di pesantren bertahun tahun belajar cara berorasi di vodium. Mestinya kita terpacu untuk lebih baik.
Dengan pakaian beliau yang sederhana dan rapi, dengan baju koko dan peci berwarna hitam. Kita dapat membuktikan bahwa kualitas seseorang tidak di lihat dari penampilan. Namun UAS tetap menganjurkan untuk tetap memakai pakaian sunnah. Karna Allah itu indah dan mencintai keindahan.
Selanjutnya, betul pepatah Arab yang mengatakan “Al Insaan Ibnu ‘awaaidihi” (manusia adalah anak atau buah dari kebiasaannya). Maksudnya ala bisa karna biasa, karna beliau sudah terbiasa diminta ceramah oleh masyarakat kemana-mana tanpa pilih-pilih. Maka semakin lama semakin dipoles gaya ceramah beliau, sampai akhirnya fiks dan itu menjadikan ceramah adalah sesuatu yang sangat menyenangkan bagi beliau.
Demam panggung, sebenarnya itu bukan faktor karna tidak adanya skil. Mungkin karna kurang biasa, atau belum meluruskan niat. Kalau berdakwah karna Allah bukan karna ingin dilihat baik oleh manusia, tentunya akan menjadikan kita bebas dan leluasa saat menyampaikan dakwah. Karna hanya berharap penilaian dari Allah sehingga di mudahkan lisan, fikiran, dan hati kita oleh Allah. Saya melihat tamu yang hadir saat beliau tausiah, ada dari kalangan pejabat kapolda, bupati, walikota, gubernur, bahkan menteri. Ada juga dari kalangan tokoh umat, KH. Arifin Ilham, Ustadz Felix Siauw, Ustadz Solmed, dan lain sebagainya. Tapi beliau tidak sedikitpun terlihat kaku dan tetap lantang menyuarakan kebenaran.
Terlepas dari pada itu, Mungkin terkadang beliau banyak menyinggung ormas atau seseorang mungkin, tanpa menggunakan perantara Uslub Balagiyyah atau ilustrasi yang tepat sehingga banyak pihak-pihak yang tersinggung. Tapi itulah manusia, tempat salah dan lupa, maka sebaik baik orang yang berbuat salah itu adalah orang yang meminta maaf dan meminta ampun.
Mengenai beliau dakwah tidak pilih-pilih maksudnya adalah, beliau tidak membedakan antara surau yang kecil dengan Masjid yang besar. Pernah suatu ketika pemerintah daerah mengundang beliau untuk ceramah, lalu pada jadwal yang di minta itu beliau sudah punya jadwal tausiyah di surau. Meskipun di minta untuk menggeser, tapi beliau tetap memilih untuk di surau, dan menolak untuk tawaran lain. Karna itulah bentuk pengabdian kepada umat. Meskipun ada tawaran di televisi, beliau tetap mengutamakan jadwal yang sudah di mintakan masyarakat. Karna kepercayaan masyarakat ini jauh lebih mahal. Semoga Allah perbanyak da’i seperti mu tuan guru.
Mengenai strategi dakwah Ustadz Abdul Somad,
menurut hemat saya selama ini, beliau memakai strategi yang sudah di ajarkan Al Azhar yaitu Manhaj Wasatiyyah. Maksud wasatiyyah di sini adalah “Laa syarqiyyah walaa Ghorbiyyah” (tidak ketimur-timuran tidak pula kebarat-baratan) artinya berada di tengah- tengah. Tidak “tasyaddud” (asal mengahramkan, menbid’ahkan, menkafirkan) sehingga umat merasa takut dan cemas, tidak pula “tasayyur” (mudah menghalalkan apa saja tanpa hujjah dan dalil yang jelas). Ingin lebih jelas lagi mengenai pembahasan ini bisa kita buka kitab إعلام الموقعين milik Imam Ibnu Al Qoyyim Al Jauzi, mengenai orang orang yang asal menentukan hukum halal dan haram dengan mudahnya.
