Tampilkan postingan dengan label Adab. Tampilkan semua postingan

Nikah Dibatalkan, Cincin Tunangan Dikembalikan?


Pertanyaan : " Saya sudah memberi cincin kepada seorang wanita sebagai tanda dia untuk menjadi istri saya lalu dia membatalkan nya bagaimana sikat saya?bahwa kedua belah pihak sudah setuju,terima kasih"

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Lamaran (khitbah) merupakan pengantar pernikahan. Sehingga, status khitbah hanya sebatas janji untuk menikah, dan bukan akad yang mengikat. Karena itu, membatalkan akad nikah setelah khitbah, diperbolehkan, karena ini merupakan hak masing-masing calon pasangan.

Bagian dari tradisi masyarakat kita, dalam kegiatan lamaran, umumnya terjadi pemberian hadiah. Calon suami memberikan hadiah ke calon istri atau sebaliknya. Termasuk diantaranya adalah cincin tunangan.

Jika akad nikah tidak jadi dilangsungkan, sementara calon suami telah memberikan hadiah ke calon istri, apakah hadiah harus dikembalikan?

Sebelumnya, kita akan membaca beberapa dalil yang membicarakan masalah hadiah,

[1] Hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِىَ عَطِيَّةً أَوْ يَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعَ فِيهَا إِلاَّ الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِى وَلَدَهُ


Tidak halal bagi seseorang yang memberi hadiah atau hibah, lalu dia menariknya kembali. Kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. (HR. Abu Daud 3541, Ibnu Hibban 5123 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

[2] Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


الرَّجُلُ أَحَقُّ بِهِبَتِهِ مَا لَمْ يُثَبْ مِنْهَا


“Seorang itu lebih berhak dengan hibahnya selama orang yang diberi belum membalasnya” (HR Ibnu Majah 2477 dan ad-Daruquthni 3014).

Secara eksplisit, dua hadis ini terlihat bertentangan. Hadis pertama secara tegas melarang menarik kembali pemberian, hibah atau hadiah yang sudah kita serahkan ke orang lain. Hadis kedua membolehkan menarik kembali hibah, selama belum dibalas.

Sayid Sabiq menyebutkan keterangan Ibnul Qoyim untuk memahami kompromi kedua hadis ini,

ويكون الواهب الذي لا يحل له الرجوع هو من وهب تبرعا محضا لا لاجل العوض، والواهب الذي له الرجوع هو من وهب ليتعوض من هبته، ويثاب منها


Pemberi hibah yang tidak halal menarik kembali hibahnya adalah orang yang memberi hibah secara suka rela – semata untuk tujuan sosial –, bukan untuk mengharapkan imbalan. Sementara pemberi hibah yang berhak menarik kembali hibahnya adalah orang yang memberi hibah karena mengharap imbalan dan balasan. (Fiqh as-Sunah, 2/33)

Kesimpulan ini, berdasarkan keterangan at-Turmudzi. Beliau mengatakan,

والعمل على هذا الحديث عند بعض أهل العلم من أصحاب النبى -صلى الله عليه وسلم- وغيرهم قالوا من وهب هبة لذى رحم محرم فليس له أن يرجع فيها ومن وهب هبة لغير ذى رحم محرم فله أن يرجع فيها ما لم يثب منها


Para ulama di kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya, mengamalkan hadis ini. Mereka mengatakan, “Orang yang menghibahkan sesuatu kepada kerabat yang menjadi mahramnya maka dia tidak boleh menariknya” (Jami’ at-Turmudzi, 5/251).

Hadiah Lamaran

Ketika seorang calon suami memberi hadiah kepada calon istri, latar belakang terbesarnya adalah karena beliau berharap hubungan mereka bisa dilanjutkan sampai jenjang pernikahan. Untuk mendapatkan harapan itu, salah satu pasangan memberikan hadiah.

Karena itulah, ketika terjadi perpisahan, dan lamaran tidak dilanjutkan ke jenjang pernikahan, apakah hadiah dari calon suami bisa ditarik?

Ulama berbeda pendapat dalam hal ini,

[1] Dalam madzhab Malikiyah diberikan rincian,

Jika yang membatalkan pernikahan adalah pihak calon istri, maka calon suami berhak untuk menarik kembali hadiahnya. Baik hadiah itu masih utuh, atau sudah dihabiskan. Jika tidak utuh, diganti dengan yang semisal atau dibayar dengan uang. Namun jika yang membatalkan adalah pihak calon suami, tidak ada hak bagi calon suami untuk menarik hadiah yang telah dia berikan ke pihak wanita.

Sayid Sabiq mengatakan,

وللمالكية في ذلك تفصيل بين أن يكون العدول من جهته أو جهتها: فإن كان العدول من جهته فلا رجوع له فيما أهداه، وإن كان العدول من جهتها فله الرجوع بكل ما أهداه، سواء أكان باقيا على حاله، أو كان قد هلك، فيرجع ببدله إلا إذا كان عرف أو شرط، فيجب العمل به.


Menurut Malikiyah, dalam hal ini ada rincian, apakah yang membatalkan pihak lelaki ataukah pihak wanita. Jika yang membatalkan pihak lelaki, maka si calon suami tidak memiliki hak untuk membatalkan hadiah yang telah dia berikan. Jika yang membatalkan pihak wanita, maka pihak lelaki berhak menarik semua hadiah yang pernah dia berikan. Baik hadiah itu masih utuh, atau sudah rusak, dan diganti. Kecuali jika ada kesepakatan atau ada tradisi yang berlaku di masyarakat, maka harus mengikuti aturan kesepakatan atau tradisi itu. (Fiqh as-Sunah, 2/33)

[2] Sementara dalam Madzhab Syafiiyah, jika tidak jadi nikah, maka semua hadiah boleh ditarik, siapapun yang membatalkannya.

Sayid Sabiq menyatakan,

وعند الشافعية ترد الهدية سواء أكانت قائمة أم هالكة، فإن كانت قائمة؛ ردت هي ذاتها، وإلا ردت قيمتها. وهذا المذهب قريب مما ارتضيناه.


“Menurut Syafiiyyah, hadiah bisa ditarik baik masih utuh atau pun tidak. Jika masih utuh, dikembalikan utuh.

Jika sudah tidak utuh, dikembalikan nilai hadiah. Dan madzhab ini lebih mendekati yang kami setujui. (Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 2/28).

Berdasarkan keterangan di atas, cincin tunangan yang pernah anda berikan ke pihak wanita, boleh diminta kembali. Meskipun boleh saja anda tidak memintanya, dan anda ikhlaskan. Karena ini murni hak pemberi hadiah.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Tata Cara Taaruf


Pertanyaan : "Bagaimana cara ta’aruf yg sesuai syar’i. terima kasih…"

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ta’aruf [التعارف] secara bahasa dari kata ta’arafa – yata’arafu [تعارف – يتعارف], yang artinya saling mengenal. Kata ini ada dalam al-Quran, tepatnya di surat al-Hujurat,

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا

“Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang pria dan seorang wanita, lalu menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal (li-ta’arofu) …” (QS. al-Hujurat: 13).

Ketika manusia itu berbeda-beda, mereka bisa saling kenal… ini ciri orang Melayu, ini orang Arab, ini ciri orang Cina, ini orang Eropa, dst. Anda semua ciri manusia sama, tentu kita tidak bisa saling kenal seperti ini.

Diambil dari makna bahasa di atas, ta’aruf antara lelaki dan wanita yang hendak menikah, berarti saling kenalan sebelum menuju jenjang pernikahan.

Sebelumnya ada 3 hal yang perlu dibedakan,

[1] Ta’aruf: saling perkenalan. Dan umumnya dilakukan sebelum khitbah

[2] Khitbah: meminang atau lamaran, menawarkan diri untuk menikah

Khitbah, ada yang disampaikan terang-terangan dan ada yang disampaikan dalam bentuk isyarat.
Khitbah secara terang-terangan, misalnya dengan menyatakan, “Jika berkenan, saya ingin menjadikan anda sebagai pendamping saya..” atau yang bentuknya pertanyaan, “Apakah anda bersedia untuk menjadi pendamping saya?”
Khitbah dalam bentuk isyarat, misalnya dengan mengatakan, “Sudah lama aku mendambakan wanita yang memiliki banyak kelebihan seperti kamu…” atau kalimat semisalnya, meskipun bisa jadi ada kesan menggombal…

Allah berfirman,

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ

Tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya. (QS. Al-Baqarah: 235)

Berdasarkan ayat di atas, bagi wanita yang sedang menjalani masa iddah, tidak boleh dilamar dengan kalimat terang-terangan.

[3] Nadzar: melihat calon pasangan.

Biasanya ini dilakukan ketika ta’aruf atau ketika melamar.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا، فَلْيَفْعَلْ

“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika dia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” (HR. Ahmad 3/334, Abu Dawud 2082 dan dihasankan al-Albani).

Bagaimana Cara Ta’aruf yang Benar?

