Tampilkan postingan dengan label Kisah Sahabat Nabi. Tampilkan semua postingan

Abdurrahman bin Auf Manusia Bertangan Emas


Abdurrahman bin Auf

Abdurrahman bin Auf lahir 10 tahun setelah Tahun Gajah – meninggal 652 pada umur 72 tahun. Beliau adalah salah seorang dari sahabat Nabi Muhammad Saw yang terkenal. Ia adalah salah seorang dari delapan orang pertama (As-Sabiqunal Awwalun) yang menerima agama Islam, yaitu dua hari setelah Abu Bakar.

Abdurrahman bin Auf berasal dari Bani Zuhrah. Salah seorang sahabat Nabi lainnya, yaitu Sa'ad bi Abi Waqqas, adalah saudara sepupunya. Abdurrahman juga adalah suami dari saudara seibu Utsman bin Affan, yaitu anak perempuan dari Urwa bint Kariz (ibu Utsman) dengan suami keduanya.

Kaum muslimin pada umumnya menganggap bahwa Abdurrahman adalah salah seorang dari Sepuluh Orang yang Dijamin Masuk Surga. Beliau juga termasuk enam orang sahabat yang bermusyawarah dalam pemilihan khalifah setelah Umar bin Al-Khathab. Di samping itu, ia adalah seorang mufti yang dipercayai Rasulullah berfatwa di Madinah selama beliau masih hidup.

Seperti kaum Muslim yang pertama-tama masuk Islam lainnya, Abdurrahman bin Auf tidak luput dari penyiksaan dan tekanan dari kaum kafir Quraisy. Namun ia tetap sabar dan tabah. Abdurrahman turut hijrah ke Habasyah bersama kawan-kawan seiman untuk menyelamatkan diri dan agama dari tekanan Quraiys.

Tatkala Rasulullah Saw dan para sahabat diizinkan Allah Swt hijrah ke Madinah, Abdurrahman menjadi pelopor kaum Muslimin. Di kota yang dulu bernama Yatsrib ini, Rasulullah Saw mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dan Anshar. Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa'ad bin Rabi Al-Anshari.

Sa'ad termasuk orang kaya diantara penduduk Madinah, ia berniat membantu saudaranya dengan sepenuh hati, namun Abdurrahman menolak. Ia hanya berkata, "Tunjukkanlah padaku di mana letak pasar di kota ini!"

Sa'ad kemudian menunjukkan padanya di mana letak pasar. Maka mulailah Abdurrahman berniaga di sana. Belum lama menjalankan bisnisnya, ia berhasil mengumpulkan uang yang cukup untuk mahar nikah. Ia pun mendatangi Rasulullah seraya berkata, "Saya ingin menikah, ya Rasulullah," katanya.

"Apa mahar yang akan kau berikan pada istrimu?" tanya Rasul Saw.

"Emas seberat biji kurma," jawabnya.

Rasulullah Saw bersabda, "Laksanakanlah walimah (kenduri), walau hanya dengan menyembelih seekor kambing. Semoga Allah memberkati pernikahanmu dan hartamu."

Sejak itulah kehidupan Abdurrahman menjadi makmur. Seandainya ia mendapatkan sebongkah batu, maka di bawahnya terdapat emas dan perak. Begitu besar berkah yang diberikan Allah Swt kepadanya sampai ia dijuluki 'Sahabat Bertangan Emas'.

Pada saat Perang Badar meletus, Abdurrahman bin Auf turut berjihad fi sabilillah. Dalam perang itu ia berhasil menewaskan musuh-musuh Allah, di antaranya Umar bin Utsman bin Ka'ab At-Taimy. Begitu juga dalam Perang Uhud, dia tetap bertahan di samping Rasulullah ketika tentara Muslimin banyak yang meninggalkan medan perang.

Abdurrahman bin Auf adalah sahabat yang dikenal paling kaya dan dermawan. Ia tak segan-segan mengeluarkan hartanya untuk jihad di jalan Allah. Pada waktu Perang Tabuk, Rasulullah memerintahkan kaum Muslimin untuk mengorbankan harta benda mereka. Dengan patuh Abdurrahman bin Auf memenuhi seruan Nabi SAW. Ia memelopori dengan menyerahkan dua ratus uqiyah emas.

Mengetahui hal tersebut, Umar bin Al-Khathab berbisik kepada Rasulullah Saw,

"Sepertinya Abdurrahman berdosa karena tidak meninggalkan uang belanja sedikit pun untuk keluarganya."

Rasulullah bertanya kepada Abdurrahman, "Apakah kau meninggalkan uang belanja untuk istrimu?"

"Ya," jawabnya. "Mereka kutinggalkan lebih banyak dan lebih baik daripada yang kusumbangkan."

"Berapa?" tanya Rasulullah.

"Sebanyak rezeki, kebaikan, dan pahala yang dijanjikan Allah."

