Tampilkan postingan dengan label Sholat. Tampilkan semua postingan

Hukum Mengikat Rambut saat Sholat

Ilustrasi Laki Laki Mengikat Rambut (Sumber : Vox Media)


Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Terdapat hadis shahih yang berbunyi,

أَنَّ كُرَيْبًا مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، حَدَّثَهُ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ رَأَى عَبْدَ اللهِ بْنَ الْحَارِثِ، يُصَلِّي وَرَأْسُهُ مَعْقُوصٌ مِنْ وَرَائِهِ فَقَامَ فَجَعَلَ يَحُلُّهُ، فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: مَا لَكَ وَرَأْسِي؟ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّمَا مَثَلُ هَذَا، مَثَلُ الَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوفٌ

Kuraib, maula Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, telah menceritakan kabar dari Abdullah bin Abbas, bahwa beliau pernah melihat Abdullah bin Harits sholat dengan kondisi rambut kepala terikat di belakangnya. Lalu Ibnu Abbas bergegas melepas rambut yang terikat itu.
Seusai sholat, Abdullah bin Harits menemui Ibnu Abbas, “Mengapa Anda memperlakukan rambut kepalaku seperti itu?”
“Aku mendengar…” Jawab Ibnu Abbas,”Rasulullah ﷺ bersabda, “Permisalan orang yang sholat dengan rambut terikat seperti ini, seperti orang yang sholat dengan kondisi kedua tangannya diikat ke belakang.” (HR. Muslim dan yang lainnya)


Hadis ini menjelaskan bahwa, orang yang sholat dengan kondisi rambut kepala terikat, seperti orang sholat dengan keadaan kedua tangan terikat ke belakang.

Mengapa dipermisalkan demikian?

Imam Al Manawi –rahimahullah– memberikan penjelasan dalam kitab Faidhul Qodir

لأن شعره إذا لم يكن منتشرا لا يسقط على الأرض ، فلا يصير في معنى الشاهد بجميع أجزائه ، كما أن يدي المكتوف لا يقعان على الأرض في السجود

“Karena rambut yang terikat tidak akan jatuh mengurai ke tanah. Sehingga kondisi seperti ini, tidak menunjukkan persaksian utuh. Seperti kondisi orang yang sujud sementara kedua tangan terikat, sehingga tidak menyentuh tanah (pent, sujud tidak sempurna). (Faidhul Qodir 3/6)

Apa Hikmahnya?

Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu menjelaskan hikmahnya, saat beliau menegur seorang yang sholat dengan rambut terikat,

إذا صليت فلا تعقص شعرك، فإن شعرك يسجد معك، ولك بكل شعرة أجر

Jika anda sholat, jangan diikat rambut anda. Karena rambut anda akan ikut sujud bersama anda. Dan anda mendapat pahala, dari setiap helai rambut anda. (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, dinukil dari Nailul Author 2/379)

Inilah yang mendasari larangan sholat dengan rambut terikat. Namun ada beberapa catatan penting tentang larangan ini:

[1]. Hanya sebatas makruh, bukan haram.

Sebagaimana diterangkan dalam Ensiklopedia Fikih,

اتفق الفقهاء على كراهة عقص الشعر في الصلاة ، والعقص هو شد ضفيرة الشعر حول الرأس كما تفعله النساء ، أو يجمع الشعر فيعقد في مؤخرة الرأس ، وهو مكروه كراهة تنزيه ، فلو صلى كذلك فصلاته صحيحة

Para ulama sepakat bahwa sholat dalam kondisi rambut terikat adalah hukumnya makruh. Mengikat di sini maksudnya mengikat rambut bagian belakang seperti yang dilakukan pada wanita atau mengikat keseluruhan rambut kemudian di kebelakangkan. Sholat dengan kondisi seperti ini, hukumnya makruh tanzih (pent, makruh yang kita kenal, bukan makruh yang bermakna haram/makruh tahrim). Namun jika seorang sholat dengan keadaan seperti ini, tetap sah. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyyah, 26/109)

[2]. Hanya berlaku saat sholat saja, tidak di luar sholat.

Seperti dijelaskan oleh Imam Malik rahimahullah,

النهي مختص بمن فعل ذلك للصلاة

Larangan ini hanya berlaku untuk orang yang mengikat rambutnya saat sholat saja. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyyah, 26/110)

[3]. Hanya berlaku untuk laki-laki, tidak untuk perempuan.

Dalam Nailul Author, Imam Syaukani rahimahullah menukil penjelasan Imam Al ‘Iroqi rahimahullah berkenaan hadis di atas,

وَهُوَ مُخْتَصٌّ بِالرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ ؛ لِأَنَّ شَعْرَهُنَّ عَوْرَةٌ يَجِبُ سَتْرُهُ فِي الصَّلَاةِ ، فَإِذَا نَقَضَتْهُ رُبَّمَا اسْتَرْسَلَ وَتَعَذَّرَ سَتْرُهُ فَتَبْطُلُ صَلَاتُهَا

Larangan tersebut berlaku khusus untuk laki-laki, bukan untuk perempuan. Karena rambut perempuan adalah aurat. Wajib ditutup (terlebih) saat sholat. Jika rambut itu terurai, bisa menyebabkan terlihat keluar hijab, dan dia tidak mampu menutupinya. Sehingga akan menyebabkan batalnya sholat. (Nailul Author 2/379)

Demikian, Wallahua’lam bis shawab.
***

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori

Musafir Shalat Maghrib bersama Jamaah Shalat Isya ?

 
Pertanyaan : dalam keadaan safar, belum Maghrib, kemudian beristirahat di rest area tepat saat di masjid sholat isha. Bagaimana yg harus dilakukan?

Anang Nugrahanto

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Dibolehkan terjadinya perbedaan niat dan cara shalat antara imam dan makmum. Ini merupakan pendapat madzhab Syafiiyah, madzhab Hambali, dan pendapat yang diriwayatkan dari Thawus, Atha’, al-Auza’i, dan Abu Tsaur. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 70656)

Bagaimana Tata Caranya?

Makmum musafir hendak shalat Maghrib di masjid yang sedang dilaksanakan shalat Isya’. Makmum bisa langsung bergabung, ketika imam bangkit ke rakaat keempat, ada 2 pilihan untuk makmum:

Pertama, Makmum musafir duduk tasyahud akhir shalat Maghrib, dan memperlama duduknya, sampai imam duduk tasyahud akhir shalat Isya’, lalu dia salam bersama imam.

Kedua, Makmum langsung menyelesaikan shalat Maghrib sampai salam, lalu jika imam belum selesai shalat Isya’, dia bisa langsung mennyusul shalat Isya’ bersama imam, masbuk di rakaat terakhir.

Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang kasus seperti di atas. Penjelasan beliau,

Bahwa di sana ada 3 pendapat,

Pertama, makmum boleh ikut gabung shalat jamaah Isya’ dengan niat shalat Maghrib. Ketika imam bangkit ke rakaat keempat, maka makmum ini duduk tasyahud akhir, sampai salam. Kemudian bangkit lagi untuk ikut shalat jamaah Isya’ bersama imam.