Tidak ada cara khusus dalam masalah ta’aruf. Intinya bagaimana seseorang bisa menggali data calon pasangannya, tanpa melanggar aturan syariat maupun adat masyarakat. Hanya saja, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan terkait ta’aruf,

[1] Sebelum terjadi akad nikah, kedua calon pasangan, baik lelaki maupun wanita, statusnya adalah orang lain. Sama sekali tidak ada hubungan kemahraman. Sehingga berlaku aturan lelaki dan wanita yang bukan mahram.

Mereka tidak diperkenankan untuk berdua-an, saling bercengkrama, dst. Baik secara langsung atau melalui media lainnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا

“Jangan sampai kalian berdua-duaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya), karena setan adalah orang ketiganya.” (HR. Ahmad dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).

Setan menjadi pihak ketiga, tentu bukan karena ingin merebut calon pasangan anda. Namun mereka hendak menjerumuskan manusia ke maksiat yang lebih parah.

[2] Luruskan niat, bahwa anda ta’aruf betul-betul karena ada i’tikad baik, yaitu ingin menikah. Bukan karena ingin koleksi kenalan, atau cicip-cicip, dan semua gelagat tidak serius. Membuka peluang, untuk memberi harapan palsu kepada orang lain. Tindakan ini termasuk sikap mempermainkan orang lain, dan bisa termasuk kedzaliman.

Sebagaimana dirinya tidak ingin disikapi seperti itu, maka jangan sikapi orang lain seperti itu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Kalian tidak akan beriman sampai kalian menyukai sikap baik untuk saudaranya, sebagaimana dia ingin disikapi baik yang sama. (HR. Bukhari & Muslim)

[3] Menggali data pribadi, bisa melalui tukar biodata
Masing-masing bisa saling menceritakan biografinya secara tertulis. Sehingga tidak harus melakukan pertemuan untuk saling cerita. Tulisan mewakili lisan. Meskipun tidak semuanya harus dibuka. Ada bagian yang perlu terus terang, terutama terkait data yang diperlukan untuk kelangsungan keluarga, dan ada yang tidak harus diketahui orang lain.

Jika ada keterangan dan data tambahan yang dibutuhkan, sebaiknya tidak berkomunikasi langsung, tapi bisa melalui pihak ketiga, seperti kakak lelakinya atau orang tuanya.

[4] Setelah ta’aruf diterima, bisa jadi mereka belum bertemu, karena hanya tukar biografi. Karena itu, bisa dilanjutkan dengan nadzar.

Dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan,

“Suatu ketika aku berada di sisi Nabi shallallahu’alaihi wasallam, tiba-tiba datanglah seorang lelaki. Dia ingin menikahi wanita Anshar. Lantas Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bertanya kepadanya,

“Apakah engkau sudah melihatnya?”

Jawabnya, “Belum.”

Lalu beliau memerintahkan,

انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا

“Lihatlah wanita itu, agar cinta kalian lebih langgeng.” (HR. Turmudzi 1087, Ibnu Majah 1865 dan dihasankan al-Albani)

Nadzar bisa dilakukan dengan cara datang ke rumah calon pengantin wanita, sekaligus menghadap langsung orang tuanya.

[5] Dibolehkan memberikan hadiah ketika proses ta’aruf

Hadiah sebelum pernikahan, hanya boleh dimiliki oleh wanita, calon istri dan bukan keluarganya.

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا كَانَ مِنْ صَدَاقٍ أَوْ حِبَاءٍ أَوْ عدةٍ قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لَهَا وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ أُعْطِيَهُ أَوْ حُبِىَ

“Semua mahar, pemberian dan janji sebelum akad nikah itu milik penganten wanita. Lain halnya dengan pemberian setelah akad nikah, itu semua milik orang yang diberi” (HR. Abu Daud 2129)

Jika berlanjut menikah, maka hadiah menjadi hak pengantin wanita. Jika nikah dibatalkan, hadiah bisa dikembalikan. Selengkapnya anda bisa pelajari ini: Nikah Batal, Nikah Tunangan Wajib Dikembalikan? 

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Petunjuk Syariat dalam Menerima dan Menyebar (Share) Berita



Kita dengan sangat mudah men-share berita, entah dengan menggunakan media sosial semacam facebook, atau aplikasi whatsapp, atau media yang lainnya. Akibatnya, muncullah berbagai macam kerusakan, seperti kekacauan, provokasi, ketakutan, atau kebingungan di tengah-tengah masyarakat

Tergesa-gesa dalam Menyebarkan Berita

Pada masa ini, ketika arus informasi demikian mudahnya, seringkali tanpa berfikir panjang kita langsung menyebarkan (men-share) semua berita dan informasi yang kita terima, tanpa terlebih dahulu meneliti kebenarannya. Kita dengan sangat mudah men-share berita, entah dengan menggunakan media sosial semacam facebook, atau aplikasi whatsapp, atau media yang lainnya. Akibatnya, muncullah berbagai macam kerusakan, seperti kekacauan, provokasi, ketakutan, atau kebingungan di tengah-tengah masyarakat akibat penyebaran berita semacam ini.

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas mengatakan,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta apabila dia mengatakan semua yang didengar.” (HR. Muslim no.7)

Janganlah kita tergesa-gesa menyebarkan berita tersebut, karena sikap seperti ini hanyalah berasal dari setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

التَّأَنِّي مِنَ اللهِ , وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ

“Ketenangan datangnya dari Allah, sedangkan tergesa-gesa datangnya dari setan.” (HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 10/104 dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya 3/1054)

Periksalah Kebenaran sebuah Berita dengan Cermat

Allah Ta’ala pun memerintahkan kepada kita untuk memeriksa suatu berita terlebih dahulu karena belum tentu semua berita itu benar dan valid. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 6)

Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk memeriksa suatu berita dengan teliti, yaitu mencari bukti-bukti kebenaran berita tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan menelusuri sumber berita, atau bertanya kepada orang yang lebih mengetahui hal itu.

Oleh karena itu, sungguh saat ini kita sangat perlu memperhatikan ayat ini. Suatu zaman di mana kita mudah untuk men-share suatu link berita, entah berita dari status facebook teman, entah berita online, dan sejenisnya, lebih-lebih jika berita tersebut berkaitan dengan kehormatan saudara muslim atau berita yang menyangkut kepentingan masyarakat secara luas. Betapa sering kita jumpai, suatu berita yang dengan cepat menjadi viral di media sosial, di-share oleh ribuan netizen, namun belakangan diketahui bahwa berita tersebut tidak benar. Sayangnya, klarifikasi atas berita yang salah tersebut justru sepi dari pemberitaan.

Hukuman bagi yang Sembarangan Menyebar Berita

Bagi kita yang suka asal dan tergesa-gesa dalam menyebarkan berita, maka hukuman di akhirat kelak telah menanti kita. Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan mimpi beliau,

رأيت الليلة رجلين أتياني، فأخذا بيدي، فأخرجاني إلى أرض فضاء، أو أرض مستوية، فمرا بي على رجل، ورجل قائم على رأسه بيده كلوب من حديد، فيدخله في شدقه، فيشقه، حتى يبلغ قفاه، ثم يخرجه فيدخله في شدقه الآخر، ويلتئم هذا الشدق، فهو يفعل ذلك به

“Tadi malam aku bermimpi melihat ada dua orang yang mendatangiku, lalu mereka memegang tanganku, kemudian mengajakku keluar ke tanah lapang. Kemudian kami melewati dua orang, yang satu berdiri di dekat kepala temannya dengan membawa gancu dari besi. Gancu itu dimasukkan ke dalam mulutnya, kemudian ditarik hingga robek pipinya sampai ke tengkuk. Dia tarik kembali, lalu dia masukkan lagi ke dalam mulut dan dia tarik hingga robek pipi sisi satunya. Kemudian bekas pipi robek tadi kembali pulih dan dirobek lagi, dan begitu seterusnya.”

Di akhir hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat penjelasan dari malaikat, apa maksud kejadian yang beliau lihat,

أما الرجل الأول الذي رأيت فإنه رجل كذاب، يكذب الكذبة فتحمل عنه في الآفاق، فهو يصنع به ما رأيت إلى يوم القيامة، ثم يصنع الله به ما شاء

“Orang pertama yang kamu lihat, dia adalah seorang pendusta. Dia membuat kedustaan dan dia sebarkan ke seluruh penjuru dunia. Dia dihukum seperti itu sampai hari kiamat, kemudian Allah memperlakukan orang tersebut sesuai yang Dia kehendaki.” (HR. Ahmad no. 20165) [2]

Apabila kita sudah berusaha meneliti, namun kita belum bisa memastikan kebenarannya, maka diam tentu lebih selamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَمَتَ نَجَا

“Barangsiapa yang diam, dia selamat.” (HR. Tirmidzi no. 2501) [3]

Bertanyalah, Adakah Manfaat Menyebarkan suatu Berita Tertentu?