Pasukan Muslimin berangkat ke Tabuk. Dalam kesempatan inilah Allah memuliakan Abdurrahman dengan kemuliaan yang belum pernah diperoleh siapa pun. Ketika waktu shalat tiba, Rasulullah terlambat datang. Maka Abdurrahman bin Auf yang menjadi imam shalat berjamaah. Setelah hampir selesai rakaat pertama, Rasulullah tiba, lalu shalat di belakangnya dan mengikuti sebagai makmum. Sungguh tidak ada yang lebih mulia dan utama daripada menjadi imam bagi pemimpin umat dan pemimpin para nabi, yaitu Muhammad Saw.

Setelah Rasulullah Saw wafat, Abdurrahman bin Auf bertugas menjaga kesejahteraan dan keselamatan Ummahatul Mukminin (para istri Rasulullah). Dia bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhan mereka dan mengadakan pengawalan bagi ibu-ibu mulia itu bila mereka bepergian.

Suatu ketika Abdurrahman bin Auf membeli sebidang tanah dan membagi-bagikannya kepada Bani Zuhrah, dan kepada Ummahatul Mukminin. Ketika jatah Aisyah ra disampaikan kepadanya, ia bertanya, "Siapa yang menghadiahkan tanah itu buatku?"

"Abdurrahman bin Auf," jawab si petugas.

Aisyah berkata, "Rasulullah pernah bersabda, 'Tidak ada orang yang kasihan kepada kalian sepeninggalku kecuali orang-orang yang sabar."

Begitulah, doa Rasulullah Saw bagi Abdurrahman bin Auf terkabulkan. Allah Swt senantiasa melimpahkan berkah-Nya, sehingga ia menjadi orang terkaya di antara para sahabat. Bisnisnya terus berkembang dan maju. Semakin banyak keuntungan yang ia peroleh semakin besar pula kedermawanannya. Hartanya dinafkahkan di jalan Allah, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Walau termasuk konglomerat terbesar pada masanya, namun itu tidak memengaruhi jiwanya yang dipenuhi iman dan takwa.

Berbahagialah Abdurrahman bin Auf dengan limpahan karunia dan kebahagiaan yang diberikan Allah Swt kepadanya. Ketika meninggal dunia, jenazahnya diiringi oleh para sahabat mulia seperti Sa'ad bin Abi Waqqash dan yang lain. Dalam kata sambutannya, Khalifah Ali bin Abi Thalib berkata, "Engkau telah mendapatkan kasih sayang Allah Swt, dan engkau berhasil menundukkan kepalsuan dunia. Semoga Allah selalu merahmatimu." Aamiin.


Sumber : 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni

Hamzah bin Abdul Muthalib


HAMZAH BIN ABDUL MUTHALIB

Salah seorang paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saudara sesusuan beliau adalah Hamzah bin `Abdul Muththalib bin Hâsyim bin Abdu Manâf al-Qurasyi al-Hâsyimi Abu Ammârah Radhiyallahu anhu . Mereka berdua disusui oleh Tsuwaibah, bekas budak Abu Lahab [1]. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hamzah bin `Abdul Mutthalib Radhiyallahu anhu adalah saudara sepersusuanku [HR. Muslim] [2]

Dari Atha` bin Jâbir Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Penghulu para syuhada` pada hari kiamat adalah Hamzah bin `Abdul Muththalib”. [al-Hâkim dalam Al-Mustadrak 2/130, 3/219] [3]

Sa`d bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu mengatakan: “Dahulu Hamzah bin `Abdul Muththalib Radhiyallahu anhu ikut serta dalam perang Uhud; dan di depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ia mengatakan: “Aku adalah singa Allah Azza wa Jalla ”.[4] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda: “Demi dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, sesungguhnya Hamzah bin `Abdul Muththalib telah ditulis di langit ke tujuh bahwa dia adalah singa Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya”[5]


Kisah-Kisah Keberanian Hamzah Dalam Berperang.

Tatkala Allah Azza wa Jalla mengizinkan Rasul-Nya untuk berperang, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mengutus para pasukan perang ke berbagai wilayah dengan tujuan tertentu. Ketika itu, panji pertama yang dibuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk Hamzah bin `Abdul Mutthalib Radhiyallahu anhu . Beliau mengutusnya bersama 30 Muhâjirin, untuk menghadang kafilah dagang Quraisy. Rombongan dagang itu datang dari Syam, dipimpin oleh Abu Jahal bin Hisyâm dengan 300 orang Quraisy. Sampailah Hamzah dan orang-orang yang bersamanya di Saiful Bahr dari arah al-Ish. Dia bertemu dengan Abu Jahal dan para pengikutnya, dan kemudian kedua kelompok itu memilih berperang dan menghunus pedang-pedang mereka, kecuali Majdi bin Umar al-Juhani yang mempunyai hubungan erat dengan 2 kelompok itu. Ia berjalan di antara dua kelompok itu dan memisahkan mereka, sehingga perang pun tidak terjadi.[6]