Kedua, makmum ikut shalat jamaah dengan niat shalat Isya’. Sehingga dia shalat 4 rakaat bersama imam. Selesai shalat Isya’, dia shalat Maghrib. Dalam kondisi ini, tidak ada kewajiban baginya untuk mengikuti tertib shalat, agar bisa mengikuti shalat jamaah.

Ketiga, dia shalat Maghrib sendirian di belakang shaf. Selesai shalat, dia langsung bergabung shalat Isya’.

Kemudian beliau memberikan tanggapan, Untuk dua pendapat terakhir, ini bermasalah.
Untuk pendapat kedua, bermasalah dari sisi, tidak mengikuti tertib urutan shalat wajib. Isya’ dulu baru Maghrib.

Untuk pendapat ketiga, bermasalah dari sisi, dia shalat sendiri sementara ada yang shalat berjamaah, sementara dia berada di masjid yang sama, di waktu yang sama. Dan ini termasuk tanda perpecahan umat.

Sehingga pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat pertama. Beliau mengatakan,

أما القول الأول الذي ذكرنا أنه الصحيح ، فربما قال قائل إن فيه محذوراً وهو تسليم هؤلاء قبل أن يسلم إمامهم ، وهذا في الحقيقة ليس فيه محذور ، فقد ورد انفراد المأموم عن الإمام في مواضع من السُّنَّة ، منها : صلاة الخوف ، فإن الإمام يصلي بهم ركعة ثم يتمون لأنفسهم وينصرفون


Untuk pendapat pertama yang kami sebutkan, ini yang shahih. Bisa jadi ada orang yang komentar, “Itu ada yang bermasalah, dia salam sebelum imam salam.”

Dan sebenarnya ini bukan masalah. Karena terdapat beberapa dalil sunah yang membolehkan makmum untuk memisahkan diri dari imam. Diantaranya, shalat khouf. Imam berjamaah dengan

makmum satu rakaat, selanjutnya makmum menambahkan kekurangannya sendiri-sendiri sampai selesai.

(Liqa bab maftuh, 3/425).

Allahu a’lam

Panduan Shalat Istisqa (Video)

Shalat Istisqa

Saat ini, negeri kita tengah mengalami kemarau panjang, banyak daerah yang kekeringan bahkan terjadi kebakaran hutan. Sering kita lihat, banyak daerah mengadakan shalat meminta hujan atau shalat istisqa. Hal ini sangat kita syukuri karena masyarakat kita menempuh cara yang dicontohkan bahkan lebih menggembirakan lagi, shalat tersebut langsung dipimpin kepala daerah.


Namun bisa jadi ada sebagian masyarakat yang masih bingung mengenai tata cara shalat istisqa atau masih terasa asing dengan sunah ini, mudah-mudahan pembahasan berikut dapat mendekatkan kembali sunah yang asing ini di tengah masyarakat kita.

Pengertian Istisqa

Istisqa secara bahasa artinya meminta air minum dari orang lain untuk diri sendiri  atau untuk orang lain.
Secara syariat, ulama mendefinisikan:

طلبه من الله عند حضور الجدب على وجهٍ مخصوص

“Meminta hujan kepada Allah, ketika terjadi kekeringan, dengan aturan dan tata cara tertentu.” (Fathul Bari, 2:492)

Waktu Pelaksanaan Shalat Istisqa

Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyasarah dinyatakan:

وتُصلّى في أي وقت خلا وقت الكراهة

Shalat istisqa dilakukan di waktu kapanpun, selain waktu terlarang (untuk shalat).” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyasarah, 2:177)

Tempat Pelaksanaan Shalat Istisqa

Shalat istisqa dilakukan di tanah lapang, sebagaimana shalat id, kecuali di Mekah, dilakukan di masjidil haram.
Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu mengatakan:

أنَّ النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – خرج إِلى المصلّى فاستسقى، فاستقبل القبلة وقلب رداءه

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju tanah lapang kemudian shalat istisqa, beliau menghadap kiblat dan membalik kain pakaian atasan beliau. (HR. Bukhari 1012 dan Muslim 894).

Menuju Lapangan dengan Penuh Khusyu dan Ketundukan

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan:

خرج رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – للاستسقاء متذلّلاً متواضعاً متخشعاً متضرّعاً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju shalat istisqa dengan tunduk, tawadhu, khusyu, dan penuh perendahan diri (kepada Allah ed.).” (HR. Abu Daud 1032, Turmudzi 459, Nasai 1416, dan dishahikan al-Albani).

Tanpa Adzan dan Tanpa Iqamah

Dari Abu Ishaq, beliau menceritakan:
Abdullah bin Zaid al-Anshari, bersama al-Barra bin Azib, dan Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhum berangkat untuk melaksanakan istisqa. Abdullah bin Zaid berdiri di depan makmum tanpa mimbar. Beliau memohon ampun, kemudian shalat 2 rakaat, dan mengeraskan bacannnya. Tidak ada adzan dan iqamah.” (Bukhari 1022).

Kapan Pelaksanaan Khutbah?

Khutbah bisa dilakukan sebelum shalat atau sesudah shalat, memperhatikan keseriusan dan kondisi makmum.
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau menceritakan:
Para sahabat mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kekeringan. Beliau meminta agar mimbar diletakkan di tanah lapang. Beliau menjanjikan para sahabat agar keluar menuju tanah lapang pada hari tertentu. kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat menuju lapangan ketika matahari sudah terbit agak tinggi. Beliau duduk di atas mimbar, mengagungkan Allah dan memuji Allah Ta’ala. kemudian beliau berkhutbah:

إِنّكم شكوتم جدْب دياركم واستئخار المطر عن إِبّان زمانه عنكم، وقد أمَركم الله عزّ وجلَّ أن تدْعوه، ووعدَكم أن يستجيب لكم

Sesunggunnya kalian mengaduhkan kekeringan di tempat kalian dan hujan yang telat turun dari biasanya. Allah telah memerintahkan kalian untuk berdoa kepada-Nya dan menjanjikan untuk mengabulkan doa kalian.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai doanya:
“Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Yang Maha Pengasih Penyayang, Raja di hari pembalasan. Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Dia melakukan apa yang Dia kehendaki. Ya Allah, Engkau adalah Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Yang Maha Kaya, dan kami makhluk miskin. Turunkanlah hujan kepada kami, jadikan hujan yang Engkau turunkan sebagai kekuatan dan bekal yang bisa mengantarkan kami sampai waktu tertentu.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tanganya, beliau terus mengkat tangannya (agak tinggi) sampai kelihatan putihnya ketiak beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau membelakangi makmum dan beliau membalik kain atasan beliau, sementara beliau masih mengangkat tangan. Lalu beliau menghadap ke makmum dan turun dari mimbar, kemudian shalat dua rakaat.

Tiba-tiba Allah mengirim awan-Nya, dipunuhi dengan guntur dan kilat, kemudian turun hujan dengan izin Allah. Ketika pulang, sebelum beliau sampai di Masjid Nabawi, air hujan telah mengalir deras. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat para sahabat berlarian menuju rumah mereka, beliau tertawa sampai terlihat gigi geraham beliau. Kemudian beliau bersabda:

أشهد أن الله على كل شيء قدير، وأنّي عبد الله ورسوله

Saya bersaksi bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan bahwa saya adalah hamba dan utusan-Nya.” (HR. Abu Daud, at-Thahawi, al-Baihaqi dan dihasankan al-Albani dalam al-Irwa, 668).

