Khutbah Idul Fitri 1437 H: Tiga Pelajaran Pada Momentum Idul Fitri
الله اكبر… الله اكبر… الله اكبر… لااله الاالله والله اكبر الله اكبر ولله الحمد
َاللهُ اكبَر كَبيْرًا والحَمدُ للهِ كثِيرًا وَسُبحَانَ اللهِ بُكرَةً واَصِيلا, لااله اِلااللهُ ولانعْبدُ الاإيّاه, مُخلِصِينَ لَه الدّ يْن, وَلَو كَرِهَ الكَا فِرُون, وَلَو كرِهَ المُنَافِقوْن, وَلَوكرِهَ المُشْرِكوْن, لاالهَ اِلا اللهَ وَحدَه, صَدَق ُوَعْدَه, وَنَصَرَ عبْدَه, وَأعَزّجُندَهُ وَهَزَمَ الاحْزَابَ وَاحْدَه, لاالهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر, اللهُ اكبَرُ وَِللهِ الحَمْد
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ، الحمد لله الَّذِيْ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأََشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيَا إِلَى الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى محمد وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا.
أَمَا بَعْدُ؛
Segala puji bagi Allah, yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat hamba-hambanya, Maha suci Allah, Dia-lah yang menciptakan bintang-bintang di langit, dan dijadikan padanya penerang dan Bulan yang bercahaya.
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, yang diutus dengan risalah kebenaran, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, mengajak pada kebenaran dan menerangi umatnya dengan cahaya keimanan.
Ya Allah, jadikanlah kecintaan kami kepada Rasulallah SAW bagaikan Abu Bakar yang menangis bahagia saat diizinkan Rasulallah SAW untuk menemaninya dalam berhijrah ke Madinah.
Aisyah (RA) berkata,
فَرَأَيْت أَبَا بَكْر يَبْكِي , وَمَا كُنْت أَحْسَب أَنَّ أَحَدًا يَبْكِي مِنْ الْفَرَح
“Maka, aku melihat Abu Bakar menangis, dan aku tak pernah mengira ada seseorang yang menangis sedemikian hebatnya karena bahagia”.
Ya Allah, jadikanlah kecintaan kami kepada Rasulallah SAW bagaikan Bilal bin Rabah yang tak mampu lagi kumandankan adzan setelah kematian Rasulallah SAW, semata karena dia tak mampu lagi mengingat wajah Rasul yang mulia itu. Bahkan, Bilal mengajukan pensiun dini dari pekerjaannya sebagai muadzin masjid Nabawi setelah Rasulallah SAW wafat. Dia memilih hidup di Suriah agar dapat berjihad dalam dakwah, namun kecintaannya kepada Rasulallah tak pernah bisa pudar. Saat sakratul maut, isterinya menangis sebab mereka jauh dari para sahabat Nabi di Madinah.
Bilal berkata,
لاَ تَبْكِي.. غَدًا نَلْقِى الْأَحَبَة.. مُحَمَدََا صلى الله عليه وسلم
"Janganlah engkau menangis, dinda, sebab besok aku akan berjumpa dengan (manusia) yang paling kucinta, Muhammad SAW."
Jadikanlah kami penyambung risalah perjuangan Rasulallah SAW hingga tidak ada umat manusia di muka bumi ini yang tidak tahu keagungan pribadinya. Maka, jadikanlah perjuangan kami seperti Iqbal yang berkata,
إنْ كَانَ لِيْ نَغْمُ الْهُنُودِ وَدِنٍهم ***لَكِنْ ذَاْكَ الصَوْتِ مِنْ عَدْنَانِ
Meskipun dalam darahku mengalir keturunan India *** tetapi suaraku adalah penyampai keturunan Adnan (Rasulallah SAW)
الله أكبر…الله أكبر…الله أكبر…ولله الحمد
Hadirin kamu muslimin dan muslimat jamaah shalat Idul Fitri yang mulia.