Wasatiyyah yang beliau pakai adalah untuk menyatukan dan merekatkan umat. Agar umat ini tidak saling menyalahkan dan meributkan perkara-perkara yang sebenarnya para Ulama sudah tuntas membahas nya. Ketika saya menghadiri majlis Istifta’ Syeikh Ali Jum’ah Bulan yang lalu, di akhir pertemuan beliau berpsan,
خروج من الخلاف مستحب
“Keluar dari perbedaan adalah di anjurkan”
Sehingga, ketika ada berbagai macam bentuk perbedaan pendapat. Ambil pendapat dari para Ulama yang menurut kita arjah. Maka kita sudah keluar dari lingkaran perbedaan, dengan tanpa menyalahkan pendapat yang lain. Karna tidak mungkin ulama madzhab itu menentang sunnah.
Alangkah indahnya kalau kita lapang dada menerima perbedaan, dan menghindari perpecahan. Jangan hanya sibuk membidik sesama Muslim, jangan jadikan taring kita hanya tajam kepada Mu’min, tapi tumpul kepada yang kafir. Jangan sampai umat ini mau digiring untuk over toleran kepada yang tidak seakidah, dan intoleran kepada yang seakidah. Kapan umat ini bisa bersatu ? Lalu bagaimana perasaan baginda Rasulullah jika mengetahui umat nya terpecah belah?
Padahal yang mabuk dan judi masih banyak, kenapa yang Qunut diributkan? Padahal tentara zionis sudah menembak mati, dan mencabik cabik jati diri umat Islam. Lalu kita masih meributkan Maulid, menyesatkan Tasawwuf, dan lain sebagainya. Padahal kalau saja kita mau mendengarkan pendapat orang lain yang juga memiliki hujjah serta dalil. Tidak mungkin kita akan menyudutkan yang tak sepemahaman dengan kita. Kalau kita menolak kebenaran ini, serta menyepelekan orang lain. Maka hati-hati, bisa saja kita jatuh pada dua ciri orang yang dimaksudkan Nabi sebagai orang yang sombong yang tidak akan masuk surga walaupun rasa sombong itu sebesar biji sawi. Yaitu , بطر الحق (menolak kebenaran), و غمط الناس (merendahkan orang lain). Wal ‘iyaadzu billah.
Maka dalam kesempatan beliau belajar ke Mesir di musim panas ini, beliau menyempatkan menerima undangan Mahasiswa Al Azhar dari Indonesia untuk memberikan nasehat dan motivasi. Memenuhi undangan panitia Majlis Sholawat Sahah Indonesia, Darrasah Kairo.
Saya menangkap, bahwa beliau mengatakan “dakwah kita adalah Bayaan (menjelaskan) bukan “hujum” (menyerang), bukan tabdi’ (menbid’ahkan), bukan takfiir (mengkafirkan)”.
Dakwah yang mencerdaskan, bukan menyalahkan. Dakwah yang menyejukkan, bukan menyudutkan, dakwah yang membangun persaudaraan bukan yang menjatuhkan lawan, dakwah yang merangkul bukan memukul, dakwah yang mengajak bukan mengejek. Agar sama sama meraih predikat taqwa di sisi Allah. Seringkali beliau mengutarakan di penghujung ceramah beliau, “kalau ada sesuatu yang tidak sesuai, maka dialog dan diskusi itu lebih baik, bukan dengan hujat menghujat”.
Satu hal yang banyak orang lupa, semua yang beliau sampaikan dalam ceramah, tidak lain adalah mengutip pendapat-pendapat guru atau masyayikh beliau di Mesir dulu. Bukan pendapat sendiri, saya ulangi “Bukan pendapat sendiri”. Karna beliau sendiri bukan Mujtahid. Jadi salah kalau anda yang nyinyir mentahdziir dan menyudutkan Ustadz Abdul Somad. Karna pendapat beliau adalah pendapat para Ulama yang sanad keilmuannya tidak di ragukan lagi.