Dari Abbad bin Tamim bahwa pamannya, Abdullah bin Zaid mengatakan:

أَنَ النَّبِيُّ (صلى الله عليه وسلم) ، خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى يَسْتَسْقِي، وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَقَلَبَ رِدَاءَهُ، وَجَعَلَ الْيَمِينَ عَلَى الشِّمَالِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju lapangan untuk shalat istisqa, beliau mennghadap kiblat, shalat dua rakaat, dan membalik kain atasan pakaian beliau, dibalik bagian kanan diletakkan di sebelah kiri. (HR. Bukhari).

Ibnu Batthal mengatakan

وقلب الرداء بعد الصلاة فهو الذى ذهب إليه مالك أن الصلاة قبل الخطبة، وهو نص هذا الحديث

Membalik selendang setelah shalat sesuai pendapat Imam Malik, bahwa shalat dilakukan sebelum khutbah. Ini merupakan teks tegas dari hadis. (Syarh Shahih Bukhari Ibn Bathal, 3:19).

Catatan:

Yang dianjurkan mengangkat tangan tinggi-tinggi waktu berdoa adalah imam dan bukan makmum. Dalam Tamamul Minnah dinyatakan:

… فأرى مشروعية المبالغة في الرفع للإِمام دون المؤتمّين

“Menurut saya, anjuran mengangkat tangan tinggi-tinggi hanya untuk imam dan bukan makmum.” (Tamamul Minnah, 265).

Tata Cara Shalat Istisqa

Tata cara shalat istisqa sama persis dengan shalat Id. Dilaksanakan dua rakaat. Pada rakaat pertama bertakbir 7 kali dan rakaat kedua bertakbir 5 kali. Takbiratul ihram kemudian diikuti takbir tambahan 7 kali. kemudian membaca doa iftitah, al-fatihah, dan surat. Tidak ada surat tertentu yang dianjurkan untuk dibaca, sehingga bisa membaca surat apapun. Rukuk, i’tidal, sujud, dst sampai berdiri di rakaat kedua. Diikuti dengan takbir tambahan 5 kali. membaca al-fatihah, surat, kemduian dilanjutkan sampai salam. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 3:312)

Anda juga bisa menyimak rekaman video shalat dan khutbah istisqa di masjidil haram berikut:


Sumber : Youtube = شبكة الشيخ فاروق حضراوي مؤذن المسجد الحرام

Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Tata Cara Shalat Istikharah


Terkadang kita menghadapi beberapa masalah yang memiliki urgensi (tingkat kepentingan) yang sama bagi kita. Kita pun ingin memohon dengan cara istikharah, tapi bingung tentang tata caranya.
Mudah-mudahan tulisan berikut ini bisa jadi jalan keluarnya.

Shalat istikharah adalah shalat sunnah yang dikerjakan ketika seseorang hendak memohon petunjuk kepada Allah, untuk menentukan keputusan yang benar ketika dihadapkan kepada beberapa pilihan keputusan. Sebelum datangnya Islam, masyarakat jahiliyah melakukan istikharah (menentukan pilihan) dengan azlam (undian). Setelah Islam datang, Allah melarang cara semacam ini dan diganti dengan shalat istikharah.

Dalil disyariatkannya shalat istikharah

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُعَلِّمُ أَصْحَابَهُ الاِسْتِخَارَةَ فِى الأُمُورِ كُلِّهَا ، كَمَا يُعَلِّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ يَقُولُ « إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِك وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْهُ عَنِّى وَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِى الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِى – قَالَ – وَيُسَمِّى حَاجَتَهُ


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari para sahabatnya untuk shalat istikharah dalam setiap urusan, sebagaimana beliau mengajari surat dari Alquran. Beliau bersabda, “Jika kalian ingin melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua rakaat selain shalat fardhu, kemudian hendaklah ia berdoa:

Allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika, wa astaqdiruka bi qudratika, wa as-aluka min fadhlika, fa innaka taqdiru wa laa aqdiru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub. Allahumma fa-in kunta ta’lamu hadzal amro (sebut nama urusan tersebut) khoiron lii fii ‘aajili amrii wa aajilih (aw fii diinii wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii) faqdur lii, wa yassirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Allahumma in kunta ta’lamu annahu syarrun lii fii diini wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii (fii ‘aajili amri wa aajilih) fash-rifnii ‘anhu, waqdur liil khoiro haitsu kaana tsumma rodh-dhinii bih.

Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak tahu. Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku (atau baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, dan palingkanlah aku darinya, dan takdirkanlah yang terbaik untukku apapun keadaannya dan jadikanlah aku ridha dengannya. Kemudian dia menyebut keinginanya” (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Ibn Hibban, Al-Baihaqi dan yang lainnya).

Teks Doa Istikharah

Teks doa istikharah ada dua:
Pertama,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِك وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى فَاصْرِفْهُ عَنِّى وَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِى الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِى


Allahumma inni astakhii-ruka bi ‘ilmika, wa astaq-diruka bi qud-ratika, wa as-aluka min fadh-likal adziim, fa in-naka taq-diru wa laa aq-diru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub. Allahumma in kunta ta’lamu anna hadzal amro khoiron lii fii diinii wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii faq-dur-hu lii, wa yas-sirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna hadzal amro syarrun lii fii diinii wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii, fash-rifhu ‘annii was-rifnii ‘anhu, waqdur lial khoiro haitsu kaana tsumma ardhi-nii bih

Kedua, sama dengan atas hanya ada beberapa kalimat yang berbeda, yaitu:
Kalimat [دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى] diganti dengan [عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ]. Sehingga, Teks lengkapnya:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِك وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِى فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِى فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّى وَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِى الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِى

Allahumma inni astakhii-ruka bi ‘ilmika, wa astaq-diruka bi qud-ratika, wa as-aluka min fadh-likal adziim, fa in-naka taq-diru wa laa aq-diru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub. Allahumma in kunta ta’lamu anna hadzal amro khoiron lii fii ‘aajili amrii wa aajilih faq-dur-hu lii, wa yas-sirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna hadzal amro syarrun lii fii ‘aajili amrii wa aajilih, fash-rifhu ‘annii was-rifnii ‘anhu, waqdur lial khoiro haitsu kaana tsumma ardhi-nii bih.

Kapan doa istikharah diucapkan?

Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul berkata, “Waktu doa istikharah adalah setelah salam, berdasarkan sabda beliau shallallahu Alaihi wa Sallam,

إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ


Jika salah seorang di antara kalian berkehendak atas suatu urusan, hendaklah ia shalat dua rakaat yang bukan wajib, kemudian ia berdoa…..
Teks hadis menunjukkan setelah melaksanakan dua rakaat, artinya setelah salam.” (Bughyatul Mutathawi‘, Hal. 46)

Apakah ada bacaan khusus ketika shalat?

Tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya bacaan surat atau ayat khusus ketika shalat istikharah. Jadi, orang yang melakukan shalat istikharah bisa membaca surat atau ayat apapun, yang dia hafal. Al-Allamah Zainuddin Al-Iraqi mengatakan, “Aku tidak menemukan satu pun dalil dari berbagai hadis istikharah yang menganjurkan bacaan surat tertentu ketika istikharah.”
Apakah istikharah harus dengan shalat khusus ataukah boleh dengan semua shalat sunnah?
Pada hadis tentang shalat istikharah di atas dinyatakan,

فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ

Kerjakanlah shalat dua rakaat selain shalat fardhu…

Berdasarkan kalimat ini, sebagian ulama menyimpulkan bahwa melakukan istikharah tidak harus dengan shalat khusus, tapi bisa dengan semua shalat sunah. Artinya, seseorang bisa melakukan shalat rawatib, dhuha, tahiyatul masjid, atau shalat sunah lainnya, kemudian setelah shalat dia membaca doa istikharah. Imam An-Nawawi mengatakan,

والظاهر أنها تحصل بركعتين من السنن الرواتب ، وبتحية المسجد، وغيرها من النوافل

“Teks hadis menunjukkan bahwa doa istikharah bisa dilakukan setelah melaksanakan shalat rawatib, tahiyatul masjid, atau shalat sunnah lainnya.” (Bughyatul Mutathawi’, Hal. 45)

Jawaban dalam mimpi?
Banyak orang beranggapan bahwa jawaban istikharah akan Allah sampaikan dalam mimpi. Ini adalah anggapan yang yang sama sekali tidak berdalil. Karena tidak ada keterkaitan antara istikharah dengan mimpi. Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah mengatakan,

Mimpi tidak bisa dijadikan acuan hukum fiqih. Karena dalam mimpi setan memiliki peluang besar untuk memainkan perannya, sehingga bisa jadi setan menggunakan mimpi untuk mempermainkan manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرؤيا ثلاثة، من الرحمن ومن الشيطان وحديث نفس

Mimpi ada 3 macam: dari Allah, dari setan, dan bisikan hati.”

Beliau juga menjelaskan bahwa mimpi tidak bisa untuk menetapkan hukum, namun hanya sebatas diketahui. Dan tidak ada hubungan antara shalat istikharah dengan mimpi. Karena itu, tidak disyaratkan, bahwa setiap istikharah pasti diikuti dengan mimpi. Hanya saja, jika ada orang yang istikharah kemudian dia tidur dan bermimpi yang baik, bisa jadi ini merupakan tanda baik baginya dan melapangkan jiwa. Tetapi, tidak ada keterkaitan antara istikharah dengan mimpi.

Apa yang harus dilakukan setelah istikharah?

Para ulama menjelaskan bahwa setelah istikharah hendaknya seseorang melakukan apa yang sesuai keinginan hatinya. Imam An-Nawawi mengatakan,

إذا استخار مضى لما شرح له صدره


“Jika seseorang melakukan istikharah, maka lanjutkanlah apa yang menjadi keinginan hatinya.”

Kesimpulan

Berdasarkan keterangan di atas, tata cara shalat istikharah sebagai berikut:
  1. Istikharah dilakukan ketika seseorang bertekad untuk melakukan satu hal tertentu, bukan sebatas lintasan batin. Kemudian dia pasrahkan kepada Allah.
  2. Bersuci, baik wudhu atau tayammum.
  3. Melaksanakan shalat dua rakaat. Shalat sunnah dua rakaat ini bebas, tidak harus shalat khusus. Bisa juga berupa shalat rawatib, shalat tahiyatul masjid, shalat dhuha, dll, yang penting dua rakaat.
  4. Tidak ada bacaan surat khusus ketika shalat. Artinya cukup membaca Al-Fatihah (ini wajib) dan surat atau ayat yang dihafal.
  5. Berdoa setelah salam dan dianjurkan mengangkat tangan. Caranya: membaca salah satu diantara dua pilihan doa di atas. Selesai doa dia langsung menyebutkan keinginannya dengan bahasa bebas. Misalnya: bekerja di perushaan A atau menikah dengan B atau berangkat ke kota C, dst.
  6. Melakukan apa yang menjadi tekadnya. Jika menjumpai halangan, berarti itu isyarat bahwa Allah tidak menginginkan hal itu terjadi pada anda.
  7. Apapun hasil akhir setelah istikharah, itulah yang terbaik bagi kita. Meskipun bisa jadi tidak sesuai dengan harapan sebelumnya. Karena itu, kita harus berusaha ridha dan lapang dada dengan pilihan Allah untuk kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan dalam doa di atas, dengan menyatakan, [ ثُمَّ أَرْضِنِى] “kemudian jadikanlah aku ridha dengannya” maksudnya adalah ridha dengan pilihan-Mu ya Allah, meskipun tidak sesuai keinginanku.
Allahu a’lam.

Shalat Tarawih di Rumah


Bolehkah Shalat Tarawih di Rumah?

Assalamu'alaikum wr wb. RMI Alur Cucur, Kali ini akan menbahas Shalat tarawih dirumah. Maksudnya apakah kita harus shalat tarawih di masjid, jika di tempat tinggal kita enggak ada masjid atau mushola gimana.? ada yang mengakali dengan cara shalat tarawih di lapangan, lantaran enggak ada mesjid atau mushola di sekitar daerah tempat tinggal kita.



Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Kaum muslimin sepakat bahwa shalat taraweh hukumnya sunah, dan tidak wajib. Karena itu, shalat tarawih mengikuti hukum shalat sunah pada umumnya, yang tidak harus dilakukan di masjid.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اجْعَلُوا مِنْ صَلاَتِكُمْ فِى بُيُوتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا


Berikan jatah sebagian shalat sunah kalian di rumah kalian. Dan jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan. (HR. Muslim 1856 dan Ahmad 4653)
Hanya saja, ulama berbeda pendapat, mana yang lebih afdhal, shalat tarawih di rumah atau di masjid?

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan,

قال بعض أهل العلم: صلاتها في البيت أفضل، وهو قول مالك والشافعي .وقال آخرون: صلاتها في المسجد أفضل، لأن الصحابة رضي الله عنهم كانوا يفعلونها في المسجد أوزاعا في جماعات متفرقة حتى جمعهم عمر رضي الله عنه على إمام واحد، وتابعه الصحابة على ذلك ومن بعدهم.


Sebagian ulama mengatakan, shalat tarawih di rumah lebiih afdhal. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan Imam as-Syafi’i.

Ulama lain mengatakan, shalat tarawih di masjid lebih afdhal. Karena dulu para sahabat melakukannya di masjid, berjamaah kelompok kecil-kecil. Kemudian mereka disatukan  oleh Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu dengan satu imam. Kemudian diikuti sahabat yang lain, dan generasi setelahnya. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 40359)


Jika Ada Kepentingan, di Rumah Lebih Afdhal

Keterangan di atas berlaku, jika di sana tidak ada kepentingan apapun. Namun jika ada kepentingan tertentu untuk dilakukan di selain masjid, misalnya, memotivasi keluarga dan masyarakat sekitar untuk tarawih berjamaah, atau tujuan lainnya, maka tarawih sebaiknya dikerjakan di selain masjid.

