Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan

Penukaran Uang Lebaran, Tradisi Riba


RMI Alur Cucur - Assalamualaikum, lebaran biasanya identik dengan pembagian uang THR. banyak pasti diantara kita Penukaran Uang Lebaran, Tradisi Riba. Kan biasanya kita nukar uang lebaran ke BANK, tapi kalau BANK udah pada tutup terpaksa lah.

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du



Allah mengingatkan kepada orang yang beriman, agar setiap kali terjadi benturan antara aturan syariat dengan tradisi, mereka harus mengedepankan aturan syariat.


Alah berfirman,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا


“Demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisa: 65).

Dalam ilmu hukum, kita diajarkan, jika hukum yang lebih rendah bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, maka hukum yang lebih tinggi harus dikedepankan.

Hukum syariat datang dari Allah, sementara hukum tradisi buatan manusia. Secara usia, di tempat kita, hukum syariat lebih tua, dia ditetapkan 14 abad silam. Sementara tradisi, umumnya datang jauh setelah itu.

Secara hierarki, hukum syariat jauh lebih tinggi. Karena Allah yang menetapkan. Karena itulah, tradisi yang melanggar syariat, tidak boleh dipertahankan. Sekalipun itu tradisi pribumi.


Tukar-menukar Uang

Dalam kajian ekonomi islam, kita diperkenalkan dengan istilah barang ribawi (ashnaf ribawiyah).  Dan barang ribawi itu ada 6: emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma, dan garam.

Keenam benda ribawi ini disebutkan dalam hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ


“Jika emas dibarter dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum bur, gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan korma, garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai” (HR. Muslim 4147).

Dalam riwayat lain, Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ


“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, sya’ir (gandum kasar) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, takaran atau timbangan harus sama dan dibayar tunai. Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Ahmad 11466 & Muslim 4148)

Juga disebutkan dalam riwayat dari Ma’mar bi Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«الطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلاً بِمِثْلٍ ». قَالَ وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الشَّعِيرَ.


“Jika makanan dibarter dengan makanan maka takarannya harus sama”. Ma’mar mengatakan, “Makanan pokok kami di masa itu adalah gandum syair” (HR. Muslim 4164).

Berdasarkan hadis di atas,

Dari keenam benda ribawi di atas, ulama sepakat, barang ribawi dibagi 2 kelompok:

Kelompok 1:

Emas dan Perak. Diqiyaskan dengan kelomok pertama adalah mata uang dan semua alat tukar. Seperti uang kartal di zaman kita.

Kelompok  2:

Bur, Sya’ir, Kurma, & Garam. Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang bisa disimpan (al-qut al-muddakhar). Seperti beras, jagung, atau thiwul.


Aturan Baku yang Berlaku

Dari hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ketentuan

1. Tukar menukar itu dilakukan untuk barang yang sejenis


Ada 2 syarat yang harus dipenuhi, wajib sama dan tunai. Misalnya: emas dengan emas, perak dengan perak, rupiah dengan rupiah, atau kurma jenis A dengan kurma jenis B, dst.  dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, harus

مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ


takarannya harus sama, ukurannya sama dan dari tangan ke tangan (tunai).
Dan jika dalam transaksi itu ada kelebihan, statusnya riba. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ


“Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”


2. Barter dilakukan antar barang yang berbeda, namun masih satu kelompok.

Syaratnya satu: wajib tunai. Misal: Emas dengan perak. Boleh beda berat, tapi wajib tunai. Termasuk rupiah dengan dolar. Sama-sama mata uang, tapi beda nilainya. Boleh dilakukan tapi harus tunai.

Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai”

Terdapat kaidah,

إذا بيع ربوي بجنسه وجب التماثل والتقابض، وبغير جنسه وجب التقابض فقط


Apabila barang ribawi ditukar dengan yang sejenis, wajib sama dan tunai. Dan jika ditukar dengan yang tidak sejenis, wajib tunai.


Barter dilakukan untuk benda yang beda kelompok.

Tidak ada aturan khusus untuk ini. Sehingga boleh tidak sama dan boleh tidak tunai. Misalnya, jual beli beras dengan dibayar uang atau jual beli garam dibayar dengan uang. Semua boleh terhutang selama saling ridha.


Tukar Menukar Uang Receh

Tukar menukar uang receh yang menjadi tradisi di masyarakat kita, dan di situ ada kelebihan, termasuk riba. Rp 100rb ditukar dengan pecahan Rp 5rb, dengan selisih 10rb atau ada tambahannya. Ini termasuk transaksi riba. Karena berarti tidak sama, meskipun dilakukan secara tunai.

Karena rupiah yang ditukar dengan rupiah, tergolong tukar menukar yang sejenis, syaratnya 2: sama nilai dan tunai. Jika ada tambahan, hukumnya riba.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ


“Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”


Riba tetap Riba, sekalipun Saling Ridha

Bagaimana jika itu dilakukan saling ridha? Bukankah jika saling ridha menjadi diperbolehkan. Karena yang dilarang jika ada yang terpaksa dan tidak saling ridha.

Dalam transaksi haram, sekalipun pelakunya saling ridha dan ikhlas, tidak mengubah hukum. Karena transaksi ini diharamkan bukan semata terkait hak orang lain. Tapi dia diharamkan karena melanggar aturan syariat.

Orang yang melakukan transaksi riba, sekalipun saling ridha, tetap dilarang dan nilainya dosa besar.

Transaksi jual beli khamr atau narkoba, hukumnya haram, sekalipun pelaku transaksi saling ridha.

Bagaimana dengan firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridha di antara kalian.” (QS. an-Nisa: 29)

Jawab:
Ayat ini kita yakini benar. aturannya juga benar. Namun Saling ridha yang menjadi syarat halal transaksi yang disebutkan dalam ayat ini, berlaku hanya untuk transaksi yang halal. Seperti jual beli barang dan jasa. Sementara transaksi haram, seperti riba, tidak berlaku ketentuan saling ridha. Karena semata saling ridha, tidak mengubah hukum.


Itu Upah Penukaran Uang

Ada yang beralasan, kelebihan itu sebagai upah karena dia telah menukarkan uang di bank. Dia harus ngantri, harus bawa modal, dst. jadi layak dapat upah.

Jelas ini alasan yang tidak benar. Karena yang terjadi bukan mempekerjakan orang untuk nukar uang di bank. tapi yang terjadi adalah transaksi uang dengan uang. Dan bukan upah penukaran uang. Upah itu ukurannya volume kerja, bukan nominal uang yang ditukar.

Misalnya, Pak Bos meminta Paijo menukarkan sejumlah uang ke bank. Karena tugas ini, Paijo diupah Rp 50 rb. Kita bisa memastikan, baik Pak Bos menyerahkan uang 1 juta untuk ditukar atau 2 juta, atau 3 juta, upah yang diserahkan ke Paijo tetap 50 rb. Karena upah berdasarkan volume kerja Paijo, menukarkan uang ini ke bank dalam sekali waktu.

Sementara kasus tukar menukar ini niainya flat, setiap 100rb, harus ada kelebihan 10rb atau 5rb. Ini transaksi riba, dan bukan upah.


Sayangi Pahala Puasa Anda

Riba termasuk salah satu dosa besar. Bahkan salah satu dosa yang diancam dengan perang oleh Allah.

Allah berfiman,

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ


Jika kalian tidak meninggalkan riba, maka umumkan untuk berperang dengan Allah dan Rasul-Nya (al-Baqarah: 279)

Ibnu Abbas menjelaskan ayat ini,

يُقَالُ يَومَ القِيَامَةِ لِآكلِ الرِّبَا: خُذْ سِلَاحَكَ لِلحَرْبِ


Besok di hari kiamat para pemakan riba akan dipanggil, “Ambil senjatamu, untuk perang!” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/716)

Dalam hadis, dosa riba disetarakan seperti berzina dengan ibunya

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبعُونَ بَابًا أَيسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّه


Riba itu ada 73 pintu. Pintu riba yang paling ringan, seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibunya. (HR. Hakim 2259 dan dishahihkan ad-Dzahabi).