Tawassuth ini pun, bisa kita lihat dari tulisan-tulisan beliau. Dalam buku yang beliau tulis. Sempat beliau hadiahkan kepada saya “37 masalah populer”. Kita bisa menela’ah, bahwa beliau juga mengutip pendapat-pendapat Ulama-ulama mu’tabar dari kalangan Salafy. Seperti Syeikh Nashiruddin Al Bani, Syeikh Abdul Aziz Ibnu Baz, Syeikh Ibnu Utsaimin, bahkan Imam Ibnu Taimiyyah, Rahimahumullah. Karna beliau tidak memposisikan Ulama sebagai Malaikat yang tak punya salah, tidak pula Iblis yang selalu berbuat salah. Tapi beliau memposisikan Ulama seperti manusia yang “yukhti’ wa yushiib” (kadang salah, kadang benar). Tidak ada Ulama’ yang ma’shum. Selagi pendapat itu baik, maka di ambil. Kalau yang tidak sesuai, maka di tinggalkan. Artinya, kalau ada kuku yang panjang, gunting yang panjang itu, jangan potong tangannya. Sehingga jangan sampai kita menjadi orang yang membesarkan satu kesalahan, tapi melupakan seribu kebaikan.
Beliau tidak melarang siapa pun bahkan menganjurkan untuk terus belajar, bisa jadi kita ingin mengambil ilmu dari Ustadz Dr. Khalid Bassalamah, Dr. Syafiq Riza Bassalamah, Dr. Arifin Badri, dan lain lain. Selagi itu membahas masalah Fiqh Madzhab, hikmah kehidupan, nasehat untuk menghidupkan cahaya iman. Tapi biasanya orang yang belajar kalau sudah masuk ke ranah aqidah, dia akan berhati-hati. Salafy masih masuk ranah Ahlussunnah, Ustadz Abdul Somad tak pernah mengeluarkan Salafy dari Ahlussunnah. Seperti yang di lakukan kelompok sebelah yang mengatakan Tauhid Asy’ariyyah sesat, bahkan mengeluarkan dari Ahlussunah. Tauhid Ibnu Taimiyyah adalah Ijtihad, Asy’ariyyah juga Ijtihad. Mengenai Ta’wiil dan Tafwidh adalah tradisi Salafussholih. Kalau mengaku pengikut salaf, mestinya tidak menentang pendapat Salaf.
Strategi ini cukup tepat, karna yang banyak menyalahkan, membid’ahkan, dan mentahdzir. Adalah kelompok yang menamakan dirinya salafy dan menganggap ulama mereka yang saya sebutkan tadi sebagi Ulama yang kokoh dengan sunnah. Lalu UAS pun mengutip pendapat ulama mu’tabar mereka, padahal jendralnya saja mensetujui, kenapa yang kopralnya menentang.
Lalu ada yang nyinyir “alah, ustadz somad itu asal comot-comot fatwa”. Terkadang saya tertawa melihat komentar yang begini, mereka sendiri banyak mengutip pendapat Imam Ibnu Hajar Al ‘Astqolany, Imam Jalaluddin As-suyuthi. Tapi pendapat Imam Ibnu Hajar dan Imam Suyuthi tentang Maulid tidak bid’ah mereka tinggalkan. Aneh kan?
