Tampilkan postingan dengan label Fiqih dan Muamalah. Tampilkan semua postingan

Hukum Menerima Beasiswa LPDP


Hukum Menerima Beasiswa LPDP

Apa hukum beasiswa LPDP? Ada yang mengatakan itu berasal bunga deposito dana abadi APBN. Ada juga yang mengatakan, itu dari pajak rakyat, dst. Kami sendiri ragu mengenai statusnya.

Jawab:

Jika kita sepakat bahwa dana asal LPDP adalah APBN yang ‘dikembangkan’, maka kita bisa memahami bahwa beasiswa LPDP untuk para pelajar adalah pemberian (athiyah) dari pemerintah kepada rakyat.

Pemberian (athiyah) dari pemerintah kepada rakyat memiliki hukum yang berbeda-beda, tergantung sumber harta pemberian itu. Berikut ini kami cantumkan keterangan dari al-Hafidz Ibnu Hajar – ulama ahli hadis bermadzhab Syafii –.

Al-Hafidz Ibnu Hajar membuat kesimpulan mengenai hukum menerima pemberian dari pemerintah. Dalam Fathul Bari Penjelasan Sahih Bukhari,

وكان بعضهم يقول يحرم قبول العطية من السلطان وبعضهم يقول يكره وهو محمول على ما إذا كانت العطية من السلطان الجائر والكراهة محمولة على الورع وهو المشهور من تصرف السلف والله أعلم


Sebagian ulama mengatakan, haram menerima pemberian dari pemerintah. Sebagian mengatakan makruh. Untuk yang mengatakan haram, dipahami pada pemberian dari pemerintah yang dzalim. Sementara untuk yang mengatakan makruh, dipahami sebagai bagian dari sikap wara’. Dan sikap ini sesuatu masyhur bagi muamalahnya para ulama salaf – Allahu a’lam –

والتحقيق في المسألة أن من علم كون ماله حلالا فلا ترد عطيته ومن علم كون ماله حراما فتحرم عطيته ومن شك فيه فالاحتياط رده وهو الورع ومن أباحه أخذ بالأصل


Kesimpulan dari masalah ini, bahwa siapa yang mengetahui status harta itu adalah harta halal, maka jangan ditolak pemberiannya. Dan siapa yang mengetahui bahwa status harta itu adalah harta haram, maka haram pemberiannya. Dan siapa yang ragu, maka sebagai bentuk kehati-hatian, harta itu dikembalikan. Dan itulah sikap wara’. Sementara orang yang membolehkannya (harta meragukan), dia berpijak kepada hukum asal. (Fathul Bari, 3/338)

Maksud kalimat, ‘Sementara orang yang membolehkannya (harta meragukan), dia berpijak kepada hukum asal’ bahwa hukum asalnya harta pemberian itu tidak bercampur dengan sesuatu yang haram.

Diceritakan oleh Syaikh Abdurrahman as-Suhaim bahwa Syaikh Ibnu Baz dalam pelajarannya pernah menyampaikan,

إذا جاءه مال مِن قريبه أو صديقه ، وهو لا يعلم حقيقته ؛ فَلَه أخذه. أما إن عَلِم أنه مال فلان ، أو أنه ثمن خمر ، أو أنه رِبا ؛ فلا يأخذه


Ketika seseorang mendapatkan harta dari kerabat atau teman, dan dia tidak tahu hakekatnya, maka dia boleh menerima harta itu. Namun jika dia tahu, bahwa harta yang diberikan kepadanya adalah harta milik si A atau hasil jualan khamr atau hasil riba, maka dia tidak boleh menerimanya.

Sumber: http://www.almeshkat.net/vb/showthread.php?t=126836
Apakah Beasiswa LPDP Halal?

Ini kembali kepada pertanyaan, dari mana asal dana beasiswa ini. Kami sendiri belum mendapatkan informasi yang memadai mengenai asal dana beasiswa LPDP. Namun pada prinsipnya, jika anda yakin dana itu berasal dari riba atau sesuatu yang haram lainnya, maka seharusnya dihindari. Dan siapa yang masih ragu, bisa menggunakan acuan seperti yang dinyatakan al-Hafidz Ibnu Hajar.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Tanda-Tanda Terkena Gangguan Jin dan Penyakit ‘Ain



Pertanyaan:
Bagaimana seseorang bisa mungkin mengetahui kalau dirinya terkena gangguan jin atau terkena penyakit ‘ain?

Jawaban:

Segala puji bagi Allah Ta’ala.

Orang-orang yang ahli ruqyah syar’iyyah meneyebutkan beberapa tanda (gejala) yang bisa digunakan sebagai petunjuk bahwa seseorang terkena gangguan jin atau terkena penyakit ‘ain. Ini adalah tanda-tanda yang tidak pasti, terkadang berbeda-beda sesuai dengan keadaan, dan terkadang bertambah parah atau ringan pada keadaan yang lain.

Adapun tanda-tanda gangguan jin adalah:
  1. Berpaling atau lari (menjauh) yang ekstrim dari mendengar adzan atau mendengar (bacaan) Al-Qur’an.
  2. Pingsan, tidak sadar, kejang (kesurupan), atau jatuh saat dibacakan Al-Qur’an kepadanya.
  3. Banyaknya melihat hal-hal yang menakutkan.
  4. Menyendiri, menyepi atau perilaku-perilaku aneh.
  5. Terkadang jin yang mengganggu tersebut bisa berbicara ketika dibacakan (Al-Qur’an) kepadanya.

Adapun tanda terkena gangguan ‘ain, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz As-Sadhan hafidzahullahu Ta’ala berkata,

“Tanda-tanda (‘ain) berikut ini, jika bukan karena penyakit jasmani (penyakit medis), maka umumnya dalam bentuk:

sakit kepala yang berpindah-pindah; pucat di wajah; sering berkeringat dan buang air kecil; nafsu makan lemah; mati rasa, panas atau dingin di anggota badan; “deg-degan” di jantung (detak jantung yang cepat dan tidak beraturan, pen.); rasa sakit yang berpindah dari bawah punggung dan bahu; bersedih dan merasa sempit (sesak) di dada; berkeringat di malam hari; perilaku (emosi) berlebihan, seperti ketakutan yang tidak wajar; sering bersendawa, menguap atau terengah-engah; menyendiri atau suka mengasingkan diri; diam atau malas bergerak; senang (terlalu banyak) tidur; adanya masalah kesehatan tertentu tanpa ada sebab-sebab medis yang diketahui.

Tanda-tanda tersebut atau sebagiannya bisa ditemukan tergantung pada kuat atau banyaknya ‘ain.” (Ar-Ruqyah Syar’iyyah, hal. 10)

Sebagai faidah tambahan, bisa melihat fatwa kami nomor 240 [1] dan 20954 [2].

***

@Erasmus MC NL Na-1001, 16 Dzulqa’dah 1439/ 31 Juli 2018

Penerjemah: M. Saifudin Hakim


Catatan kaki:
[1] https://islamqa.info/ar/240
[2] https://islamqa.info/ar/20954
[3] Fatwa di atas kami terjemahkan dari: https://islamqa.info/ar/125543

Pedagang Wajib Memberitahu Cacat Barang!


Pertanyaan :
Jika kita menjual barang, ada aibnya tetapi kita diam saja.. bagaimana hukumnya?


Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Pada asalnya, diam saja dan menceritakan apapun, tidak termasuk berdusta. Dinilai berdusta, ketika seseorang menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai realita. Sementara di sini, dia diam saja, sehingga tidak termasuk berdusta.

Ada kaidah yang disampaikan Imam as-Syafii,

لا يُنسَب إلى ساكت قولٌ

“Ucapan tidak dikembalikan kepada orang yang diam.”

Dinyatakan as-Suyuthi kaidah ini disampaikan as-Syafii. (al-Asybah wa an-Nadzair, hlm. 142).

Namun kaidah ini tidak berlaku untuk diam yang dilakukan penjual ketika bertransaksi jual beli.

Diam tidak menyebutkan aib barang yang diketahui termasuk menipu.

Mengapa bisa disebut menipu?

Karena diam penjual ketika menawarkan barang, sama dengan mendeklarasikan bahwa barang yang dia jual itu selamat sesuai yang anda lihat.

Terdapat kaidah menyatakan,

الأصل في البيع أنه على شرط السلامة

Pada asalnya dalam akad jual beli harus dalam kondisi selamat.

Karena itulah, ketika si A menawarkan barang x dengan harga sekian juta, lalu setelah dipelajari si B, dia setuju dan dilakukan akad jual beli, pada hakekatnya si B telah ridha untuk membeli barang dengan harga sekian juta untuk barang dengan kondisi sebagaimana yang dia lihat. Sehingga, jika di sana ada kekurangan terhadap barang yang DIKETAHUI penjual, namun TIDAK diketahui pembeli maka penjual wajib memberi tahu.