Dalam perang Badar al-Kubra, Hamzah adalah pejuang terdepan dalam mubârazah (perang tanding atau duel). Ali Radhiyallahu anhu berkata : “ Utbah bin rabî`ah maju, kemudian diikuti oleh anak laki-laki dan saudaranya. Ia berseru : “Siapa yang akan maju tanding?” kemudian beberapa pemuda Anshâr pun meladeninya. Utbah bertanya : “Siapa kalian?” Mereka pun memberitahukan diri mereka. Lalu Utbah berkata : “Kami tidak ada urusan dengan kalian, yang kami butuhkan hanyalah kaum kami.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “ Berdirilah wahai Hamzah, berdirilah wahai Ali, berdirilah wahai Ubadah bin al-Harits.” Kemudian Hamzah mendatangi Utbah, aku (Ali) mendatangi Syaibah, sedangkan Ubadah dan al-Walîd saling memukul 2 pukulan. Setelah kami (Ali dan Hamzah) mengalahkan musuh, lalu kami menuju al-Walîd dan membunuhnya. Kami membawa Ubâdah kembali ke pasukan kaum Muslimin.” Kisah ini menjelaskan bahwa Hamzah bin `Abdul Mutthalib ikut berduel dalam perang Badar.[7]

Kedua kelompok yang berduel itu adalah pasukan Allah Azza wa Jalla dan pasukan setan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

هَٰذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ

Inilah dua golongan (golongan Mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai rabb mereka. [al-Hajj/22:19]

Abu Dzar Radhiyallahu anhu bersumpah bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan orang-orang yang berduel dalam perang Badar, yaitu Hamzah, Ali, Ubaidah bin al-Harits, Utbah bin rabî`ah, Syaibah bin rabî`ah dan al-Wâlid bin Utbah.

Ali Radhiyallahu anhu berkata bahwa ayat di atas turun tentang orang-orang yang berduel pada saat perang Badar.[8]


Kesaksian Sahabat

Abdurrahmân bin `Auf (salah seorang Sahabat yang dijamin masuk surga) memberikan syahâdah (persaksian) bahwa Hamzah lebih baik daripada dirinya. `Abdurrahmân bin Auf juga mengatakan: “Hamzah telah terbunuh, padahal dia adalah orang yang lebih baik dariku, kemudian dunia dilapangkan bagi kami, atau mengatakan kami mendapatkan kesenangan dunia. Sungguh, kami takut kebaikan-kebaikan kami diberikan (di dunia-pent).” Kemudian dia menangis dan meninggalkan makanan itu.” [hlm 186, nukilan dari al-Bukhâri no. 1275] [9]


Kisah Pembunuhan Hamzah Radhiyallahu Anhu

Wahsyi (orang yang telah membunuh Hamzah Radhiyallahu anhu ) menceritakan, “Dahulu aku adalah budak Jubair bin Muth`im. Pamannya yang bernama Thuaimah bin Adi terbunuh di perang Badar (dibunuh oleh Hamzah Radhiyallahu anhu). Majikanku (Jubair) berkata kepadaku : “Jika engkau berhasil membunuh Hamzah Radhiyallahu anhu , maka engkau akan bebas.” Wahsyi berkata : “Aku dahulu adalah ahli tombak, sedikit sekali lemparan tombakku yang tidak mengenai sasaran. Aku keluar bersama beberapa orang. Ketika mereka telah bertemu, akupun mengambil tombakku dan keluar hingga melihat Hamzah Radhiyallahu anhu ada di antara orang banyak. Ia seperti unta yang berwarna keabu-abuan. Ia mengancam orang-orang dengan pedangnya dan tidak pernah melepaskan pedangnya. Demi Allah Azza wa Jalla , sesungguhnya aku telah bersiap-siap (bertarung) dengannya, dan tiba-tiba aku didahului as-Siba` bin `Abdul Uzza al-Khuzai. Tatkala Hamzah Radhiyallahu anhu melihatnya, Hamzah berkata : “Kemarilah wahai anak wanita tukang khitan.” Kemudian dia dipenggal oleh Hamzah Radhiyallahu anhu . Demi Allah Azza wa Jalla, tidak luput sabetan pada kepalanya. Aku tidak melihat sesuatu yang lebih cepat dari jatuhnya kepalanya. Kemudian akupun menggerakkan tombakku, dan ketika telah benar-benar yakin, akupun melemparkannya. Lemparanku tepat mengenai perut bagian bawahnya, hingga tembus ke antara kedua kakinya. Ia pun pergi untuk bangkit, akan tetapi tidak kuat. Kemudian aku menunggunya hingga mati, setelah itu aku berdiri di hadapannya. Aku ambil tombakku dan kemudian kembali ke pasukan dan duduk.