Meskipun hujatan, tahdzir, fitnah yang datang silih berganti kepada Ustadz Abdul Somad. Sepatah kata pun tak pernah keluar dari bibir beliau untuk menyuruh para jama’ah untuk ikut mentahdzir. Tidak pernah! Meskipun kalau mau di lakukan itu bisa. Tapi apakah demikian yang di ajarkan oleh Rasulullah? Apakah begitu akhlak Salafussholih? Bahkan kalau ingin menegur dan mengkritisi itu Imam Syafi’i mengajarkan untuk menasehatinya di belakang, bukan di depan umum. Allah saja senantiasa menutupi kesalahan dan aib hambanya dengan Rahmat dan Kasih sayangnya. Lalu ada manusia yang baru lahir mengoyak ngoyak harga diri orang lain dengan su’ul adab. Apalagi kepada Ulama. Sudah belajar Ta’liimul Muta’allim saudaraku?
Dan itupun hanya berani mengkritisi masalah jenggot, Isbal, Maulid. Tapi kenapa tidak berani mengkritisi kutipan beliau mengenai amalan khsusus Abu Hurairah, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ibnu Taimiyyah, dan lain lain baik dari kalangan salaf mau pun khalaf?
Apa tidak berani? Atau memang memang menutupi dalil? Atau masih bertahan dengan slogan “apa yang tidak pernah di lakukan nabi adalah Bid’ah”. Beranikah mengatakan Imam Ibnu Taimiyyah Ahli bid’ah? Tidak mungkin Ulama sekelas beliau tidak mengerti sunnah, dan tak paham bid’ah. Jadi apa yang maksud sunnah dan bid’ah itu?
Ta’riif atau pengertian bid’ah itu sendiri bermacam-macam. Kemarin di halaqoh Syeikh Musthofa Ala Naimah beliau adalah pengasuh Ruwaq Azhar di Iskandariyyah. Beliau memberikan penjelasan mengenai hadist Rasulullah. Dalam kitab Arba’in Annawawy Syarh Ibnu Daqiq. Bahwa maksud hadist :
من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Beliau melemparkan pertanyaan, apakah dalam hadist ini di sebutkan فيه atau منه ? Kalaulah yang sebutkan, فيه maka maksud nya perkara yang tidak ada di zaman Nabi. Tapi yang di sebutkan di situ adalah منه , yaitu perkara yang tidak ada Sumber dari agama (AlQuran dan Al Hadist). Karna dhomir “ه” kembali pada agama.
Sehingga, yang di maksud bid’ah adalah yang tidak ada Sumber dari agama. Bukan yang tidak pernah di contohkan Nabi.
Kita kembali kepada yang saya tegaskan bahwa, beliau menyampaikan dakwah bukan pendapat sendiri. Melainkan mengutip pendapat para Ulama. Lalu kenapa beliau yang menjadi sasaran fitnah dan caci maki oleh kelompok yang menamakan dirinya salafy?
Saya tidak menuduh, tapi saya khawatirkan. Ada sifat ghil atau hasad dalam hati mereka, sehingga berupaya untuk melakukan pembunuhan karakter terhadap UAS yang kini ceramah nya menjadi pilihan Umat Islam Indonesia yang mayoritas Aqidahnya Asy’ariyyah. Tapi umat ini cerdas, umat ini pandai menilai, umat pandai memilih.
Yang saya lihat di lapangan, pengikut salafy mayoritas adalah anak-anak muda yang baru belajar, atau baru hijrah, yang tentunya semangatnya masih menggebu-gebu. Dan semangat menbid’ahkan pun menggebu-gebu. Hanya bermodalkan menonton video dan membaca tulisan ustadz sunnah, mereka berani ikut ikutan mentahdzir. Akhlak mana yang mereka ikuti? Hati-hati hasad yang akan membakar dan menggerogoti amalan amalan kita, dan akan menjadikan kita termasuk orang yang muflish (bangkrut) di akhirat nanti, karna pahala kita sudah kita setorkan dan kita transfer kepada orang yang kita fitnah dan caci maki.