Karena itulah, para salaf menyebut dosa riba lebih parah dari pada zina,

Ada pernyataan Ka’ab al-Ahbar,

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً


Satu dirham riba yang dimakan seseorang, sementara dia tahu, lebih buruk dari pada 36 kali berzina. (HR. Ahmad 21957, dan ad-Daruquthni 2880)

Sementara dosa dan maksiat adalah sumber terbesar kegagalan puasa manusia. Dosa merupakan sebab pahala yang kita miliki berguguran. Ketika ramadhan kita penuh dengan dosa, puasa kita menjadi sangat tidak bermutu. Bahkan sampai Allah tidak butuh dengan ibadah puasa yang kita kerjakan.

Semacam inilah yang pernah diingatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis shahih riwayat Bukhari dan yang lainnya, dari sahabat Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ


“Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan semua perbuatan dosa, maka Allah tidak butuh dengan amalnya (berupa) meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR. Bukhari 1903)

Ketika ada orang yang berzina di malam ramadhan, apa yang bisa dibayangkan dengan nasib puasanya?

Bisa jadi hilang semua pahalanya.
Apa yang bisa anda bayangkan, ketika orang melakukan transaksi riba, yang dosanya lebih sangar dari pada zina, dilakukan terang-terangan di siang bolong ramadhan?

Hukum Berdoa di dalam Hati


Pada dasarnya pembicaraan hati tidak termasuk amalan yang tercatat sebagai dosa bagi pelakunya, selama tidak diucapkan atau dilakukan. Karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إن الله تجاوز عن أمتي ما حدثت به نفسها ما لم تتكلم به أو تعمل به

"Sesungguhnya Allah memaafkan apa yang terlintas dalam batin umatku selama belum diucapkan atau belum dilakukan." (Muttafaq Alaihi)

Namun jika ia mampu menahan perbuatan tersebut untuk tidak dilakukan maka tercatat baginya satu pahala kebaikan, Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Sayyidina Abbas radhiallahu’anhuma dari Nabi sallallahu’alahi wasallam,

"Sesungguhnya Allah telah menulis kebaikan dan kejelekan, kemudian menjelaskannya. Barangsiapa yang berkeinginan kuat untuk melakukan kebaikan kemudian tidak bisa melakukannya, maka Allah mencatat disisi-Nya satu kebaikan sempurna. Kalau dia berkeinginan untuk melakukan kebaikan kemudian dia melakukannya, maka disisi-Nya sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kebaikan sampai kebaikan yang banyak sekali. Dan barangsiapa yang berkeinginan kuat untuk melakukan kejelekan, kemudian dia tidak jadi melakukan. Maka Allah mencatat di sisi-Nya satu kebaikan yang sempurna. Jikalau berkeinginan melakukan kejelekan dan melakukannya. Allah mencatatnya dengan satu kejelekan saja."

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Bari (11 / 325) : “ Hadits ini merupakan dalil bahwa Malaikat itu mengetahui apa yang ada dalam hati manusia. Bisa jadi kerena Allah memberitahukan kepadanya atau Allah menciptakan ilmu yang bisa mengetahui hal tersebut. Yang menguatkan pertama adalah apa yang dikeluarkan Ibnu Abu Dunya dari Abu Imron Al-Juni berkata :

" Malaikat dipanggil dan diperintahkan : " Tulislah untuk si fulan ini dan itu, dia berkata : Wahai Tuhanku. Dia belum beramal. Kemudian Allah Berkata : " Dia telah meniatkannya ". dikatakan juga ada malaikat untuk orang yang berkeinginan jelek ada bau busuk dan dengan keinginan baik ada bau wangi. Hal ini seperti yang dikeluarkan oleh Thobari dari Abu Ma'syar Al-Madani dan riwayat seperti ini juga dari Sofyan bin Uyainah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimaiyah pernah ditanya tentang hadits Rasulullah sallallahu'alaihi wasallam : " Jikalau seorang hamba berkeinginan melakukan kebaikan kemudian dia tidak melakukannya, maka dia dicatat baginya satu kebaikan penuh… " Keinginan adalah hal yang tersembunyi antara seorang hamba dengan Tuhan-Nya. Bagaimana Malaikat bisa mengetahuinya ??

Beliau menjawab : " Segala puji hanya milik Allah semata, masalah ini telah dijawab oleh Sofyan bin Uyainah beliau berkata : " Bahwasanya ketika seseorang berkeinginan melakukan kebaikan, Malaikat mencium bau harum dan ketika berkeinginan melakukan kejelekan dia akan mencium bau busuk ".

Yang benar bahwa Allah mampu memberitahukan kepada Malaikat apa-apa yang ada dalam diri seorang hamba bagaimanapun juga caranya "  (Majmu' Fatawa : 4 / 252)

Para ulama menyatakan, "Dalam membaca Alquran seorang harus menggerakkan lidah dan kedua bibirnya. Tanpa melakukan itu maka tidak teranggap sebagai bacaan, namun terhitung sebagai tadabbur atau tafakkur. Oleh karenanya seorang yang sedang junub tidak dilarang membaca Alquran dalam hatinya atau orang yang sedang buang hajat tidak dilarang untuk berzikir dalam hati."

Khusus untuk doa dalam hati; tanpa pengucapan di lisan, kami tidak menemukan dalil terkait hal itu. Akan tetapi terdapat dalil yang menerangkan bahwa berzikir dalam hati adalah amalan berpahala. Dan tidak berlebihan apabila hal ini diqiyaskan dengan doa. Dalam sebuah hadis Qudsi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

"Allah subhanahu wa taala berfirman, "Aku adalah sebagaimana praduga/prasangka hamba-Ku kepada-Ku, Aku senantiasa menyertainya selama dia mengingat-Ku, maka apabila dia mengingat aku dalam hatinya, Akupun mengingatnya dalam hati, dan bila dia mengingat-Ku dalam keadaan ramai, Akupun mengingatnya dalam keadaan ramai, bahkan lebih baik dari pada pengingatannya." (HR. Bukhori dan Muslim)

Ada pernyataan para ulama yang menerangkan pentingnya amalan hati dalam berdoa, dan bahwasanya ucapan lisan hanya sebagai pengikut saja.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan, "Asalnya doa itu muncul dari hati. Adapun ucapan lisan adalah sebagai pengikut hati. Siapa yang menjadikan konsentrasinya saat berdoa pada pembenahan lisan saja, maka akan melemah munajat hatinya. Oleh karena itu seorang yang berada dalam kondisi genting, berdoa dengan hatinya. Sebuah doa yang membuka pintu kesulitan yang ia alami, yang sebelumnya tidak pernah terbetik dalam benaknya." (Majmu Al Fatawa 2/287). (Rujukan: Fatawa Syabakah Islamiyah no. 117527)

Oleh karenanya, setelah kita mengetahui bahwa berdoa dalam hati tercatat sebagai pahala, artinya hukumnya boleh karena diqiyaskan dengan zikir, maka dianjurkan juga untuk mengangkat tangan ketika berdoa, sebaimana ketika memanjatkan doa dengan lisan kita.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

“Sesungguhnya Allah itu sangat pemalu dan Maha Pemurah. Ia malu jika seorang mengangkat kedua tangannya berdoa kepada-Nya, lalu mengembalikannya dalam keadaan kosong dan hampa.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)


Dzikir Dalam Hati

Dzikir dalam hati tanpa gerakan lisan, maka dia akan mendapatkan pahala. Namun pahalanya berbeda dalam pandangan agama dengan orang yang melafadzkan dengan lisannya. Karena pahala berkaitan dengan perkataan yang diucapkannya.