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan,

وصلاة الرجل التراويح في البيت أفضل إذا كانت بنية حث أهل البيت عليها، ورغبة في عدم تركهم لها، لما في ذلك من إعانتهم على إحياء السنة، وتحصيل الخير


Shalat tarawih yang diakukan di rumah lebih afdhal apabila diniatkan untuk memotivasi keluarga di rumah untuk shalat, dan membiasakan mereka untuk tidak meninggalkan tarawih. Karena ini berarti membantu mereka untuk menghidupkan sunah dan mendapatkan kebaikan. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 13031)


Catatan:

Keterangan di atas hanya belaku untuk shalat tarawih. Untuk shalat isya, tetap harus dilakukan di masjid.

Anak Menangis ketika Shalat


Assalamu'alaikum. RMI Alur Cucur kali ini akan membagikan materi Anak Menangis ketika Shalat. Bagi yang baru berkeluarga pasti mengalami hal yang seperti ini. baik di mesjid atau pun di rumah. Jadi apa yang harus kita lakukan ketika kita Shalat anak kita menangis?

Bismillahirrahmanirrahim.

Terkait kasus anak menangis ketika shalat, ada beberapa yang perlu diperhatikan.

Pertama, dibolehkan membatalkan shalat jika ada kebutuhan mendesak

Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin – kitab Madzhab Hanafi – dinyatakan,

مطلب قطع الصلاة يكون حراما ومباحا ومستحبا وواجبا. نقل عن خط صاحب البحر على هامشه أن القطع يكون حراما ومباحا ومستحبا وواجبا، فالحرام لغير عذر والمباح إذا خاف فوت مال، والمستحب القطع للإكمال، والواجب لإحياء نفس.

Pembahasan tentang membatalkan shalat. Bisa hukumnya haram, mubah, mustahab (dianjurkan), dan wajib. Dinukil dari karya penulis kitab al-Bahr di catatan kaki, bahwa membatalkan shalat hukumnya haram, mubah, mustahab, dan wajib. Haram jika tanpa udzur, mubah jika untuk menyelamatkan harta, dianjurkan jika hendak menyempurnakan shalat, dan wajib untuk menyelamatkan jiwa. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/52).

Kedua, dibolehkan melakukan gerakan yang tidak berlebihan ketika shalat, ketika ada kebutuhan. Seperti menggendong anak.

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu,  beliau menceritakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُصَلِّى وَهْوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَلأَبِى الْعَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ ، فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا ، وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat menjadi imam sambil menggendong Umamah bintu Zainab bintu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umamah adalah putri Abil Ash bin Rabi’ah. Ketika beliau sujud, beliau letakkan Umamah. Ketika beliau berdiri, beliau gendong Umamah.” (HR. Bukhari 516 & Muslim 1240)

Ketiga, setiap orang tua bisa belajar mengenali tangisan anaknya. Ketika anak menangis dalam shalat, ada 2 kemungkinan penyebab,

  1. Tangisan karena dia mengalami kondisi yang membahayakan dirinya, sehingga segera butuh pertolongan.  Seperti terjatuh, atau tangisan karena diganggu binatang.
  2. Tangisan karena kecewa atau merasa bosan.
Dalam Fatwa Islam dinyatakan bahwa

Jika anak menangis ketika shalat jamaah, sementara orang tuanya tidak bisa mendiamkannya dengan tetap bertahan shalat, dibolehkan untuk membatalkan shalat untuk menolongnya. Dikhawatirkan dia menangis karena ada bahaya yang mengenai dirinya.
Jika tangisan anak bisa ditenangkan dengan tanpa harus membatalkan shalat, misalnya dengan digendong atau ditaruh di pangkuan, itu lebih baik. (Fatwa Islam, no. 75005)

Keempat, imam turut meringankan beban jamaah

Ketika imam mendengar ada anak menangis yang sulit untuk didiamkan, imam dianjurkan meringankan shalat jamaah. Dengan tetap memperhatikan kekhusyuan shalat.

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنِّى لأَقُومُ فِى الصَّلاَةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا ، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِىِّ ، فَأَتَجَوَّزُ فِى صَلاَتِى كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ

Saya pernah mengimami shalat, dan saya ingin memperlama bacaannya. Lalu saya mendengar tangisan bayi, dan sayapun memperingan shalatku. Saya tidak ingin memberatkan ibunya. (HR. Ahmad 2202 dan Bukhari 707)

Ar-Ruhaibani mengatakan,

ويسن للإمام تخفيف الصلاة إذا عرض لبعض مأمومين في أثناء الصلاة ما يقتضي خروجه منها كسماع بكاء صبي

Dianjurkan bagi imam untuk meringankan shalatnya ketika ada masalah dengan sebagian makmum pada saat shalat jamaah, sehingga mendesak makmum untuk segera menyelesaikan shalatnya, seperti mendengar tangisan bayi. (Mathalib Ulin Nuha, 1/640).

Allahu a’lam.

Ketika Shalat ada Orang Pingsan


Assalamualaikum Kembali lagi dengan RMI Alur Cucur. Pernah kah saudar/i di situasi saat sholat berjamaah ada orang yang pingsan di sebelah kita. apa yang harus kita perbuat. Lanjut Sholat, apa nolong orang yang pingsan?
Kali ini RMI akan membahas Ketika Shalat ada Orang Pingsan.

Membatalkan shalat wajib secara sengaja tanpa udzur syar’i hukumnya terlarang.

Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin, kitab madzhab Hanafi, dinyatakan,
مطلب قطع الصلاة يكون حراما ومباحا ومستحبا وواجبا. نقل عن خط صاحب البحر على هامشه أن القطع يكون حراما ومباحا ومستحبا وواجبا، فالحرام لغير عذر والمباح إذا خاف فوت مال، والمستحب القطع للإكمال، والواجب لإحياء نفس.

Pembahasan tentang membatalkan shalat. Bisa hukumnya haram, mubah, mustahab (dianjurkan), dan wajib. Dinukil dari karya penulis kitab al-Bahr di catatan kaki, bahwa membatalkan shalat hukumnya haram, mubah, mustahab, dan wajib. Haram jika tanpa udzur, mubah jika untuk menyelamatkan harta, dianjurkan jika hendak menyempurnakan shalat, dan wajib untuk menyelamatkan jiwa. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/52).

Mengapa shalat wajib tidak boleh dibatalkan?

Karena orang yang telah melakukan amal wajib, maka harus diselesaikan. Kecuali jika ada udzur tertentu.

Dalam ar-Raudhah Bahiyah menjelaskan,

ويحرم قطع الصلاة الواجبة اختياراً للنهي عن إبطال العمل المقتضي له إلا ما أخرجه الدليل، واحترز بالاختيار عن قطعها لضرورة كحفظ نفس محترمة من تلف أو ضرر

Haram membatalkan shalat wajib secara sengaja, karena adanya larangan membatalkan amal yang harus diselesaikan. Selain yang dikecualikan dalil. Atau tidak ada plihan selain membatalkannya karena kondisi darurat, seperti menyelamatkan jiwa dari bahaya atau ancaman.