Strategi dakwah wasatiyyah beliau selanjutnya adalah tidak pernah menggiring untuk fanatik terhadap satu madzhab. Al Azhar sendiri merangkul semua madzhab, karna Madzhab Hanafi dan Maliki lebih dulu memasuki Mesir. Sehingga tidak adil kalau Azhar hanya berdiri dengan satu madzhab. Begitu keterangan dari Dr. Ahmad Ikhwani Lc MA yang juga merupakan sahabat beliau, saat saya dan kawan kawan berbincang mengenai manhaj Al Azhar.
Sehingga ketika UAS menerangkan suatu perkara yang ada berbagai macam pendapat, beliau sebutkan semuanya. Tanpa menyuruh “ikut hanbali saja” , atau “ikut syafi’i saja” meskipun madzhab yang ada Indonesia mayoritas menggunakan Syafi’iyyah. Guna untuk menjelaskan kepada Umat, bahwa semuanya benar karna ijtihadnya berpatokan kepada Al Quran dan Al Hadist. Dan khidmah serta pelestarian madzhab oleh murid dari masing masing Imam madzhab sangat terjaga.
Adapun mengenai tuduhan bahwa beliau adalah HTI, itu tidak benar. Beliau ingin merangkul semuanya, dan akan mengatakan benar kalau ada kebenaran di dalamnya. Waktu acara Hizbuttahrir beliau di undang untuk datang, dalam moment tersebut bukan beliau saja yang di undang, ada juga dari PERTI, dan ormas lainnya. Namun orang yang tidak bertanggung jawab, mengupload video beliau saja, sehingga menjadi acuan bahwa beliau adalah bagian dari HTI. Padahal beliau secara struktur keorganisasian bukan HTI, beliau hanya menyampaikan ada dalil tentang khilafah, tapi tidak menyeberangi pancasila sehingga merongrong kebhinekaan seperti yang di tuduhkan kaum liberal. Beliau sendiri sering menjelaskan dari mana sumber pancasila dan bagaimana penafsirannya. Justru beliau Cinta dengan tanah air.
Bukan saja HTI, beliau juga mengisi ceramah di Masjid Muhammadiyah selama 2 tahun, apa beliau Muhammadiyah?
Beliau merangkul Jama’ah tabligh, dan menjelaskan dari mana Sumbernya sehingga muncul jama’ah Tabligh. Beliau sampaikan sisi positif dan kebenarannya. Apa beliau jama’ah tabligh? Beliau menjadi bagian dari Bahtsul Matsaa’il Nahdhotul Ulama. Bukan berarti beliau menyudutkan yang lain. Maka tawassuth itu tetap beliau bawa.
Bahkan beliau memiliki sahabat baik dari kalangan salafy, seperti Ustadz Abdullah Shalih Hadrami, Ustadz Omar Mita Hafidzohumallah. Lalu beliau menegaskan tidak semua Salafy itu Mutasyaddid. Ada juga yang Lunak, toleran. Dan lain lain. Jadi jangan digeneralisir bahwa semua Salafy itu ekstrim, mereka semua saudara kita.
Dan beliau mendatang kan pendapat Syeikh Athiyyah Saqar Rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa Al Azhar. Bahwa Salafy kalau masih bisa diajak diskusi dan tidak gampang manyalahkan, maka itu baik. Karna mereka membahas dan memberantas Tahayyul dan bid’ah khurafat. Kalau di Indonesia seperti aliran-aliran kebathinan.
Begitu indah kalau kita saling mencintai karna Allah dalam ikatan tali ukhuwwah Islamiyyah. Tuduhan dan caci maki boleh, tapi kepada diri kita sendiri saja. Bukan kepada orang lain, apa lagi Ulama. Sebagai bahan muhasabah diri, apakah diri kita sudah benar? Apakah kita lebih suci dari pada Ulama? Apakah kualitas dzikir, shalat, puasa, dan ibadah kita lainnya lebih baik dari orang lain?