Lalu, apabila kita sudah memastikan keberannya, apakah berita tersebut akan kita sebarkan begitu saja? Jawabannya tentu saja tidak. Akan tetapi, kita lihat terlebih dahulu apakah ada manfaat dari menyebarkan berita (yang terbukti benar) tersebut? Jika tidak ada manfaatnya atau bahkan justru berpotensi menimbulkan salah paham, keresahan atau kekacauan di tengah-tengah masyarakat dan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya, maka hendaknya tidak langsung disebarkan (diam) atau minimal menunggu waktu dan kondisi dan tepat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 74)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu untuk menyebarkan ilmu yang dia peroleh karena khawatir akan menimbulkan salah paham di tengah-tengah kaum muslimin. Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,

فَقَالَ: «يَا مُعَاذُ، تَدْرِي مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ؟ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ؟» قَالَ: قُلْتُ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: «فَإِنَّ حَقَّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللهَ، وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا» ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ، قَالَ: «لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا»

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Wahai Mu’adz, apakah kamu tahu apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba dan apa hak hamba yang wajib dipenuhi oleh Allah?’ Aku menjawab, ‘Allah dan Rasul-nya yang lebih mengetahui.’ Beliau pun bersabda, ‘Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah supaya mereka beribadah kepada-Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikit pun kepada-Nya. Adapun hak hamba yang wajib dipenuhi oleh Allah adalah Allah tidak akan mengazab mereka yang tidak berbuat syirik kepada-Nya.’

Lalu aku berkata, ’Wahai Rasulullah, bagaimana kalau aku mengabarkan berita gembira ini kepada banyak orang?’ Rasulullah menjawab, ’Jangan, nanti mereka bisa bersandar.’” (HR. Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 154)

Mari kita perhatikan baik-baik hadits ini. Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan suatu berita (ilmu) kepada Mu’adz bin Jabal, namun beliau melarang Mu’adz bin Jabal untuk menyampaikannya kepada sahabat lain, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir kalau mereka salah paham terhadap kandungan hadits ini. Artinya, ada suatu kondisi sehingga kita hanya menyampaikan suatu berita kepada orang tertentu saja. Dengan kata lain, terkadang ada suatu maslahat (kebaikan) ketika menyembunyikan atau tidak menyampaikan suatu ilmu pada waktu dan kondisi tertentu, atau tidak menyampaikan suatu ilmu kepada orang tertentu. [4]

Mu’adz bin Jabal akhirnya menyampaikan hadits ini ketika beliau hendak wafat karena beliau khawatir ketika beliau wafat, namun masih ada hadits yang belum beliau sampaikan kepada manusia. Mu’adz bin Jabal juga menyampaikan kekhawatiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu, agar manusia tidak salah paham dengan hadits tersebut. [5]

Semoga tulisan singkat ini menjadi panduan kita di zaman penuh fitnah dan kerusakan seperti sekarang ini, yang salah satunya disebabkan oleh penyebaran berita yang tidak jelas asal-usul dan kebenarannya. [6]

***

Selesai disempurnakan di pagi hari, Rotterdam NL 3 Dzulhijjah 1438/26 Agustus 2017

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Artikel: Muslim.or

Catatan kaki:
[1] Dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-shahihah no. 1795.
[2] Dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth.
[3] Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani.
[4] Al-Qaulul Mufiid ‘ala Kitaabit Tauhiid, 1/55.
[5] I’anatul Mustafiid, 1/50.
[6] Dikutip dari buku penulis, “Islam, Sains dan Kesehatan”, hal. 49-54 dengan beberapa penambahan yang dianggap penting. Penerbit Pustaka Muslim, Yogyakarta tahun 2016.

Bulan Rajab





Keutamaan Bulan Rajab


Keutamaan Bulan Rajab, ia merupakan salah satu dari bulan haram. Di mana bulan haram ini adalah bulan yang dimuliakan. Bulan ini adalah yang dilarang keras melakukan maksiat, serta diperintahkan bagi kita untuk beramal sholih.

Bulan Rajab adalah Bulan Haram

Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadal Akhiroh dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)

Ibnu Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perpuataran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)

Mengenai empat bulan yang dimaksud disebutkan dalam hadits dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ


Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679). Jadi, empat bulan suci tersebut adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Apa Maksud Bulan Haram?

Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah berkata, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna:
  1. Pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
  2. Pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan itu. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Masiir, tafsir surat At Taubah ayat 36)
Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” Bahkan Ibnu ’Umar, Al Hasan Al Bashri dan Abu Ishaq As Sa’ibi melakukan puasa pada seluruh bulan haram, bukan hanya bulan Rajab atau salah satu dari bulan haram lainnya. Lihat Latho-if Al Ma’arif, 214. Ulama Hambali memakruhkan berpuasa pada bulan Rajab saja, tidak pada bulan haram lainya. Lihat Latho-if Al Ma’arif, 215.

Namun sekali lagi, jika dianjurkan, bukan berarti mesti mengkhususkan puasa atau amalan lainnya di hari-hari tertentu dari bulan Rajab karena menganjurkan seperti ini butuh dalil. Sedangkan tidak ada dalil yang mendukungnya. Lihat bahasan Muslim.Or.Id sebelumnya: Adakah Anjuran Puasa di Bulan Rajab?

Ibnu Rajab Al Hambali berkata, ”Hadits yang membicarakan keutamaan puasa Rajab secara khusus tidaklah shahih dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, begitu pula dari sahabatnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 213).

Hati-Hati dengan Maksiat di Bulan Haram

Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)

Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?

Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun Imam Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh Imam Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh penulis Latho-if Al Ma’arif (hal. 203), yaitu Ibnu Rajab Al Hambali.

Semoga bulan Rajab menjadi ladang bagi kita untuk beramal sholih.

Membaca al-Quran sambil Tiduran

Bolehkah Membaca Al-Quran Sambil Tiduran?

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Allah berfirman memuji orang yang rajin berdzikir dalam setiap kesempatan,

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ‏

“Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring.” (QS. Ali Imran: 191).


Allah juga memerintahkan kita untuk berdzikir dalam semua keadaan,


فَاذْكُرُواْ اللّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ

“Apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.” (QS. an-Nisa’: 103)


فالأمر في هذا واضح، وذكر الله يشمل القرآن ويشمل أنواع الذكر من التسبيح والتهليل والتحميد والتكبير، فالله -جل وعلا- وسَّع الأمر

Perintahnya dalam ayat ini sangat jelas. Dzikrullah mencakup al-Quran dan mencakup semua bentuk dzikir, baik tasbih, tahlil, tahmid, maupun takbir. Allah Ta’ala memberi kelonggaran dalam masalah dzikir. (Fatawa Ibnu Baz – http://www.binbaz.org.sa/noor/2388)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah membaca al-Quran sambil berbaring. Aisyah bercerita,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَتَّكِئُ فِى حَجْرِى وَأَنَا حَائِضٌ ، ثُمَّ يَقْرَأُ الْقُرْآ

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbaring di pangkuanku ketika aku sedang haid, lalu beliau membaca al-Quran. (HR. Bukhari 297 & Muslim 719)

An-Nawawi mengatakan,

فيه جواز قراءة القرآن مضطجعا ومتكئاً

Hadis ini menunjukkan bolehnya membaca al-Quran sambil tiduran dan bersadar. (Syarh Shahih Muslim, 3/211).

Allahu a’lam.

Menikahi Wanita Hamil Korban Zina


Pertanyaan: Mau tanya, saya seorang suami dengan usia pernikahan baru 1 tahun lebih. Istri saya pergi meninggalkan saya karena tidak mencintai saya. Dan pergi memilih laki-laki lain. Saya menikahi istri saya untuk menutup aibnya karena sudah hamil 3 bulan dengan pacarnya yang tidak mau bertanggung jawab. Apakah saya bisa menikah lagi dan apakah saya yang harus menuntut cerai?
Dari: Ray 

Menikahi Wanita Hamil Korban Zina


Jawaban :

Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Diantara nikmat besar yang Allah berikan kepada umat manusia adalah Allah halalkan mereka untuk menikah. Allah yang Maha Tahu sangat memahami karakter hamba-Nya yang membutuhkan pasangan dalam hidupnya. Di surat Ar-Rum, Allah menyebutkan sederet kenikmatan yang Dia berikan kepada hamba-Nya, salah satunya,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً

Diantara tanda kekauasan-Nya, Dia ciptakan untuk kalian pasangan dari diri kalian (jenis manusia), agar kalian merasakan ketenangan dengannya, dan Dia menjadikan rasa cinta dan kasih sayang diantara kalian.” (QS. Ar-Rum: 21).

Namun tentu saja untuk mewujudkan hal ini ada syaratnya. Ketenangan yang Allah ciptakan pada pasangan suami-istri akan terwujud, jika pernikahan yang dilangsungkan adalah pernikahan yang sah, memenuhi syarat-syarat nikah. Terlebih jika syarat ini dilengkapi dengan pemahaman tentang hak dan kewajiban sebagai suami-istri oleh calon pengantin, surga dunia dalam berkeluarga akan bisa Anda nikmati.