Berbeda dengan shalat sunah yang memiliki kelonggaran untuk membatalkannya jika ada keperluan.

Imam Ibnu Baz mengatakan,
الصلاة إن كانت نافلة فالأمر أوسع لا مانع من قطعها لمعرفة من يدق الباب. أما الفريضة فلا يجوز قطعها إلا إذا كان هناك شيء مهم يخشى فواته

Jika itu shalat sunah, aturannya lebih longgar. Boleh saja orang membatalkannya, ketika ada orang yang mengetuk pintu. Sedangkan shalat wajib, tidak boleh dibatalkan kecuali jika di sana ada kejadian sangat penting, yang dikhawatirkan kesempatannya hilang jika tidak segera ditangani. (Fatwa Ibnu Baz, no. 894)


Menyelamatkan Orang Pingsan ketika Shalat Jamaah

Menyelamatkan orang pingsan atau orang sakit ketika shalat jamaah, termasuk alasan yang membolehkan seseorang untuk membatalkan shalat wajib.

Dalam Kasyaf al-Qana’ – Fiqh madzhab Hambali- dinyatakan,
ويجب إنقاذ غريق ونحوه كحريق فيقطع الصلاة لذلك فرضاً كانت أو نفلاً، وظاهره ولو ضاق وقتها لأنه يمكن تداركها بالقضاء بخلاف الغريق ونحوه، فإن أبى قطعها لإنقاذ الغريق ونحوه أثم وصحت صلاته

Wajib menyelamatkan orang yang tenggelam atau kecelakaan lainnya, seperti kebakaran. Dia harus membatalkan shalatnya untuk menyelamatkan korban, baik shalat wajib maupun sunah. menurut riwayat yang dzahir, ini berlaku meskipun waktunya mepet. Karena shalat masih mungkin untuk diqadha. Berbeda dengan menyelamatkan orang tenggelam, tidak bisa ditunda. Jika dia tidak mau membatalkan shalatnya untuk menyelamatkan orang tenggelam, dia berdosa, meskipun shalatnya sah. (Kasyaf al-Qana’, 1/380).

Al-Iz bin Abdus Salam memasukkannya dalam ketegori mendahulukan penanggulangan mafsadah dari pada mengambil maslahat. Beliau menyebutkan contoh kedelapan untuk penerapan kaidah ini,

تقديم إنقاذ الغرقى المعصومين على أداء الصلاة لأن إنقاذ الغرقى المعصومين عند الله أفضل من أداء الصلاة؛ والجمع بين المصلحتين ممكن بأن ينقذ الغريق ثم يقضي الصلاة

Harus mendahulukan menyelamatkan orang tenggelam dari pada melaksanakan shalat. Karena menyelamatkan orang tenggelam lebih afdhal di sisi Allah dari pada melaksanakan shalat. Dan mungkin untuk digabung kedua maslahat itu, dengan menyelamatkan orang tenggelam, kemudian mengqadha shalatnya. (Qawaid al-Ahkam, 1/57).

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Shalat Tarawih Aturan Shalat Tarawih


Assalamualaikum, Kali ini kami akan menyambung postingan tentang Shalat Trawih tentang Aturan Shalat Tarawih. Oke Langsung aja.

Salam Setiap Dua Raka’at

Para pakar fiqih berpendapat bahwa shalat tarawih dilakukan dengan salam setiap dua raka’at. Karena tarawih termasuk shalat malam. Sedangkan shalat malam dilakukan dengan dua raka’at salam dan dua raka’at salam. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى

Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at.”[1] [2]

Istrihat Tiap Selesai Empat Raka’at

Para ulama sepakat tentang disyariatkannya istirahat setiap melaksanakan shalat tarawih empat raka’at. Inilah yang sudah turun temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyariatkan untuk membaca do’a tertentu ketika melakukan istirahat. Inilah pendapat yang benar dalam madzhab Hambali.[3]

Dasar dari hal ini adalah perkataan ‘Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,

يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat 4 raka’at, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat 4 raka’at lagi, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.”[4]

Yang dimaksud dalam hadits ini adalah shalatnya dua raka’at salam, dua raka’at salam, namun setiap empat raka’at ada duduk istrirahat.
Sebagai catatan penting, tidaklah disyariatkan membaca dzikir-dzikir tertentu atau do’a tertentu ketika istirahat setiap melakukan empat raka’at shalat tarawih, sebagaimana hal ini dilakukan sebagian muslimin di tengah-tengah kita yang mungkin saja belum mengetahui bahwa hal ini tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam.[5]

Ulama-ulama Hambali mengatakan, “Tidak mengapa jika istirahat setiap melaksanakan empat raka’at shalat tarawih ditinggalkan. Dan tidak dianjurkan membaca do’a-do’a tertentu ketika waktu istirahat tersebut karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal ini.”[6]

“Ash Sholaatul Jaami’ah” untuk Menyeru Jama’ah dalam Shalat Tarawih?

Tidak ada tuntunan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan Ash Sholaatul Jaami’ah. Ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Juga dalam shalat tarawih tidak ada seruan adzan ataupun iqomah untuk memanggil jama’ah karena adzan dan iqomah hanya ada pada shalat fardhu.[7]

Surat yang Dibaca Ketika Shalat Tarawih

Tidak ada riwayat mengenai bacaan surat tertentu dalam shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, surat yang dibaca boleh berbeda-beda sesuai dengan keadaan. Imam dianjurkan membaca bacaan surat yang tidak sampai membuat jama’ah bubar meninggalkan shalat. Seandainya jama’ah senang dengan bacaan surat yang panjang-panjang, maka itu lebih baik berdasarkan riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan.

Ada anjuran dari sebagian ulama semacam ulama Hanafiyah dan Hambali untuk mengkhatamkan Al Qur’an di bulan Ramadhan dengan tujuan agar manusia dapat mendengar seluruh Al Qur’an ketika melaksanakan shalat tarawih.[8]

Mengerjakan Shalat Tarawih Bersama Imam Hingga Imam Selesai Shalat

Sudah selayaknya bagi makmum untuk menyelesaikan shalat malam hingga imam selesai. Dan kuranglah tepat jika jama’ah bubar sebelum imam selesai. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”[9]

Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.