Oleh karna itu, strategi dakwah Tuan Guru Abdul Somad adalah merekatkan Umat. Dan menjelaskan kembali apa yang sudah di ijtihadkan para Ulama, serta mereview ulang apa yang di ajarkan Ulama kita di Indonesia dulu, yang datang membawa ajaran Islam yang sampai sekarang masih utuh.
Pesan KH. Hasyim Muzadi Rahimahullah, bahwa Ulama dahulu datang ke Indonesia mengislamkan yang kafir, dan itu tanpa perang. Apa kita tega mengkafirkan yang sudah Islam. Doronglah sesama mukmin untuk masuk ke dalam surga bersama-sama tanpa harus menkapling-kaplingkan tanah di surga. Umat Islam adalah saudara kita, bukan musuh. Musuh kita adalah Kafir Zionis, Syi’ah, Komunis, Kristenisasi, Liberalisme, Pluralisme, dan kedzoliman fitnah media.
UAS mengingatkan bahwa masih banyak saudara kita yang belum mengenal Islam. Dan tidak usah jauh-jauh, salah satu daerah di Riau ketika UAS berdakwah memasuki kawasan terpencil melewati hutan belantara dan sungai kecil yang sangat jauh. Ada suku Akit, suku Sakai, dan Talang Mamak, yang di situ Muslim hanya mayoritas. Sedangkan kekuatan kristenisasi lebih unggul. Sebagian lainnya adalah penyembah Batang kayu dan Jin. Di situlah beberapa hari beliau berdakwah dan menyampaikan kepada umat semua bahwa ini merupakan tanggung jawab kita semua. Apakah masih terfikir oleh mu untuk semudah membalikkan telapak tangan mengeluarkan orang lain dari Ahlussunnah saudaraku?
Begitu lah, rekam jejak retorika dan strategi dakwah Ustadz Abdul somad. Banyak Ilmu yang saya download dari beliau, mulai dari nasehat dan petuahnya yang luar biasa. Juga dari ketawadhu’an beliau, sampai sekarang Mahasiswa Al Azhar berbondong-bondong untuk berfoto dengan beliau, beliau dengan senang hati menerima permintaan itu bahkan sampai larut malam. Begitulah cara untuk memuliakan Ilmu dan Ulama. Saya tidak tau, apakah ihtirom murid beliau di UIN Suska Riau juga demikian?
Sampai akhirnya, saat pertama kali berjumpa. Saya meminta agar di anggap sebagai murid beliau. Saya baru sadar ketika kiyai saya pimpinan Gontor.
KH. Hasan Abdullah Sahal berpesan saat melepas kami ke Mesir. Bahwa tingkatan penuntut ilmu itu ada 3,
- Pertama adalah, تكبر “Takabbara” (sombong). Setelah belajar Ilmu merasa sudah bnyak memiliki ilmu.
- Fase yang kedua, تواضع “Tawaadho’a” (rendah hati). Setelah banyak ilmu yang di miliki, ternyata masih banyak yang belum di kuasai, maka muncul rasa rendah hati.
- Yang terakhir yaitu, علم أن لا علم له “Alima An Laa ‘Ilma lahu” (Merasa dia tidak punya ilmu). Setelah melihat ada yang lebih tinggi ilmunya, maka kita merasa diri ini tak ada ilmu sama sekali.
Saat duduk di hadapan beliau, saya hanya bisa mendengarkan. Tidak berani untuk mengeluarkan kata-kata yang mengarah kepada menggurui. Karna kewajiban seorang murid adalah mendengarkan, memperhatikan dan berakhlak yang baik kepada sang guru. Pesan sayyidina Ali Radhiyallahu ‘anhu.
من علمني حرفا صرت له عبدا
“Siapa yang mengajarkanku satu huruf, aku bersedia menjadi pelayan nya”
Begitulah seharusnya sikap dan bakti kita kepada orang yang telah mengajarkan kita Ilmu. Semakin hari, umat semakin mencintai beliau. Saya melihat dari komentar-komentar di lapangan yang ada di FP dan di youtube. Atau dalam dunia nyata. Doa-doa yang selalu di lantunkan oleh jama’ah itulah yang membuat beliau di berikan Allah kekuatan lahir dan bathin. Semoga kita di pertemukan di Surga bersama orang orang yang Sholih.
