Tampilkan postingan dengan label Puasa. Tampilkan semua postingan

Tentang Puasa Arafah, Begini Penjelasannya!

“Diantara ibadah yang utama dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah adalah puasa pada hari Arafah (9 Dzulhijjah)”

Dalam hadis dari sahabat Abu Qatadah dinyatakan, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah ditanya tentang puasa arafah dan puasa Asyuro, beliau menjawab,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

“Puasa satu hari Arafah (9 Dzulhijjah), saya berharap kepada Allah, Dia akan menghapuskan dosa satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya. Dan puasa hari ‘Asyura’ (10 Muharram), saya berharap kepada Allah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya.” (HR. Muslim, no 1162).

Dari keterangan hadis ini kita mengetahui, puasa arafah memiliki keutamaan dapat menghapus dosa satu tahun sebelum dan satu tahun sesudahnya.

Namun pertanyaannya, apakah hal ini berlaku untuk seluruh dosa, sehingga seorang tidak perlu istighfar dan taubat?

Atau bila perlu seorang bisa beralasan dengan puasa Arafah untuk melegalkan maksiat yang dia lakukan?

Mari kita simak penjelasan Imam Nawawi berikut, ketika menjelaskan hadis di atas,

معناه يكفر ذنوب صائمه في السنتين، قالوا: والمراد بها الصغائر…. فإن لم تكن صغائر يرجى التخفيف من الكبائر، فإن لم يكن رفعت درجاته

Makna hadis ini, puasa arafah akan menghapus dosa selama dua tahun (yakni 1 tahun sebelum dan sesudahnya, pent) bagi orang yang melakukan puasa ini, para ulama mengatakan, ”Maksudnya dosa-dosa yang terhapus itu adalah dosa kecil.”

Bila dia tidak memiliki dosa kecil, diharapkan puasa ini menjadi penyebab meringankan dosa besar yang dia lakukan. Apabila tidak memiliki dosa besar, puasa ini akan menjadi penyebab naiknya derajat dia. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, 8/51)

Jadi, pembaca sekalian yang dimuliakan Allah.. dosa yang terampuni dengan sebab puasa arafah dan amal sholih lainnya, hanya dosa kecil saja. Tidak berlaku untuk dosa besar.

Maka tidak benar beralasan dengan puasa arofah, untuk menghibur diri supaya merasa aman/legal melakukan dosa besar. Karena dosa yang disinggung dalam hadis, yang terhapus dengan sebab puasa arafah, maksudnya adalah dosa kecil saja. Dosa besar, hanya terampuni dengan bertaubat yang jujur kepada Allah, yakni memohon ampunan, penyesalan, serta tekad untuk tidak mengulangi.

Justru terus-menerus melakukan dosa, tanpa ada upaya bertaubat, adalah penyebab dosa itu semakin besar di sisi Allah. Tidak ada situasi aman untuk orang-orang yang seperti ini anggapannya. Bahkan dosa kecil saja, yang dilakukan terus-menerus, bisa menjadi dosa besar, apalagi dosa besar yang dilakukan secara kontinyu dan tidak ada rasa menyesal yang mendorongnya untuk bertaubat.

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata,

لا كبيرة مع الاستغفار، ولا صغيرة مع الإصرار

Tidak ada dosa besar bila disertai istighfar. Dan tidak ada istilah dosa kecil jika dilakukan terus-menerus.

Syarat Terhapusnya Dosa Kecil dengan Amal Sholih

Tidak cukup dengan melakukan amal sholih kemudian dosa kecil otomatis terhapus. Ada syarat yang harus terpenuhi untuk mendapatkan fadilah ini. Yaitu, meninggalkan dosa-dosa besar.

Selama dia masih konsisten melakukan dosa besar, tidak ada upaya untuk bertaubat, masih enjoy dengan dosa besar yang dia lakukan, maka amal shalihnya tidak akan berfungsi sebagai penghapus dosa-dosa kecil.

Karena Allah ta’ala berfirman,

إِن تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُم مُّدْخَلًا كَرِيمًا ﴿٣١﴾

Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang untuk kalian, maka Kami akan menghapus semua dosa kecil kalian. Dan Kami akan masukkan kalian ke surga. (QS. An-Nisa : 31).

Nabi kita –shallalllahu’alaihi wa sallam– juga bersabda,

الصلوات الخمس والجمعة الى الجمعة ورمضان الى رمضان مكفرات لما بينهما اذا اجتنبت الكبائر

Shalat lima waktu, dari satu (shalat) Jum’at ke Jumat berikutnya, dari ramadhan ke ramadhan berikutnya, bisa menjadi penghapus dosa, yang ada diantara keduanya, bila dosa-dosa besar dijauhi. (HR. Ahmad, Muslim dan At-Tirmidzi, hadis Abi Hurairah)

Ayat dan hadis di atas menunjukkan, bahwa dosa-dosa kecil akan terhapus, apabila dosa-dosa besar ditinggalkan. Hal ini menekankan bahwa meninggalkan dosa besar adalah syarat terhapusnya dosa kecil. Artinya, amal-amal sholih tidak akan berfungsi sebagai penghapus dosa kecil, selama dosa besar belum ditinggalkan dan belum ditaubati.

Ibnul Qoyyim memaparkan, ketika membantah anggapan sebagian orang, bahwa puasa asyuro dapat menghapus seluruh dosa; baik besar maupun kecil,

وكاغترار بعضهم على صوم يوم عاشوراء أو يوم عرفة، حتى يقول بعضهم يوم عاشوراء يكفر ذنوب العام كلها ويبقى صوم عرفة زيادة في الأجر، ولم يدر هذا المغتر أن صوم رمضان والصلوات الخمس أعظم وأجل من صيام يوم عرفة ويوم عاشوراء، وهي إنما تكفر ما بينهما إذا اجتنبت الكبائر… فكيف يكفر صوم تطوع كل كبيرة عملها العبد وهو مصر عليها غير تائب منها, هذا محال..

Seperti terpedayanya sebagian orang dengan puasa asyuro dan puasa arafah. Sampai ada sebagian mereka mengatakan, puasa asyuro dapat menghapus seluruh dosa selama satu tahun. Tinggal puasa arafah berfungsi sebagai penambah pahala… Dia yang sedang terpedaya ini tidak menyadari, bahwa puasa ramadhan dan sholat lima waktu itu lebih agung dan lebih mulia dari puasa arafah dan asyuro (karena ibadah yang wajib lebih utama daripada yang sunah, pent).

Itu pun hanya berfungsi menghapus dosa kecil, jika dosa-dosa besar ditinggalkan.

Lantas bagaimana bisa dikatakan, puasa sunah sehari dapat menghapus seluruh dosa besar yang dilakukan oleh seorang hamba, sementara dia masih terus-menerus melakukan dosa besar itu. Ini mustahil..! (Al-Jawab Al-Kafi hal. 55)

Syaikh Abdulmuhsin Al-‘Abbad -hafidzohullah- (pakar hadis Madinah saat ini), di saat menerangkan hadis tentang puasa arafah dapat menghapus dosa satu tahun sesudah dan sebelumnya, beliau menerangkan senada,

ومعناه: إذا كانت الكبيرة لم تجتنب ، أو كان مصراً عليها ، فإنه لا يحصل معها التكفير

Maknanya adalah, selama dosa besar tidak dijauhi atau dia masih terus-menerus melakukannya, maka pengampunan dosa-dosa kecil ini tidak akan dia dapatkan.