Sementara ucapan tidak akan bisa tanpa melafadzkan dengan lisan. Akan tetapi sebagian ulama' berpendapat bahwa gerakan lisan saja cukup meskipun tidak keluar suara yang bisa didengar orang yang mengucapkannya.

Pendapat ini adalah dari Malikiyah dan dikuatkan oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyah. Ibnu Muflih rahimahullah berkata di kitab : Furu' " ( 1 / 410 ) Syekh kami – yakni Ibnu Taimiyah _ cukup dengan huruf meskipun tidak terdengar suaranya ".

Akan tetapi Jumhur ulama ( kebanyakan ulama' ) berpendapat harus melafadzkan sampai terdengar pada dirinya. Imam Nawawi berkata dalam Syarh Muhaddzab ( 3 / 120 ) menjelaskan: " Kalau sekiranya tidak terdengar maka itu bukan adzan juga buka ucapan "

Beliau juga berkata lagi : “ Ketahuilah bahwa dzikir-dzikir yang dianjurkan oleh agama baik dalam shalat ataupun yang lainnya, baik yang wajib maupun sunnah. Ia tidak dihitung dan tidak dianggap sampai diucapkan dan didengarkan dirinya dalam kondisi pendengarannya baik tidak cacat “ (Al-Adzkar : 42)

Wallahu A'lam.

Apakah Masjid Harus di Tanah Wakaf?


PERTANYAAN : Apakah masjid harus di tanah wakaf? Bolehkah shalat di masjid yang bukan wakaf? Kalo jual beli d masjid yang bukan wakaf bolehkah?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ada 2 hal yang perlu kita bedakan:

Pertama kapan sebuah gedung dan bangunan bisa dimanfaatkan untuk shalat jamaah?

Mayoritas ulama berpendapat bolehnya menyewakan ruangan untuk dijadikan masjid. ini merupakan madzhab Syafiiyah, Malikiyah, dan Hambali. Sementara Abu Hanifah berpendapat,bahwa itu tidak sah.

Ibnu Qudamah mengatakan,

ويجوز استئجار دار يتخذها مسجداً يصلي فيه وبه قال مالك والشافعي وقال أبو حنيفة لا تصح لأن فعل الصلاة لا يجوز استحقاقه بعقد إجارة بحال فلا تجوز الإجارة لذلك، ولنا أن هذه منفعة مباحة يمكن استيفاؤها من العين مع بقائها فجاز استئجار العين لها

Boleh menyewakan ruang untuk dijadikan masjid sebagai tempat shalat. Ini merupakan pendapat Imam Malik, dan as-Syafii. Sementara Abu Hanifah mengatakan, shalatnya tidak sah. Karena amalan shalat, tidak bisa dimiliki melalui akad sewa. Sehingga tidak boleh ada akad sewa untuk hal ini. dan menurut pendapat kami, bahwa gedung yang manfaatnya mubah ini memungkinkan untuk dikembalikan utuh, sehingga boleh saja disewakan untuk dijadikan tempat shalat. (al-Mughni, 6/143).


Apakah masjid dari gedung sewa, berlaku semua hukum masjid?

Dalam fatwa Syabahakh dinyatakan,

أحكام المسجد لا تكون إلا إذا كان المسجد وقفا ، فقد نص الفقهاء على أن من بنى مسجدا وصلى فيه ولم يوقفه فإنه لا يأخذ حكم المسجد حتى يوقفه

Hukum masjid tidak berlaku kecuali jika bangunan masjid itu telah diwakafkan. Para ulama telah menegaskan, bahwa orang yang membangun masjid dan shalat di sana, sementara beum diwakafkan, maka tidak berlaku hukum masjid sampai diwakafkan. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 3752)

Dalam Asna al-Mathalib – kitab Fiqh Madzhab Syafii – dinyatakan,

أما كونه وقفا بذلك فصريح لا يحتاج إلى نية؛ لا إن بنى بناء ولو على هيئة المسجد وقال ( أذنت في الصلاة فيه ) فلا يصير بذلك مسجدا

Jika bentuknya wakaf dengan pernyataan itu, maka jelas, sehingga tidak perlu niat. Tidak termasuk, ketika ada orang yang membangun bangunan seperti bentuk masjid, lalu dia mengatakan, ‘Aku izikan untuk shalat di sini.’ Maka tidak menjadi masjid dengan pernyataan in (karena belum dinyatakan wakaf). (Asna al-Mathalib, 12/446).

Alasan bahwa masjid harus di tanah wakaf, karena ketika masjid sudah diwakafkan maka tidak akan berubah menjadi tempat lainnya. sehingga tidak ada istilah, saat ini masjid, besok berubah menjadi rumah atau toko.

Bisakah gedung yang disewa untuk masjid, diwakafkan sementara?

Ini kembali kepada pembahan hukum wakaf manfaat dan terkait penjelasan ulama mengenai ada tidaknya syarat takbid (permanen) untuk wakaf.

Jumhur ulama mengatakan, wakaf harus takbid (permanen), sehingga tidak ada istilah wakaf sementara.

Sementara Malikiyah mengatakan, boleh wakaf dalam bentuk manfaat sesuatu dan tidak disyaratkan harus permanen. Dan ini juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah..

Syaikhul Islam pernah ditanya tentang hukum wakaf sementara. Jawaban beliau,

يجوز أن يقف البناء الذي بناه في الأرض المستأجرة سواء وقفه مسجدا أو غير مسجد ولا يسقط ذلك حق أهل الأرض، فإنه متى انقضت مدة الإجارة، وانهدم البناء زال حكم الوقف، سواء كان مسجدا أو غير مسجد

Boleh wakaf bangunan yang dibangun di atas tanah sewa, baik wakaf untuk masjid maupun selain masjid. dan hak kepemilikan tanah tidak menjadi gugur. Karena ketika masa sewa telah habis, dan bangunan sudah dirobohkan, status wakaf menjadi tidak berlaku. baik masjid maupun untuk selain masjid. (al-Fatawa al-Kubro, 4/236)

Pendapat ini juga yang menjadi pegangan mayoritas ulama kontemporer dan keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami.

Ketika masjid itu belum diwakafkan, bolehkah jual beli di dalamnya?
Latar belakang terbesar mengenai larangan jual beli di masjid adalah hal itu bisa melalaikan orang untuk berdzikir, mengingat Allah, dan beribadah.

Allah berfirman,

رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (QS. an-Nur: 37).

Karena itu, sekalipun bangunan itu tidak berstatus sebagai masjid, tidak selayaknya berjualan di sana.

Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya mengenai ruko yang dijadikan mushola. Beliau menegaskan,

هذا ليس له حكم المسجد ، هذا مصلى بدليل أنه مملوك للغير وأن مالكه له أن يبيعه ، فهو مصلى وليس مسجدا فلا تثبت له أحكام المسجد

Tempat ini tidak berlaku hukum masjid. ini mushola. Dengan bukti, bangunan ini milik orang tertentu, dan pemiliknya bisa menjualnya. Sehingga dia mushola dan bukan masjid, karena itu tidak berlaku hukum masjid.
Lalu ada yang bertanya,
Bolehkah ada jualan buku-buku kecil atau promosi dagangan di tempat semacam ini?
Jawab beliau,

أرى أنه لا يليق حتى بالمصلى ، لأن هذا يلهي عن ذكر الله ، ويوجب التشويش على من يصلي فيه

Menurutku, tidak selayaknya itu dilakukan, meskipun itu hanya mushola. Karena ini melalaikan orng dari berdzikir kepada Allah, dan mengganggu orang yang shalat di dalamnya. (Fatwa Islam, no. 4399)

Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Bolehkah Menunda Shalat Karena Pekerjaan?

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Soal:
Apa hukum menunda shalat karena pekerjaan?