Pesan saya kepada teman teman agar meminimalisir pertanyaan kepada beliau yang berbau sensitif atau berpotensi menimbulkan respon negatif dari orang yang tidak senang dengan beliau. Bertanyalah pertanyaan yang dapat menambah keimanan dan semangat dalam beribadah. Dan bagi yang suka mengupload video beliau di sosial media agar jangan sampai memberikan judul video yang aneh hanya untuk kepentingan pribadi dan na’udzubillah akan bertambah fitnah yang Di tujukan kepada beliau.
Adapun harapan kepada Tuan guru, agar tetap sabar menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari jama’ah yang mungkin itu sudah berkali kali diulang. Sehingga terkadang timbul rasa geram, dan beliau menaikkan nada berbicara. Mungkin saja jama’ah yang bertanya itu baru kali itu datang ke majlis beliau. Dan mungkin datang dari tempat yang sangat jauh terpencil, sehingga untuk menyelami samudera keilmuan yang ada di youtube dia tidak bisa, di karenakan tidak ada sinyal. Atau mungkin karna sudah tua renta sehingga pertanyaan sebelumnya belum bisa di tangkap langsung, dan butuh pengulangan. Semoga tuan guru tetap di beri kesabaran.
Beliau tidak pernah berdakwah untuk di kenal manusia, karna saya masih ingat postingan beliau mengenai nasehat Syeikh Musthofa Ala Naimah. Bahwa “engkau di jadikan Allah Masyhur adalah untuk mengenalkan Allah, bukan untuk mengenalkan dirimu” (akun FB pribadi beliau sebelum beliau hapus). Adapun ketika banyak orang mengagumi, memuliakan, mencintai beliau, itu karna karunia dan janji Allah yang akan mengangkat derajat orang yang berilmu.
Foto di atas adalah saat saya dan teman teman mendampingi beliau menemui Syeikh Ali Jum’ah, usai menghadiri majlis istifta’ beliau. Tampak dari kamera , mata Ustadz Abdul Somad berkaca kaca, mungkin karna rasa haru dan bahagia yang bercampur dapat kembali duduk belajar di hadapan para Ulama Azhar, dan beliau hampir menangis saat Syeikh Ali Jum’ah membahas tentang Al Quds (Al Aqsha) dan fitnah kepada syeikh Ali Jum’ah saat keberadaan beliau di Al Quds.
Tentunya menjadi Batu loncatan dan motivasi bagi kita semua pada umumnya, dan mahasiswa Al Azhar pada khusunya. Bahwa beliau saja masih haus akan ilmu, jauh-jauh pergi ke Mesir hanya ingin duduk bersama Ulama untuk belajar. Bagaimana dengan kita, yang bekalnya belum seberapa untuk terjun ke masyarakat. Bahkan ada yang bermukim di Mesir , tapi enggan berkunjung kepada para ulama untuk belajar. Kami sangat mencintaimu gurunda Ustadz Abdul Somad.
Orang yang membencimu hanya segelintir. Kami ingat pesanmu bhwa, “ingat selalu firman Allah”
ألا إن أولياء الله لا خوف عليهم ولا هم يحزنون.
Ketahuilah bahwa Orang orang yang menolong agama Allah tidak ada rasa takut dalam hati mereka, dan mereka tidak bersedih hati.
Kami tidak berada di belakang mu gurunda, tapi kami ada di barisan terdepan menyuarakan yang haq. Semoga Allah senantiasa memberkahimu kesehatan lahir dan bathin. Amin
Oleh: Riki Ardiansyah
(Mahasiswa Al Azhar, Kairo)
suaramuslim.net