(Syarah Sunan Abi Dawud, http://audio.islamweb.net/audio/Fulltxt.php?audioid=171426)

Wallahua’lam bis showab.
Ditulis oleh : Ustadz Ahmad Anshori, Lc.

Tanda Puasa Diterima oleh Allah


Assalamualaikum, kali ini RMI Alur Cucur akan membagikan tentang

Tanda Puasa Diterima oleh Allah

Bulan Ramadan menjadi bulan yang sangat istimewa bagi Umat Islam. Pada bulan ini kaum mukmin berlomba-lomba mengerjakan amal kebaikan. Puasa menjadi ibadah wajib yang dilaksanakan satu bulan penuh. Amalan ini dijanjikan pahala kebaikan berlipat ganda dari Allah SWT.


Namun, apakah puasa anda diterima atau ditolak? Pertanyaan ini tentu cukup mengejutkan, mengingat perkara diterima atau ditolaknya suatu amal adalah hak prerogatif Allah SWT. Namun, siapapun tentu ingin tahu apakah puasanya berbuah pahala atau justru hanya menyisakan lapar dan dahaga.

Ternyata ada pertanda yang menunjukan bahwa puasa yang dijalankan diterima atau ditolak. Tanda ini bisa dirasakan dan teliti kepada diri sendiri. Seperti apa tanda tersebut? Berikut informasi selengkapnya.

Tanda yang bisa membedakan antara amalan diterima atau ditolak suatu amal adalah perbuatan setelahnya. Allah SWT akan memberikan taufik kepada seseorang setelah mereka melakukan kebijikan jika amal mereka diterima.

Menurut Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah.

“Kembali lagi melakukan puasa setelah puasa Ramadhan, itu tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan. Karena Allah jika menerima amalan seorang hamba, Allah akan memberi taufik untuk melakukan amalan shalih setelah itu. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, ‘Balasan dari kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.’ Oleh karena itu, siapa yang melakukan kebaikan lantas diikuti dengan kebaikan selanjutnya, maka itu tanda amalan kebaikan yang pertama diterima. Sedangkan yang melakukan kebaikan lantas setelahnya malah ada kejelekan, maka itu tanda tertolaknya kebaikan tersebut dan tanda tidak diterimanya.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 388).

Atau perkataan yang lainnya yang diutarakan oleh Ibnu Katsir ketika membahas tafsir surat Al-Lail : “Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7: 583).

Artinya tanda jika amalan puasa Ramadhan diterima adalah menjadi lebih baik selepas itu atau paling tidak mempertahankan kebaikan yang sudah dijalankan. Salah satu contohnya adalah melakukan puasa Syawal yang kerap terlewat oleh sebagian besar umat.
Tanda amalan kita di bulan Ramadhan tidak diterima adalah setelah Ramadhan tidak lagi ada kebaikan, bahkan sampai meninggalkan kewajiban seperti kewajiban shalat lima waktu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten meskipun sedikit. Muttafaqun ‘alaihi.

Dan ingat, para salaf selama 6 bulan mereka berdoa supaya bisa berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan dan 6 bulan tersisa mereka berdoa supaya amalan mereka diterima. Semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan.

Puasa Syawal, Tanda Kesempurnaan Puasa Ramadhan


PUASA SYAWAL

Ibadah puasa memang sudah selesai, tapi bukan berarti ibadah juga selesai, karena ibadah itu sampai maut menjemput. Oleh karenanya, jangan lupa, untuk kesempurnaan puasa Ramadhan kita, semangat lah untuk puasa Sunnah 6 hari Syawal, sebagaimana dalam hadits Abu Ayyub al-Anshori,

عَنْ أبِي أَيُّوْبَ اْلأَنْصَارِيِّ – رضي الله عنه – أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ – صلى الله عليه و سلّم- قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَ أَْتبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَهْرِ

Dari Abu Ayyub al-Anshari –radhiyallahu ‘anhu- bahwasanya Rasulullah –shallallahu ‘alahi wa sallam– bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa satu tahun penuh(HR. Imam Muslim dalam Shahihnya 1164).

Hadits ini menunjukkan disyariatkannya puasa enam hari pada bulan Syawal, baik bagi kaum pria maupun wanita. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu seperti diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ka’b al-Akhbar, Sya’bi, Thawus, Maimun bin Mihran, Abdullah bin Mubarok, Ahmad bin Hanbal dan Syafi’i.

Faedah puasa Syawal

Ingatlah saudaraku, membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki beberapa faedah yang cukup banyak, diantaranya:
  1. Puasa enam hari Syawal setelah Ramadhan berarti meraih pahala puasa setahun penuh
  2. Puasa syawal dan sya’ban seperti shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu, untuk sebagai penyempurna kekurangan yang terdapat dalam fardhu
  3. Puasa syawal setelah ramadhan merupakan tanda bahwa Allah menerima puasa ramadhannya, sebab Allah apabila menerima amal seorang hamba maka Dia akan memberikan taufiq kepadanya untuk melakukan amalan shalih setelahnya
  4. Puasa Syawal merupakan ungkapan syukur setelah Allah mengampuni dosanya dengan puasa ramadhan
  5. Puasa Syawal merupakan tanda keteguhannya dalam beramal shalih, karena amal shalih tidaklah terputus dengan selesainya ramadhan tetapi terus berlangusng selagi hamba masih hidup.

Niat Puasa Syawal

Dan berikut adalah bacaan niat puasa syawal sunnah 6 hari lengkap arab, latin dan terjemahannya

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ ِستَةٍ ِمنْ شَوَالٍ سُنَةً ِللَه تَعَالَي

NAWAITU SHOUMA GHODIN 'ANSITTATIN MIN SYAWAALI SUNNATAN LILLAAHI TA'ALAA

Artinya :
Saya niat berpuasa sunnah enam hari bulan Syawal karena Allah Ta ala

Tata Cara Puasa Syawal

1- Puasa sunnah Syawal dilakukan selama enam hari

Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa puasa Syawal itu dilakukan selama enam hari. Lafazh hadits di atas adalah: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.(HR. Muslim no. 1164).

Dari hadits tersebut, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Yang disunnahkan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal.” (Syarhul Mumti’, 6: 464).

2- Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,Para fuqoha berkata bahwa yang lebih utama, enam hari di atas dilakukan setelah Idul Fithri (1 Syawal) secara langsung. Ini menunjukkan bersegera dalam melakukan kebaikan.(Syarhul Mumti’, 6: 465).

3- Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga berkata, “Lebih utama puasa Syawal dilakukan secara berurutan karena itulah yang umumnya lebih mudah. Itu pun tanda berlomba-lomba dalam hal yang diperintahkan.” (Idem)

4- Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa Syawal yaitu puasa setahun penuh.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata,Siapa yang mempunyai kewajiban qodho’ puasa Ramadhan, hendaklah ia memulai puasa qodho’nya di bulan Syawal. Hal itu lebih akan membuat kewajiban seorang muslim menjadi gugur. Bahkan puasa qodho’ itu lebih utama dari puasa enam hari Syawal.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 391).
Begitu pula beliau mengatakan, “Siapa yang memulai qodho’ puasa Ramadhan terlebih dahulu dari puasa Syawal, lalu ia menginginkan puasa enam hari di bulan Syawal setelah qodho’nya sempurna, maka itu lebih baik. Inilah yang dimaksud dalam hadits yaitu bagi yang menjalani ibadah puasa Ramadhan lalu mengikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Namun pahala puasa Syawal itu tidak bisa digapai jika menunaikan qodho’ puasanya di bulan Syawal. Karena puasa enam hari di bulan Syawal tetap harus dilakukan setelah qodho’ itu dilakukan.(Lathoiful Ma’arif, hal. 392).

5- Boleh melakukan puasa Syawal pada hari Jum’at dan hari Sabtu.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian. Namun jika diikuti puasa sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa nadzar karena sembuh dari sakit dan bertepatan dengan hari Jum’at, maka tidaklah makruh.(Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, 6: 309).

Hal ini menunjukkan masih bolehnya berpuasa Syawal pada hari Jum’at karena bertepatan dengan kebiasaan.

Adapun berpuasa Syawal pada hari Sabtu juga masih dibolehkan sebagaimana puasa lainnya yang memiliki sebab masih dibolehkan dilakukan pada hari Sabtu, misalnya jika melakukan puasa Arafah pada hari Sabtu. Ada fatwa dari Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia berikut ini.
Pertanyaan :
Kebanyakan orang di negeri kami berselisih pendapat tentang puasa di hari Arafah yang jatuh pada hari Sabtu untuk tahun ini. Di antara kami ada  yang berpendapat bahwa ini adalah hari Arafah dan kami berpuasa karena bertemu hari Arafah bukan karena hari Sabtu yang terdapat larangan berpuasa ketika itu. Ada pula sebagian kami yang enggan berpuasa ketika itu karena hari Sabtu adalah hari yang terlarang untuk diagungkan untuk menyelisihi kaum Yahudi. Aku sendiri tidak berpuasa ketika itu karena pilihanku sendiri. Aku pun tidak mengetahui hukum syar’i mengenai hari tersebut. Aku pun belum menemukan hukum yang jelas  mengenai hal ini. Mohon penjelasannya.

Jawaban :
Boleh berpuasa Arafah pada hari Sabtu atau hari lainnya, walaupun tidak ada puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, karena tidak ada beda dengan hari-hari lainnya. Alasannya karena puasa Arafah adalah puasa yang berdiri sendiri. Sedangkan hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu adalah hadits yang lemah karenamudhtorib dan menyelisihi hadits yang lebih shahih. (Fatwa no. 11747. Ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan).

Hukum Mengerjakan Puasa Syawal

Hukum berpuasa enam hari pada bulan Syawal adalah sunah. Puasa syawal dapat dikerjakan mulai pada tanggal dua syawal. Jika puasa syawal dikerjakan pada tanggal satu syawal maka hukumnya haram. Karena pada tanggal tersebut merupakan hari rya idul fitri. Sebagaimana dalam hadist dari Abu Sa'id al-Khudri, dia berkata :

عن عمر بن الخطاب وأبي هريرة وأبي سعيد رضي الله عنهم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن صوم يوم الفطر ويوم الأضحى


Artinya : “Nabi Muhammad Saw., melarang berpuasa pada dua hari raya; idul fitri dan idul adha.(maksudnya tanggal satu Syawal atau sepuluh bulan Dzulhijjah . 


Pada dasarnya tata cara melaksanakan puasa syawal sama saja dengan mengerjakan puasa ramadhan. Letak perbedaannya yaitu pada niatnya. Selain itu pada saat melaksanakan puasa 6 hari di bulan Syawal, boleh dilakukan secara berurutan atau berselang hari yang penting masih di bulan Syawal.

Tidak harus berurutan

Ketahuilah wahai saudaraku bahwa puasa Sunnah enam hari Syawal itu tidak harus berturut-turut setelah Idul Fithri, kapan itu selagi masih di bulan Syawal maka boleh.

Ash-Shon’ani berkata:Ketahuilah bahwa pahala puasa ini bisa didapatkan bagi orang yang berpuasa secara berpisah atau berturut-turut, dan bagi yang berpuasa langsung setelah hari raya atau di tengah-tengah bulan”.

Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah maupun di akhir bulan Syawal. Namun, yang lebih utama adalah bersegera melakukannya usai hari raya.

Dengan demikian, maka kita dapat mengetahui kesalahan keyakinan sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa puasa sunnah Syawal harus pada hari kedua setelah hari raya, bila tidak maka sia-sia puasanya!!

Namun, jika engkau wahai saudaraku masih punya tanggungan puasa Ramadhan, maka lunasilah terlebih dahulu sebelum puasa Sunnah Syawal. Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, kemudian dia memulai puasa enam syawal, maka dia tidak mendapatkan keutamaan pahala orang yang puasa ramadhan dan mengirinya dengan enam syawal, sebab dia belum menyempurnakan puasa Ramadhan”.

Menggabungkan Puasa Syawal Dengan Puasa Senin Kamis

Berdasarkan penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Rosyid Al Ghofili, menggabungkan puasa syawal dengan puasa senin kamis hukumnya adalah :

Ada sebagian orang yang melakukan puasa enam hari di bulan Syawal sekaligus berniat puasa senin kamis karena itulah hari kebiasaan puasanya. Yang ia harapkan adalah pahala kedua puasa tersebut. Dan ini adalah pendapat sebagian ulama yang dianggap sebagai ijtihad mereka. Namun yang jelas ijtihad ini adalah ijtihad yang keliru. Yang benar, tidak bisa diperoleh pahala puasa Syawal dan puasa senin kamis sekaligus. Karena puasa enam hari di bulan Syawal punya keutamaan tersendiri dan puasa senin kamis punya keutamaan tersendiri.

Begitu pula contoh lainnya, siapa yang menjadikan puasa enam hari di bulan Syawal satu niat dengan puasa ayyamul biid (puasa pada tanggal 13, 14, dan 15 hijriyah). … Penggabungan niat seperti ini adalah pendapat yang tidak benar dan tidak ada dasarnya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara dalam urusan agama kami yang tidak ada dasarnya, maka amalan tersebut tertolak” (Muttafaqun ‘alaih). Ibadah itu sudah paten baik ibadah yang sunnah maupun yang wajib. Ibadah itu masuk dalam hukum syar’i, artinya harus ada dalil yang membenarkannya. Sehingga tidak boleh bagi seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala kecuali dengan dalil yang benar-benar tegas, yang tidak ada keraguan di dalamnya.