Jawab:

Jika penundaan shalat tersebut masih dalam rentang awal hingga akhir waktu, dan shalat masih dikerjakan pada waktunya, maka tidak mengapa. Karena menyegerakan shalat di awal waktu adalah perkara afdhaliyah (hal yang utama), tidak sampai wajib. Ini jika tidak ada shalat jama’ah di masjid. Jika ada shalat jama’ah di masjid, maka wajib menghadiri shalat jama’ah. Kecuali bila ia memiliki udzur syar’i untuk tidak menghadiri shalat jama’ah.

Jika penundaan shalat tersebut sampai keluar dari waktunya, maka ini tidak diperbolehkan. Kecuali jika seseorang itu lupa atau tenggelam dalam kesibukannya sehingga terlewat dari shalat, dalam hal ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من نام عن صلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها

Artinya : “barangsiapa yang tertidur hingga ia melewatkan shalat, atau terlupa, maka hendaknya ia shalat ketika ia ingat”

Maka untuk kasus demikian, ketika ia ingat, segeralah ia kerjakan shalat, dan ini tidak mengapa.

Namun jika kasusnya, ia sebenarnya ingat waktu shalat, namun karena alasan sibuk dengan pekerjaan lalu ia tunda shalatnya (hingga keluar dari waktunya) maka ini haram dan tidak boleh. Andaikan ia tetap mengerjakan shalat setelah habis waktunya, shalatnya tetap tidak diterima. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

Artinya : “barangsiapa mengamalkan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka ia tertolak”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa orang yang sengaja menunda shalat sehingga keluar dari waktunya tanpa udzur syar’i maka ia tidak bisa mengganti shalat tersebut. Karena sudah keluar dari waktu yang diperintahkan oleh syariat untuk mengerjakannya tanpa udzur, sehingga ia menjadi amalan yang tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Wallahul muwaffiq.

Hukum Memakai Hena Tangan


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Kaidah yang Allah berikan terkait pakaian wanita di depan umum,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَاوَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. an-Nur: 31)

Ibnu Mas’ud menjelaskan, bahwa perhiasan wanita (bagian yang mengundang perhatian lelaki) itu ada 2:
  1. Perhiasan yang hanya boleh ditampakkan kepada suaminya. seperti gelang, cincin, gelng kaki.
  2. Perhiasan yang boleh dilihat orang lain, itulah luar pakaiannya.
(Tafsir Ibnu Katsir, 6/45)

 Karena itu, termasuk yang tidak boleh ditampakkan adalah punggung telapak tangannya, apalagi ketika dia diberi hena. Karena ini justru semakin menampakkan keindahan.

Imam Ibnu Baz mengatakan,
إذا خضبت يديها أو رجليها، تسترها عن الناس ، تكون ساترة لها بالثياب والملابس لأنها فتنة

Ketika wanita memberi hena untuk tangannya atau kakinya, harus dia menutupinya dari orang lain. Dia tutupi dengan kain atau bajunya, karena bisa mengundang fitnah. (Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, 17/272)

Demikian pula keterangan yang disampaikan Ibnu Utsaimin
يجب أن نعلم أن الحناء من جملة الزينة التي لا يجوز للمرأة أن تبديها لغير من أباح الله لها إبداء الزينة لهم ، أي أنها لا تبديها للرجال الأجانب ، فإذا أرادت أن تخرج إلى السوق مثلاً لحاجة ، فإنه لا بد أن تلبس على قدميها جوربين إذا كانت قد حنت قدميها ، وكذلك بالنسبة للكفين ، لا بد أن تسترهما

Wajib kita ketahui bahwa hena termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan oleh wanita di tempat selain yang Allah bolehkan untuk ditampakkan. Artinya, tidak boleh dia tampakkan di depan lelaki yang bukan mahram. Jika dia butuh berangkat ke pasar, dia harus memakai kaos kaki, jika ada henanya. Demikian pula untuk telapak tangan. Harus dia tutupi.. (Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, 2/7)

Mengenai penjelasan di atas, bahwa menggunakan hena hukumnya boleh, dengan ketentuan:
  1. Bagi yang sudah menikah, sehingga ada tujuan besar, yaitu berhias di depan suami
  2. Hanya ditampakkan di depan suami atau wanita lain.

Allahu a’lam.

Hukum Perceraian atau Talak dalam Islam

RMI Alur Cucur – Pada pembahasan kali ini kita akan membahas mengenai Perceraian Atau Talak dalam Islam. Pada kali ini kita akan mengupas tuntas mengenai permasalahan seputar cerai. Hal Hal yang akan di bahas anatar lain,  Pengertian Cerai/Talak menurut bahasa dan istilah, Dasar hukum (dalil) tentang perceraian, Hukum Cerai, Rukun Perceraian, Jenis Perceraian, Ucapan Talak, Masa Iddah, Prosedur perceraian di pengadilan agama dll. Selengkapnya dapat anda baca dibawah ini :

PENGERTIAN TALAK

  • Pengertian Talak Menurut bahasa adalah melapas, Kata Ath-Thalaq ( الطَّلاَقُ) secara makna bahasa adalah isim mashdar kata Thallaqa (طَلَّقَ), dan suatu isim mashdar menyamai mashdhar dari sisi makna tetapi berbeda dari segi huruf-hurufnya. Makna kata ini diambil dari kata al-ithlaq (الِإطْلاَقُ) yang artinya melepas. Hal itu karena pernikahan adalah ikatan (akad), apabila istri ditalak, lepaslah ikatan (akad) tersebut.

  • Pengertian Talak Menurut Istilah Syariah adalah melepaskan ikatan perkawinan (Arab, اسم لحل قيد النكاح) atau putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri dalam waktu tertentu atau selamanya.
    • Menurut Ulama Mazhab Hanafi dan Hanbali mengatakan bahwa talak adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung untuk masa yang akan datang dengan lafal yang khusus.
    • Menurut mazhab Syafi’i, talak adalah pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan itu.
    • Menurut ulama Maliki, talak adalah suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.
Perbedaan definisi diatas menyebabkan perbedaan akibat hukum bila suami menjatuhkan talak Raj’i pada istrinya. Menurut Hanafi dan Hanbali, perceraian ini belum menghapuskan seluruh akibat talak, kecuali iddah istrinya telah habis. Mereka berpendapat bahwa bila suami jimak dengan istrinya dalam masa iddah, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai pertanda rujuknya suami. Ulama Maliki mengatakan bila perbuatan itu diawali dengan niat, maka berarti rujuk. Ulama syafi’i mengatakan bahwa suami tidak boleh jimak dengan istrinya yang sedang menjalani masa iddah, dan perbuatan itu bukanlah pertanda rujuk. karena menurut mereka, rujuk harus dilakukan dengan perkataan atau pernyataan dari suami secara jelas, bukan dengan perbuatan.

DALIL DASAR HUKUM PERCERAIAN TALAK

Dalam QS Al-Baqarah 2:229

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَن يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Artinya : Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.