Jika dia tidak memberi tahu, sama dengan menyatakan bahwa kondisi barang sesuai yang anda lihat.

Disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,

Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan (gandum). Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam gundukan makanan itu. Ternyata di dalamnya basah.

Beliau bertanya, “Wahai pemilik makanan, ini kenapa?”

“Terkena hujan ya Rasulullah…” jawab penjual makanan.

Kemudian beliau bersabda,

أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ حَتَّى يَرَاهُ النَّاسُ»، ثُمَّ قَالَ: «مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا

Mengapa kamu tidak taruh di permukaan, sehingga bisa dilihat orang.

Kemudian beliau bersabda, “Siapa yang menipu, bukan bagian dari golonganku.” (HR. Turmudzi 1315 dan dishahihkan al-Albani)

Penjual makanan ini tidak meneriakkan ke pengunjung pasar bahwa gandum yang dia jual bagus. Namun dia hanya menyimpan gandum basah di dalam agar tidak kelihatan, kemudian dia diam.. tapi ini disebut menipu.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Menjual Barang Service yang tidak diambil Pemiliknya



Tukang servis membuat aturan, barang yang tidak diambil lebih dari 1 bulan akan dijual, dan hasilnya akan diinfakkan. Apakah ini dibolehkan?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ada beberapa pengantar untuk memahami itu,

Pertama, Ada 2 jenis penjual jasa yang dibahas dalam kajian fiqh muamalah,


[1] Ajir khas – orang yang menjual jasanya kepada orang lain untuk satu tugas tertentu, dan tidak bisa ‘disambi’ (merangkap pekerjaan) dengan yang lain selama masa kerjanya. Misalnya, sopir pribadi atau tukang pijit atau tukang yang memperbaiki rumah. Ketika dia sedang menangani tugas tertentu, dia tidak bisa menerima tugas klien lainnya.

[2] Ajir ‘aam – orang yang menjual jasanya kepada orang lain secara terbuka, sehingga bisa mengerjakan tugas lebih dari satu klien. Misalnya, tukang jahit yang bisa menerima banyak orderan, atau tukang servis hp, laptop, dst.. perbedaan ajir khas dengan ajir am, ajir am bisa melayani banyak konsumen dalam satu waktu.

Kedua, Posisi seseorang ketika memegang hart orang lain ada 2:

[1] Amin (orang yang mendapat amanah).

Seorang yang memegang harta orang lain di posisi sebagai amin, dia tidak menanggung resiko apapun terhadap harta atau barang yang dia bawa jika terjadi kerusakan. Kecuali kerusakan yang ditimbulkan karena kesalahannya atau keteledorannya.

Misalnya: orang yang dititipi. Dalam akad wadiah, orang yang dititipi merupakan amin bagi orang yang menitipkan.

[2] Dhamin (orang yang menanggung resiko). Yaitu pemegang harta orang lain, dan dia harus menanggung semua resiko terhadap harta itu, apapun yang terjadi. Misalnya: orang yang berutang atau orang yang meminjam barang orang lain.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا ضَمَانَ عَلَى مُؤْتَمَنٍ

“Orang yang mendapatkan amanah tidak menanggung resiko.” (HR. ad-Daruquthni 2961 dan dihasankan al-Albani)

Ketiga, Tukang Servis itu Amin atau Dhamin?

Ulama sepakat bahwa ajir khas statusnya amin. Sehingga dia tidak menanggung resiko normal terhadap barang yang dia tangani.

Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

واتفقوا كذلك على أن الأجير الخاص أمين، فلا ضمان عليه فيما تلف في يده من مال، أو ما تلف بعمله إلا بالتعدي، أو التفريط؛ لأنه نائب المالك في صرف منافعه إلى ما أمر به، فلم يضمن كالوكيل

Ulama sepakat bahwa ajir khas adalah amin (orang yang mendapat amanah). Dan dia tidak menanggung resiko terhadap kerusakan harta orang lain di tangannya. Atau kerusakan diakibatkan kerjanya, kecuali jika berlebihan atau teledor. Karena posisi dia sebagai wakil dari pemilik untuk memanfaatkan barang itu, sesuai yang dia perintahkan. Sehingga dia tidak menanggung resiko, sebagaimana wakil.

Sementara ajir am, seperti tukang servis, termasuk dhamin ataukah amin?

Ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Pendapat yang lebih mendekati adalah ajir ‘am termasuk amin. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, pendapat Imam as-Syafii menurut riwayat yang lebih kuat, dan pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat.

(al-Hidayah fi Syarh al-Bidayah, 3/242 – al-Bayan fi Madzhab as-Syafii, 7/385, dan al-Kafi fi Fiqh Ahmad, 2/184)

Karena itu, ketika ada resiko terhadap barang di luar keteledorannya, dia tidak turut menanggungnya.

Keempat, ketika konsumen menyerahkan barang kepada tukang servis, maka status barang itu adalah barang titipan, yang wajib diberi penjagaan normal oleh tukang servis. Dia berhak memperlakukan benda itu, sesuai kebutuhan normal sebagai tukang servis, misalnya membongkar, mengganti onderdil, meng-uji coba, dst.

Ketika barang sudah selesai, statusnya masih menjadi barang titipan (wadiah), sehingga menjadi barang amanah hingga dikembalikan ke pemiliknya.

Allah berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. an-Nisa: 58)

Kelima, hukum asal menerima wadiah adalah mubah

Dalam arti, ketika si A dititipi orang lain, si A berhak untuk menolaknya.

Karena orang boleh menolak ketika diberi amanah, dengan pertimbangan apapun yang melatar-belakanginya.

Dalam al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab as-Syifii dinyatakan,

يتناول الوديعة الأحكام الخمسة … الإباحة: بمعنى ان للوديع ان يقبل الإيداع وله ان لا يقبل، ويستوى الحال بالنسبة اليه، وذلك في حال انه لا يثق بأمانته في المستقبل، او كان عاجزا عن حفظ الوديعة

Wadiah memiliki 5 hukum… diantaranya mubah, dalam arti orang yang dititpi berhak menerima titipan dan juga berhak tidak menerimanya. Dan status hukumnya sama bagi dia. Bisa jadi penolakan itu dilakukan karena dia tidak merasa yakin bisa menjaga amanah itu ke depan, atau tidak mampu untuk menjaga barang titipan itu. (al-Fiqh al-Manhaji, 7/87)

Karena itu, boleh saja tukang servis menolak amanah itu, ketika tidak memungkinkan untuk menjaga terus barang itu. Sehingga dia boleh membatasi masa tinggal barang itu di tempatnya, misal 1 bulan.

Artinya, selama rentang 1 bulan, tukang servis bersedia menjadikan barang itu sebagai wadiah yang diamanahkan kepadanya. Selebihnya, tidak menerima amanah itu.

Keenam, jika tidak menerima titipan, lalu dikemanakan barang itu?

Pada prinsipnya ketika seseorang tidak menerima untuk dititipi barang, sementara pemilik memaksa untuk tetap menitipkannya, maka dia sudah tidak lagi berkewajiban untuk menjaganya. Sehingga dia berhak menaruh barang itu di luar kawasannya atau di gudang, dst. Selanjutnya semua kerusakan barang itu, dia tidak menanggung resiko.

Namun tidak boleh dijual. Karena pemiliknya tetap ada. Sehingga jika hendak dijual harus izin ke pemilik.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Menjual Rumah yang Disewakan



Ustadz, saya punya rumah kontrakan yg disewa orang lain, bolehkah menjual rumah yang sedang disewakan tersebut? Sukran

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ada beberapa pengantar yang perlu kita ketahui untuk memahami kasus ini,

Pertama, bahwa akad yang lazim (mengikat) tidak bisa dibatalkan sepihak.

Sewa rumah adalah akad ijarah. Ketika akad telah dilakukan, maka dia mengikat dan tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Bahkan meskipun rumah belum ditempati. Selanjutnya pemilik rumah berhak mendapat uang sewa, dan penyewa berhak mendapat hak guna menempati rumah.

Ketika si A telah melakukan akad sewa rumah si B, maka tidak bisa dibatalkan sepihak, sekalipun masa sewa masih lama, bahkan sekalipun belum ditempati.