Sebarkanlah ilmu ini kepada yang lainnya, siapa tahu ada yang bersemangat melaksanakannya karena sebab dirimu sehingga engkau pun meraih pahala dengan sebab tersebut.

Puasa RAMADHAN Bersama Pemerintah


Assalamualaikum, RMI Alur Cucur kali ini akan membahas tentang Puasa Ramadhan bersama Pemerintah. Bagaimana menyikapi polemik penentuan 1 Ramadhan dan satu Syawal yang kemungkinan berbeda pada tahun ini? Berdosakah bagi kami yang tidak mengikuti ketetepan pemerintah terhadap penentuan satu Syawal tahun lalu, mengingat kami lebih meyakini ketetapan salah satu ormas, dimana mayoritas negara muslim juga menetapkan satu Syawalnya sama dengan ormas tersebut?

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Keberadaan berbagai ormas dan thariqat di Indonesia yang diizinkan untuk menetapkan awal bulan, selamanya akan menjadi pemicu perselisihan dalam menentukan awal bulan. Lebih-lebih, ketika masing-masing memiliki metode yang berbeda. Pada ujungnya, perselisihan ini bukan hanya dilatarbelakangi perbedaan metode penetapan hilal, tapi bisa jadi sampai merambah pada ranah politik dan gengsi golongan.

Setidaknya ada 3 bulan penting yang menjadi acuan kaum muslimin dalam beribadah, bulan Ramadhan, terkait ibadah puasa mereka, bulan Syawal, terkait waktu shalat Idul Fitri, dan bulan Dzulhijah, terkait waktu puasa Arafah, berkurban serta shalat Idul Adha.

Terlepas dari metode yang digunakan masing-masing ormas, hal terpenting yang perlu kita pertanyakan, siapakah yang berwenang dan memiliki otoritas untuk menetapkan awal bulan yang terkait dengan waktu ibadah bagi kaum muslimin?

Barangkali ada yang menjawab, semua ini dikembalikan kepada ijtihad masing-masing ormas, sehingga masing-masing berhak untuk menetapkan awal bulan sesuai ijtihadnya.

Jika demikian jawabannya, tidak bisa kita bayangkan, andaikan Mekah-Madinah ada di Indonesia. Masyarakat muslim yang behaji di Indonesia akan melakukan wuquf di Arafah pada hari yang berbeda-beda. Pertama yang wukuf: penganut thariqat An-Nadzir, besoknya penganut thariqat Naqsabandiyah, disusul berikutnya anggota ormas Muhammadiyah, di hari yang keempat pemerintah bersama NU, dan wukuf paling akhir, NU salafiyah.

Sehingga, mungkin satu hal yang patut kita syukuri, Allah tidak meletakkan situs perjalanan ibadah haji di Indonesia. Susah untuk dibayangkan, bagaimana carut-marutnya umat jika wukufnya berbeda-beda.

Untuk itu, satu hal penting yang patut kita pahami, bahwa di sana ada ibadah yang hanya bisa dilakukan secara berjamaah. Dilakukan bersama seluruh kaum muslimin. Semacam kapan puasa, kapan Idul Fitri, kapan Idul Adha, kapan wukuf di Arafah, dan beberapa ibadah lainnya.

Sementara ibadah yang bersifat jamaah semacam ini, tidak mungkin bisa disatukan, kecuali melalui pemerintah. Karena satu ormas tentu saja tidak mungkin mampu melakukan demikian, kecuali hanya untuk segelintir anggotanya.

Diantara dalil yang membuktikan hal ini:

Pertama, Allah menjadikan hilal sebagai acuan waktu ibadah bagi seluruh manusia

Allah berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Jawablah, hilal adalah mawaqit (acuan waktu) bagi manusia dan acuan ibadah haji.” (QS. Al-Baqarah: 189).

 Karena itulah, hilal disebut hilal, sebab dia ustuhilla bainan-nas (terkenal di tengah masyarakat).

Syaikhul Islam mengatakan:
وَالْهِلَالُ اسْمٌ لَمَا اُسْتُهِلَّ بِهِ فَإِنَّ اللَّهَ جَعَلَ الْهِلَالَ مَوَاقِيتَ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَهَذَا إنَّمَا يَكُونُ إذَا اسْتَهَلَّ بِهِ النَّاسُ وَالشَّهْرُ بَيِّنٌ

“Hilal adalah nama (acuan waktu) ketika dia terkenal. Karena Allah jadikan hilal sebagai acuan waktu bagi seluruh umat manusia dan untuk acuan haji. Dan semacam ini hanya bisa terjadi ketika dia dikenal masyarakat dan sangat masyhur.” (Majmu’ Fatawa, 6:65)


Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan acuan waktu puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha, berdasarkan kesepakatan masyarakat.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Hari berpuasa (tanggal 1 Ramadhan) adalah pada hari dimana kalian semua berpuasa. Hari fitri (tanggal 1 Syawal) adalah pada hari dimana kalian semua melakukan hari raya, dan hari Idul Adha adalah pada hari dimana kalian semua merayakan Idul Adha.” (HR. Turmudzi 697, Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 2181, dan hadis ini dinilai shahih oleh Al-Albani)

 Apa makna hadis?

Setelah menyebutkan hadis ini, At-Turmudzi mengatakan:
وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ هَذَا الحَدِيثَ، فَقَالَ: إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالفِطْرَ مَعَ الجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ

“Sebagian ulama menjelaskan hadis ini, dimana beliau mengatakan: “Makna hadis ini, bahwa puasa dan hari raya dilakukan bersama jamaah (kaum muslimin) dan seluruh masyarakat.” (Sunan At-Turmudzi, 3:71)

Dan Anda tentu sepakat, semacam ini tidak mungkin bisa dilakukan kecuali pemerintah.

Ketiga, Inilah yang menjadi prinsip kaum muslimin sejak masa silam.

Dalam kitab Al-Wajiz fi Aqidati Ahlis Sunah wal Jamaah dinyatakan:
وأَهل السنة والجماعة :يرون الصلاة والجُمَع والأَعياد خلف الأُمراء والولاة ، والأَمر بالمعروف والنهي عن المنكر والجهاد والحج معهم أَبرارا كانوا أَو فجارا

Ahlus sunah wal jamaah memiliki prinsip: Shalat (di masjid negara pen.), jumatan, hari raya harus dilakukan di atas komando pemimpin. Amar ma’ruf nahi munkar, jihad, dan pelaksanaan manasik haji harus dilakukan bersama pemimpin. Baik dia pemimpin yang jujur maupun pemimpin yang fasik… (Al-Wajiz fi Aqidati Ahlis Sunah, Hal. 130)

Bagaimana jika ada orang yang melihat hilal sendiri?

Semata laporan sebagian orang, belum bisa menjadi acuan. Karena pemerintah memiliki wewenang untuk menerima dan menolak setiap laporan yang sampai kepadanya. Lalu, jika laporannya ditolak, apa yang harus dia lakukan?