Ketika Rasulullah menakhlukkan Mekah, aku kabur ke Thaif. Ketika utusan Thaif keluar untuk masuk Islam, aku merasa sangat berat. Aku (Wahsyi) berkata : “Aku pergi ke Syam, Yaman, dan negara-negara yang lain. Demi Allah Azza wa Jalla , sesungguhnya ketika itu aku sangat takut. Tiba-tiba ada seseorang berkata : “Demi Allah Azza wa Jalla , jika Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak membunuh seseorang, orang itu segera masuk ke dalam agamanya (agar selamat).”

Sehingga aku pun keluar menuju Madinah menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau bertanya, “Apakah engkau Wahsyi” Aku menjawab, “ Ya” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “ Duduklah dan ceritakan bagaimana engkau membunuh Hamzah.” Lalu aku pun menceritakannya. Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Celaka engkau, menyingkirlah dariku. Janganlah engkau muncul di hadapan kami.” Ini menunjukkan kecintaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pamannya, Hamzah Radhiyallahu anhu . Aku pun menjauh dari beliau hingga beliau meninggal dunia.”

Wahsyi mengatakan, “Tatkala kaum Muslimin keluar menuju Musailamah, aku ikut keluar dengan mereka dengan membawa tombakku yang dahulu aku gunakan untuk membunuh Hamzah Radhiyallahu anhu . Ketika kedua pasukan bertemu, aku melihat Musailamah yang membawa pedang. Demi Allah Azza wa Jalla , aku tidak tahu, tiba-tiba ada seorang Anshâr yang hendak menuju kepadanya dari arah lain. Maka kami siap menuju kepadanya, hingga ketika sudah dekat aku melemparkan tombakku dan tepat mengenainya; sedangkan orang Anshâr itu menyerang dengan pedangnya. Allah Azza wa Jalla lebih mengetahui siapa yang telah membunuhnya. Jika aku telah membunuhnya, sesungguhnya aku telah membunuh orang yang terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku pun juga telah membunuh orang yang paling jahat.”[10]


Ayat Yang Turun Tentang Hamzah Radhiyallahu Anhu

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah Azza wa Jalla mati, bahkan mereka hidup, di sisi Allah Azza wa Jalla mereka diberi rezeki" [Ali Imrân/3:169]

Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu berkata : “Ayat ini turun berkenaan dengan Hamzah Radhiyallahu anhu dan para Sahabatnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tatkala teman-teman kalian dalam perang Uhud meninggal dunia, Allah Azza wa Jalla menjadikan ruh-ruh mereka di tenggorokan burung hijau yang ada di sungai-sungai surga, mereka makan biji-bijinya dan kembali ke pelita-pelita dari emas yang tergantung di Arsy. Ketika mereka memperoleh kesenangan dalam makan, minum dan tidur, mereka berkata : “ Siapa yang hendak menyusul kami. Kami hidup di surga dengan kenikmatan. Hendaknya mereka jangan meninggalkan jihad dan tidak mundur dalam perang.” Allah Azza wa Jalla berfirman : “Aku lebih tahu tentang mereka daripada kalian”, kemudian berfirman : “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah Azza wa Jalla mati, bahkan mereka hidup, di sisi Allah Azza wa Jalla mereka diberi rezeki””[11]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyayangi dan merasa iba kepada Hamzah Radhiyallahu anhu tatkala melihat perbuatan orang-orang kafir kepadanya. Anas Radhiyallahu anhu mengatakan, “Pada saat Uhud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan jasad Hamzah Radhiyallahu anhu yang luka parah. Beliau bersabda : “Seandainya saja Shafiyah tidak menemukan jasadnya, pasti dia akan meninggalkannya hingga Allah Azza wa Jalla mengumpulkannya di perut binatang buas atau burung”[12]

Marâji`
1. Ash-Shahâbah, Syaikh Shâlih bin Thaha `Abdul Wâhid, Maktabah al-Ghurabâ`, Dâr al-Atsariyah, cet. Ke-1 tahun 1427H
2. Disadur dari kitab Ash-Shahîhul Musnad Min Fadhâilish Shahâbah, Dâr Ibnu Affân, karya Abu `Abdillâh Musthafa bin al-Adawi.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Shahîhul Musnad Min Fadhâil Ash-Shahâbah hlm.183
[2]. Ash-Shahâbah hlm 304
[3]. Ash-shahâbah hlm 304
[4]. Shahîhul Musnad Min Fadhâil Ash-Shahâbah hlm 187, nukilan dari al-Hakim dalam Al-Mustadrak 3/193
[5]. Lihat footnote kitab Ash-Shahîhul Musnad Min Fadhâil Ash-Shahâbah hlm. 187
[6]. Ash-shahâbah hlm 305
[7]. Ash-shahâbah hlm 305-306
[8]. Ash-shahâbah hlm 306
[9]. Shahîhul Musnad Min Fadhâil Ash-Shahâbah hlm.183
[10]. Ash-shahâbah hlm 309-310
[11]. Ash-shahâbah hlm 307
[12]. Ash-shahâbah hlm 309