Dalam al-Muqni’ dinyatakan,

والإجارة عقدٌ لازمٌ من الطرفين ليس لأحدهما فسخها، وإن بدا له قبل تقضي المدة فعليه الأُجرة، وإن حوَّله المالك قبل تقضيها لم يكن له أُجرة لما سكن، نصَّ عليه، ويحتمل أن له من الأُجرة بقسطه

Ijarah adalah akad lazim (mengikat) kedua pihak, dan salah satu pihak tidak berhak membatalkannya. Jika penyewa ingin membatalkannya sebelum selesai masa sewa, maka dia wajib bayar biaya sewa. Namun jika pemilik menyuruhnya untuk pindah, sebelum selesai masa sewa, maka pemilik tidak berhak menerima biaya sewa selama masa tinggal di rumah. Demikian yang ditegaskan (Imam Ahmad). Bisa juga dipahami, dia berhak mendapat biaya sewa sesuai waktu yang digunakan. (al-Muqni’, hlm. 208)

Kedua, bedakan antara akad jual beli dan penyerahan objek akad jual beli.

Akad jual beli berkonsekuensi memindahkan hak milik. Sehingga ketika transaksi jual beli telah selesai, maka barang menjadi milik pembeli, dan uang sebagai pembayaran menjadi milik penjual. Meskipun bisa jadi belum diserah terimakan.

Ketiga, menjual rumah yang disewa, tidak otomatis membatalkan akad sewa.

Ketika rumah dijual, belum tentu langsung diserahkan kepada pembeli. Bisa saja, akad dilakukan sekarang, sehingga terjadi perpindahan hak milik, namun penyerahan barang dilakukan sekian bulan kemudian.

Karena itulah, jika calon pembeli rumah meminta agar setelah akad dilakukan serah terima bangunan rumah, maka pemilik harus meminta penyewa rumah untuk meninggalkan rumah sebelum masa sewa selesai, dan ini termasuk membatalkan akad sewa. Dan hak penyewa untuk menerima pembatalan ini atau menolaknya.

Menjual Rumah yang Disewa

Dengan pertimbangan di atas, ulama berbeda pendapat mengenai hukum menjual barang yang sedang disewakan.

[1] Menurut Imam Abu Hanifah, tidak boleh dijual kecuali atas kerelaan yang menyewa. Atau karena alasan darurat, semisal dia punya utang, sementara rumah itu satu-satunya aset yang bisa dicairkan. (al-Mabsuth, 23/153).

[2] Sementara menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, boleh menjual barang yang sedang disewa orang, baik yang membeli adalah penyewa atau orang lain. Namun nanti pembeli baru boleh menerimanya setelah masa sewa selesai. (Hasyiyah ad-Dasuqi, 2/487 dan Kasyaf al-Qina, 9/127).

Sementara Imam as-Syafii memiliki 2 pendapat dalam hal ini.

Dalam Kasyaf al-Qina’ dinyatakan,

ولا تنفسخ الإجارة بشراء مستأجرها أي العين المؤجرة لأنه كان مالكا للمنفعة ثم ملك الرقبة، ولا تنافي بينهما.

Akad ijarah tidak batal karena yang menyewa membeli barang yang disewakan. Karena awalnya penyewa memiliki manfaat atas barang itu (dengan akad sewa), kemudian dia memiliki barang itu. Dan ini tidak saling bertentangan. (Kasyaf al-Qina’, 4/31).

Ibnu Qudamah menjelaskan,

إذا أجر عيناً ثم باعها صح البيع نص عليه أحمد، باعها للمستأجر أو لغيره

Ketika ada orang yang menyewakan barang, kemudian dia menjual barang itu, maka akad jual belinya sah. Demikian yang ditegaskan Imam Ahmad. Baik dijual ke yang menyewa atau ke orang lain. (al-Mughni, 5/350).

Kita memiliki satu kaidah,

وكلُّ مَشْغُولٍ فليس يُشْغَلُ *** بمُسقطٍ لما به يَنْشَغِلُ

Semua yang sibuk tidak boleh disibukkan *** dengan kegiatan yang bisa menggugurkan kesibukan sebelumnya. (Syarh Mandzumah Ushul al-Fiqh, Ibnu Utsaimin)

Ketika rumah itu sedang disewakan, maka rumah ini sedang disibukkan dengan akad sewa, sampai masa berakhirnya sewa. Sehingga tidak boleh dilibatkan dengan kesibukan yang kdua, yaitu akad lainnya, yang bisa menggugurkan akad sewa.

Imam Ibnu Utsaimin,

فإن شُغِلَ بما لا يسقط فلا بأس، لكن إذا كان مشغولاً، ثم شغلناه بما يسقط الشغل الأول فإن ذلك لا يجوز

Jika dia disibukkan dengan yang tidak menggugurkan kesibukan pertama, tidak masalah. Namun jika objek itu sibuk kemudian kita sibukkan dengan yang menggugurkan kesibukan pertama, maka ini yang tidak boleh. (Syarah Mandzumah Ushul al-Fiqh, Ibnu Utsaimin)

Karena itu, selama masih memungkinkan untuk digabungkan, dimana akad kedua tidak mengganggu keberlangsungan pada akad pertama, maka tidak masalah dilakukan bersamaan.

Karena itu, dari kasus di atas, kita bisa memberikan rincian,

[1] Jika pembeli menginginkan agar rumah itu segera dipindah tangankan setelah akad jual beli maka penjual memiliki 2 pilihan,

(a) Meminta kerelaan penyewa untuk membatalkan sewanya. Jika penyewa bersedia, maka akad jual beli bisa dilangsungkan.

(b) Meminta kerelaan pembeli agar penyerahan rumah ditunda sampai selesai masa sewanya. Jika calon pembeli bersedia, akad jual beli bisa dilangsungkan.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Hukum Franchise


Pertanyaan : Mohon dijelaskan hukum franchise…!

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Untuk memahami transaksi franchise, terlebih dahulu kita akan memahami tawabi’ al-Aqd. Tawabi’ al-Aqd adalah akad kedua yang mengikuti akad pertama, karena akad kedua merupakan konsekuensinya.

Sebagai contoh orang yang membeli tanah di dalam, dia harus membeli jalan untuk akses menuju tanah itu.

Terdapat kaidah mengatakan,

التابع تابع

“Yang menjadi pengikut, hanya bisa mengikuti.”

Syaikh Dr. Muhammad Sidqi al-Burnu menjelaskan kaidah ini,

إن ما كان تابعاً لغيره في الوجود لا ينفرد بالحكم، بل يدخل في الحكم مع متبوعه والمراد بالتابع هنا: ما لا يوجد مستقلا بنفسه، بل وجوده تابع لوجود غيره، فهذا لا ينفك حكمه عن حكم متبوعه

Sesuatu yang keberadaannya mengikuti lainnya, hukumnya tidak disendirikan, namun hukumnya mengikuti hukum yang diikuti (yang utama). Yang dimaksud tabi’ (yang mengikuti) di sini adalah sesuatu yang tidak bisa berdiri sendiri, namun keberadaannya mengikuti keberadaan lainnya (matbu’). Sehingga hukumnya tidak terpisah dari hukum yang diikuti (matbu’).

Kemudian beliau menyebutkan beberapa contohnya,

[1] Orang yang menjual hewan betina yang hamil, maka janin yang ada dalam kandungannya harus diikutkan dalam transaksi, karena dia mengikuti induknya. Dan tidak boleh dijual secara terpisah.

[2] Jalan yang menjadi akses untuk masuk ke sebuah tanah, diikutkan dalam transaksi jual beli tanah, dan hukumnya tidak disendirikan.

Kemudian Syaikh Dr. al-Burnu menyimpulkan,

فعلى هذا كل ما جرى في العرف على أنه من مشتملات المبيع في البيع من غير ذكر

Kaidah ini berlaku untuk semua benda yang secara urf (tradisi) menjadi bagian dari objek transaksi untuk diikutkan dalam jual beli, meskipun tidak disebutkan. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah, hlm. 331).

Mengenal Franchise

Ada banyak model transaksi franchise yang dijalankan di masyarakat. Dan tentu saja, kami tidak mungkin merinci semuanya. Karena itu, pada kesempatan ini, kami hanya akan mengupas model franchise secara umum.

[1] Pelaku akad franchise

Ada dua pihak yang terlibat,

– Franchisor: penjual dan pemilik royalty franchise
– Franchisee: pembeli merk dan semua turunanya dalam franchise

[2] Objek akad franchise

Kita ambil contoh, franchise ayam bakar Mukidi. Apa saja yang menjadi objek akad,

(a) Brand – termasuk di dalamnya adalah peluang pasar yang melekat dengannya, karena merk sudah dikenal masyarakat.

(b) Sistem – termasuk di dalamnya adalah managemen dan SOP kelola perusahaan.