Dalam QS At-Talaq 65:1-7

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحۡصُواْ ٱلۡعِدَّةَۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ رَبَّكُمۡۖ لَا تُخۡرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخۡرُجۡنَ إِلَّآ أَن يَأۡتِينَ بِفَٰحِشَةٖ مُّبَيِّنَةٖۚ وَتِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَقَدۡ ظَلَمَ نَفۡسَهُۥۚ لَا تَدۡرِي لَعَلَّ ٱللَّهَ يُحۡدِثُ بَعۡدَ ذَٰلِكَ أَمۡرٗا ١ فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمۡسِكُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ فَارِقُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٖ وَأَشۡهِدُواْ ذَوَيۡ عَدۡلٖ مِّنكُمۡ وَأَقِيمُواْ ٱلشَّهَٰدَةَ لِلَّهِۚ ذَٰلِكُمۡ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢ وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَيۡءٖ قَدۡرٗا ٣ وَٱلَّٰٓـِٔي يَئِسۡنَ مِنَ ٱلۡمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمۡ إِنِ ٱرۡتَبۡتُمۡ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشۡهُرٖ وَٱلَّٰٓـِٔي لَمۡ يَحِضۡنَۚ وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مِنۡ أَمۡرِهِۦ يُسۡرٗا ٤ ذَٰلِكَ أَمۡرُ ٱللَّهِ أَنزَلَهُۥٓ إِلَيۡكُمۡۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يُكَفِّرۡ عَنۡهُ سَيِّ‍َٔاتِهِۦ وَيُعۡظِمۡ لَهُۥٓ أَجۡرًا ٥ أَسۡكِنُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن وُجۡدِكُمۡ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُواْ عَلَيۡهِنَّۚ وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَ‍َٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأۡتَمِرُواْ بَيۡنَكُم بِمَعۡرُوفٖۖ وَإِن تَعَاسَرۡتُمۡ فَسَتُرۡضِعُ لَهُۥٓ أُخۡرَىٰ ٦ لِيُنفِقۡ ذُو سَعَةٖ مِّن سَعَتِهِۦۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُۥ فَلۡيُنفِقۡ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَاۚ سَيَجۡعَلُ ٱللَّهُ بَعۡدَ عُسۡرٖ يُسۡرٗا ٧

Artinya:
  1. Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru

  2. Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar

  3. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu

  4. Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya

  5. Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya

  6. Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya

  7. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan

HUKUM CERAI/TALAK

Hukum talak/perceraian itu beragam: bisa wajib, sunnah, makruh, haram, mubah. Rinciannya sbb:

HUKUM TALAK/CERAI ITU WAJIB APABILA:
a) Jika suami isteri tidak dapat didamaikan lagi
b) Dua orang wakil daripada pihak suami dan isteri gagal membuat kata sepakat untuk perdamaian rumahtangga mereka
c) Apabila pihak pengadilan berpendapat bahawa talak adalah lebih baik Jika tidak diceraikan dalam keadaan demikian, maka berdosalah suami

HUKUM TALAK/CERAI ITU HARAM APABILA:
a) Menceraikan isteri ketika sedang haid atau nifas
b) Ketika keadaan suci yang telah disetubuhi
c) Ketika suami sedang sakit yang bertujuan menghalang isterinya daripada menuntut harta pusakanya
d) Menceraikan isterinya dengan talak tiga sekaligus atau talak satu tetapi disebut berulang kali sehingga cukup tiga kali atau lebih

HUKUM TALAK/CERAI ITU SUNNAH APABILA:
a) Suami tidak mampu menanggung nafkah isterinya
b) Isterinya tidak menjaga martabat dirinya

TALAK/CERAI HUKUMNYA MAKRUH APABILA:
Suami menjatuhkan talak kepada isterinya yang baik, berakhlak mulia dan mempunyai pengetahuan agama

TALAK/CERAI HUKUMNYA MUBAH APABILA
Suami lemah keinginan nafsunya atau isterinya belum datang haid atau telah putus haidnya

RUKUN PERCERAIAN / TALAK

Ada 2 faktor dalam perceraian yaitu suami dan istri. Masing-masing ada syarat sahnya perceraian.
  1. Rukun Talak bagi Suami
    • Berakal sehat
    • Baligh
    • Dengan kemauan sendiri

  2. Rukun Talak bagi Isteri
    • Akad nikah sah
    • Belum diceraikan dengan talak tiga oleh suaminya

  3. Lafadz/teks talak:
    • Ucapan yang jelas menyatakan penceraiannya
    • Dengan sengaja dan bukan paksaaan

JENIS PERCERAIAN/MACAM-MACAM TALAK

TALAK MENURUT LAFALNYA

  • Talak dengan lafal shorih (jelas) yaitu ucapan talak yang tidak harus disertai niat
Contoh: suami berkata kepada isterinya; “kamu saya talak” perkataan seperti ini adalah jelas. Maka tidak diperlukan niat. Ucapan suami yang seperti ini baik bergurau, niat ataupun tidak ada niat tetap dapat menjatuhkan talak.
  • Talak dengan lafal kinayah (sindiran)yaitu ucapan talak yang bisa jatuh jika disertai niat.
Contoh: suami berkata: “pulanglah engkau kerumah orang tuamu.” Jika suami berkata dengan sindiran, dan disertai niat, maka jatuhlah talaknya, tetapi jika tidak disertai niat maka tidak jatuh talak.

TALAK MENURUT WAKTUNYA

  • Talak Sunni yaitu talak yang dijatuhkan pada saat isteri dalam keadaan suci (setelah selesai haid) dan belum di kumpuli (disetubuhi)
  • Talak Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan pada saat isteri sedang dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri (disetubuhi) talak seperti ini hukumnya haram.

TALAK MENURUT JENISNYA

  • Talak Mati yaitu talak yang disebakan karena suami meninggal dunia
  • Talak Hidup yaitu yang dikarenakan oleh suatu sebab
  • Talak Roj’i yaitu talak yang masih diperbolehkan rujuk kembali
  • Talak Ba’in yaitu talak yang tidak diperbolehkan untuk rujuk kembali, jika menginginkan untuk dikawini harus dengan jalan akad nikah baru.
    • Talak ba’in sughra (kecil)yaitu talak ba’in yang jika ingin dikawini lagi, harus dengan jalan akad nikah yang baru tanpa ada syarat yang beratContoh: talak satu atau dua yang sudah habis masa iddahnya
    • Talak ba’in kubra (besar)yaitu talak ba’in yang jika ingin kawin lagi, harus dengan jalan akad nikah baru, dan dengan syarat yang berat.Sudah jatuh talak ketiga, jika ingin kawin lagi tidak diperbolehkan, kecuali bekas isteri sudah dinikahi oleh orang lain, sudah ditalak dan telah habis masa iddahnya dan sudah pernah berhubungan layaknya suami isteri.

TALAK MENURUT PELAKU PERCERAIAN

  • Talak yang dijatuhkan suami kepada istri
  • Talak yang dijatuhkan Istri Kepada Suami / GUGAT CERAI Yaitu perceraian yang dilakukan oleh istri kepada suami. Cerai model ini dilakukan dengan cara mengajukan permintaan perceraian kepada Pengadilan Agama. Dan perceraian tidak dapat terjadi sebelum Pengadilan Agama memutuskan secara resmi.Ada dua istilah yang dipergunakan pada kasus gugat cerai oleh istri, yaitu fasakh dan khulu’:

    1. Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi di mana:
      • Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut; Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita (meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya);
      • Suami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya (sebelum terjadinya hubungan suamii istri);
      • Adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri. Jika gugatan tersebut dikabulkan oleh Hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka Hakim berhak memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan antara keduanya.

    2. Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami. Khulu’ disebut dalam QS Al-Baqarah 2:229
Efek Hukum dari gugat cerai oleh istri baik Fasakh maupun Khulu’ adalah talak Ba’in shughra (talak ba’in kecil). TALAK BA’IN SHUGHRA adalah hilangnya hak rujuk pada suami selama masa ‘iddah. Artinya, apabila lelaki tersebut ingin kembali kepada mantan istrinya maka ia diharuskan melamar dan menikah kembali dengan perempuan tersebut. Sementara itu, istri wajib menunggu sampai masa ‘iddahnya berakhir apabila ingin menikah dengan laki-laki yang lain.