Menyadari hal ini, setiap muslim yang ingin membangun bahtera keluarga, dintuntut untuk memahami aturan syariah terkait pernikahan yang akan dia langsungkan. Jika tidak, bisa jadi keluarga yang akan dia jalani, justru menjadi sumber masalah baru bagi hidupnya.

Terkait pernikahan yang anda sampaikan dalam pertanyaan, ada beberapa catatan yang bisa Anda perhatikan:


Pertama, Menikahi wanita hamil

Menikahi wanita hamil, korban perbuatan zina dengan lelaki lain, statusnya pernikahan yang batal. Para lelaki dilarang melakukan hubungan dengan wanita yang hamil dengan mani orang lain. Dari Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يسقي ماءه زرع غيره

Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia menuangkan air maninya pada tanaman orang lain.” (HR. Ahmad 16542)

Yang dimaksud tanaman orang lain adalah janin yang disebabkan air mani orang lain. Ancaman dalam hadis ini menunjukkan larangan.

Karena itu, tidak ada istilah menolong wanita hamil korban hasil zina dengan bentuk menikahinya. Menikahi wanita hamil, justru menjerumuskannya pada perbuatan zina yang dilegalkan dengan pernikahan yang batal.


Kedua, tidak boleh menikahi wanita pezina kecuali dia telah bertaubat

Dalam pernikahan, Islam memperhatikan adanya kesepadanan dalam kehormatan. Orang yang menjaga kehormatan, hanya akan dipasangkan dengan pasangan yang juga juga menjaga kehormatan. Untuk itulah, Islam melarang lelaki yang baik, menikahi wanita pezina, atau sebaliknya, wanita yang baik, menikah dengan lelaki pezina. Allah berfirman,

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Lelaki pezina tidak boleh menikah kecuali dengan wanita pezina atau wanita musyrik. Wanita pezina tidak boleh dinikahi kecuali oleh lelaki pezina atau lelaki musyrik. Dan hal itu diharamkan untuk orang yang beriman.” (QS. An-Nur: 3)

Seseorang disebut pezina, ketika dia pernah berzina meskipun sekali, sementara dia belum bertaubat. Dan selama belum bertaubat, predikat sebagai pezina akan senantiasa melekat pada dirinya.

Sebagai regulasi yang diberikan dalam Islam terhadap keutuhan sebuah keluarga, Islam melarang lelaki atau wanita yang baik, menikah dengan model pasangan pezina.

Karena dikhawatirkan, orang yang pernah berzina, sementara dia belum bertaubat, kemudian dia menikah, bisa jadi penyakit zinanya akan kambuh, dan terjadilah luka mengerikan, yang kita kenal dengan istilah ‘selingkuh’.

Sebagai nasihat kepada para pemuda, ketika Anda hendak menikah dengan pasangan yang pernah terjebak dalam perbuatan nista berupa zina, pastikan dulu bahwa pasangan Anda telah bertaubat. Pastikan bahwa dia telah menjadi sosok yang berbeda dari pada sebelumnya. Jika dia wanita, pastikan bahwa dirinya telah menutup aurat dengan sempurna dan berusaha menjaga pergaulannya. Jika dia lelaki, pastikan bahwa dirinya telah bergaul dengan komunitas yang baik, dan tidak pergaul dengan wanita yang bukan mahramnya.

Ketiga, Pernikahan yang batal

Mengingat pernikahan Anda tidak memenuhi syarat yang berlaku, maka status pernikahan Anda batal. Wanita itu bukan istri Anda, demikian pula si anak yang dia lahirkan, juga bukan anak Anda. Kami sarankan, lepaskan wanita itu bersama anaknya, karena mereka bukan keluarga Anda. Dengan demikian, Anda bisa menikah dengan wanita yang lebih baik agama dan akhlaknya.

Untuk itu, berusahalah untuk menjadi lelaki yang baik, karena Allah memberikan jaminan bahwa lelaki yang baik, yang menjaga kehormatannya akan dipasangkan dengan wanita yang baik, yang menjaga kehormatannya. Sebaliknya, wanita yang buruk, yang tidak menjaga kehormatannya, akan dipasangkan dengan lelaki yang sama karakternya. Allah berfirman:

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)…(QS. An-Nur: 26)

Ketika Anda berharap untuk mendapatkan pasangan yang baik, istri yang sholihah atau suami yang sholih, jadilah manusia yang baik, yang sholih, menjaga kehormatan, menjaga aturan Allah Ta’ala.

Allahu a’lam

Adab dalam Ujian Nasional


Seolah telah menjadi satu konsekuensi, setiap orang yang belajar harus menempuh ujian, Sebagai penentu apakah dia termasuk orang yang berhasil ataukah seorang pecundang. Tidak hanya dalam masalah pelajaran dan pendidikan, bahkan dalam masalah iman dan ketakwaan juga ada ujian. Allah akan menguji setiap orang yang beriman, untuk membuktikan apakah orang tersebut betul-betul beriman ataukah hanya sebatas pengakuan bahwa dirinya beriman. Allah berfirman,

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ( ) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ


“Apakah manusia mengira bahwa dirinya bebas untuk mengatakan “kami beriman” sementara mereka tidak diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dalam imannya dan siapakah yang dusta dalam imannya.” (QS. Al-Ankabut 2-3)

Bukti yang menentukan keberhasilan dan kegagalan seseorang bisa dilihat setelah dia menjalani ujian.

Musim UN menjadi masa para siswa dalam karantina. Segala aktivitas kesehariannya menjadi berubah. Yang dulunya sering bergadangan nonton bola dan klayapan, masuk UN tiba-tiba jadi remaja soleh – slohihah. Ada yang rajin tahajud, ada yang rutin puasa sunah, ada yang bernadzar, bahkan ada yang mujahadahan. Berbagai upaya dikerjakan, demi mengejar prestasi dan cita-cita. Detik-detik menegangkan, menentukan nasib setumpuk harapan pribadi dan orang tua.

Untuk itu, ada baiknya jika pada kesempatan yang singkat ini kita bahas adab-adab yang selayaknya diperhatikan dalam ujian. Karena kita yakin bahwa syariat islam adalah syariat yang paripurna, menjelaskan seluruh permasalahan umat. Sebagaimana yang disebutkan dalam kisah dialog antara Salman Al Farisi dengan orang kafir. Suatu ketika ada orang kafir yang berkata kepada Salman dengan nada agak mengejek: “Hai Salman, benarkah Nabimu mengajarimu semua hal sampai dalam masalah buang air..?” Salman lantas menjawab dengan nada penuh bangga: “Iya, betul. Beliau mengajari kami semua hal sampai dalam masalah buang air.” (Dikutip oleh Ibnul Qoyyim dalam Hidayatul Hiyari hal. 99)

Adab-adab ketika ujian

Pertama, Berusaha disertai tawakkal

Inilah langkah awal yang selayaknya dilakukan oleh setiap yang mengharapkan keberhasilan. usaha merupakan modal pertama meraih kesuksesan. karena sukses tidaklah serta merta turun dari langit. perubahan hanya akan terjadi ketika orangnya mau berusaha untuk berubah. Allah berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ


“Sesungguhnya Allah tidaklah mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’du: 11).

Karena itu, dalam islam tidak ada kamus tawakal tanpa usaha. Karena setiap tawakal harus diawali usaha. Tawakal tanpa usaha diistilahkan dengan tawaaakal (pura-pura tawakal).

Namun ingat, juga jangan terlalu bersandar pada usaha dan kemampuan kita. karena semuanya berada di bawah kehendak Sang Maha Kuasa. Sehebat apapun usaha kita, jangan sampai membuat kita terlalu PD, sehingga mengesankan tidak membutuhkan pertolongan Allah.

Allah menjanjikan, orang yang bertawakkal akan dicukupi oleh Allah. sebagaimana disebutkan dalam firmannya,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ


“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).” (QS. At-Thalaq: 3).

Sebaliknya, orang yang tidak bertawakkal maka dikhawatirkan akan diuji dengan kegagalan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bercerita: “Nabi Sulaiman pernah berikrar: “Malam ini aku akan menggilir 100 istriku. semuanya akan melahirkan seorang anak yang akan berjihad di jalan Allah.” beliau mengucapkan demikian dan tidak mengatakan: “InsyaaAllah”. Akhirnya tidak ada satupun yang melahirkan kecuali salah satu dari istrinya yang melahirkan setengah manusia (baca: manusia cacat). kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوِ اسْتَثْنَى، لَوُلِدَ لَهُ مِائَةُ غُلَامٍ كُلُّهُمْ يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللهِ


“Andaikan Sulaiman mau mengucapkan InsyaaAllah niscaya akan terlahir 100 anak dan semuanya berjihad di jalan Allah.” (HR. Ahmad 7137 dan dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

Siapa kita dibanding Nabi Sulaiman ‘alaihis salam. Keinginan seorang Nabi yang tidak disertai tawakkal ternyata bisa menui kegagalan.