(c) Bahan baku – seperti bumbu, pilihan jenis bahan yang dibutuhkan untuk produksi ayam bakar Mukidi sesuai standar.

Objek franchise ada 2:

Fokuskan di bagian objek akad franchise,

Dari semua objek franchise di atas, bisa kita bagi menjadi 2:

[1] Objek utama – objek yang menjadi tujuan utama franchise

[2] Objek yang mengikuti (tabi’) – objek transaksi yang harus diikutkan, ketika ada objek utama karena ini merupakan pelengkap dari akad pertama.

Dalam transaksi franchise, yang menjadi objek utama transaksi adalah brand. Diantara indikasinya,

[a] Brand merupakan sebab adanya royalty. Dan bagian ini yang menjadi tujuan akad.

[b] Brand merupakan pembeda antara satu produk dengan produk yang lain. Di bawah brand, ada peluang pasar, ada sistem, managemen, SOP, hingga bahan baku. Agar produk yang dijual memenuhi standar kualitasnya.

Karena itu, ketika brand ditransaksikan, maka semua yang mengikuti brand juga harus ditransaksikan. Karena objek yang lain adalah pelengkap dari brand. Jika tidak diikutkan, bisa merusak standar kualitas produk yang dimaksud.

Jenis Akad dalam Franchise

Brand menjadi hak paten yang melekat pada diri pemilik. Sehingga brand tidak dijual atau dipindahkan kepemilikannya kepada Franchisee (pembeli waralaba). Namun brand hanya bisa dipindahkan hak gunanya. Franchisee berhak menggunakan brand tersebut sesuai kesepakatan.

Sementara pelengkap brand, sistem, managemen, dan bahan baku, bisa disewakan dan bisa dijual belikan. Yang habis pakai, seperti bahan baku, bisa diperjual belikan, karena tidak mungkin disewakan.

Karena itu, ada 3 kemungkinan akad yang bisa dilakukan dalam franchise,

[1] Akad musyarakah – pemilik brand (Franchisor) tidak menyewakan brand-nya, tapi menjadikan brand sebagai bagian dari keterlibatan modal. Dari akad ini, Franchisor berhak mendapatkan bagi hasil sesuai kesepakatan.

[2] Akad ijarah (sewa) – Franchisor menyewakan sistem, managemen, SOP dan semua turunannya dan Franchisee berhak menggunakan itu semua selama rentang waktu sesuai kesepakatan.

[3] Jual beli – Franchisor menjual bahan baku yang habis pakai kepada Franchisee.

Akad utama dari 3 akad di atas adalah akad musyarakah brand. Sementara akad kedua dan ketiga merupakan pelengkapnya.

Jika franchise ayam bakar Mukidi dihargai 5jt selama 5th, dengan biaya royalty 5% dari omzet, dan nilai bahan baku sesuai stok yang dibutuhkan,

[1] Nilai 5 juta adalah nilai sewa sistem, managemen, SOP dan semua turunannya selama 5 tahun.

[2] Nilai 5% adalah bagi hasil atas penggunaan brand ayam bakar Mukidi

[3] Biaya bahan baku – hasil dari akad jual beli.

Dan bentuk akad semacam ini dibolehkan, mengingat tidak ada pelanggaran terhadap aturan syariat.

Sementara adanya ketentuan lain yang menguntungkan sepihak, seperti pihak Franchisee tidak boleh menjual produk selain produk Pihak Franchisor, atau pihak Franchisee hanya dibenarkan menjual produk di area tertentu, ketentuan ini dibolehkan. Karena hukum asal setiap kesepakatan dibolehkan, selama tidak melanggar syariat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ

“Setiap muslim harus mengikuti setiap kesepakatan diantara mereka.” (HR. Abu Daud 3596 dan yang lainnya – dishahihkan al-Albani)

Demikian…

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Hukum Investasi BOT



Investasi BOT

Si A memiliki lahan, tapi tidak bisa mengembangkan karena masalah modal. Datang si B sebagai investor. Dia akan membangun hotel di lahan si A. dengan perjanjian, untuk hasil 20 tahun pertama, semua hasil milik si B (investor). Tahun selanjutnya, hotel menjadi milik si A (pemilik lahan). Apakah investasi dengan cara seperti ini dibolehkan?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Diantara metode yang kami gunakan dalam memahami akad adalah melihat akad berdasarkan konsekuensinya. Karena menentukan akad itu melihat hakekatnya, bukan semata melihat namanya. Dalam hal ini berlaku kaidah fiqhiyah yang berlaku dalam kajian fiqh muamalah maliyah,

العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني

“Yang menjadi acuan dalam akad melihat maksud dan hakekat akad, bukan berdasarkan lafadz dan kalimat” (al-Wajib fi Idhah al-Qawaid al-Kulliyah, hlm. 147).

Bisa jadi konsumen menyebutnya ‘minta’, padahal hakekatnya beli. Bisa juga konsumen menyebutnya ‘pinjam’, tapi hakekatnya sewa. Semua itu melihat konsekuensi dan hakekat akad.

Sebagai contoh, si A pinjam mobil ke si B untuk dipakai perjalanan dari Jakarta ke Bogor. Si B mensyaratkat, boleh pinjam mobil asal BBM diisi pertamax penuh ketika dikembalikan. Padahal saat dibawa, BBM mobil di bawah garis merah.

Sekilas transaksi yang terjadi adalah pinjam meminjam. Namun yang benar tidak, karena pinjaman yang disyaratkan harus memberikan imbalan (iwadh), statusnya sewa. Sehingga yang benar, si A sewa mobil ke si B dengan harga BBM pertamax penuh 1 tanki mobil.

Investasi BOT

Kita ulang pertanyaan di atas,

Si A memiliki lahan, tapi tidak bisa mengembangkan karena kendala modal. Datang si B sebagai investor. Dia akan membangun hotel di lahan si A. dengan perjanjian, untuk hasil 20 tahun pertama, semua hasil milik si B (investor). Tahun selanjutnya, hotel menjadi milik si A (pemilik lahan).

Ada 2 kemungkinan pendekatan untuk memahami akad seperti yang anda ceritakan;

[1] Akad yang terjadi adalah akad musyarakah

Si A dan si B melakukan syirkah, dengan modal yang berbeda. Modal si A dalam bentuk lahan, modal si B dalam bentuk bangunan.

[2] Akad yang terjadi adalah sewa menyewa

Si B sebagai pemilik bangunan, menyewa lahan milik si A untuk didirikan hotel, selama 20 tahun, dengan pembayaran dalam bentuk bangunan hotel di usia 20 tahun.

Penjelasan:

Jika kita pahami sebagai akad musyarakah, di sana ada kesepakatan yang cacat. Karena dalam akad musyarakah, salah satu pihak tidak boleh menguasai hasil di rentang tertentu tanpa melibatkan pihak kedua. Sehingga ketika si B sebagai pemilik bangunan meminta agar hasil selama 20 tahun menjadi milik dia, akad yang berlangsung bukan lagi musyarakah yang sah. Karena kita tidak tahu, di tahun berapa usaha ini bisa memberikan hasil yang lebih.

Penjelasan selengkapnya, bisa anda pelajari di:

Bagi Hasil Beda Tahap

Si A dan si B melakukan transaksi mudharabah. Si A sbg pemodal dan si B sbg mudharib. Si A membuat perjajian, untuk masa usaha 1 tahun pertama, bagi hasilnya 90:10. Dimana 90% menjadi...
Read More

Karena itu, yang lebih mendekati, dalam transaksi BOT (build operate transfer), akad yang terjadi adalah akad sewa menyewa. Di mana pengembang (kontraktor) menyewa lahan dari pemilik untuk dijadikan properti selama waktu tertentu, dengan pembayaran properti yang dibangun di usia ketika transfer.

Dalam kasus di atas, si B menyewa lahan dari si A selama 20 tahun, dengan pembayaran berupa hotel di usia 20 tahun. Ini lebih sejalan dengan aturan yang berlaku dalam akad sewa, dibandingkan akad musyarakah.

Hanya saja, ada bagian aturan akad yang perlu disempurnakan, terutama di posisi hotel sebagai alat pembayaran.

Dalam akad ijarah (sewa), nilai sewa harus jelas. Jika nilai sewa tidak jelas, berarti akad yang dilakukan statusnya gharar.

As-Sarkhasi mengatakan,

وجهالة الأجرة تفسد الإجارة

Tidak diketahuinya nilai ujrah, menyebabkan akad sewa menjadi batal. (al-Mabsuth, 15/157).