BEDA TALAK RAJ’I, TALAK BA’IN SUGHRA, TALAK 3 (BA’IN KUBRO)

Dari seluruh uraian seputar talak/perceraian di atas dapat disimpulkan bahwa talak ada 3 macam yaitu : Talak Raj’i, Talak Ba’in Sughra (kecil) dan Talak Ba’in Kubra adalah sbb:
  1. Talak Raj’i (Rujuk) Adalah cerai talak oleh suami dengan level talak 1 (satu) dan talak 2 (dua). Dengan status Talak Raj’i, maka suami boleh rujuk atau kembali pada istri yang dicerainya selama masa iddah tanpa harus akad nikah baru. Namun apabila keinginan rujuk tersebut setelah masa iddah habis, maka harus diadakan akad nikah baru.
  2. Talak Ba’in Sughra (Kecil) adalah perceraian yang disebabkan oleh gugat cerai oleh istri baik dengan cara fasakh atau khuluk. Dalam kondisi ini, maka (a) suami tidak boleh rujuk pada istri selama masa iddah; dan (b) suami boleh kembali ke istri setelah masa iddah habis dengan akad nikah yang baru.
  3. Talak 3 (Tiga) atau Talak Ba’in Kubro adalah perceraian di mana suami sama sekali tidak boleh rujuk atau kembali pada istrinya walaupun masa iddah sudah habis kecuali setelah istri menikah dengan laki-laki lain dan beberapa saat (bulan/tahun) kemudian pria kedua tersebut menceraikannya.

IDDAH (Massa Tunggu)

Iddah adalah masa tunggu bagi istri yang dicerai talak oleh suami atau karena gugat cerai oleh istri. Dalam masa iddah, seorang perempuan yang dicerai tidak boleh menikah dengan dengan siapapun sampai masa iddahnya habis atau selesai. Bagi istri yang ditalak raj’i (talak satu atau talak dua) maka suami boleh kembali ke istri (rujuk) selama masa iddah tanpa harus ada akad nikah baru. Sedangkan apabila suami ingin rujuk setelah masa iddah habis, maka harus ada akad nikah yang baru. Rincian masa iddah sbb:
  • Perempuan yang ditinggal mati suaminya, maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, baik sang isteri sudah dicampuri (hubungan intim) atau belum (QS Al-Baqarah 2:234).
  • Istri yang dicerai saat sedang hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan (QS At-Talaq 65:4).
  • Istri yang ditalak tidak dalam keadaan hamil dan masih haid secara normal, maka masa iddahnya tiga kali haid yang sempurna(QS Al-Baqarah 2:228).
  • Jika wanita yang dijatuhi talak itu masih kecil, belum mengeluarkan darah haid atau sudah lanjut usia yang sudah manopause (berhenti masa haid), maka iddahnya adalah tiga bulan (At-Thalaq 65:4).
  • Wanita yang pernikahannya Fasakh/dibatalkan dengan cara khulu’ atau selainnya, maka cukup baginya menahan diri selama satu kali haid.
  • Wanita yang dicerai-talak sebelum ada hubungan intim, maka tidak ada masa iddah.

PROSEDUR PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA

Ada beberapa tahapan dalam melakukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama baik menyangkut cerai talak oleh suami atau cerai gugat oleh istri sbb:

PROSES CERAI TALAK OLEH SUAMI DI PENGADILAN AGAMA Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau Kuasanya:

A) Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989);
  1. Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah tentang tata cara membuat surat permohonan (Pasal 119 HIR, 143 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989);
  2. Surat permohonan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan petitum. Jika Termohon telah menjawab surat permohonan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Termohon.
B) Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah :
  1. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989);
  2. Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989);
  3. Bila Termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989);
  4. Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 66 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989).
C) Permohonan tersebut memuat :
  1. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon;
  2. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
  3. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
D) Permohonan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan (Pasal 66 ayat (5) UU No. 7 Tahun 1989).

E) Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).

F) Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 121, 124, dan 125 HIR, 145 R.Bg).

Proses Penyelesaian Perkara

a) Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah.
b) Pemohon dan Termohon dipanggil oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah untuk menghadiri persidangan.
c) Tahapan persidangan :
  1. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
  2. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003);
  3. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg). Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah atas permohonan cerai talak sebagai berikut :
  4. Permohonan dikabulkan. Apabila Termohon tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syarhah tersebut;
  5. Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah tersebut;
  6. Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan permohonan baru.
d). Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka :
  1. Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak;
  2. Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah memanggil Pemohon dan Termohon untuk melaksanakan ikrar talak;
  3. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar talak didepan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan hukum yang sama (Pasal 70 ayat (6) UU No. 7 Tahun 1989).
e) Setelah ikrar talak diucapkan panitera berkewajiban memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989);

PROSES GUGAT CERAI OLEH ISTRI DI PENGADILAN AGAMA

Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (Istri) atau kuasanya :

A) Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989);
  1. Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah tentang tata cara membuat surat gugatan (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989);
  2. Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.
B) Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah;
  1. Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo Pasal 32 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974);
  2. Bila Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (2) UU No.7 Tahun 1989);
  3. Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’aah yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat (3) UU No.7 Tahun 1989).
C) Permohonan tersebut memuat :
  1. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon;
  2. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
  3. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
D) Gugatan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989).

E) Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).

F) Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 121, 124, dan 125 HIR, 145 R.Bg).

Proses Penyelesaian Perkara

a) Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah
b) Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syar’iah untuk menghadiri persidangan
c) Tahapan persidangan :
  1. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
  2. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003);
  3. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg); Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah atas permohonan cerai gugat sebagai berikut :
    • Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah tersebut;
    • Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah tersebut;
    • Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru.
  4. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera Pengadilan agama/mahkamah syar’iah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.

Hal-Hal Yang Terjadi Akibat Perceraian (Talak)

Hadhanah yaitu mengasuh atau mendidik anak yang belum mengerti tentang sesuatu yang baik untuknya, atau yang membahayakan dirinya. Dalam uraian kewajiban suami isteri adalah mendidik dan memelihara anaknya, permasalahan yang timbul disini kalau terjadi perceraian antara suami isteri, siapakah yang lebih berhak untuk mengasuh anaknya.

Sabda Rasulullah saw yang artinya :“Diceritakan dari Umar bin Suaib dari ayah dan kakeknya, sesungguhnya suatu hari ada seorang perempuan datang menemui Rasulullah: Ya Rasulullah anak ini saya kandung, saya susui, saya besarkan, sedangkan ayahnya menceraikan saya dan akan mengambil anak ini dari saya, Rasulullah menjawab : engkau lebih berhak mengasuh anak ini sebelum kamu menikah.” (HR. Abu Dawud)

Dari hadist tersebut dapat disimpulkan bahwa :
  1. Orang yang paling berhak mengasuh anak adalah ibunya, selama anak tersebut masih kecil dan belum cakap, mengenai pemeliharaan ditanggung ayahnya.
  2. Apabila ibu telah menikah hak mengasuh ada pada ayahnya.
  3. Apabila anak telah dewasa dan mengerti apa yang baik untuk dirinya, maka ia diberi kebebasan untuk memilih antara ibu dan ayahnya. Sabda Rasulullah yang artinya : “Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW berkata, seorang anak diberi kebebasan memilih antara ayah dan ibunya.” (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi).
Syarat bagi orang yang memiliki hak asuh :
  1. Berakal sehat
  2. Merdeka
  3. Beragama Islam
  4. Dapat memelihara kehormatan anak yang diasuh
  5. Dapat dipercaya
  6. Berdomisili (tinggal) di wilayah anak tersebut diasuh
  7. Tidak memiliki suami
Demikianlah pembahasan Talak /Cerai yang selengkap-lengkapnya dapat kami sampaikan, mohon maaf jika ada yang kurang ataupun kesalahan!

--------------------------------------------------------------
Referensi/Rujukan :
  • Kitab Al-Umm oleh Imam Syafi’i
  • Kitab Al-Majmuk Syarah Muhadzab oleh Imam Nawawi
  • Kitab Fathul Wahhab oleh Abu Zakariya Al Anshari.
  • Kitab Fathul Qorib oleh Al-Ghazi

Meminjam Uang Bank Untuk Usaha


Bagaimana hukumnya kalau kita utang di BANK dengan tujuan Mengembangkan Usaha. Apakah ini termasuk hutang yang dilarang agama?
Disebutkan dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ، وَشَاهِدَيْهِ، وَكَاتِبَهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang makan riba, pemberi makan riba, dua saksi transaksi riba, dan orang mencatat transaksinya.” (HR. Turmudzi, Ibnu Majah dan disahihkan Al-Albani)

Dalam riwayat yang lain, dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَةً: آكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat 10 orang: pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksi transaksi riba, dan orang mencatat transaksinya.” (HR. Ahmad 635).