Syaikhul Islam ketika ditanya tentang kasus orang yang melihat hilal sendiri (benar-benar melihat, bukan sebatas prediksi hisab, pen.). Sementara laporan dan persaksiannya ditolak pemerintah, apakah dia wajib berpuasa sendiri?

Beliau mengatakan:
إذَا رَأَى هِلَالَ الصَّوْمِ وَحْدَهُ أَوْ هِلَالَ الْفِطْرِ وَحْدَهُ فَهَلْ عَلَيْهِ أَنْ يَصُومَ بِرُؤْيَةِ نَفْسِهِ ؟ أَوْ يُفْطِرَ بِرُؤْيَةِ نَفْسِهِ ؟ أَمْ لَا يَصُومُ وَلَا يُفْطِرُ إلَّا مَعَ النَّاسِ ؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ هِيَ ثَلَاثُ رِوَايَاتٍ عَنْ أَحْمَد : أَحَدُهَا : أَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يَصُومَ وَأَنْ يُفْطِرَ سِرًّا وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ . وَالثَّانِي : يَصُومُ وَلَا يُفْطِرُ إلَّا مَعَ النَّاسِ وَهُوَ الْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبَ أَحْمَد وَمَالِكٍ وَأَبِي حَنِيفَةَ . وَالثَّالِثُ : يَصُومُ مَعَ النَّاسِ وَيُفْطِرُ مَعَ النَّاسِ وَهَذَا أَظْهَرُ الْأَقْوَالِ

“Apabila seseorang melihat hilal Ramadhan sendirian, atau melihat hilal Syawal sendirian, apakah dia wajib berpuasa atau berbuka karena telah melihat hilal? Ataukah dia berpuasa sendiri, namun dia tidak boleh berhari raya kecuali bersama masyarakat? Dalam hal ini ada 3 pendapat, dan semunya merupakan 3 keterangan yang berbeda yang pernah disampaikan Imam Ahmad. “

Pertama, dia wajib puasa dan berbuka (tidak puasa di tanggal 1 Syawal) dengan diam-diam. Ini adalah madzhab Imam As-Syafi’i.

Kedua, dia wajib berpuasa diam-diam, namun dia tidak boleh berbuka (tidak puasa di tanggal 1 Syawal), kecuali bersama masyarakat. Dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad, Imam Malik, dan Abu Hanifah.

Ketiga, dia hanya boleh berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat. Dan ini adalah pendapat paling kuat. … (Majmu’ Fatawa, 6:65)

Dari keterangan beliau, satu kesimpulan yang bisa kita katakan sebagai kesepakatan ulama, bahwa mereka menghormati keputusan pemerintah untuk menentukan awal bulan. Sehingga meskipun ada orang yang sudah melihat hilal Ramadhan-pun, dia hanya boleh puasa diam-diam.

Selanjutnya, lebih jauh Syaikhul Islam menegaskan, tidak bisa disebut tanggal satu, jika itu hanya kesepakatan segelintir orang. Beliau mangatakan:

فَشَرْطُ كَوْنِهِ هِلَالًا وَشَهْرًا شُهْرَتُهُ بَيْنَ النَّاسِ وَاسْتِهْلَالُ النَّاسِ بِهِ حَتَّى لَوْ رَآهُ عَشَرَةٌ وَلَمْ يَشْتَهِرْ ذَلِكَ عِنْدَ عَامَّةِ أَهْلِ الْبَلَدِ لِكَوْنِ شَهَادَتِهِمْ مَرْدُودَةً أَوْ لِكَوْنِهِمْ لَمْ يَشْهَدُوا بِهِ كَانَ حُكْمُهُمْ حُكْمَ سَائِرِ الْمُسْلِمِينَ فَكَمَا لَا يَقِفُونَ وَلَا يَنْحَرُونَ وَلَا يُصَلُّونَ الْعِيدَ إلَّا مَعَ الْمُسْلِمِينَ فَكَذَلِكَ لَا يَصُومُونَ إلَّا مَعَ الْمُسْلِمِينَ وَهَذَا مَعْنَى قَوْلِهِ :  صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Syarat disebut hilal dan bisa ditetapkan awal bulan (syahrun), karena dia masyhur dan dikenal oleh masyarakat. Sehingga andaikan ada sepuluh orang yang melihat hilal, namun belum terkenal di tengah masyarakat atau penduduk negeri, karena persaksian mereka ditolak atau karena mereka tidak melaporkan, maka status mereka sama seperti kaum muslimin yang lain. Sehingga, sebagaimana dia tidak boleh wukuf, berkurban, shalat id, kecuali bersama kaum muslimin, demikian pula, mereka juga tidak boleh puasa kecuali bersama kaum muslimin.” (Majmu Fatawa, 6:65)


Lebih dari itu, kita punya kaidah terkait perselisihan yang menyangkut kepentingan kaum muslimin:

حكم الحاكم يرفع الخلاف

“Keputusan pemerintah, itu memutus perselisihan.”
[Kaidah ini disebutkan At-Taqrir wa At-Tahrir, 6/183, Ghamzu Uyun Al-Bashir Syarh Al-Asybah wa An-Nadzir, 5/217]
Kita anggap bahwa masing-masing ormas berhak berijtihad. Lalu apakah masyarakat bebas memilih ormas yang dia gandrungi? Bukan demikian solusi yang tepat. Ijtihad dan keputusan ormas tidak belaku, ketika pemerintah menetapkan keputusan yang berbeda dengannya. Dan selanjutnya, itu yang menjadi keputusan negara.

Ceramah Singkat Persiapan Menjelang Ramadhan


Assalamualaikum, kali ini RMI Alur Cucur akan membagikan Ceramah Singkat Persiapan Menjelang Ramadhan. Semoga bermanfaat, Aamiin.


Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakaatuh,
إِنّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ



أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن، أَمَّا بَعْدُ

Kaum muslimin yang berbahagia,
Syukur Alhamdulillah kita panjatkan ke hadhirat Allah, Sang Pemberi petunjuk, Yang menguasai dan mengendalikan seluruh hati manusia. Puji syukur kita haturkan pula kepada Allah, karena dengan rahmat dan hidayahnya, kita bisa merasakan nikmatnya ibadah dan ketaatan kepada-Nya.

InsyaaAllah beberapa hari lagi kita akan berjumpa dengan bulan ramadhan. Bulan mulia, yang penuh berkah. Para hamba dimotivasi untuk banyak mendekatkan diri kepada-Nya. Karena itulah, selayaknya kita menyambut ramadhan dengan kegembiraan dan suka cita.

Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kabar gembira kepada para sahabat akan datangnya ramadhan.