Sewa lahan di atas dibayar dengan hotel. Sehingga kriteria hotel yang akan dijadikan alat pembayaran harus jelas. Terutama nilai hotel yang dimaksud di usia 20 tahun dalam kondisi normal. Mereka harus memiliki gambaran, semisal melalui informasi dari appraisal. Ini semua dalam rangka menghindari gharar.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Bagi Hasil Beda Tahap



Si A dan si B melakukan transaksi mudharabah. Si A sbg pemodal dan si B sbg mudharib. Si A membuat perjajian, untuk masa usaha 1 tahun pertama, bagi hasilnya 90:10. Dimana 90% menjadi hak si A. Dg ini, si A berharap bisa lebih cepat BEP atas modal yang dia berikan.
Untuk tahun kedua dan seterusnya, bagi hasil 60:40, dengan 60% menjadi hak si B sebagai mudharib. Bolehkah skema mudharabah di atas?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Diantara prinsip dalam mudharbah adalah keseimbangan antara peluang untung dan resiko rugi. Sehingga ketika seseorang berharap bisa mendapatkan keuntungan dalam akad ini, dia juga harus siap menanggung risiko rugi. Jika ada satu pihak yang dia hanya bisa medapat keuntungan, sementara dia bebas dari resiko rugi, berarti ada kedzaliman dalam akad mudharabah yang dijalankan.

Kaidah ini tertuang dalam sebuah hadis, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ

“Hasil itu sebagai ganti dari resiko rugi yang ditanggung”

Ada sebuah kaidah yang disampaikan para ulama,

يستحق الربح إما بالمال أو بالعمل أو بالضمان

“Hak mendapat keuntungan, karena ada modal, pekerjaan, atau resiko kerugian.” (Jamharah al-Qawaid al-Fiqhiyah)

Karena itu, ketika keuntungan dalam satu kerja sama mudharabah tidak jelas, maka keuntungan bagi para pelaku mudharabah juga tidak jelas. Jika ada salah satu pihak dalam kerja sama mudharabah mendapatkan keuntungan yang jelas, bisa dipastikan dia akan mendzalimi yang lain.

Sebagai contoh, si A dan si B bekerja sama membuka warung. Si A sebagai pemodal dan si B sebagai pengelola. Ketika penghasilan warung ini tidak pasti, maka pendapatan untuk si A dan si B juga harus tidak pasti. Sehingga, tidak boleh bagi si A sebagai pemodal, meminta jatah yang pasti, sementara hasil warung tidak pasti.

As-Syirazi –ulama Syafiiyah – menjelaskan bagian dari aturan mudharabah,

ولا يجوز أن يختص أحدهما بدرهم معلوم ثم الباقي بينهما ؛ لأنه ربما لم يحصل ذلك الدرهم ، فيبطل حقه ، وربما لم يحصل غير ذلك الدرهم ، فيبطل حق الآخر

“Salah satu pelaku akad mudharabah tidak boleh dikhususkan untuk mendapatkan uang senilai tertentu, kemudian sisanya dibagi sesuai kesepakatan keduanya. Karena bisa jadi uang senilai itu tidak didapatkan, sehingga dia tidak mendapatkan apapun. Dan bisa jadi yang didapatkan hanya uang senilai itu, lalu dijadikan gaji sehingga hak kawannya tidak ada.” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 14/366)

Bahkan Ibnul Mundzir menyampaikan, bahwa ulama sepakat, mudharabah menjadi batal jika ada salah satu pihak mendapat jatah khusus.

Ibnul Mundzir mengatakan,

أجمع كل من نحفظ عنه على إبطال القِراض إذا جعل أحدهما أو كلاهما لنفسه دراهم معلومة

“Semua ulama yang saya ketahui, bahwa qiradh menjadi batal apabila salah satu pihak atau masing-masiing pihak ditetapkan mendapatkan uang senilai tertentu.” (al-Mughni, 5/148).

Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada akad pengelolaan lahan pertanian (muzara’ah) dimana salah satu pihak dalam kerja sama mendapatkan hasil tertentu. Kemudian ini dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةِ وَالْمُخَابَرَةِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam malarang muhaqalah, muzabanah, dan mukhabarah… (HR. Muslim 3989, Nasai 3896 dan yang lainnya).

Muhaqalah diantara pengertiannya adalah akad kerja sama pengelolaan lahan pertanian, di mana pihak pemodal mendapatkan jatah tertentu. Sementara mukhabarah kerja sama pengelolaan lahan dengan pembagian sebagian hasilnya. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/349).

Contoh muhaqalah, kerja sama pengelolaan lahan di mana pemodal mendapat jatah tertentu, misal 3 kwintal beras atau uang 5jt atau semacamnya.

Contoh mukhabarah, kerja sama pengelolaan lahan ditanami berbagai tanaman, misal jagung dan kacang, di mana pemodal minta hasil kacang saja, sementara petani mendapatkan kacang saja.

Praktek seperti ini dilarang, mengingat ada sebagian anggota syirkah yang mendapat jatah khusus yang pasti, sementara hasil dari kelola lahan itu tidak pasti.

Belum tentu hasil bisa di atas 5 juta, juga belum tentu kacang lebih banyak hasilnya dari pada jagung.

Kasus yang semisal, jika dalam kerja sama mudharabah pemodal meminta pembagian tertentu, misal dia minta semua hasil di tahun pertama milik pemodal, sementara hasil di tahun kedua milik pengelola, ini tidak dibolehkan. Melanggar ketentuan di atas. Karena dia meminta sesuatu yang pasti atau jatah lebih awal, sementara tidak diketahui mana yang lebih besar hasilnya, antara tahun pertama dengan tahun kedua.

Dalam kasus di atas,

Pemodal meminta 90% untuk masa usaha 1 tahun pertama, dengan harapan bisa lebih cepat kembali modal (BEP). Menurut kami, ini tidak boleh. Sejenis dengan kasus di atas, pemodal meminta semua hasil di tahun pertama, sementara pengelola di tahun kedua. Tidak bisa dipastikan mana yang hasilnya lebih besar.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Hukum Pencantuman Nama Suami di Belakang Nama Istri


Assalamu ‘alaikum wr. wb.
semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Kami ingin menanyakan tentang hukum pencantuman nama suami di belakang nama istri. Sementara saya pernah mendengar ustadz tidak memperbolehkan pencantuman suami setelah nama istri. Mohon keterangannya. Atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Mahmud/Jakarta)

Jawaban
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa lazimnya nama yang dicantumkan di belakang nama seseorang adalah orang tuanya, terutama bapak kandung yang bersangkutan. Pencantuman itu adakalanya dibubuhi dengan “bin”, “binti”, atau tanpa itu semua. Nama anak itu digandeng langsung dengan nama orang tuanya. Ada juga yang menyandingkan namanya dengan nama kedua orang tuanya sekaligus seperti Abdullah bin Ubay bin Salul.

قوله على ابن أبي وكان رئيس الخزرج وينسب لأيبه وأمه. فأبوه أبي وأمه سلول. وكان اسمه عبد الله اهـ شيخنا

Artinya, “(Abdullah bin Ubay bin Salul) bin Ubay adalah pemuka Khazraj. Ia dinisbahkan kepada bapak dan ibunya. Bapaknya bernama Ubay. Ibunya bernama Salul. Namanya sendiri adalah Abdullah sebagai keterangan guru kami,” (Lihat Syekh Sulaiman Umar Al-Jamal, Al-Futuhatul Ilahiyah bi Taudhihi Tafsiril Jalalain lid Daqa’iqil Khafiyyah, Beirut, Darul Fikr, 2003 M/1423 H, juz III halaman 302).

Pencantuman nama orang tua di belakang nama anak biasanya dipakai untuk sejumlah kepentingan. Salah satunya pencantuman nama itu dimaksudkan untuk penegasan nasab atau hubungan biologis. Karenanya pencantuman nama orang lain yang bukan orang tua kandung di belakang nama seseorang terhitung aib yang sangat tercela dalam Islam seperti disebutkan Rasulullah SAW berikut ini.

عن أبي ذر رضي الله عنه أنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول ليس من رجل ادعى لغير أبيه وهو يعلمه إلا كفر

Artinya, “Dari Abu Dzar, ia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Tiada seorangpun yang menisbahkan diri kepada selain bapaknya dengan sengaja melainkan ia menjadi kufur,’” (HR Bukhari).

Penjelasan hadits di atas diulas oleh Badruddin Al-Aini dalam ‘Umdatul Qari Syarhu Shahihil Bukhari berikut ini.