Dalam riwayat Baihaqi terdapat tambahan:

وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan: “Mereka semua sama.” (Baihaqi dalam As-Shugra, 1871).

Siapakah pemberi makan riba?

Dalam Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud dinyatakan:

وَموكِلَهُ أَيْ مُعْطِيَهُ لِمَنْ يَأْخُذُهُ

“Pemberi makan” maksudnya yang memberikan riba kepada orang yang mengambilnya. (Aunul Ma’bud, 9:130)

Dan masih banyak penjelasan lainnya, yang semuanya memberikan kesimpulan bahwa “pemberi makan riba” adalah nasabah yang berutang ke rentenir atau bank. Konsekuensinya, dia harus memberikan bunga kepada bank. Meskipun dia sama sekali tidak makan riba itu, tapi bank-lah yang makan.

Al-Khatib mengatakan,

سوى بينهما في الوعيد لاشتراكهما في الفعل وتعاونهما عليه وإن كان أحدهما مغتبطا والآخر مهتضما

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ancaman yang sama pada keduanya, karena mereka sama-sama terlibat dalam perbuatan itu (transaksi riba) dan saling membantu untuk melakukannya. Meskipun yang satu untung dan yang satu terzalimi.” (Faidhul Qadir, 1:53)

Berdasarkan kesimpulan di atas, meminjam dari bank meskipun untuk tujuan usaha yang halal, statusnya terlarang. Karena bagaimanapun bank akan mempersyaratkan riba, meskipun bisa jadi usahanya untung besar, dan bisa menutupi cicilan bank. Namun hakikatnya itu bukan bagi hasil, tapi itu riba yang telah ditetapkan nilainya di awal transaksi. Sebagai orang yang beriman, tentu kita tidak ingin mendapatkan laknat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Perayaan Malam 27 Rajab Dan Nishfu Sya’ban?


Pada malam 27 Rajab dan malam Nishfu Sya'ban, kaum Muslimin setiap tahun rutin mengadakan perayaan pada kedua hari tersebut. Ada apa dengan dua perayaan tersebut?

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

(Ketua Komisi Tetap bidang Penelitian dan Fatwa Islam, Saudi Arabia)

Persoalan :
Terkait dengan malam 27 Rajab dan malam Nishfu Sya’ban, kaum Muslimin setiap tahun rutin mengadakan perayaan pada kedua hari tersebut. Biasanya dalam perayaan tersebut disuguhkan makan-makanan. Apa pendapat anda mengenai amalan ini?

Jawab:
Keduanya adalah perkara baru dalam agama, yaitu perayaan Nishfu Sya’ban dan perayaan malam 27 Rajab. Keduanya adalah perkara baru dalam agama yang tidak ada dalilnya. Dan tidak ada dalil shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa malam 27 Rajab itu adalah malam Isra Mi’raj. Bahkan ini juga tidak disebutkan dalam hadits-hadits yang tidak shahih menurut para ulama. Andaipun shahih bahwasanya 27 Rajab adalah malam Isra Mi’raj maka tidak boleh membuat perayaan khusus. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya tidak pernah merayakannya.

Padahal Rasulullah adalah teladan kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik bagi kalian” (QS. Al Mumtahanah: 6).

Maksudnya, dalam mencontoh perbuatan beliau dan dalam meninggalkan hal-hal yang beliau tinggalkan. Jika Rasulullah tidak mengerjakannya, maka kita tidak mengerjakan. Jika Rasulullah mengamalkannya, maka kita mengamalkannya. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada beliau.

Maka perayaan Nishfu Sya’ban, perayaan malam 27 Rajab dengan keyakinan bahwa itu adalah malam Isra Mi’raj, juga perayaan Maulid Nabi pada tanggal 12 Rabiul Awwal, atau Maulid-Maulid yang lain semacam Maulid Badawi, Maulid Husain, Maulid Abdul Qadir Jailani, atau Maulid Fulan dan Fulan, semua ini tidak diperbolehkan. Dan semua ini termasuk sikap menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani dalam perayaan-perayaan mereka.

Sedangkan Nabi Shallallahu’alahi Wasallam melarang menyerupai mereka. Beliau Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:

من تشبه بقوم فهو منهم

“barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia bagian dari kaum tersebut” (HR. Ahmad no. 5093).

Maka tidak layak bagi kaum Muslimin untuk menyerupai musuh-musuh Allah dalam perkara-perkara ini atau pun perkara yang lain.

Andaikan merayakan malam Nishfu Sya’ban adalah perkara yang disyariatkan maka tentu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam akan bersegera melakukannya, karena beliau adalah sayyid dari manusia, makhluk Allah yang paling utama, dan penutup para Rasul Allah. Dan tentu beliau akan menunjukkan kepada umatnya dan mengajarkannya.

Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah manusia yang paling bersemangat memberikan nasehat dan beliau adalah pemberi nasehat yang terpercaya. Tidak ada kebaikan kecuali pasti akan beliau ajarkan kepada umatnya. Dan tidak ada keburukan kecuali pasti akan beliau beri peringatan untuk menjauhinya.

Sebagaimana dalam riwayat shahih dari Abdullah bin Umarradhiallahu’anhuma, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda:

ما بعث الله من نبي إلا كان حقاً عليه أن يدل أمته على خير ما يعلمه لهم وينذرهم شر ما يعلمه لهم

“Tidaklah Allah mengutus Nabi kecuali ia diberi kewajiban untuk menunjukkan kepada kebaikan dari apa yang ia ketahui dan memperingatkan dari keburukan dari apa yang ia ketahui” (HR. Muslim no. 1844).

Dan Nabi kita adalah Nabi yang paling sempurna, paling utama dan penutup para Nabi, tidak ada Nabi lagi setelah beliau. Maka beliau adalah orang yang paling layak disematkan sifat tersebut, yaitu tidak ada kebaikan kecuali pasti beliau ajarkan dan tidak ada keburukan kecuali pasti akan beliau beri peringatan untuk menjauhinya.

Andaikan peringatan malam Nishfu Sya’ban atau Maulid Nabi atau malam 27 Rajab itu perkara yang disyariatkan, maka tentu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam akan bersegera melakukannya. Baik berupa perkataan beliau, maupun perbuatan beliau, dan sungguh beliau akan mengajarkan hal tersebut kepada umatnya.

Andai beliau pernah melakukannya, tentu para sahabat Nabi akan menukilkannya. Karena mereka adalah orang-orang yang paling amanah dan mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para Nabi. Dan mereka jugalah yang telah menukilkan Al Qur’an kepada kita semua. Mereka juga yang telah menukilkan As Sunnah yang shahih kepada kita. Mereka adalah para pemimpin dan para teladan setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Maka tidak boleh kita menyelisihi mereka dan membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak pernah mereka lakukan, baik berupa taqarrub atau bentuk ketaatan lainnya.

Kemudian para tabi’in yang mengikuti jalannya para sahabat Nabi dengan baik, mereka tidak pernah merayakan perayaan-perayaan tersebut. Andaikan para sahabat pernah melakukannya, maka tentu para tabi’in akan melakukannya juga. Kemudian para tabi’ut tabi’in, mengapa mereka juga tidak pernah melakukannya? Dalam tiga generasi utama ini tidak ada perayaan Maulid Nabi, atau malam Nishfu Sya’ban, atau malam 27 Rajab. Dari ini bisa kita ketahui bahwa perayaan-perayaan ini adalah perkara baru dalam agama yang dibuat-buat oleh orang.