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah bercerita,
Ketika datang ramadhan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kabar gembira kepada para sahabat akan datangnya ramadhan. Beliau bersabda,

قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، افْتَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ، وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ، فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

“Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kalian untuk berpuasa. Di bulan ini, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan diikat; di sana terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa terhalangi untuk mendapat kebaikannya, berarti dia telah terhalangi untuk mendapatkan kebaikan.” (HR. Ahmad dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Hadhirin yang kami hormati,
Secara umum, ketika kita menghadapi sebuah ibadah, ada 3 hal yang perlu kita pikirkan,
  1. Apa yang harus kita persiapkan sebelum ibadah
  2. Apa yang harus kita lakukan ketika beribadah
  3. Apa yang harus kita lestarikan pasca - ibadah.
Di kesempatan kali ini, kita akan membicarakan, apa yang seharusnya dipersiapkan seorang muslim sebelum memasuki ramadhan. Kaum muslimin yang berbahagia, Ada beberapa hal yang perlu kita persiapkan menjelang ramadhan

MEMPERBANYAK DOA

Berdoa memohon kepada Allah, agar Allah mempertemukan kita dengan ramadhan, dalam kondisi sehat jasmani rohani. Sehingga bisa maksimal dalam beribadah ketika ramadhan.

Kita meyakini bahwa satu-satunya yang kuasa mengendalikan diri kita hanya Allah. Dia yang memberi kemudahan bagi para hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya. Baik kemudahan dalam bentuk fisik, seperti kesehatan, kekuatan, dst. Termasuk yang paling penting adalah kemudahan dalam bentuk semangat untuk melakukan ibadah.

Kita tidak akan mampu beribadah, tanpa pertolongan dari-Nya. Karena itu, berdoa dan berdoalah. Memohon kepada Allah agar kita diberi kemudahan untuk mendapatkan kebaikan ramadhan.

Kita bisa simak semangat sahabat dan para tabi’in di masa silam. Mereka sangat antusias menyambut ramadhan. Sehingga mereka gunakan kesempatan doa mereka, untuk memohon kepada Allah agar bisa bertemu ramadhan.

Mu’alla bin Al-Fadhl – ulama tabi’ tabiin ,
كانوا يدعون الله تعالى ستة أشهر أن يبلغهم رمضان يدعونه ستة أشهر أن يتقبل منهم

“Dulu para sahabat, selama enam bulan sebelum datang Ramadhan, mereka berdoa agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan. Kemudian, selama enam bulan sesudah ramadhan, mereka berdoa agar Allah menerima amal mereka selama bulan Ramadhan.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 264)

Diantara doa yang bisa kita tiru adalah doa yang diriwayatkan oleh Yahya bin Abi Katsir seorang ulama tabi’in, bahwa sebagian sahabat ketika mendekati datangnya Ramadhan mereka berdoa,

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنـِي إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِـي رَمَضَانَ وَتَسَلَّمْهُ مِنِي مُتَقَبَّلاً

“Ya Allah, antarkanlah aku hingga sampai Ramadhan, dan antarkanlah Ramadhan kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhan.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 264)

Satu harapan yang luar biasa. Betapa mereka menilai, Ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa. Sehingga mereka tidak akan menjadikannya kesempatan yang sia-sia.

PERBANYAK ISTIGHFAR DAN MEMOHON AMPUN KEPADA ALLAH

Semoga istighfar kita bisa melebur dosa kita. Dosa dan maksiat adalah sumber penyakit bagi hati. Dialah sumber noda bagi hati.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan bagaimana bahaya dosa bagi hati manusia,
إِنَّ العَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ» كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Sesungguhnya seorang hamba, apabila melakukan perbuatan maksiat maka akan dititikkan dalam hatinya satu titik hitam. Jika dia meninggalkan maksiat itu, memohon ampun dan bertaubat, hatinya akan dibersihakn. Namun jika dia kembali maksiat, akan ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar-raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya, (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.’ (HR. Turmudzi, Ibnu Majah dan sanadnya dinilai kuat oleh Syuaib Al-Arnauth).

Mulailah bertaubat untuk menghapus kesalahan kita. Jika kesalahan itu harus ditutupi dengan membayar kaffarah, kita siap membayarnya. Jika terkait dengan hak orang lain, kitapun siap dengan meminta maaf kepadanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan,
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ، كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

Orang yang bertaubat dari satu perbuatan dosa, seperti orang yang tidak melakukan dosa itu. (HR. Ibn Majah).

Dengan taubat, berarti kita menghilangkan penyakit hati berupa noda dosa dalam diri kita.

MULAI MEMBIASAKAN DIRI DENGAN KEBAIKAN

Sesuatu yang dilakukan dengan mendadak, biasanya hasilnya tidak masksimal. Karena manusia jadi baik, tidak bisa dilakukan secara instan. Semuanya butuh proses.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
مَنْ يَسْتَعِفَّ يُعِفُّهُ اللَّهُ ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ

“Siapa yang melatih diri menjaga kehormatan maka Allah akan jaga kehormatannya, siapa yang melatih diri untuk bersabar, Allah jadikan dia penyabar. Dan siapa yang merasa cukup, Allah akan memberikan kecukupan.” (HR. Bukhari, Abu Daud, dan yang lainnya)

Umumnya, ketika kita memasuki ramadhan, ada 2 amalan besar yang akan dirutinkan masyarakat, berpuasa di siang hari, dan membaca al-Quran tadarusan. Dan keduanya butuh kesabaran.

Anda harus biasakan sejak sekarang. Mulai latihan bersabar dengan banyak membaca Al-Quran. Latihan sabar membaca al-Quran, akan memudahkan kita banyak membaca al-Quran ketika ramadhan. Setidaknya, dalam sehari kita bisa membaca satu juz.

TEKAD UNTUK UNTUK MENJADIKAN RAMADHAN KESEMPATAN UNTUK BERUBAH

Kita harus punya target. Ramadhan tahun ini harus mengubah diri saya menjadi lebih baik. Allah memberikan banyak kemudahan bagi hamba-Nya untuk beribadah selama ramadhan.

Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ

Ketika datang ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu. (HR. Muslim)

Pintu surga dibuka, artinya peluang besar bagi anda yang melakukan ketaatan, untuk diterima amalnya dan mengantarkannya ke dalam surga.

Pintu neraka ditutup, artinya kita berharap semoga kemaksiatan yang kita lakukan, segera diampuni dan tidak mengantarkan kita ke neraka.

Setan-setan dibelenggu, sehingga tidak mudah baginya untuk menggoda manusia. tidak sebagaimana ketika dia dalam kondisi lepas.

Artinya, itu kesempatan terbesar bagi kita untuk berubah. Target ramadhan tahun ini menjadi lebih berkualitas. Jika sebelumnya hanya membaca setengah juz, targetkan agar yang dibaca lebih banyak.

PAHAMI FIQIH RAMADHAN

Tidak ada ruginya orang yang belajar. Karena ilmu adalah pengarah bagi manusia. Dengan ilmu, orang memiliki panduan untuk bisa beramal dengan benar. karena itulah, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu memuji ilmu, diantaranya, ilmu akan menjaga kita. Ali radhiyallahu ‘anhu berpesan kepada muridnya, Kumail bin Ziyad,

الْعِلْمُ خَيْرٌ مِنْ الْمَالِ .الْعِلْمُ يَحْرُسُك ، وَأَنْتَ تَحْرُسُ الْمَالِ

Ilmu lebih baik dari pada harta, ilmu yang menjagamu dan harta kamu yang jaga. (Hilyah Auliya, 1/79)



Islam mengajarkan agar setiap muslim berbekal ilmu sebelum belajar. Memahami panduannya, sebelum beramal. Allah berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

Pahamilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu. (QS. Muhammad: 19)



Kata imam Bukhari ketika beliau menjelaskan ayat ini,
باب الْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ

“Penjelasan, bahwa ilmu harus didahulukan sebelum berbicara dan beramal.” (Shahih Bukhari, 1/130)
Beramal dengan ilmu, dalam arti berdasarkan dalil, akan membuat amal kita semakin meyakinkan.