ويروي إلى غير أبيه قوله وهو يعلمه جملة حالية أي والحال أنه يعلم أنه غير أبيه وإنما قيد بذلك لأن الإثم يتبع العلم وفي بعض النسخ إلا كفر بالله ولم تقع هذه اللفظة في رواية مسلم ولا في غير رواية أبي ذر فالوجه على عدم هذه اللفظة أن المراد بالكفر كفران النعمة أو لا يراد ظاهر اللفظ وإنما المراد المبالغة في الزجر والتوبيخ أو المراد أنه فعل فعلا يشبه فعل أهل الكفر

Artinya, “(Kepada selain bapaknya) dan (dengan sengaja) kalimat hal atau penunjuk waktu kekinian. Artinya ia saat itu sadar bahwa nama penisbahan di belakang namanya itu bukanlah bapaknya. Penisbahan itu dikaitkan dengan kesengajaan karena kesalahan dianggap dosa ketika dilakukan dengan sengaja. Sebagian naskah menyebut, ‘kufur kepada Allah’ yang mana hal ini tidak terdapat dalam riwayat Muslim. Dan tidak ada pada riwayat selain Abu Dzar. Tidak adanya penyebutan ‘kufur kepada Allah’ bisa jadi dipahami sebagai kufur nikmat atau maksudnya tidak seperti yang tertera secara harfiah. Tetapi maksudnya adalah penegasan larangan dan aib atas penisbahan seseorang kepada orang lain yang bukan bapak kandungnya. Hadits itu juga bisa dipahami bahwa penisbahan itu merupakan perilaku yang serupa dengan perbuatan orang kafir,” (Lihat Badruddin Al-Aini, ‘Umdatul Qari Syarhu Shahihil Bukhari, juz 24, halaman 35).

Dalil lain yang diangkat sebagai pengharaman penisbahan nama orang lain adalah Surat Al-Ahzab ayat 5.

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ الله

Artinya, “Kaitkan panggilan mereka (anak-anak angkat) itu dengan nama orang tua kandung mereka. Itu lebih adil statusnya di sisi Allah.”

Ada baiknya kita lihat keterangan singkat Syekh Wahbah Az-Zuhayli perihal ayat ini dalam tafsirnya berikut ini.

انسبوا الأبناء لآبائهم الحقيقيين الذين هم من أصلابهم لا للذين تبنوهم فنسب الابن لأبيه الأصيل هو أعدل حكما

Artinya, “Nisbahkan anak-anak (angkat) itu kepada bapak mereka yang sebenarnya di mana mereka adalah orang tua kandung mereka, bukan kepada orang tua angkat mereka. penisbahan anak kepada bapak kandung itu lebih adil statusnya,” (Lihat Wahbah Az-Zuhayli, At-Tafsirul Wajiz ala Hamisyil Qaur’anil Azhim, Damaskus, Darul Fikr, cetakan kedua 1416 H/ 1996 M, halaman 419).

Namun begitu, penjelasan Sayyid Al-Alusi berikut ini sedikit banyak menjawab masalah yang ditanyakan. Menurutnya, penisbahan nama secara biologis kepada selain orang tua itu dilarang kalau memang dilakukan secara sengaja.

وظاهر الآية حرمة تعمد دعوة الإنسان لغير أبيه ، ولعل ذلك فيما إذا كانت الدعوة على الوجه الذي كان في الجاهلية ، وأما إذا لم تكن كذلك كما يقول الكبير للصغير على سبيل التحنن والشفقة يا ابني وكثيراً ما يقع ذلك فالظاهر عدم الحرمة

Artinya, “Secara lahiriyah, ayat ini mengharamkan dengan sengaja penyebutan nisbah seseorang kepada selain bapaknya. Bisa jadi keharaman itu karena penyebutan nama dilakukan seperti tradisi masyarakat Jahiliyah. Sedangkan panggilan yang berbeda dengan konsep penyebutan nama dalam Jahiliyah seperti bentuk panggilan orang dewasa kepada mereka yang lebih muda dengan sapaan ‘Anakku’ dan banyak sapaan kasih-sayang dan ramah-bersahabat serupa itu, secara lahiriyah tidaklah haram,” (Lihat Sayyid Mahmud Al-Alusi, Ruhul Ma‘ani, Beirut, Daru Ihya’it Turatsil Arabi, tanpa tahun, juz 21, halaman 149).

Berangkat dari berbagai penjelasan di atas, kita mengambil sejumlah kesimpulan. 
Pertama, Islam mengecam keras mereka yang mencantumkan nama orang lain di belakang namanya secara sengaja dengan niat nisbah biologis. Karena perbuatan itu merupakan pengingkaran terhadap bapak kandungnya sendiri. Ini bagian dari kufur nikmat dan kedurhakaan.

Kedua, pencantuman nama suami di belakang nama istri jelas tidak dimaksudkan untuk penisbahan biologis. Dengan demikian boleh saja seorang istri membubuhi nama suami di belakang namanya.

Ketiga, sapaan seseorang yang lebih dewasa kepada mereka yang lebih muda atau sebaliknya dengan kata “Nak”, “Dik”, “Pak”, “Om”, "Tante", “Cing”, “Bu”, “Pak dhe”, atau sapaan serupa lainnya untuk menunjukkan kehangatan dan keakraban dua orang yang sama sekali tidak berkaitan secara biologis, tidak diharamkan seperti penjelasan Al-Alusi di atas.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.


(Alhafiz Kurniawan)

Menikah dengan Saudara Tiri

Bolehkah menikah dengan saudara tiri?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Kami berikan ilustrasi untuk memudahkan dalam memahami siapa yang dimaksud saudara tiri..

Parjio seorang duda, memiliki anak perempuan dari istri pertama, bernama Ani. Ngatiyem seorang janda, memilliki anak laki-laki dari suami pertama, bernama Rudi.

Parjio menikah dengan Ngatiyem, sehingga hubungan Ani dengan Rudi adalah saudara tiri.

Bolehkah mereka menikah?

Allah telah jelaskan siapa saja wanita yang tidak boleh dinikahi lelaki… Allah jelaskan di surat an-Nisa,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ…

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu…” (QS. an-Nisa: 23).

Dalam ayat ini, Allah menyebutkan ada 11 orang yang menjadi mahram kita… siapa saja mereka? anda bisa mempelajarinya di artikel ini:



Adakah saudara tiri di sana?

Jawabannya tidak ada… Tidak ada saudara tiri di sana.

Karena itu, mereka boleh menikah..sebab mereka BUKAN mahram.

Imam Ibnu Baz pernah ditanya tentang hukum menikah dengan saudara tiri..

Jawaban beliau,

ليس هناك حرج إذا تزوج أخو زيد من الأم أخته من الأب ، لا بأس ؛ لأنه ليس بينهما قرابة ، ولم يكن بينهما رضاع .

زيد له أخت من الأب وله أخ من الأم ، فأخوه من الأم ينكح أخته من الأب ، لا بأس به ؛ لأنه ليس بينهما قرابة

Tidak masalah.. ketika saudara seibu dari Zaid menikah dengan saudara sebapak dari Zaid, tidak masalah. Karena keduanya tidak ada hubungan kemahraman, dan keduanya bukan saudara sepersusuan.
Atau Zaid punya saudari sebapak dan punya saudara seibu, tidak jadi masalah. Karena keduanya tidak memiliki hubungan kekerabatan. (Muhadharah wujub al-amal bis sunnah, Imam Ibu Baz)

Fatwa yang semisal disampaikan lembaga fatwa Syabakah Islamiyah,

فلا مانع شرعا أن يتزوج الرجل بأخت أخيه غير الشقيق- من النسب أو الرضاعة- ما داما لم تحصل بينهما المحرمية بسبب آخر لأنه لا علا قة بينهما. فالله تعالى إنما حرم الأخوات بالنسب أو الرضاعة

Tidak masalah seorang lelaki menikah dengan saudari tirinya – baik saudari tiri nasab maupun sepersusuan – selama keduanya tidak memiliki hubungan kemahraman dengan sebab yang lain. Karena tidak ada hubungan antara keduanya. Allah hanya mengharamkan pernikahan dengan saudara perempuan karena nasab atau sepersusuan.

Kemudian dicantumkan firman Allah di surat an-Nisa ayat 23 di atas. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 95208)

Catatan:
Berikut ini BUKAN saudara tiri..

Budi seorang duda, memiliki anak perempuan bernama Rahmah. Lalu Budi menikah lagi dengan Maryam, lalu memiliki anak laki-laki bernama Luqman. Hubungan Rahmah dengan Luqman BUKAN saudara tiri, tapi saudara seBAPAK. Dan mereka mahram, sehingga tidak boleh menikah.