Kedua, Hindari sebab yang tidak memenuhi syarat

Ada sebagian orang yang ketika hendak ujian dia menempuh jalan pintas. Dia menggunakan sebab yang bertolak belakang dengan syariat. Ada yang datang ke orang pintar untuk minta perewangan. Ada yang makan kitab biar bisa cepat hafal. Ada yang dzikir tengah malam dengan membaca ribuan wirid yang tidak disyariatkan, dan seabreg trik lainnya untuk menggapai sukses.

Perlu kita tanamkan dalam lubuk hati kita bahwa segala sesuatu itu bisa dijadikan sebagai sebab jika memenuhi dua kriteria:

Ada hubungan sebab akibat yang terbukti secara ilmiyah. misalnya belajar dan menghafal adalah sebab untuk mendapatkan pengetahuan.

jika syarat pertama tidak terpenuhi maka harus ada syarat kedua, yaitu sebab tersebut ditentukan oleh dalil. sehingga meskipun sebab tersebut tidak terbukti secara ilmiyah memiliki hubungan dengan akibat namun selama ada dalil maka boleh dijadikan sebagai sebab. contoh, meruqyah dengan bacaan Al Qur’an untuk mengobati orang sakit. meskipun secara ilmiyah tidak bisa dibuktikan secara ilmiyah apakah hubungan antara bacaan Al-Qur’an dengan pengobatan, namun mengingat ada dalil yang menegaskan hal tersebut maka itu bisa dijadikan sebagai sebab.

jika ada sebab yang tidak memenuhi dua kriteria di atas maka menggunakan sebab tersebut hukumnya syirik kecil. karena berarti dia telah berdusta atas nama Allah. dia meyakini bahwa hal itu bisa dijadikan sebab padahal sama sekali Allah tidak menjadikan hal itu sebagai sebab.

Dan jika sebab yang ditempuh itu berupa amal, maka syaratnya harus ada dalilnya. jika tidak, bisa jadi terjerumus ke dalam jurang dosa bid’ah.

Ketiga, Perbanyak Istighfar

Sesungguhnya salah satu sumber utama kegagalan yang terjadi pada manusia adalah dosa dan maksiat. Allah tegaskan,

وَجَزَاء سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا


“Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa..” (QS. As-Syura: 40)

Salah satu dampak buruk dosa adalah bisa menghalangi kelancaran rizki. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis,

إن الرجل ليحرم الرزق بالذنب يصيبه


Sesungguhnya seseorang terhalangi untuk mendapat rizki, disebabkan dosa yang dia perbuat. (HR. Ahmad 22386 dan dihasankan Al-Albani).

Karena itu, agar kita terhindar dari dampak buruk perbuatan maksiat yang kita lakukan, perbanyaklah memohon ampunan kepada Allah. Perbanyak istighfar dalam setiap waktu yang memungkinkan untuk berdizkir. Kita berharap, dengan banyak istighfar, semoga Allah memberi ampunan dan memudahkan kita untuk mendapatkan apa yang diharapkan.

Dalam sebuah hadis dinyatakan,

مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا ، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا ، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ


Siapa yang membiasakan istigfar, Allah akan memberikan kelonggaran di setiap kesempitan, memberikan jalan keluar di setiap kebingungan, dan Allah berikan dia rizki dari arah yang tidak dia sangka. (HR. Abu Daud, Ibn Majah, Ahmad, Ad-Daruquthni, al-baihaqi dan yang lainnya).

Hadis ini dinilai dhaif oleh sebagian ulama, hanya saja maknanya sejalan dengan perintah Allah di surat Hud:

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ


Perbanyaklah meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. (QS. Hud: 3)

Keempat, Banyak berdo’a

Perbanyaklah berdo’a kepada Allah. Meminta segala hal yang kita butuhkan. Baik dalam urusan akhirat maupun dunia. Karena semakin sering mengetuk pintu maka semakin besar peluang untuk dibuka-kan pintu tersebut. Semakin sering kita berdo’a, semakin besar peluang untuk dikabulkan. Namun perlu diingat, jangan suka minta dido’akan orang lain. Karena berdo’a sendiri itu lebih berpeluang untuk dikabulkan dari pada harus melalui orang lain. Lebih-lebih di saat kita sedang membutuhkan pertolongan. Akan ada perasaan berharap yang lebih besar bila dibandingkan dengan do’a yang diwakilkan orang lain. Disamping itu, berdo’a sendiri lebih menunjukkan ketergantungan kita kepada Allah secara langsung. Dan kita melepaskan diri dari ketergantungan pada orang lain.


Kelima, Pegang Prinsip Kejujuran dan Hindari bentuk penipuan

Pernahkah kita menyadari bahwa plagiat dan mencontek ketika ujian termasuk bentuk penipuan. Adakah diantara kita yang sadar bahwa melakukan pelanggaran dalam ujian termasuk bentuk kedustaan. Pernahkah kita merasa bahwa hal itu membawa konsekuensi dosa. mungkin ada diantara kita yang beranggapan kalo itu tak ada hubungannya dengan agama. Ini lain urusan antara UN dengan agama. tak ada kaitannya dengan urusan akhirat.

Perlu kita sadari bahwa apapun bentuk pelanggaran yang kita lakukan ketika ujian, baik itu bentuknya mencontek, plagiat, catatan, pemalsuan data dan pelanggaran lainnya, hukumnya haram dan dosa besar. Tinjauannya:

1. Perbuatan itu terhitung sebagai bentuk penipuan. karena orang yang melihat nilai kita beranggapan bahwa itu murni usaha kita yang dilakukan dengan jujur dan sportif. padahal hakekatnya itu adalah hasil kerja gabungan, kerja kita dan teman-teman sekitar kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا


“Barangsiapa yang menipu kami maka bukan termasuk golongan kami.” (HR. Muslim).

Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa perbuatan menipu ini termasuk dosa besar. karena diancam dengan kalimat: “bukan termasuk golongan kami”. (lihat Syarh Riyadhus Sholihin Syarh hadis Bab: Banyaknya jalan menuju kebaikan).

Komite tetap tim fatwa Saudi pernah ditanya tentang masalah pelanggaran ketika ujian. Mereka menjawab: “Menipu dalam ujian pembelajaran atau yang lainnya itu haram. Orang yang melakukannya termasuk pelaku salah satu dosa besar.

Berdasarkan hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang menipu kami maka dia bukan bagian kami.” Dan tidak ada perbedaan antara materi pelajaran agama maupun non agama.”

Dalam kesempatan yang sama Komite fatwa ini juga pernah ditanya tentang hadis “barangsiapa yang menipu kami…” kemudian mereka menjawab:

“Hadis ini statusnya shahih. Mencakup segala bentuk penipuan baik dalam jual beli, perjanjian, amanah, ujian sekolah atau pesantren, baik bentuk penipuannya itu dengan melihat buku ajar, mencontek teman, memberikan jawaban kepada yang lain, atau dengan melemparkan kertas pada yang lain.”

2. Perbuatan ini termasuk diantara sifat orang yang diancam dengan adzab. Allah berfirman, yang artinya:

وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ


“…dan mereka yang suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari adzab…” (QS. Ali Imran: 188).

Kita yakin, orang yang suka melakukan pelanggaran ketika ujian pasti tidak lepas dari tujuan mencari nilai bagus. Disadari maupun tidak, ketika ada orang yang memuji nilai UN yang kita peroleh pasti akan ada perasaan bangga dalam diri kita. Meskipun kita yakin betul kalo itu bukan murni kerja kita. Oleh karena itu, bagi yang punya kebiasaan demikian, segeralah bertaqwa kepada Allah. Mudah-mudahan kita tidak digolongkan seperti ayat di atas.

3. Perbuatan semacam tergolong sebagai orang yang mengenakan pakaian kedustaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لم يعط كلابس ثوب زور


“Orang yang merasa bangga dengan apa yang tidak dia dapatkan maka seolah dia memakai dua pakaian kedustaan.” (HR. Ahmad & Al Bukhari dalam Adabul Mufrad dan dishahihkan Al Albani).

Dijelaskan oleh An Nawawi bahwa yang dimaksud “Orang yang merasa bangga dengan apa yang tidak dia dapatkan” adalah orang yang menampakkan bahwa dirinya telah mendapatkan keutamaan padahal aslinya dia tidak mendapatkannya. (lih. Faidhul Qodir 6/338).

Orang semacam ini termasuk orang yang menipu orang lain. Dia menampakkan seolah dirinya orang pinter, nilainya-nya bagus, padahal aslinya….