Pasukan Hamzah bin Abdul Muthalib, Pasukan Pertama Umat Islam


Pasukan Hamzah bin Abdul Muthalib

Hamzah bin Abdul Muthalib radhiallahu ‘anhu adalah paman Nabi ﷺ. Ia juga menjadi saudara sepersusuan Nabi karena sama-sama disusui oleh Tsuwaibah, budak dari Abu Lahab bin Abdul Muthalib. Kemudian di masa Islam, Hamzah memimpin pasukan pertama kaum muslimin menuju wilayah Saef al-Bahr.


Izin Berperang

Merupakan kebiasaan orang-orang Quraisy bertandang ke Syam untuk melakukan perdagangan. Dalam perjalanan pulang-pergi ke Syam, kafilah Quraisy membawa serta tokoh-tokoh dan sebagian pasukan untuk menjaga mereka. Siapa sangka, jalur dagang menuju Syam yang biasa mereka lewati sekarang telah menjadi negeri hijrahnya Muhammad ﷺ dan sahabat-sahabatnya. Tentu Nabi ﷺ dan para sahabat punya urusan tersendiri dengan mereka.

Nabi ﷺ memandang ini adalah sebuah kesempatan. Beliau berencana mencegat mereka. Menyita barang-barang dagang berharga yang mereka bawa. Melemahkan dan menghinakan mereka. Sebagai balasan atas permusuhan dan peperangan yang mereka kobarkan sejak di Mekah. Mereka mengeluarkan umat Islam dari sana. Merampas harta dan rumah-rumah yang dimiliki kaum muslimin. Serta mencegah Nabi ﷺ menyebarkan Islam, risalah yang Allah ﷻ perintahkan. Nabi ﷺ pun memohon kepada Allah ﷻ agar diberikan izin untuk berperang (Muhammad Abu Syuhbah dalam as-Sirah an-Nabawiyah ‘ala Dhaw’i al-Quran wa as-Sunnah, 2/67).

Allah ﷻ pun menurunakn firman-Nya,

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ


Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.(QS:Al-Hajj | Ayat: 39).


Diutusnya Pasukan

Atas izin Allah ﷻ pasukan iman berangkat menggetarkan barisan shaf kaum musyrikin. Rasulullah tahu, kafilah Quraisy membawa harta dan barang dagang yang banyak dalam perjalanan pulang dari Syam menuju Mekah. Kafilah ini dijaga oleh 300 orang pasukan berkuda Quraisy. Dan dipimpin oleh Abu Jahal bin Hisyam. Rasulullah ﷺ mengutus 30 orang mujahid yang dipimpin oleh Singa Allah, Hamzah bin Abdul Muthalib radhiallahu ‘anhu. Tak ada seorang pun dari kalangan Anshar dalam pasukan tersebut. Semuanya dari Muhajirin.

Pada Bulan Ramadhan, tahun pertama hijrah, pasukan pertama itu berangkat.  Atas perintah Nabi ﷺ mereka berjihad di jalan Allah. Kaum muslimin mengibarkan bendera putih yang dibawa oleh Abu Murstid Kinaz bin al-Hushain al-Ghanawy radhiallahu ‘anhu.

Pasukan ini bergerak cepat menuju tepi Laut Merah. Kemudian, dua pasukan bertemu di daerah Kabilah Juhainah. Saat mereka tengah berhadap-hadapan dan bersiap untuk perang, salah seorang tokoh kabilah Juhainah mendamaikan kedua pasukan tersebut.


Hasil Pencegatan

Meskipun tidak terjadi kontak senjata, tapi aksi militer yang dilakukan kaum muslimin berhasil mengirimkan sinyal kepada orang-orang musyrik Mekah. Dan ini sangat penting bagi negara baru Madinah. Orang-orang Quraisy mulai merasakan cemas. Mata mereka menyaksikan sendiri bahaya yang menghadang di jalur dagang mereka. Dan tentu sangat membahayakan perekonomian mereka.

Sementara bagi umat Islam, mereka mendapatkan hasil yang positif. Moral mereka meningkat. Muncul rasa percaya diri setelah berhasil menimbulkan luka psikologis terhadap musuh. Inilah kali pertama mereka berhadap-hadapan dengan orang-orang musyrik Mekah yang dulu menindas mereka.