Atau sebaliknya,

Siti seorang janda, memiliki anak perempuan bernama Shofiyah. Lalu Siti menikah lagi dengan Hasan, lalu memiliki anak laki-laki bernama Nurman. Hubungan Shofiyah dengan Nurman BUKAN saudara tiri, tapi saudara seIBU. Dan mereka mahram, sehingga tidak boleh menikah.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Ketika Lupa Jumlah Nominal Utang


Lupa Jumlah Nominal Utang

Bagaimana jika mau bayar utang, tp kita lupa jumlah nominalnya..

Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Sebelumnya kita akan mempelajari bagaimana cara yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyelesaikan sengketa.

Dalam hadits dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu‘anhuma, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِى وَالْيَمِينُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ

“Bukti itu menjadi tanggung jawab penuntut (mudda’i) dan sumpah menjadi pembela bagi yang dituntut (mudda’a ‘alaih).” (HR. Turmudzi 1391, Daruquthni 4358 dan dishahihkan al-Albani).

Pelajaran dari hadis:

Dalam sebuah sengketa, di sana ada 2 pihak,

[1] Pihak yang menuntut. Dialah yang mengajukan klaim. Dalam hadis di atas, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya dengan mudda’i.

[2] Pihak yang dituntut. Dia yang diminta untuk memenuhi klaim. Dalam hadits di atas, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya dengan mudda’a alaih.

Kewajiban dan tanggung jawab masing-masing berbeda,

[1] Untuk pihak penuntut (mudda’i), dia diminta mendatangkan bukti atau saksi.

[2] Untuk pihak yang dituntut (mudda’a alaih), ada 2 kemungkinan posisi;

(a) Jika mudda’i bisa mendatangkan bukti yang bisa diterima, maka dia bertanggung jawab memenuhi tuntutannya.

(b) Sebaliknya, Jika mudda’i tidak bisa mendatangkan bukti yang dapat diterima, maka mudda’a alaih diminta untuk bersumpah dalam rangka membebaskan dirinya dari tuntutan. Jika dia bersumpah maka dia bebas tuntutan.

Kita akan melihat kasus di atas lebih dekat, ketika lupa jumlah nominal utang

Sebagai ilustrasi:

Rudi berutang ke Wawan, dan pernah dicicil sekian ratus ribu. Suatu ketika. Keduanya lupa, berapa nominal nilai utang dan berapa kekurangan cicilannya. Sementara keduanya tidak memiliki bukti.[1]

Penyelesaian Kasus:

Baik Rudi maupun Wawan, mereka yakin bahwa Rudi pernah berutang ke Wawan. Hanya saja mereka lupa berapa nominal utangnya. Dalam kasus ini, yang dijadikan acuan adalah keterangan debitur (Rudi). Karena uang itu terakhir dibawa Rudi. Terdapat kaidah yang mengatakan,

الأصل في كل حادث تقديره بأقرب زمن

Hukum asal, untuk semua kejadian, diasumsikan terjadi pada waktu yang lebih dekat. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah, hlm. 187).

Karena itulah, para ulama mengambil pengakuan Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

إذا اختلف الدائن والمدين ولا بينة لهما، فالقول قول المدين مع يمينه في الصفة، والقدر

Apabila terjadi perbedaan pendapat antara yang memberi utang dan orang yang berutang, sementara keduanya tidak memiliki bukti, maka dimenangkan keterangan pihak yang menerima utang (debitor) terkait kriteria dan kuantitas (barang yang diutang) disertai sumpah. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 3/269).

Pertama, Bagaimana jika kreditor tidak menerima pengakuan debitor?

Rudi menyatakan bahwa utangnya ke Wawan antara 1jt – 1,5jt. Sementara Wawan tidak menerima pengakuan ini, dan mengklaim bahwa nilai utangnya lebih dari 2jt.

Jika Wawan tidak menerima pengakuan Rudi, maka Wawan harus mendatangkan bukti atau saksi. Karena hukum asalnya, Rudi terbebas dari tanggungan.

Az-Zarkasyi rahimahullah mengatakan,

إذا اختلف الغارم والمغروم له في القيمة ، فالقول قول الغارم ؛ لأن الأصل براءة ذمته من الزيادة

Ketika terjadi perbedaan antara kreditor dan debitor mengenai nominal utang, maka yang dikuatkan adalah keterangan debitor. Karena hukum asalnya seseorang terbebas dari beban tambahan utang. (al-Mantsur fi al-Qawaid, 1/150).

Ketika Rudi menyatakan, utangnya tidak lebih dari 1,5jt, jika dia diminta untuk membayar lebih dari itu, harus mendatangkan bukti.

Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan,

الغارم لا يُلزَم بأكثر مما أقرَّ به ؛ لأن الأكثر مما أقرَّ به دعوى تحتاج إلى بينة

Orang yang berutang tidak diwajibkan untuk membayar lebih dari pengakuannya. Karena lebih dari pengakuannya adalah klaim yang butuh bukti. (as-Syarh al-Mumthi’, 8/353).

Hanya saja, Rudi diminta untuk bersikap terbaik, mengambil posisi yakin bahwa tidak ada hak orang lain pada dirinya. Sehingga, ketika dia ragu nominal utangnya antara 1 jt sampai 1,5 jt, lebih baik ia membayar 1,5 jt, agar dia semakin yakin, tidak ada hak orang lain yang belum dia kembalikan.

Kedua, ditagih punya utang tanpa bukti

Ilustrasi: Paijo menagih utang Mukimin senilai 1 juta. Sementara Mukimin merasa tidak ada utang 1 jt ke Paijo. Akhirnya mereka berselisih. Bagaimana cara penyelesaiannya?

Kita akan merunut sebagai berikut:

[1] Hukum asal manusia adalah tidak memiliki utang. Sehingga bebas utang adalah status normal manusia. ketika ada orang mengatakan, si A itu punya utang, berarti ini tidak sejalan kondisi normal. Sehingga tuntutan ini harus mendatangkan bukti.

[2] Kepada Paijo diminta untuk mendatangkan bukti bahwa Mukimin pernah utang 1 juta kepadanya. Jika Paijo punya bukti yang bisa diterima, maka Mukimin wajib bayar utang.

[3] Jika Paijo tidak punya bukti maupun saksi, maka Mukimin diminta bersumpah bahwa dirinya tidak pernah berutang ke Paijo. Jika Mukimin bersumpah, maka dia tidak berkewajiban membayar utang 1 jt itu, dan dalam kasus ini Mukimin dimenangkan.

Ketiga, Mengklaim sudah lunas, kreditor menyatakan belum lunas

Kita ilustrasikan sebagai berikut :

Fafa menagih kekurangan pembayaran utang ke Lala. Tapi Lala mengaku utangnya sudah lunas. Akhirnya keduanya ragu…

Urutan penyelesaian:

Baik Fafa maupun Lala, mereka yakin pernah melakukan transaksi utang-piutang. Dimana Lala pernah utang ke Fafa. Hanya saja, mereka ragu, apakah Lala sudah melunasi utangnya atau belum?

Status utangnya yakin. Status lunasnya, meragukan. Sehingga pengakuan Lala adalah klaim yang butuh bukti. Jika Lala tidak bisa mendatangkan bukti bahwa utangnya telah lunas, maka Fafa cukup bersumpah bahwa utang Lala belum lunas..

Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

إذا كان على الإنسان دين، وشك في تسديده، فالأصل بقاؤه، حتى يتيقن أنه قد سدده

“Bila seseorang memiliki utang, namun dia ragu apakah dia telah melunasinya atau belum, maka hukum asalnya dia masih berutang sampai dia yakin bahwa dia telah melunasinya.” (Fatawa Nur ala ad-Darb, Fatawa Mutafarriqat, Bab at-Taubah, no. 47)

Keempat, Mau melunasi utang, tapi tidak jumpa pemiliknya

Mengembalikan barang atau harta milik orang lain, bisa dilakukan dengan 3 urutan cara berikut:

[1] Dikembalikan ke pemilik langsung. Jika tidak bisa,

[2] Dikembalikan ke ahli waris atau keluarganya. Jika tidak bisa,

[3] Dikembalikan dalam bentuk pahala, dengan cara disedekahkan atas nama pemilik. Meskipun pilihan terakhir ini masih harus menunggu kerelaan pemilik, jika di kemudian hari berhasil dijumpai.

Dalil mengenai hal ini adalah riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Bahwa beliau pernah membeli budak. Ketika beliau masuk rumah untuk menghitung uang pembayarannya, ternyata si penjual budak pergi. Beliau lalu menunggunya, hingga Ibnu Mas’ud putus asa dia akan kembali. Akhirnya Ibnu Mas’ud menyedekahkan uang pembayaran budak itu, dan beliau mengatakan,

اللهم هذا عن رب الجارية، فإن رضي فالأجر له، وإن أتى فالأجر لي وله من حسناتي بقدره

Ya Allah, ini atas nama tuannya si budak. Jika dia ridha, maka dia mendapatkan pahalanya. Namun jika dia datang, pahala itu untukku dan dia berhak mendapat pahalaku senilai sedekah itu. (Madarijus Salikin, 1/388).