Ujian adalah amanah untuk dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Sebagai muslim yang baik, selayaknya kita jaga amanah ini dengan baik. Amanah ilmiah yang selayaknya kita tunaikan dengan penuh tanggung jawab. Karena itulah yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan. Bukan jaminan orang yang nilai UN-nya baik, pasti mendapatkan peluang hidup yang lebih nyaman. Ingat, kedustaan dan kecurangan akan mengundang kita untuk melakukan kedustaan berikutnya, dalam rangka menutupi kedustaan sebelumnya. Dan bisa jadi itu terjadi secara terus-menerus. Berbeda dengan kejujuran, dia akan mengantarkan pada ketenangan, dan selanjutnya mengantarkan pada jalan kebaikan dan surga.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى البِرِّ، وَإِنَّ البِرَّ يَهْدِي إِلَى الجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا. وَإِنَّ الكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الفُجُورِ، وَإِنَّ الفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا


Sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607)

Keenam, tips dalam menghadapi kegagalan

a. Tanamkan bahwa semuanya telah ditakdirkan
sebagai bukti bahwa kita adalah orang yang beriman pada taqdir, kita yakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini semuanya telah ditaqdirkan oleh Allah. Kita yakini bahwa tidak ada perbuatan Allah yang sia-sia. Semua pasti ada hikmahnya. Baik kita ketahui maupun tidak. Kita tutup rapat-rapat jangan sampai kita berburuk sangka kepada Allah. Sebagai penyempurna keimanan kita pada taqdir adalah kita pasrahkan semuanya kepada Allah dan tidak terlalu disesalkan. Kegagalan bukanlah tanda bahwa Allah membenci kita. Demikian pula, sukses bukanlah tanda bahwa Allah membenci kita. Bahkan ini termasuk anggapan cupet manusia yang telah dibantah dalam Al Qur’an. Allah berfirman,

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ ( ) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ ( ) كَلَّا…


Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan maka dia berkata: “Rabbku memuliakan aku.”(15) Namun apabila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rizqinya maka dia berkata: “Rabbku menghinakanku.”(16) sekali-kali tidak…..”(QS. Al Fajr: 15-17).
b. Bersabar dengan penuh mengharapkan pahala
Jika gagal ini adalah bagian dari ujian hidup maka berusahalah untuk bersabar. Lebih-lebih jika kita mampu untuk bersikap ridla atau bahkan bersyukur. Sesuatu yang berat ini akan menjadi terasa ringan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يَزَالُ البَلَاءُ بِالمُؤْمِنِ وَالمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ


“Tidak henti-hentinya ujian itu akan menimpa setiap mukmin laki-laki maupun wanita terkait dengan dirinya, anaknya, dan hartanya. Sampai dia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak memiliki dosa.” (HR. At Turmudzi dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Riyadhus Shalihin).

Kegagalan ini akan menjadi penebus dosa jika orang yang tertimpa kegagalan tersebut mampu bersabar.

c. yakini ada yang lebih buruk dari pada kita
inilah diantara cara yang diajarkan islam agar kita tetap bisa bersyukur kepada Allah terhadap nikmat yang telah Dia berikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ


“Lihatlah orang yang lebih bawah dari pada kamu, dan jangan melihat orang yang lebih banyak nikmatnya dari pada kamu, karena akan memberi kekuatan kamu untuk tidak meremehkan nikmat Allah kepadamu.” (HR. Muslim)

d. hindari ber-andai-andai
Jangan sampai terbetik dalam diri kita teriakan perasaan “andai aku tadi pinjem bukunya si A pasti aku bisa mengerjakannya..” “Andai aku tadi…pasti…” “Andai aku…kan harusnya gak…” dan seterusnya. Umumnya perasaan ini muncul ketika orang itu dalam posisi gagal. Karena perasaan ini merpakan awal dari godaan setan agar manusia mengingkari taqdir Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ، فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ


“Apabila kamu tertimpa kegagalan, janganlah kamu mengatakan: “Seandainya aku bersikap demikian tentu yang terjadi demikian..” tetapi katakanlah: “Ini telah ditaqdirkan oleh Allah, dan Allah berbuat sesuai apa yang Dia kehendaki.” Karena sesungguhnya ucapan berandai-andai itu membuka (pintu) perbuatan setan.” (HR. Muslim).

Berdasarkan hadis di atas, ada ungkapan yang sunnah untuk kita ucapkan ketika sedang mengalami kegagalan:

قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ


“Ini telah ditaqdirkan oleh Allah, dan Allah berbuat sesuai apa yang Dia kehendaki”

e. berusaha untuk memperbaikinya dan jangan putus asa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ


“Bersemangatlah dalam mencari apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta jangan sekali-kali kamu bersikap lemah (karena putus asa)…” (HR. Muslim).

Selamat menempuh ujian, semoga sukses menyertai kita semua…amiin

Oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Wanita yang Dicintai Jin

Aku Merasa Dicintai Jin?

Pertanyaan : sy nonton di tv katanya ada manusia dicintai oleh jin dijelskan tanda2nya dan sy merasakan sebagian tanda2 yg disebutkan  tersebut . apa yang harus sy lakukan pa ustad..apa sy perlu diruwat..? terima kasih

Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Interaksi antara manusia dan jin bisa dalam bentuk pengagungan manusia kepada jin, dan jin merasa bangga dengan tindakan mereka. Bisa juga terjadi karena dorongan nafsu syahwat. Sampai pada puncaknya, jin akan merasuk ke tubuh manusia itu.

Ini sangat mungkin terjadi, sebagaimana yang dinyatakan Syaikhul Islam dalam kumpulan fatwanya. Syaikhul Islam mengatakan,

صرع الجن للإنس قد يكون عن شهوة وهوى وعشق ، كما يتفق للإنس مع الإنس… ا.هـ.

Jin merasuk ke dalam tubuh manusia, terkadang karena syahwat, hawa nafsu, atau jatuh cinta. Sebagaimana yang terjadi antara manusia dengan sesama manusia. (Majmu’ al-Fatawa, 19/39).

Intinya, manusia sangat mungkin dicintai oleh jin, makhluk yang tidak kelihatan. Karena mereka melihat manusia, sementara normalnya manusia tidak bisa melihat jin. Keterangan selengkapnya bisa anda pelajari di: Cara Melihat Jin

Cara Penanggulangan

Selanjutnya, yang lebih penting untuk kita kenai adalah bagaimana cara menanggulangi kasus orang yang dicintai jin. Yang paling harus diwaspadai bagi orang yang mengalami kasus ini adalah jangan sampai dia kerasukan jin. Jika sampai pada kondisi ini, akan sangat sulit untuk disembuhkan.

Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan bagi orang yang dicintai jin?

Pertama, dia harus menolak dan memasang permusuhan dengan jin.

Ada sebagian orang yang merasa bangga ketika dia dicintai jin. Bahkan dia anggap itu sebagai bagian dari kelebihan. Dia bangga ketika memiliki pacar dari golongan jin. Jika ini terjadi, akan susah untuk disembuhkan, sementara dia sendiri menikmatinya.

Ketika manusianya menolak, maka dia diposisi didzalimi jin. Sehingga yang menanggung semua dosa itu adalah si jin.

Syaikhul Islam mengatakan,

فما كان من صرعهم للإنس بسبب الشهوة والهوى والعشق…. فهو من الفواحش التي حرمها الله تعالى ، كما حرم ذلك على الإنس وإن كان برضى الآخر ، فكيف إذا كان مع كراهته فأنه فاحشة وظلم! فيخاطب الجن بذلك ويعرفون أن هذا فاحشة محرمة

Jika mereka masuk ke tubuh manusia dengan sebab syahwat, hawa nafsu, dan  jatuh cinta … maka ini termasuk tindakan keji (fahisyah) yang Allah haramkan. Sebagaimana itu juga diharamkan antar-manusia. meskipun keduanya saling suka. Sehingga dosanya lebih berat jika itu dipaksa. Dia salah karena melakukan perbuatan keji dan kedzaliman. Jin juga mendapatkan aturan ini dan mereka tahu bahwa itu kekejian yang haram.  (Majmu’ Fatawa, 19/40).

Kedua,  korban harus merutinkan amalan dan dzikir yang mendekatkan dirinya kepada Allah.

Seperti dzikir pagi-petang, perlindungan yang Allah ajarkan (at-Tahshinah ar-Rabbaniyah) agar dijauhkan dari gangguan makhluk yang nampak maupun yang tidak nampak.

Anda bisa pelajari dzikir itu di
Rutinkan dzikir-dzikir di atas, dan anda akan bisa merasakan pengaruh besar di kehidupan anda.

Ketiga, hindari tidur dalam kondisi tidak berbusana.

Pastikan ketika tidur, aurat antara pusar sampai lutut tetap tertutup. Dan jika anda harus membuka aurat, pastikan sebelumnya anda membaca basmalah.

Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سِتْرُ ما بَيْنَ أَعْيُنِ الْجِنِّ وَبَيْنَ عَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ ، إِذَا خَلَعَ الرَّجُلُ ثَوْبَهُ أَنْ يَقُولَ : بِسْمِ

“Tabir penutup antara pandangan mata jin dengan aurat bani adam (manusia) adalah apabila seseorang melepas pakaiannya, dia membaca: bismillah. (HR. Ibnu Adi, at-Thabrani dalam Mu’jam al-Ausath – al-Mathalib al-Aliyah, al-Hafidz Ibnu Hajar, no. 37).

Keempat, jangan lupa dzikir sebelum tidur

Ini modal perlindungan anda sebelum tidur. Untuk mendapatkan penjagaan Allah dari setan, selama kita dalam kondisi paling lemah yaitu ketika tidur.