Ketika tiba di Mekah, Abu Jahal mengatakan, “Wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya Muhammad telah sampai di Yatsrib (Madinah) dan telah mengirimkan sinyalnya. Ia ingin agar kalian ditimpa suatu hal. Hati-hatilah kalian melintasi jalannya (wilayahnya). Jangan kalian dekati, karena dia bagaikan singa yang berbahaya. Dia sangat marah pada kalian. Menjauhlah sebagaimana onta takut digigit dhab. Demi Allah, sungguh dia punya sihir. Aku tidak melihatnya dan para sahabatnya kecuali disertai setan-setan. Kalian tahu sendiri bagaimana permusuhan Ibni Qilah (kiasan untuk Aus dan Khazraj). Ia adalah musuh yang meminta tolong pada musuh.”

Saat dialog mereka ini sampai ke telinga Rasulullah ﷺ, beliau membantah ucapan keji Abu Jahal itu. beliau ﷺ mengatakan, “Demi  Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku akan memerangi mereka, akan menguasai mereka, dan mendakwahi mereka. Sesungguhnya aku ini adalah rahmat dari Allah ﷻ. Aku tidak akan wafat sampai Allah mengangkat agama ini. Aku memiliki lima nama. Aku adalah Muhammad, Ahmad. Aku adalah al-Mahi (penghapus) yang dengan perantara diriku Allah hapus kekufuran. Aku adalah al-Hasyir (pengumpul). Nanti manusia dikumpulkan di hadapanku. Dan aku adalah al-‘Aqib.” (HR. Muslim).


Tsabit bin Qais al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu


Assalamu'alaikum sahabat RMI Alur Cucur, kali ini kami akan membagikan kkisah Salah satu Sahabat yaitu Tsabit bin Qais al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu. untuk kisahnya dapat langsung disimak

“Tidak ada wasiat seseorang di mana dia mewasiatkannya setelah dia wafat yang dilaksanakan selain wasiat Tsabit bin Qais”


BIOGRAFI TSABIT BIN QAIS AL-ANSHARI

Tsabit bin Qais al-Anshari, seorang pemuka Khazraj yang terpandang, salah seorang pembesar Yatsrib yang diperhitungkan keberadaannya oleh siapa saja.

Di samping itu dia berhati cerdik, responsif, lihai dalam bertutur kata dan bersuara keras. Jika dia berbicara maka dia mengalahkan lawan bicaranya, jika berkhutbah maka dia menyihir para pendengarnya.

Dia adalah satu di antara orang-orang yang masuk Islam angkatan pertama di Yatsrib. Begitu dia menyimak ayat-ayat al-Qur’an yang penuh hikmah yang dilantunkan oleh seorang da’i Makkah Mush’ab bin Umair dengan suaranya yang syahdu dan tekanannya yang merdu, al-Qur’an langsung menawan pendengaran hatinya dengan pengaruhnya yang indah, menguasai nuraninya dengan keterangannya yang mengagumkan dan memenuhi akalnya dengan petunjuk dan syariatnya. Allah Ta’ala melapangkan dadanya kepada Islam, meninggikan kedudukannya dan mengangkat namanya dengan bergabung di bawah panji Nabi Islam.


TSABIT BIN QAIS AL-ANSHARI JURU BICARA RASULULLAH

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah sebagai muhajir, Tsabit bin Qais menyambut beliau bersama sekelompok orang dari para petinggi kaumnya dengan hangat, menerima beliau dan shahabat beliau Ash-Shiddiq dengan penuh kemuliaannya. Tsabit mengucapkan khutbah di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sebuah khutbah di mana dia mengawalinya dengan pujian dan sanjungan kepada Allah Ta’ala serta shalawat kepada Nabi-Nya.

Dia menutup khutbahnya dengan, “Kami berjanji kepadamu ya Rasulullah, akan melindungimu seperti kami melindungimu diri kami, anak-anak kami dan istri-istri kami dari setiap marabahaya yang akan menimpa. Lalu apa yang kami dapatkan sebagai balasannya?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab. “Surga. ”

Begitu kata surga menyentuh telinga mereka, wajah-wajah mereka mengisyaratkan kegembiraan dan rat muka mereka memperlihatkan keceriaan, mereka berkata, “Kami rela ya Rasulullah. Kami rela ya Rasulullah.”

Sejak hari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan Tsabit bin Qais sebagai juru bicara beliau sebagaimana Hassan bin Tsabit adalah penyair beliau.

Jika para delegasi datang kepada Rasulullah untuk membanggakan diri atau berdialog dengan lisan yang fasih dan lantunan kata yang merdu mendayu, baik para khatib maupun para penyairnya, maka Tsabit bin Qais maju ke depan untuk menjawab para khatib mereka, sedangkan Hassan bin Tsabit meladeni para penyairnya.


KISAH TSABIT BIN QAIS AL-ANSHARI

Tsabit adalah seorang laki-laki mukmin dengan iman yang dalam, bertakwa dengan ketakwaan yang bersih, sangat takut kepada Rabbnya, sangat berhati-hati dari segala perkara yang membuat Allah subhanahu wa ta’ala marah. Ketika Turun Ayat Surat Luqman Ayat 18

وَلَا تُصَعِّرۡ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٖ فَخُورٖ ١٨

Artinya : "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri" ( Q.S Luqman Ayat 18 )

Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya sangat bersedih dan berduka, kedua lututnya gemetar karena khawatir dan takut, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, "Ada apa denganmu wahai Abu Muhammad?”