Allahu a’lam.

Semoga Allah membimbing dan memudahkan kita untuk menjalankan ketaatan selama ramadhan…

Amiin..

وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ

Tuntunan Puasa Syawal


Puasa Syawal

Pertanyaan:Bagaimanakan tuntunan Islam dalam melaksanakan puasa Syawal?

Jawaban:
Dari Abu Ayyub radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر

Siapa saja yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal, maka itulah puasa satu tahun.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Tata cara puasa Syawal

Ulama berselisih pendapat tentang tata cara yang paling baik dalam melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal.

Pendapat pertama, dianjurkan untuk menjalankan puasa Syawal secara berturut-turut, sejak awal bulan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Ibnul Mubarak. Pendapat ini didasari sebuah hadis, namun hadisnya lemah.

Pendapat kedua, tidak ada beda dalam keutamaan, antara dilakukan secara berturut-turut dengan dilakukan secara terpisah-pisah. Ini adalah pendapat Imam Waki’ dan Imam Ahmad.

Pendapat ketiga, tidak boleh melaksanakan puasa persis setelah Idul Fitri karena itu adalah hari makan dan minum. Namun, sebaiknya puasanya dilakukan sekitar tengah bulan. Ini adalah pendapat Ma’mar, Abdurrazaq, dan diriwayatkan dari Atha’. Kata Ibnu Rajab, “Ini adalah pendapat yang aneh.” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 384–385)

Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bolehnya puasa Syawal tanpa berurutan. Keutamaannya sama dengan puasa Syawal secara terpisah. Syekh Abdul Aziz bin Baz ditanya tentang puasa Syawal, apakah harus berurutan?

Beliau menjelaskan, “Puasa 6 hari di bulan Syawal adalah sunah yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh dikerjakan secara berurutan atau terpisah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keterangan secara umum terkait pelaksanaan puasa Syawal, dan beliau tidak menjelaskan apakah berurutan ataukah terpisah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal ….‘ (Hadis riwayat Muslim, dalam Shahih-nya)

Wa billahit taufiiq ….” (Majmu’ Fatwa wa Maqalat Ibni Baz, jilid 15, hlm. 391)

Boleh puasa di tanggal 2 Syawal

Ibnu Rajab mengatakan, “Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak dimakruhkan puasa pada hari kedua setelah hari raya (tanggal 2 Syawal). Ini sebagaimana diisyaratkan dalam hadis dari Imran bin Husain radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seseorang, ‘Jika kamu sudah selesai berhari raya, berpuasalah.’ (H.r. Ahmad, no. 19852).” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 385)

Antara qadha dan puasa Syawal

Keutamaan puasa Syawal hanya diperoleh jika puasa Ramadan telah selesai

Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin mengatakan, “Setiap orang perlu memerhatikan bahwa keutamaan puasa Syawal ini tidak bisa diperoleh kecuali jika puasa Ramadan telah dilaksanakan semuanya. Oleh karena itu, jika seseorang memiliki tanggungan qadha Ramadan, hendaknya dia bayar dulu qadha Ramadan-nya, baru kemudian melaksanakan puasa 6 hari di bulan Syawal. Jika dia berpuasa Syawal sementara belum meng-qadha utang puasa Ramadhan-nya maka dia tidak mendapatkan pahala keutamaan puasa Syawal, tanpa memandang perbedaan pendapat, apakah puasanya sebelum qadha itu sah ataukah tidak sah.

Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa yang berpuasa Ramadan, kemudian dia ikuti dengan …” sementara orang yang punya kewajiban qadha puasa Ramadan baru berpuasa di sebagian Ramadan dan belum dianggap telah berpuasa Ramadan (penuh).

Boleh melaksanakan puasa sunah secara berurutan atau terpisah-pisah. Namun, mengerjakannya dengan berurutan, itu lebih utama karena menunjukkan sikap bersegera dalam melaksanakan kebaikan, dan tidak menunda-nunda amal yang bisa menyebabkan tidak jadi beramal.” (Fatawa Ibni Utsaimin, kitabAd-Da’wah“, 1:52–53)

Keterangan dari Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, “Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Yang lebih tepat, mendahulukan qadha Ramadan sebelum melaksanakan puasa 6 hari di bulan Syawal atau puasa sunah lainnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Barang siapa yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal, maka itulah puasa satu tahun.’ (H.r. Muslim). Siapa saja yang berpuasa Syawal sebelum qadha puasa Ramadan maka dia tidak dianggap ‘mengikuti puasa Ramadan dengan puasa Syawal’, namun hanya sebatas ‘mengikuti SEBAGIAN puasa Ramadan dengan puasa Syawal,’ karena qadha itu hukumnya wajib dan puasa Syawal hukumnya sunah. Ibadah wajib lebih layak untuk diperhatikan dan diutamakan.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, jilid 15, hlm. 392, Syekh Abdul Aziz bin Baz)

Bolehkah puasa sunah Syawal sebelum qadha?

Keterangan dari Syekh Khalid Al-Mushlih,

Bismillahirrahmanirrahim.

Ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berpuasa sunah sebelum menyelesaikan qadha puasa Ramadan. Secara umum, ada dua pendapat:

Pertama, bolehnya puasa sunah sebelum qadha puasa Ramadan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Ada yang mengatakan boleh secara mutlak dan ada yang mengatakan boleh tetapi makruh.

Al-Hanafiyah berpendapat, ‘Boleh melakukan puasa sunah sebelum qadha Ramadan karena qadha tidak wajib dikerjakan segera. Namun, kewajiban qadha sifatnya longgar. Ini merupakan salah riwayat pendapat Imam Ahmad.’

Adapun Malikiyah dan Syafi’iyah menyatakan bahwa boleh berpuasa sunah sebelum qadha, tetapi hukumnya makruh, karena hal ini menunjukkan sikap lebih menyibukkan diri dengan amalan sunah sebelum qadha, sebagai bentuk mengakhirkan kewajiban.

Kedua, haram melaksanakan puasa sunah sebelum qadha puasa Ramadan. Ini adalah pendapat Mazhab Hanbali.

Pendapat yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bolehnya puasa sunah sebelum qadha karena waktu meng-qadha cukup longgar, dan mengatakan tidak boleh puasa sunnah sebelum qadha itu butuh dalil. Sementara, tidak ada dalil yang bisa dijadikan acuan dalam hal ini.”

(Sumber: http://www.saaid.net/mktarat/12/10-2.htm)

Keutamaan Puasa Ayyamul Bidh

Hasil gambar untuk puasa Ayyamul Bidh
Minimal seorang muslim melakukan puasa sunnah sebanyak tiga kali dalam sebulan. Yang utama adalah melakukan puasa pada ayyamul bidh (13, 14, 15 hijriyah).