Mengenai bacaan dan dzikir sebelum tidur, anda bisa pelajari: Nasihat Agar Tidur Tidak Diganggu Setan


Kelima, berusaha menghindari maksiat

Ini termasuk bagian terpenting dalam menghindarkan diri dari gangguan jin. Karena orang yang sering lupa Allah, rajin maksiat, akan lebih mudah didekati setan.

Allah berfirman,

وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ

Barangsiapa yang berpaling dari peringatan ar-Rahman (Al Quran), kami adakan baginya setan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. (QS. az-Zukhruf: 36)

Berpaling dari peringatan Allah bisa bentuknya tidak beribadah kepada-Nya atau tidak mau mengamalkan peringatan Allah, yaitu al-Quran.

Keenam, pelajari ilmu agama dan aqidah yang benar

Setan lebih takut kepada orang yang berilmu dari pada orang yang tidak paham ilmu agama. Terutama orang berilmu yang disiplin mengajak masyarakat kembali kepada kebenaran (berdakwah).

Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah bercerita,

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membuat garis dengan tangannya kemudian bersabda,

هَذَا سَبِيلُ اللهِ مُسْتَقِيمًا

‘Ini jalan Allah yang lurus.’

Lalu beliau membuat garis-garis di kanan-kirinya, dan bersabda,
هَذِهِ السُّبُلُ، لَيْسَ مِنْهَا سَبِيلٌ إِلَّا عَلَيْهِ شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ

‘Ini adalah jalan-jalan yang bercerai-berai (sesat) tidak satu pun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat setan yang mengajak orang untuk melewatinya.’

Selanjutnya beliau membaca firman Allah,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ

‘Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa. (HR. Ahmad 4437 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Siapa yang ingin mengikuti jalan lurus, harus memiliki panduan. Itulah ilmu yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya. Dengan panduan ini, dia tidak akan tersesat sehingga mengikuti jalannya setan.

Allahu a’lam

Nasihat Agar Tidur tidak Diganggu Jin


Pertanyaan:

Assalamualaikum.
Maaf Ustadz, saya mau tanya. Setiap kali saya mau tidur saya selalu diganggu sama Jin, padahal saya belum tidur. Saya juga sadar kegiatan-kegiatan orang-orang yang ada di sekitar saya, tapi saya tidak bisa minta tolong. Saya juga susuh bergerak. Badan saya terasa dipegang sama setan, semakin lama semakin kuat, padahal saya sudah baca bermacam-macam doa.
Dengan susah payah saya baru bisa lepas dari pegangan tersebut dan akhirnya dengan nafas “ngos-ngosan” baru saya lepas. Jadi kalau mau tidur saya takut.

Apa yang harus sya baca supaya setan itu tidak mengganggu saya?

Kenapa saya bisa diganggu dan siapa itu sebenarnya?

Oh ya Ustadz, ini sudah saya alami sejak saya 9 tahun. Sekarang umur saya sudah 30 tahun. Terima kasih banyak.

Wassalamualaikum.

Dari: Rinatu


Jawaban:

Wa’alaikumussalam

Sebelumnya kita perlu memahami bahwa semua kondisi tidak nyaman, tidak enak yang dialami setiap muslim, sejatinya bisa menjadi sumber pahala baginya. Dengan syarat, dia berusaha untuk bersabar dan mengharap pahala dari Allah dengan musibah itu. Termasuk ketika Anda tidak nyaman pada saat istirahat, baik karena gangguan makhluk halus maupun makhluk ‘kasar’. Jadikan pengalaman pahit Anda dalam hidup ini sebagai sumber pahala. hadirkan perasaan mengharap pahala dari Allah Ta’ala.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung, sedih, ganggung orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari 5641).


Terkait aktivitas tidur, sekuat apapun manusia, dia menjadi sangat lemah ketika tidur. Orang yang tidur lelap, bisa menjadi sasaran bagi makhluk jahat di sekitarnya. Jika dia bisa merasa aman dari gangguan manusia, tidak ada jaminan aman dari gangguan makhluk yang tidak nampak. Itulah jin yang jahat. Jika mereka tidak mengganggu Anda di alam nyata, bisa jadi mereka akan mengganggu Anda di alam mimpi. Itulah kesempatan terbesar bagi setan untuk bertindak nakal, mengganggu manusia.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرؤيا ثلاث حديث النفس وتخويف الشيطان وبشرى من الله

“Mimpi itu ada tiga macam: bisikan hati, ditakuti setan, dan kabar gembira dari Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Jika gangguan dari luar, Anda bisa meminta bantuan orang lain untuk mengusirnya. Tapi ini tidak berlaku ketika dalam mimpi. Anda tidak mungkin memanggil teman, suami, atau istri Anda untuk mengusir setan yang mengganggu Anda dalam dunia mimpi. Karena itulah, orang yang tidur tanpa berdzikir terlebih dahulu, akan menjadi penyesalan baginya.

Dalam al-Adzkar, an-Nawawi membuat judul bab:
“Bab Makruh Tidur tanpa Berdzikir kepada Allah (sebelum tidur)” (al-Adzkar, Hal. 95).

Selanjutnya, an-Nawawi menyebutkan hadis berikut: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ اضْطَجَعَ مَضْجَعاً لا يَذْكُرُ اللَّهَ تَعالى فِيهِ كانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللَّهِ تَعالى تِرَةٌ

“Siapa yang tidur, sementara tidak berdzikir ketika hendak tidur, akan menjadi penyesalan baginya di hadapan Allah.” (HR. Abu Daud 4856 dan dishahihkan al-Albani).


Malaikat dan Setan Menghadiri Seseorang yang Hendak tidur

Dalam hadist yang berasal dari Jabir bin Abdullah, dinyatakan:

إذا أوى الرجل إلى فراشه أتاه ملك وشيطان فيقول الملك اختم بخير ويقول الشيطان اختم بشر فان ذكر الله ثم نام باتت الملائكة تكلؤه

“Apabila manusia berbaring di pembaringannya (akan tidur), malaikat dan setan segera menghampirinya. Malaikat membisikkan, “Akhiri (malam-mu) dengan kebaikan”, sedangkan setan membisikan, “Akhiri (malam-mu) dengan keburukan”. Apabila dia berdzikir menyebut nama Allah kemudian tidur, maka malaikat melindungi dia di malam itu.” (HR. Ibnu Hibban 5533, Hakim dalam al-Mustadrak 1969 dan beliau shahihkan, kemudian disepakati oleh Adz-Dzahabi).

Di saat Anda tidur, Anda sangat butuh pertolongan dan pengamanan dari Allah. Untuk mendapatkan jaminan keamanan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita berbagai doa dan dzikir sebelum tidur. Anda bisa rutinkan doa ini, setiap kali Anda hendak tidur:


Pertama, Ruqyah badan sebelum tidur

Bacaan ini telah disebutkan di pembahasan doa yang dibaca orang sakit. Namun, mengingat bacaan ini erat kaitannya dengan kegiatan tidur, maka di kesempatan ini perlu kita sebutkan ulang.

Yang dimaksud ruqyah itu adalah membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas, kemudian ditiupkan ke dua tangan, lalu diusapkan ke seluruh tubuh yang bisa dijangkau, sambil berbaring.

Hadis selengkapnya:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْفُثُ عَلَى نَفْسِهِ فِي المَرَضِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ، فَلَمَّا ثَقُلَ كُنْتُ أَنْفِثُ عَلَيْهِ بِهِنَّ، وَأَمْسَحُ بِيَدِ نَفْسِهِ لِبَرَكَتِهَا

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al-Mu’awidzat, lalu meniupkan tangan untuk diusap ke badannya ketika beliau sakit yang mengantarkan kematian. Ketik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah sangat parah, aku (Aisyah) yang meniupkan ke tangan dengan bacaan surat tersebut, dan aku gunakan tangan beliau untuk mengusap badan beliau, karena tangan beliau berkah. (HR. Bukhari no. 5735)

Kedua, Tidur dengan Nama Allah

بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ أَمُوتُ وَأَحْيَا
BISMIKA ALLAHUMMA AMUUTU WA AHYAA

“Dengan Nama-Mu ya Allah, aku mati dan aku hidup.”

Keterangan:

Orang yang sedang tidur, sejatinya sedang Allah wafatkan. Allah berfirman:

اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى

“Allah mewafatkan jiwa (orang) ketika matinya dan (mewafatkan) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya (sehingga tidak bangun dari tidurnya) dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan.” (QS. Az-Zumar: 42)

Karena itulah, ketika hendak tidur, kita membaca : Dengan Nama-Mu ya Allah, aku mati dan aku hidup. Maknanya, aku mati ketika tidur dan aku hidup ketika bangun.
Allahu a’lam.