Dia menjawab, ‘Aku takut telah berbuat celaka ya Rasulullah.”

Nabi bertanya, “Mengapa?”

Dia menjawab. "Allah telah melarang kami berharap dipuji dengan sesuatu yang tidak kami lakukan, sementara aku adalah orang yang suka pujian. Allah melarang kami bersikap sombong sedangkan aku adalah orang yang mengagumi diriku.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha menenangkan kecemasannya, sampai beliau bersabda kepadanya, “Wahai Tsabit, apakah kamu tidak rela hidup dalam keadaan terpuji, mati sebagai syahid dan masuk surga?”

Wajah Tsabit berbinar dengan berita gembira tersebut, dia berkata, “Ya wahai Rasulullah. Ya wahai Rasulullah.”

Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu milikmu.”

Manakala firman Allah Ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَرۡفَعُوٓاْ أَصۡوَٰتَكُمۡ فَوۡقَ صَوۡتِ ٱلنَّبِيِّ وَلَا تَجۡهَرُواْ لَهُۥ بِٱلۡقَوۡلِ كَجَهۡرِ بَعۡضِكُمۡ لِبَعۡضٍ أَن تَحۡبَطَ أَعۡمَٰلُكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تَشۡعُرُونَ ٢

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah-janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. Al-Hujurat : 2)

diturunkan, sejak saat itu Tsabit bin Qais menjauh dari majelis-majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun dia sangat mencintainya dan sangat berkeinginan untuk mendatanginya, Tsabit diam di rumahnya dan tidak pernah meninggalkannya kecuali hanya untuk shalat berjamaah. Rasulullah pun mencari-cari Tsabit, beliau bertanya, “Siapa yang hadir membawa beritanya kepadaku?”

Maka seorang laki-laki Anshar berkata, “Aku ya Rasulullah.”

Laki-laki Anshar ini pergi ke rumahnya, dia melihat Tsabit dalam keadaan berduka dan bersedih, kepalanya tertunduk, laki-laki Anshar ini bertanya, “Mengapa dengan dirimu wahai Abu Muhammad?”

Tsabit menjawab, “Buruk.”

Dia bertanya, “Apa itu?”

Tsabit menjelaskan, “Sesungguhnya kamu mengetahui bahwa aku bersuara tinggi, tidak jarang suaraku mengalahkan tingginya suara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara ayat al-Qur’an telah turun seperti yang telah kamu ketahui, aku tidak menyangka sama sekali bahwa amalku telah batal dan aku akan menjadi penghuni neraka.”

Laki-laki Anshar ini pun pamit dan menyampaikan jawaban Tsabit kepada Rasulullah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pergilah kepadanya dan katakan, ‘Kamu bukan penghuni neraka sebaliknya kamu adalah penduduk surga’.”

Sebuah berita gembira besar untuk Tsabit di mana dia mengharapkan kebaikannya sepanjang hayatnya.


TSABIT BIN QAIS AL-ANSHARI Mati Syahid dengan Strategi Perang yang Dahsyat

Tsabit bin Qais ikut dalam seluruh peperangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selain Badar, dia menerjunkan dirinya di dalam ombak peperangan demi mencari syahadah yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya. Sesekali dia belum mendapatkannya namun syahadah itu tidak berada jauh darinya, hanya berjarak dua busur atau lebih dekat lagi.

Hingga tiba saatnya terjadi perang melawan orang-orang murtad antara kaum muslimin melawan Musailamah al-Kadzdzab di zaman Abu Bakar ash-Shiddiq. Saat itu Tsabit adalah panglima pasukan Anshar sedangkan Salim maula Abu Hudzaifah adalah panglima orang-orang Muhajirin, sementara panglima yang membawahi orang-orang Muhajirin, Anshar dan orang-orang Arab pedalaman adalah Khalid bin al-Walid.

Di setiap medan laga dalam perang ini terlihat keunggulan pasukan Musailamah al-Kadzdzab atas pasukan kaum muslimin, sehingga mereka mampu menembus markas Khalid bin al-Walid dan hampir saja membunuh istrinya Ummu Tamim, mereka berhasil memotong tali-tali pengikat tenda markas dan memporak-porandakannya.

Saat itu Tsabit bin Qais melihat kelemahan kaum muslimin yang membuat hatinya bersedih dan teriris, dia mendengar mereka satu sama lain saling melemahkan dan ini membuat dadanya sempit dan berduka.

Orang-orang kota menuduh orang-orang pedalaman sebagai pengecut, sementara orang-orang pedalaman menuduh orang-orang kota tidak becus berperang dan tidak tahu memegang senjata.