Lalu andaikan ada yang membuat-buat perkara baru dalam agama, pada kurun kedua (generasi tabi’in) atau pada kurun ketiga (generasi tabi’ut tabi’in), maka itu pun tidak menjadi hujjah (dalil). Karena yang bisa menjadi dalil adalah apa yang dilakukan oleh NabiShallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Namun, perkara-perkara baru dalam agama yang sedang kita bahas ini (Maulid Nabi, malam Nishfu Sya’ban, malam 27 Rajab) tidak pernah dilakukan di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, atau pada kurun pertama, atau kurun kedua, atau pun kurun ketiga. Namun ini semua mulai muncul di kurun keempat.

Demikianlah yang kita katakan untuk semua perkara baru dalam agama. Wajib untuk meninggalkannya dan memperingatkan orang untuk tidak melakukannya. Diantara bentuknya adalah peringatan Isra Mi’raj, peringatan malam 27 Rajab, peringatan malam Nishfu Sya’ban, demikian juga apa yang disebut dengan shalat Raghaib. Mereka menamai shalat tersebut dengan shalat Raghaib dan melakukannya pada hari Jum’at pertama pada bulan Rajab, ini juga suatu perkara baru dalam agama.

Perkara baru dalam agama itu banyak di tengah masyarakat. Kita memohon kepada Allah agar Ia menjaga kaum Muslimin dari perkara-perkara tersebut dan agar Ia memberikan karunia berupa ilmu dan fiqih kepada kaum Muslimin, dan memberi mereka taufik untuk berpegang kepada Sunnah, dan merasa cukup dengan Sunnah Nabi serta menjauhkan diri dari perkara baru dalam agama.

***
Sumber: Alifata.net
Penerjemah: Yulian Purnama

Hukum Kentut Saat Membaca Al-Qur’an


Kentut Ketika Membaca al-Qur’an

Pertanyaan : Ketika sedang membaca al-Quran, kita ngentut. Apa yang harus dilakukan? Apakah harus dihentikan?


Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Ada 3 hal yang perlu dibedakan,
  1. Membaca al-Quran dalam kondisi hadats kecil, dengan catatan, tanpa menyentuh. Seperti membaca dengan hafalan
  2. Mengentuh al-Quran dalam kondisi hadats kecil
  3. Membaca al-Quran dalam kondisi hadats besar

Untuk membaca al-Quran dalam kondisi hadats kecil

Baik hadats kecil yang muncul sebelum membaca atau di tengah membaca. Ulama sepakat hukumnya dibolehkan, selama tidak menyentuh mushaf.

An-Nawawi menuliskan,

يستحب أن يقرأ وهو على طهارة فإن قرأ محدثا جاز بإجماع المسلمين والأحاديث فيه كثيرة معروفة


Dianjurkan untuk membaca al-Quran dalam kondisi suci. Jika ada yang membaca al-Qur’an dalam kondisi hadats kecil, hukumnya boleh dengan sepakat kaum muslimin. Hadis tentang ini banyak sekali, terkenal.

Bahkan orang yang membaca al-Quran dalam kondisi hadats, tidak disebut mengamalkan yang makruh. An-Nawawi melanjutkan keterangannya dengan menukil pernyataan Imam al-Haramain

قال إمام الحرمين ولا يقال ارتكب مكروها بل هو تارك للأفضل فإن لم يجد الماء تيمم


Imam al-Haramain mengatakan, “Tidak bisa disebut melakukan yang makruh” (at-Tibyan, hlm. 73).

Diantara dalil yang menunjukkab bolehnya membaca al-Quran dalam kondisi hadats adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau bercerita,
Bahwa beliau pernah tidur di rumah Maimunah – istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –, yang merupakan bibinya Ibnu Abbas. Ketika masuk tengah atau sepertiga malam terakhir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun. Beliau duduk, mengusap aroma kantuk dari wajah beliau, kemudian beliau membaca 10 ayat terakhir di surat Ali Imran. Kemudian beliau menuju wadah air yang digantung, lalu beliau wudhu sempurna dan shalat tahajud. (HR. Bukhari 4295 & Muslim 763)

Ketika bangun tidur, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi hadats. Namun beliau langsung membaca al-Quran, 10 ayat terakhir surat Ali Imran. Para ulama memahami hadis ini, boleh membaca al-Quran dalam kondisi hadats.

Imam Bukhari membuat judul Bab ketika mencantumkan hadis ini,

بَاب قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ بَعْدَ الْحَدَثِ وَغَيْرِهِ


Bab bacaan al-Quran ketika dalam kondisi hadats atau yang lainnya. (Shahih Bukhari, 1/327).

Sementara untuk masalah menyentuh al-Quran pada saat hadats dan membaca al-Qur’an bagi yang hadats besar, diperselisihkan ulama.

Jika kita mengambil pendapat yang melarang menyentuh al-Quran bagi yang sedang hadats, maka begitu hadats, al-Quran harus kita letakkan di tempat yang aman. Meskipun bacaan tetap dilanjutkan.

Berhenti Sejenak, Ketika Kentut Keluar

Kemudian, sebagian ulama mengingatkan, pada saat kentut itu keluar, agar bacaan al-Quran sementara dihentikan, kemudian dilanjutkan kembali setelah kentut selesai.

Imam az-Zarkasyi mengatakan,

وتكره القراءة حال خروج الريح


“Dimakruhkan untuk terus membaca ketika kentut keluar.” (al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, 1/459).

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Hukum Mewarnai Rambut Sebelum Beruban

 

Pertanyaan : Bismillah, bagaimana hukum mewarnai rambut bagi orang yang tidak beruban? Apakah hal tersebut dilarang? Jazakallahu khoir.

Dari Umi Nur



Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Larangan mewarnai rambut yang disebutkan dalam hadis adalah menyemir dengan warna hitam. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِى آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لاَ يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ


Akan ada sekelompok kaum di akhir zaman, yang mereka menyemir rambutnya dengan warna hitam. Seperti bulu tembolok merpati. Mereka tidak mendapatkan bau surga. (HR. Abu Daud 4214 dan dishahihkan al-Albani)

Dalam salah satu fatwanya, Lajnah Daimah menjelaskan tentang hukum menyemir rambut bagi anak muda, sekalipun belum beruban.

تغيير الشعر بغير السواد لا حرج فيه ، وكذلك استعمال مواد لتنعيم الشعر المجعد ، والحكم للشباب والشيوخ في ذلك سواء


Mengubah warna rambut dengan selain hitam, dibolehkan. Demikian pula menggunakan obat untuk meluruskan rambut yang terlalu keriting ikal. Hukum bagi anak muda maupun orang tua sama. (Fatwa Lajnah, 5/168)

Untuk itu, bukan merupakan syarat dalam menggunakan semir rambut, harus beruban terlebih dahulu.

Jangan Sampai Tasyabuh Dengan Orang Fasik

Hanya saja yang perlu dicatat satu kaidah dalam masalah berhias dan dandan, tidak boleh meniru kebiasaan orang kafir, atau orang fasik. Karena ini dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

من تشبّه بقوم فهو منهم


Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum, maka dia bagian dari kaum itu. (HR. Abu Daud 4031 dan dishahihkan al-Albani).

Karena itu, sebelum menyemir rambut, perlu diperhatikan kondisi orang yang rambutnya disemir. Jika mayoritas orang tidak baik, maka kaum muslimin tidak boleh menirunya. Apalagi sebagian masyakarat menganggap bahwa rambut disemir pirang atau coklat, ciri khas orang yang tidak soleh. Karena ini identitas anak-anak gang jalanan.

Meskipun bisa jadi ini boleh untuk wanita, dalam rangka tampil indah di depan suaminya. Tidak dihukumi tasyabuh, karena tidak nampak di luar.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)