Shalat Tarawih bagi Wanita

Jika menimbulkan godaan ketika keluar rumah (ketika melaksanakan shalat tarawih), maka shalat di rumah lebih utama  bagi wanita daripada di masjid. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid As Saa’idiy. Ummu Humaid pernah mendatangi Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata bahwa dia sangat senang sekali bila dapat shalat bersama beliau. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ … وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى

Aku telah mengetahui bahwa engkau senang sekali jika dapat shalat bersamaku. …  (Namun ketahuilah bahwa) shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.”[10]

Namun jika wanita tersebut merasa tidak sempurna mengerjakan shalat tarawih tersebut di rumah atau malah malas-malasan, juga jika dia pergi ke masjid akan mendapat faedah lain bukan hanya shalat (seperti dapat mendengarkan nasehat-nasehat agama atau pelajaran dari orang yang berilmu atau dapat pula bertemu dengan wanita-wanita muslimah yang sholihah atau di masjid para wanita yang saling bersua bisa saling mengingatkan untuk banyak mendekatkan diri pada Allah, atau dapat menyimak Al Qur’an dari seorang qori’ yang bagus bacaannya), maka dalam kondisi seperti ini, wanita boleh saja keluar rumah menuju masjid. Hal ini diperbolehkan bagi wanita asalkan dia tetap menutup aurat dengan menggunakan hijab yang sempurna, keluar tanpa memakai harum-haruman (parfum)[11], dan keluarnya pun dengan izin suami. Apabila wanita berkeinginan menunaikan shalat jama’ah di masjid (setelah memperhatikan syarat-syarat tadi), hendaklah suami tidak melarangnya. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk ke masjid, namun shalat di rumah mereka (para wanita) tentu lebih baik.”[12]

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ إِلَى الْمَسَاجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ

Jika istri kalian meminta izin pada kalian untuk ke masjid, maka izinkanlah mereka.”[13]

Inilah penjelasan Syaikh Musthofa Al Adawi hafizhohullah yang penulis sarikan.[14]

Dari penjelasan para ulama di atas dapat kita simpulkan bahwa shalat tarawih untuk wanita lebih baik adalah di rumahnya apalagi jika dapat menimbulkan fitnah atau godaan. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih mengatakan bahwa shalat bagi wanita di rumahnya lebih baik daripada di masjidnya yaitu Masjid Nabawi. Padahal kita telah mengetahui bahwa pahala yang diperoleh akan berlipat-lipat apabila seseorang melaksanakan shalat di masjid beliau yaitu Masjid Nabawi.

Namun apabila pergi ke masjid tidak menimbulkan fitnah (godaan) dan sudah berhijab dengan sempurna, juga di masjid bisa dapat faedah lain selain shalat seperti dapat mendengar nasehat-nasehat dari orang yang berilmu, maka shalat tarawih di masjid diperbolehkan dengan memperhatikan syarat-syarat ketika keluar rumah. Di antara syarat-syarat tersebut adalah:
  1. Menggunakan hijab dengan sempurna ketika keluar rumah sebagaimana perintah Allah agar wanita memakai jilbab dan menutupi seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak tangan
  2. Minta izin kepada suami atau mahrom terlebih dahulu dan hendaklah suami atau mahrom tidak melarangnya
  3. Tidak menggunakan harum-haruman dan perhiasan yang dapat menimbulkan godaan.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

----------------------------------------------------------------
[1] HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749.

[2] Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah (2/9640), ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa seandainya seseorang melaksanakan shalat tarawih empat raka’at dengan sekali salam, shalatnya tidak sah. Shalatnya batal jika sengaja melakukannya dan mengetahui hal ini. Jika tidak batal, minimal yang ia kerjakan hanyalah shalat sunnah mutlak. Bisa seperti ini karena shalat tarawih mirip dengan shalat fardhu karena sama-sama dilaksanakan secara berjama’ah. Maka seharusnya tidak diubah sesuai yang diajarkan. Demikian dikatakan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah. Kami pun menemukan penjelasan yang sama sebagaimana dalam kitab Kifayatul Akhyar, hal. 138.

Akan tetapi ada keterangan berbeda dari ulama Syafi’iyah lainnya. Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi ketika menjelaskan hadits “shalat sunnah malam dan siang itu dua raka’at, dua raka’at”, beliau rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud hadits ini adalah bahwa yang lebih afdhol adalah mengerjakan shalat dengan setiap dua raka’at salam baik dalam shalat sunnah di malam atau siang hari. Di sini disunnahkan untuk salam setiap dua raka’at. Namun jika menggabungkan seluruh raka’at yang ada dengan sekali salam atau mengerjakan shalat sunnah dengan satu raka’at saja, maka itu dibolehkan menurut kami.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/30)

[3] Lihat Al Inshof, 3/117.

[4] HR. Bukhari no. 3569 dan Muslim no. 738.

[5] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/420.

[6] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9639

[7] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9634

[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/420.

[9] HR. An Nasai no. 1605, Tirmidzi no. 806, Ibnu Majah no. 1327, Ahmad dan Tirmidzi. Hadits ini shahih.

[10] HR. Ahmad no. 27135. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[11] “Jika salah seorang di antara kalian ingin mendatangi masjid, maka janganlah memakai harum-haruman.” (HR. Muslim no. 443)

[12] HR. Abu Daud no. 567 dan Ahmad 7/62. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

[13] HR. Muslim no. 442.

[14] Periksa http://www.islamfeqh.com/News/NewsItem.aspx?NewsItemID=1914

Shalat Tarawih 11 atau 23 Rakaat?

Assalamu'alaikum, Setelah kemarin RMI Alur Cucur membahas tentang Shalat Tarawih Jumlah Rakaat Pilihan Nabi. Kali Ini Kami akan membahas Shalat Tarawih 11 atau 23 Rakaat?. Banyak masalah yang terjadi di masyarakat terkait jumlah bilangann rakaat shalat tarawih ini.

Bolehkah Menambah Rakaat Shalat Tarawih Lebih dari 11 Raka’at?

Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan  bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.”[1]

Yang membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut.

1) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam, beliau menjawab,

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at. Jika salah seorang di antara kalian takut masuk waktu shubuh, maka kerjakanlah satu raka’at. Dengan itu berarti kalian menutup shalat tadi dengan witir.[2]

Padahal ini dalam konteks pertanyaan. Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya.

2) Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ

Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).”[3]

3) Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً

Sesungguhnya engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu.”[4]

Dalil-dalil ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa kita dibolehkan memperbanyak sujud (artinya: memperbanyak raka’at shalat) dan sama sekali tidak diberi batasan.

4) Pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memilih shalat tarawih dengan 11 atau 13 raka’at ini bukanlah pengkhususan dari tiga dalil di atas.

Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana kaedah yang diterapkan dalam ilmu ushul.

Alasan kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang menambah lebih dari 11 raka’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at, akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. … Barangsiapa yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan raka’at tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan, sungguh dia telah keliru.”[5]

Alasan ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat malam dengan 11 raka’at. Seandainya hal ini diperintahkan tentu saja beliau akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan shalat 11 raka’at, namun tidak ada satu orang pun yang mengatakan demikian. Oleh karena itu, tidaklah tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan di atas. Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum tidaklah dikhususkan dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada dalil yang bertentangan.

5) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap raka’at.

Di zaman setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama. Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.”[6]

6) Manakah yang lebih utama melakukan shalat malam 11 raka’at dalam waktu 1 jam ataukah shalat malam 23 raka’at yang dilakukan dalam waktu dua jam atau tiga jam?

Yang satu mendekati perbuatan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam dari segi jumlah raka’at. Namun yang satu mendekati ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari segi lamanya. Manakah di antara kedua cara ini yang lebih baik?

Jawabannya, tentu yang kedua yaitu yang shalatnya lebih lama dengan  raka’at yang lebih banyak. Alasannya, karena pujian Allah terhadap orang yang waktu malamnya digunakan untuk shalat malam dan sedikit tidurnya.