Pada saat itu Tsabit bersiap-siap untuk mati, dia mengambil kain kafannya, dia berdiri di depan khalayak dan berkata, “Wahai kaum muslimin, tidak seperti ini kami berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sangat buruk, karena kalian membiarkan musuh kalian berani melakukan apa yang mereka lakukan terhadap kalian. Sangat buruk, karena kalian membiasakan diri kalian dengan bersikap pengecut di depan musuh kalian.”

Lalu Tsabit mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku berserah diri kepadaMu dari apa yang dilakukan oleh mereka, -Yakni Musailamah dan pasukannya- dan aku juga berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh mereka.” Yakni kaum muslimin.

Kemudian dia merangsek maju layaknya seekor singa yang terluka, bahu membahu bersama para shahabat yang mulia lainnya, Al-Barra bin Malik al-Anshari, Zaid bin al-Khatthab saudara Amirul Mukminin Umar bin al Khatthab, Salim maula Abu Hudzaifah dan orang-orang mukmin angkatan pertama lainnya.

Tsabit menunjukkan kepahlawanannya dengan gagah berani, hal ini menumbuhkan semangat tempur di hati kaum muslimin dan menyumbat dada orang-orang musyrikin dengan kecemasan dan ketakutan.

Tsabit terus berperang di segala arah, dia menebaskan senjatanya hingga luka-luka menghentikan aksinya yang patriotik.

Dia tersungkur di medan peperangan dengan sangat tenang sesuai dengan apa yang telah Allah tetapkan untuknya berupa gugur sebagai syahid yang sebelumnya telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Gugur sebagai syahid dengan dada tentram karena Allah Ta’ala mewujudkan kemenangan besar bagi kaum muslimin.


WASIAT TSABIT BIN QAIS AL-ANSHARI

Dalam perang ini Tsabit memakai baju besi yang berharga, lalu seorang laki-laki dari kaum muslimin melewati jasadnya kemudian melepaskan baju besi tersebut dari tubuhnya dan ia mengambil baju besi tersebut untuk dirinya.

Di malam kedua dari gugurnya Tsabit, seorang laki-laki dari kaum muslimin bermimpi bertemu dengannya.

Tsabit berkata kepada laki-laki itu, ‘Aku adalah Tsabit bin Qais, apakah kamu mengenalku?”

Dia menjawab, “Ya.”

Tsabit berkata, ‘Aku berwasiat kepadamu, jangan berkata bahwa ini adalah mimpi agar kamu tidak menyia-nyiakannya. Ketika aku terbunuh kemarin, seorang laki-laki dari kaum muslimin yang ciri-cirinya seperti ini melewatiku, dia mengambil baju perangku dan membawanya ke tendanya yang terletak di paling ujung dari markas kaum muslimin dari arah ini. Dia meletakkannya di bawah sebuah bejana lalu menutupinya dengan pelana. Datanglah kepada Khalid bin al-Walid, katakan kepadanya agar dia mengutus seseorang untuk mengambil baju besi itu karena ia masih berada di tempatnya. Aku mewasiatkan kepadamu dengan wasiat yang lain, jangan berkata bahwa ini adalah mimpi agar kamu tidak menyia-nyiakannya. Katakan kepada Khalid, Jika engkau pulang kepada Khalifah Rasulullah di Madinah maka katakan kepadanya. ‘Sesungguhnya Tsabit memikul hutang sekian dan sekian dan bahwa fulan dan fulan dari hamba sahayaku merdeka. Hendaknya dia membayar hutangku dan membebaskan hamba sahayaku.”

Laki-laki yang bermimpi itu terjaga, dia menemui Khalid bin al-Walid, dia menyampaikan mimpinya. Maka Khalid mengutus seseorang untuk mengambil baju besi Tsabit dari tangan orang yang mengambil baju besi tersebut di tempatnya. Kemudian seorang laki-laki utusan Khalid kembali dengan menenteng baju besi tersebut.

Ketika Khalid pulang ke Madinah, dia menyampaikan berita dan wasiat Tsabit bin Qais kepada Ash-Shiddiq, lantas Ash-Shiddiq melaksanakan wasiatnya. Ternyata benar bahwa manusia itu memiliki rahasia yang besar. Allah berfirman: 

وَلَا تَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمۡوَٰتَۢاۚ بَلۡ أَحۡيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمۡ يُرۡزَقُونَ ١٦٩

Artinya : "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki" ( Q.S Ali - Imran ayat 169 )



"Tidak pernah ada sebelumnya dan tidak akan pernah ada sesudahnya bahwa wasiat seseorang dilaksanakan sesudah kematian orang tersebut selain  wasiat Tsabit bin Qais”.


Semoga Allah Ta’ala meridhai Tsabit dan menempatkannya di sisinya.