Cara ini yang bisa kita jadikan acuan ketika kita hendak melunasi utang, namun kesulitan untuk menemukan pemiliknya.
Jika masih diharapkan bisa ketemu pemilik, harus ditunggu sampai bisa diserahkan ke pemilik.
Jika putus asa bisa bertemu pemilik, dikembalikan ke ahli warisnya.
Jika tidak kenal ahli warisnya satupun, disedekahkan atas nama pemilik.
Jika nanti di kemudian hari bertemu pemilik, dia bisa sampaikan ke pemilik bahwa hartanya telah disedekahkan atas nama dirinya.
Selanjutnya pemilik bisa memilih, jika ridha dengan sedekah itu, dia berhak mendapat pahalanya. Jika tidak, dia berhak untuk tetap menagih utang, dan pahala sedekah menjadi milik yang berutang.

Dalam Fatawa al-Muamalat Syakh Dr. Ali Salman, beliau ditanya tentang orang yang ingin membayar utang, namun kesulitan bertemu pemiliknya. Apa yang harus dilakukan.

Jawaban beliau,

من اقترض مالاً يجب عليه ردُّ مثله إلى من اقترض منه، فإن لم يجده وقت الوفاء لكن يرجو أن يلقاه؛ فعليه أن ينتظر حتى يجده، فإن فقد الأمل في لقائه ردَّه إلى ورثته إن عرفهم، فإن لم يعرفهم تصدَّق به على أهل بلده أو حارته، فإن لم يعرف بلده تصدَّق به على فقراء المسلمين،

Orang yang berutang harta, dia wajib mengembalikannya seperti yang pernah dia utang. Jika tidak menjumpai pemilik ketika melunasi, namun masih ada harapan bertemu pemilik, maka dia wajib menunggunya sampai ketemu pemilik. Jika putus asa untuk bertemu pemilik, dia serahkan ke ahli warisnya, jika kenal. Jika tidak kenal mereka, disedekahkan ke penduduk kampung asal pemilik. Jika tidak diketahui asalnya, bisa disedekahkan kepada fakir miskin.

Beliau melanjutkan,

فإن ظهر صاحب القرض بعد ذلك أخبره بالحال، وأنّه قد تصدَّق به. وصاحب المال بعد ذلك بالخيار: إما أن يعتبر القرض صدقة عنه ويسامح من استقرض منه، وإما أن يطالب المقترض بالمال، وعندها يجب أداؤه إليه

“Jika pemiliknya ketemu setelah itu, maka dia diberi tahu, bahwa hartanya telah disedekahkan dan pemilik harta bisa memilih, dia menerima sedekah tsb atas namanya, dan memaafkan yang berutang. Atau tetap menagih utang dari debitor senilai harta yang pernah diberikan, dan debitor wajib melunasinya.”

(Fatawa al-Muamalah, Syaikh Dr. Ali Salman, no. 28)

Demikian, Allahu a’lam.

[1] Idealnya, dalam utang piutang ada pencatatan. Agar lebih mudah mendapatkan penyelesaian ketika terjadi sengketa.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Harga Kredit Lebih Mahal Dibandingkan Harga Tunai


Jika kita menjual barang dengan variasi harga, dimana harga kredit lebih mahal dibandingkan hrga tunai, apakah ini dilarang?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Kita akan membawa kasus ini kepada hadis yang melarang jual beli 2 harga,

Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِى بَيْعَةٍ


Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli. (HR. Ahmad 9834, Nasai 4649, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِى بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا


Siapa yang melakukan 2 transaksi dalam satu transaksi maka dia hanya boleh mendapatkan kebalikannya (yang paling tidak menguntungkan) atau riba. (HR. Abu Daud 3463, Ibnu Hibban 4974 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Umumnya jual beli kredit memberikan pilihan lebih dari satu harga. Ada harga tunai, dan ada harga kredit dengan rentang waktu tertentu. Harga kredit umumnya lebih mahal dibandingkan harga tunai. Apakah transaksi semacam ini termasuk jual beli 2 harga?

Ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Berikut riciannya,

Pendapat pertama, transaksi kredit tidak diperbolehkan. Karena melanggar hadis jual beli dua harga. Sehingga menurut pendapat ini, jual beli kredit dibolehkan, namun harganya harus sama dengan harga tunai. Jika harganya beda, termasuk riba. Ini merupakan pendapat Hadawiyah – salah satu sekte sufi di Yaman – dan Imam Zainul Abidin Ali bin Husain. (Nailul Authar, 5/214). Dan pendapat ini juga yang dinilai lebih kuat oleh al-Ustadz Abdul Hakim Abdat. (al-Masail, Masalah 571)

Pendapat kedua, transaksi kredit dengan beda harga, dibolehkan.

Ini merupakan pendapat Thawus, al-Hakam, dan beberapa ulama tabiin lainnya.

Ibnu Qudamah menyebutkan riwayat,

قد روي عن طاوس والحكم وحماد أنهم قالوا لا بأس أن يقول أبيعك بالنقد بكذا وبالنسيئة بكذا فيذهب إلى أحدهما


Diriwayatkan dari Thawus, al-Hakam, dan Hammad bahwa mereka mengatakan, ‘Tidak masalah penjual mengatakan, saya jual harga tunai sekian da harga kredit sekian. Kemudian pembeli sepakat dengan salah satu harga.’ (as-Syarhul Kabir, Ibnu Qudamah, 4/33)

Diantara alasan yang mendukung pendapat ini,

[1] Pada hakekatnya bukan termasuk jual beli 2 harga, tapi 1 harga. Pilihan harga yang diajukan penjual sifatnya baru penawaran dan bukan akad. Karena ketika akad, pembeli hanya akan memilih salah satu harga. Sementara yang terhitung sebagai harga adalah saat akad dan bukan saat penawaran.

Sebagai ilustrasi, jika si A menjual HP, lalu datang si B menawar barang… awalnya si A membuka harga 2jt, lalu si B menawar 1jt, hingga akhirnya deal 1,5jt. maka dalam transaksi ini ada 3 harga, 2jt, 1jt, hingga akhirnya deal 1,5jt.

Tapi yang dinilai adalah satu harga, yaitu harga saat deal transaksi, yaitu 1,5jt.

[2] Hakekat dari jual beli 2 harga adalah menjual dengan harga tidak jelas. Dimana penjual memberikan banyak pilihan harga, lalu pembeli mengambil barang, sementara tidak ada kesepakatan harga diantara mereka.

Makna ini yang dinyatakan oleh Turmudzi ketika beliau menjelaskan makna hadis. Turmudzi memberi penjelasan ini dalam kitab jami’nya.

والعمل على هذا عند أهل العلم وقد فسر بعض أهل العلم قالوا بيعتين فى بيعة. أن يقول أبيعك هذا الثوب بنقد بعشرة وبنسيئة بعشرين ولا يفارقه على أحد البيعين فإذا فارقه على أحدهما فلا بأس إذا كانت العقدة على واحد منهما


Para ulama mengamalkan kandungan hadis ini. Sebagian ulama menafsirkan, bahwa dua transaksi dalam satu akad, bentuknya, penjual menawarkan: “Baju ini aku jual ke anda, tunai 10 dirham, dan jika kredit 20 dirham. Sementara ketika mereka berpisah, belum menentukan harga mana yang dipilih. Jika mereka berpisah dan telah menentukan salah satu harga yang ditawarkan, dibolehkan, jika disepakati pada salah satu harga. (Jami’ at-Turmudzi, 5/137).

[3] Ada juga ulama yang memberikan keterangan bahwa maknanya adalah jual beli barang dengan syarat harus membeli barang yang lain. At-Turmudzi menyebutkan keterangan as-Syafi’i,

قال الشافعى ومن معنى نهى النبى -صلى الله عليه وسلم- عن بيعتين فى بيعة أن يقول أبيعك دارى هذه بكذا على أن تبيعنى غلامك بكذا فإذا وجب لى غلامك وجب لك دارى

Imam as-Syafii mengatakan, bagian dari makna larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan 2 jual beli dalam satu jual beli adalah penjual mengatakan, ‘Saya jual rumahku ini dengan harga sekian juta dengan syarat, kamu harus menjual budakmu dengan harga sekian juta. Jika saya boleh membeli budakmu, maka kamu boleh membeli rumahku.’ (Jami’ at-Turmudzi, 5/137)

Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)