Dalil Anjuran

[Dalil pertama]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ


“Kekasihku (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: [1] berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2] mengerjakan shalat Dhuha, [3] mengerjakan shalat witir sebelum tidur.”[1]

[Dalil Kedua]


Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah,

أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَتْ نَعَمْ. قُلْتُ مِنْ أَيِّهِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ كَانَ لاَ يُبَالِى مِنْ أَيِّهِ صَامَ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ


“Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.” Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya semau beliau).”[2]

[Dalil Ketiga]


Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.”[3]

[Dalil Keempat]


Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ


“Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).”[4]

[Dalil Kelima]


Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَوْمُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ


“Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun.”[5]

Pelajaran Penting


  1. Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja. Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menjelaskan, “Puasa tiga hari setiap bulannya boleh dilakukan pada sepuluh hari pertama, pertengahan bulan atau sepuluh hari terakhir dari bulan Hijriyah, atau pula pada setiap sepuluh hari tadi masing-masing satu hari. Puasa tersebut bisa pula dilakukan setiap pekan satu hari puasa. Ini semuanya boleh dan melakukan puasa tiga hari setiap bulannya ada keluasan melakukannya di hari mana saja. Oleh karena itu, ‘Aisyah mengatakan, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya semau beliau di awal, pertengahan atau akhir bulan hijriyah)”.”[6]
  2. Hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul biid. Ada pula yang mengatakan bahwa ayyamul biid adalah hari ke-12, 13 dan 14. Namun pendapat pertama tadi lebih kuat.
  3. Hari ini disebut dengan ayyamul biid (biid = putih, ayyamul = hari) karena pada malam ke-13, 14, dan 15 malam itu bersinar putih dikarenakan bulan purnama yang muncul pada saat itu.


Faedah Puasa Tiga Hari Setiap Bulan

1. Menghidupkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Melakukan puasa tiga hari setiap bulannya seperti melakukan puasa sepanjang tahun karena pahala satu kebaikan adalah sepuluh kebaikan semisal. Berarti puasa tiga hari setiap bulan sama dengan puasa sebanyak tiga puluh hari setiap bulan. Jadi seolah-olah ia berpuasa sepanjang tahun.[7]
3. Memberi istirahat pada anggota badan setiap bulannya.

__________
[1] HR. Bukhari no. 1178.

[2] HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[3] HR. An Nasai no. 2345. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Ash Shohihah no. 580.

[4] HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[5] HR. Bukhari no. 1979.

[6] Syarh Riyadhus Sholihin, 3/470.

[7] Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin di Syarh Riyadhus Sholihin, 3/469.

ITIKAF


Berhubung Sekarang Udah Malam Yang Ke sembilan, saya mau Bagi "Apa Itu I'TIKAF"

I'tikaf (Itikaf, iktikaf, iqtikaf, i'tiqaf, itiqaf), berasal dari bahasa Arab akafa yang berarti menetap, mengurung diri atau terhalangi. Pengertiannya dalam konteks ibadah dalam Islam adalah berdiam diri di dalam masjid dalam rangka untuk mencari keridhaan Allah SWT dan bermuhasabah (introspeksi) atas perbuatan-perbuatannya. Orang yang sedang beriktikaf disebut juga mutakif.

NIAT I'TIKAF

Niatlah i'tikaf ketika mulai masuk ke dalam masjid.
Niat i'tikaf :

نَوَيْتُ اَنْ اِعْتِكَفَ فِى هَذَا المَسْجِدِ سُنَّةً ِللهِ تَعَالَى


Artinya : "saya niat (melaksanakan) I’tikaf di masjid, sunah karena Allah Ta’ala"

Jenis-jenis iktikaf

Iktikaf yang disyariatkan ada dua macam: iktikaf sunat dan wajib.
  1. Iktikaf sunnat adalah iktikaf yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk mendekatkan diri dan mengharapkan ridha Allah SWT seperti; iktikaf 10 hari terakhir pada bulan Ramadan.

  2. Iktikaf wajib adalah iktikaf yang dikarenakan bernazar (janji), seperti: "Kalau Allah SWT menyembuhkan penyakitku ini, maka aku akan beriktikaf.

Waktu iktikaf

Iktikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinazarkan, sedangkan iktikaf sunat tidak ada batasan waktu tertentu, kapan saja pada malam atau siang hari, waktunya boleh lama atau singkat.

Ya'la bin Umayyah berkata: "Sesungguhnya aku berdiam satu jam di masjid tak lain hanya untuk beriktikaf."

Syarat-syarat iktikaf

Orang yang beri'tikaf harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Muslim
  2. Niat
  3. Baligh/Berakal
  4. Suci dari hadats (junub), haid dan nifas
  5. Dilakukan di dalam masjid
Oleh karena itu, iktikaf tidak sah bagi orang yang bukan muslim, anak-anak yang belum dewasa, orang yang terganggu kewarasannya, orang yang dalam keadaan junub, wanita dalam masa haid dan nifas.

Rukun-rukun iktikaf

  1. Niat
  2. Berdiam di masjid (QS. Al Baqarah : 187)
Di sini ada dua pendapat ulama tentang masjid tempat iktikaf. Sebahagian ulama membolehkan iktikaf di setiap masjid yang digunakan untuk salat berjamaah lima waktu.

Hal itu dalam rangka menghindari seringnya keluar masjid dan untuk menjaga pelaksanaan salat jamaah setiap waktu.

Ulama lain mensyaratkan agar iktikaf itu dilaksanakan di masjid yang digunakan untuk membuat salat Jumat, sehingga orang yang beriktikaf tidak perlu meninggalkan tempat iktikafnya menuju masjid lain untuk salat Jumat.

Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama Syafi'iyah bahwa yang utama yaitu iktikaf di masjid jami', kerana Rasulullah saw iktikaf di masjid jami'. Lebih utama di tiga masjid; Masjid al-Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsa.

Hal-hal yang diperbolehkan bagi mutakif (orang yang beri'tikaf)

  1. Keluar dari tempat iktikaf untuk mengantar istri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw terhadap istrinya Sofiyah ra. (HR. Riwayat Bukhari dan Muslim)

  2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.

  3. Keluar untuk keperluan yang harus dipenuhi, seperti membuang air besar dan kecil, makan, minum (jika tidak ada yang mengantarkannya), dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid, tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluannya .

  4. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.

  5. menemui tamu di masjid untuk hal-hal yang diperbolehkan dalam agama

Hal-hal yang membatalkan i'tikaf

  1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan yang dikecualikan walaupun sebentar.

  2. Murtad ( keluar dari agama Islam )

  3. Hilangnya akal, karena gila atau mabuk

  4. Haid atau nifas

  5. Bersetubuh dengan istri, akan tetapi memegang tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan istri- istrinya.

  6. Pergi salat Jumat (bagi mereka yang membolehkan iktikaf di surau yang tidak digunakan untuk salat Jumat).