Hadis Selengkapnya:
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ قَالَ: «بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ أَمُوتُ وَأَحْيَا»

“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur, beliau membaca: Bismika Allahumma amuutu wa ahyaa.. (HR. Bukhari 6324)


Ketiga, Ayat Kursi

Baca ayat kursi sebelum tidur. Jika Anda belum hafal, bisa buka surat Al-Baqarah ayat: 255. Bacaan ini sebelum tidur memiliki keutamaan yang besar.

Hadis selengkapnya:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau pernah ditugasi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjaga zakat Ramadhan. Malam harinya datang seorang pencuri dan mengambil makanan. Dia langsung ditangkap oleh Abu Hurairah. “Akan aku laporkan kamu ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Orang inipun memelas. Minta dilepaskan karena dia sangat membutuhkan dan punya tanggungan keluarga. Dilepaslah pencuri ini. Siang harinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Hurairah tentang kejadian semalam. Setelah diberi laporan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dia dusta, dia akan kembali lagi.” Benar, di malam kedua dia datang lagi. Ditangkap Abu Hurairah, dan memelas, kemudian beliau lepas. Malam ketiga dia datang lagi. Kali ini tidak ada ampun. Orang inipun minta dilepaskan. “Lepaskan aku, nanti aku ajari bacaan yang bermanfaat untukmu.” Dia mengatakan:

إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ، فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ: {اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلَّا هُوَ الحَيُّ القَيُّومُ}، حَتَّى تَخْتِمَ الآيَةَ، فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ، وَلاَ يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ

“Jika kamu hendak tidur, bacalah ayat kursi sampai selesai satu ayat. Maka akan ada penjaga dari Allah untukmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.” (HR. Bukhari 2311)

Keempat, Dua Ayat Terakhir Surat Al-Baqarah, Sudah Mencukupi

Dua ayat terakhir surat Al-Baqarah, mulai: [آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ] sampai selesai. Tepatnya surat Al-Baqarah ayat 285 dan 286. Dua ayat ini cukup bagi Anda dari segala sesuatu.

Keterangan:
  1. Dua ayat terakhir surat Al-Baqarah, sarat dengan kandungan makna iman, islam, bergantung kepada Allah, memohon pertolongan-Nya, tawakkal kepada-Nya, diakhiri dengan permohonan ampunan dan rahmat.
  2. Makna “dua ayat ini cukup bagi pembacanya” : dua ayat ini akan menjaganya dari segala keburukan, dan melindunginya dari segala yang dibenci. Ada sebagian ulama yang mengatakan; dua ayat ini menjadi sebab baginya untuk bangun malam. Sehingga dia bisa mudah melakukan tahajud.
[keterangan Dr. Dib Bagha dalam Ta’liq Shahih Bukhari, 5/84]

Hadis Selengkapnya:

Dari Abu Mas’ud Al-badri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الآيَتَانِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ البَقَرَةِ، مَنْ قَرَأَهُمَا فِي لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ

“Dua ayat di akhir surat Al-Baqarah, siapa yang membacanya di suatu malam, itu sudah cukup baginya.” (HR. Bukhari 4008 & Muslim 807)

Kelima, Dzikir Pelepas Lelah

Anda yang sedang menahan rasa sakit, terkadang membuat Anda sangat lelah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan dzikir yang bisa menambah kekuatan bagi Anda, sehingga mengurangi kelelahan Anda karena sakit atau karena aktivitas lainnya.

Dzikir itu adalah membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali dan takbir 34 kali, sehingga genap 100.

  • Tasbih : سُبْحَانَ اللهِ [SUBHAANALLAH]
  • Tahmid : الْحَمْدُ للهِ [ALHAMDULILLAH]
  • Takbir : اللهُ أَكْبَرُ [ALLAHU AKBAR]
Hadis Selengkapnya:

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Fatimah pernah mengadukan tangannya yang lecet karena sering memutar gilingan. Ketika itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru memililki seorang budak. Fatimah pun datang ke rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (berharap diberi budak sebagai pembantu), namun beliau tidak ada dan hanya menemui Aisyah. Fatimah menyampaikan keluhannya kepada Aisyah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, Aisyah memberitahu tentang kedatangan Fatimah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Malam harinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami (Ali dan Fatimah). Sementara kami sudah di tempat tidur. Kamipun beranjak berdiri, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelahi: “Tetap di tempat.” Beliaupun duduk diantara kami, sampai aku bisa merasakan dinginnya kaki beliau sampai ke dadaku. Beliau bersabda:

ألا أعلمكما خيرا مما سألتما، إذا أخذتما مضاجعكما، أن تكبرا الله أربعا وثلاثين، وتسبحاه ثلاثا وثلاثين، وتحمداه ثلاثا وثلاثين، فهو خير لكما من خادم

“Akan aku ajari kalian, sesuatu yang lebih baik dari pada yang kalian minta. Jika kalian hendak tidur, bacalah takbir [ALLAHU AKBAR] 34 kali, tasbih [SUBHANALLAH] 33 kali, dan tahmid [ALHAMDULILLAH] 33 kali. itu lebih baik bagi kalian dari pada seorang pembantu.” (HR. Bukhari 3113 dan Muslim 2727)

Semenjak mendengar petuah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, Ali tak pernah lalai meninggalkan wirid tadi. Ia selalu membacanya, bahkan di malam perang Shiffin (HR. Bukhari keterangan hadis no. 5362)

Makna dzikir sebelum tidur lebih baik dari pada pembantu:

1. Al-Hafizh Badruddien al-‘Aini menjelaskan beberapa kemungkinan makna mengapa wirid di atas lebih baik dari pada pembantu (Umdatul Qori, 22:288):

a. Wirid itu lebih baik dari pada pembantu karena wirid berkaitan dengan akhirat, sedangkan pembantu berkaitan dengan dunia. Dan akhirat lebih kekal dan lebih afdhal dari dunia.
b. Dzikir ini bisa menjadi sebab orang mendapatkan kekuatan, sehingga bisa mampu melakukan banyak pekerjaan, melebihi kekuatan seorang pembantu.

2. Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, hadits ini tidak berarti bahwa rasa lelah pasti hilang bila seseorang rutin membacanya. (Fathul Bari, 11:125)

3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berpendapat senada. Menurut beliau, siapa yang rajin membaca wirid tadi di waktu malam, niscaya tidak akan kelelahan.

Keterangan:

Urutan dzikir ini bebas, boleh tasbih dulu kemudian tahmid, lalu takbir. Bisa juga takbir dulu, kemudian tasbih, lalu tahmid. Karena ada beberapa macam riwayat yang berbada mengenai hal ini. (Fathul Bari, 11:122)

Keenam, Agar Diwafatkan di Atas Fitrah

Sebelum tidur Anda berwudhu, ketika sudah berbaring, baca:

اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ، وَوَجَّهْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ، رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ، لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ، آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ، وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ

ALLAHUMMA ASLAMTU NAFSII ILAIKA, WA WAJJAHTU WAJHII ILAIKA, WA FAWWAD-TU AMRII ILAIKA, WA ALJA’-TU DZAHRII ILAIKA, RAGHBATAN WA RAHBATAN ILAIKA. LA MALJA-A WA LAA MANJAA MINKA ILLAA ILAIKA. AAMAN-TU BI KITAABIKAL-LA-DZII ANZALTA WA BI NABIYYIKAL-LA-DZII ARSALTA

Ya Allah, aku pasrahkan jiwaku kepada-Mu, aku hadapkan wajahku kepada-Mu, aku pasrahkan urusanku kepada-Mu, akku sAndarkan diriku kepada-Mu, karena mengahrapkan pahala-Mu dan takut adzab-Mu, tiada tempat bersAndar dan menyelamatkan diri dari hukuman-Mu kecuali berlindung kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan, dan kepada nabi-Mu yang telah Engkau utus.

Keutamaan:

Siapa yang membaca doa ini sebelum tidur, kemudian malam harinya dia meninggal, maka dia mati di atas fitrah (islam). Dan jika bangun di pagi hari, maka dia mendapat pahala.

Hadis Selengkapnya:

Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada beliau:

إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ، فَتَوَضَّأْ وَضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ، ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الأَيْمَنِ، وَقُلْ: اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ، ….، فَإِنْ مُتَّ مُتَّ عَلَى الفِطْرَةِ وَإِنْ أَصْبَحْتَ أَصَبْتَ أَجْرًا فَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَقُولُ “

“Jika kamu hendak tidur, berwudhulah seperti wudhu ketika shalat. Kemudian berbaringlah miring ke kanan dan ucapkan: Allahumma aslamtu nafsii ilaika…dst. Jika kamu meninggal maka kamu mati dia atas fitrah, dan jika bangun pagi maka kamu mendapatkan pahala. Jadikanlah bacaan ini yang terakhir kamu ucapkan.” (HR. Bukhari 6311 dan Muslim 2710)


Keterangan:
  • Yang dimaksud : Mati di atas fitrah adalah mati di atas islam
  • Dianjurkan untuk berwudhu sebelum tidur, jika tidak memberatkan.
  • Dianjurkan tidur miring ke kanan, jika bisa melakukannya.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)