Allah Ta’ala berfirman,
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ

Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.(QS. Adz Dzariyat: 17)

وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا

Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian  yang panjang dimalam hari.(QS. Al Insan: 26)


Oleh karena itu, para ulama ada yang melakukan shalat malam hanya dengan 11 raka’at namun dengan raka’at yang panjang. Ada pula yang melakukannya dengan 20 raka’at atau 36 raka’at. Ada pula yang kurang atau lebih dari itu. Mereka di sini bukan bermaksud menyelisihi ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang mereka inginkan adalah mengikuti maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan mengerjakan shalat malam dengan thulul qunut (berdiri yang lama).

Sampai-sampai sebagian ulama memiliki perkataan yang bagus, “Barangsiapa yang ingin memperlama berdiri dan membaca surat dalam shalat malam, maka ia boleh mengerjakannya dengan raka’at yang sedikit. Namun jika ia ingin tidak terlalu berdiri dan membaca surat, hendaklah ia menambah raka’atnya.”

Mengapa ulama ini bisa mengatakan demikian? Karena yang jadi patokan adalah lama berdiri di hadapan Allah ketika shalat malam.[7]

Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih

Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.

Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.

Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.

Al Kasaani mengatakan, “’Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”

Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”

Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”

‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”

Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.”[8]

Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih.

Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan jumlah raka’at yang tak terhitung  sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah, anaknya[9].[10]

Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.

Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.

Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.”[11]

Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini.  Sungguh tidak tepatlah kelakuan sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10 raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah.

Yang Paling Bagus adalah Yang Panjang Bacaannya

Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ

Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.”[12]

Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.”[13]
Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits  di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’  dan sujud.[14]

Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Karena ingatlah bahwa thuma’ninah (bersikap tenang) adalah bagian dari rukun shalat.

-Bersambung insya Allah-

------------------------------------------------
[1] At Tamhid, 21/70.

[2] HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749, dari Ibnu ‘Umar.

[3] HR. Muslim no. 489

[4] HR. Muslim no. 488

[5] Majmu’ Al Fatawa, 22/272.

[6] Majmu’ Al Fatawa, 22/272

[7] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/414-416 dan At Tarsyid, hal. 146-149.

[8] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9636

[9] Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267

[10] Lihat perselisihan pendapat ini di Shahih Fiqh Sunnah, 1/418-419.

[11] Majmu’ Al Fatawa, 22/272

[12] HR. Muslim no. 756

[13] HR. Bukhari no. 1220 dan Muslim no. 545.

[14] Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3.

Shalat Tarawih : Jumlah Rakaat Pilihan Nabi


Assalamualaikum. Kali ini RMI Alur Cucur akan membahas tentang Shalat Tarawih : Jumlah Rakaat Pilihan Nabi.

Shalat ini dinamakan tarawih yang artinya istirahat karena orang yang melakukan shalat tarawih beristirahat  setelah melaksanakan shalat empat raka’at. Shalat tarawih termasuk qiyamul lail atau shalat malam. Akan tetapi shalat tarawih ini dikhususkan di bulan Ramadhan. Jadi, shalat tarawih ini adalah shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan.[1]

Adapun shalat tarawih tidak disyariatkan untuk tidur terlebih dahulu dan shalat tarawih hanya khusus dikerjakan di bulan Ramadhan. Sedangkan shalat tahajjud menurut mayoritas pakar fiqih adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah bangun tidur dan dilakukan di malam mana saja.[2]

Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Bahkan menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat tarawih adalah sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam.[3]

Imam Asy Syafi’i, mayoritas ulama Syafi’iyah, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa lebih afdhol shalat tarawih dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar bin Al Khottob dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kaum muslimin pun terus menerus melakukan shalat tarawih secara berjama’ah karena merupakan syi’ar Islam yang begitu nampak sehingga serupa dengan shalat ‘ied.[4]

KEUTAMAAN SHALAT TARAWIH

1) Akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759).

Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi.[5] Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya.[6]

Yang dimaksud “pengampunan dosa” dalam hadits ini adalah bisa mencakup dosa besar dan dosa kecil berdasarkan tekstual hadits, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Mundzir. Namun An Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksudkan pengampunan dosa di sini adalah khusus untuk dosa kecil.[7]

2) Shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam penuh.

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”[8] Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah dan mengikuti imam hingga selesai.

3) Shalat tarawih adalah seutama-utamanya shalat.

Ulama-ulama Hanabilah (madzhab Hambali) mengatakan bahwa seutama-utamanya shalat sunnah adalah shalat yang dianjurkan dilakukan secara berjama’ah. Karena shalat seperti ini hampir serupa dengan shalat fardhu. Kemudian shalat yang lebih utama lagi adalah shalat rawatib (shalat yang mengiringi shalat fardhu, sebelum atau sesudahnya). Shalat yang paling ditekankan dilakukan secara berjama’ah adalah shalat kusuf (shalat gerhana) kemudian shalat tarawih.[9]

Shalat Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.”[10]

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ ، فَصَلَّى فِى الْمَسْجِدِ ، فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا ، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّوْا مَعَهُ ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ ، فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ ، فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ « أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَىَّ مَكَانُكُمْ ، لَكِنِّى خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا »

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam keluar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid, orang-orang kemudian mengikuti beliau dan shalat di belakangnya. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan beliau. Dan pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk shalat dan mereka shalat bersama beliau. Kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama’ah hingga akhirnya beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah beliau selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang banyak membaca syahadat lalu bersabda: “Amma ba’du, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut shalat tersebut akan diwajibkan atas kalian, sementara kalian tidak mampu.”[11]

As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah raka’atnya. Kemudian beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.”[12]

Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.”[13]

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad hadits itu adalah dho’if. Hadits ‘Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi tidak lebih dari 11 raka’at juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya. Wallahu a’lam.”[14]

Jumlah Raka’at Shalat Tarawih yang Dianjurkan

Jumlah raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat.

Juga terdapat riwayat dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ

Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764).
Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari[15].

Di antara dalilnya adalah ‘Aisyah mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ لِيُصَلِّىَ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika hendak melaksanakan shalat malam, beliau buka terlebih dahulu dengan melaksanakan shalat dua rak’at yang ringan.”[16] Dari sini menunjukkan bahwa disunnahkan sebelum shalat malam, dibuka dengan 2 raka’at ringan terlebih dahulu.

-Bersambung insya Allah-
------------------------------------------
[1] Lihat Al Jaami’ Li Ahkamish Sholah, 3/63 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9630.

[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9630.

[3] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9631.

[4] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/39.

[5] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/39.

[6] Lihat Fathul Bari, 4/251.

[7] Idem.

[8] HR. An Nasai no. 1605, Tirmidzi no. 806, Ibnu Majah no. 1327, Ahmad dan Tirmidzi. Tirmidzi menshahihkan hadits ini. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[9] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9633.

[10] HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738.

[11] HR. Bukhari no. 924 dan Muslim no. 761.

[12] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9635

[13] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9635

[14] Fathul Bari, 4/254.

[15] Fathul Bari, 3/21.

[16] HR. Muslim no. 767.