Maka, pada pagi yang indah ini, saat kumandang takbir bersahutan dengan kicauan burung dan gemericik rahmat ampunan dari Allah SWT, saya selaku khatib, pertama-tama ingin mengajak hadirin sekalian untuk meningkatkan taqwa kepada Allah SWT. Taqwa dalam arti menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya.
Izinkanlah saya selaku khatib dalam khutbah yang singkat ini menyampaikan tiga momentum pembelajaran.
PERTAMA: Idul Fitri sebagai momentum pembelajaran tentang usia.
Ketika Rasulallah SAW berhijrah ke Madinah, beliau SAW mendapati orang-orang berpesta dalam dua hari. Rasulallah SAW bertanya, “Ada apa ini?” Para penduduk Madinah itu menjawab, “Kami dulu berpesta dalam dua hari ini”. Rasulallah SAW kemudian berkata,
قدْ أبدلَكم اللهُ تعالَى بِهِمَا خيرًا مِنْهُمَا يومَ الفطرِ ويومَ الأَضْحَى
“Sungguh, Allah SWT telah mengganti dua hari itu dengan yang lebih baik dari padanya: Idul Fitri dan Idul Adha”.
Sejak peristiwa itu umat Islam menunaikan shalat Idul Fitri di Madinah. Budaya jahiliyah yang berpesta-pora dalam dua hari, diganti oleh ajaran Islam dengan bersyukur pada Allah SWT. Sepanjang malam raya, kaum muslimin bertahmid, bertasbih, dan bertahlil mengagungkan asma Allah SWT.
Di Madinah, Rasulallah SAW bertindak selaku imam dan khatib shalat. Shalat ditunaikan tanpa adzan dan iqomah. Rasulallah datang ke Musholah (tempat sholat), dan langsung memimpin sholat ‘Id tanpa shalat sunnah lainnya, lalu beliau SAW menyampaikan khutbahnya. Khutbah seperti itulah yang pada pagi hari ini sedang khatib tunaikan sebagai upaya mencontoh Rasulallah SAW.
Maka, Syukur kita bahwa pada pagi ini kita sampai di gerbang kemenangan Idul Fitri dengan diberikan umur panjang. Umur merupakan salah satu nikmat Allah SWT yang seringkali diabaikan oleh hamba-hamba-Nya. Ada dua nikmat, kata Rasulallah SAW, yang manusia sering terlena: sehat dan umur.
Bukankah tidak ada seorang pun di antara kita yang mampu membendung perjalanan usia. Karena itu, Idul Fitri menjadi pembelajaran penting tentang perjalanan usia kita. Bila pada Idul Fitri tahun lalu kita masih berusia dua puluh lima tahun, misalnya, maka Idul Fitri tahun ini kita sudah berusia dua puluh enam tahun. Begitulah seterusnya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal, Rasulallah bersabda,
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدِِ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَى يُسْأَلُ عَنْ أرْبَع خِصَالِِ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أبْلَاهُ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أينَ اكْتَسَبْهُ وَفِيْمَا أنْفَقَهُ وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيْهِ.
“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba di hari kiamat hingga ditanyakan kepadanya empat hal: Usianya untuk apa ia habiskan, masa mudanya bagaimana ia pergunakan, hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia keluarkan, serta ilmunya, apa yang ia telah perbuat dengannya.”
Manusia tercipta mula-mula lemah, kemudian kuat, dan kemudian lemah kembali seraya tumbuh uban di kepalanya. Allah SWT berfirman,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۖ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ
"Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan kamu sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat. Kemudian Dia menjadikan kamu sesuadah kuat itu lemah (kembali) dan beruban." (QS : Ar-Rum 54)
Bila kita renungi secara lebih sungguh-sungguh, maka kita akan dapatkan bahwa seluruh rangkaian kewajiban agama kita merupakan peringatan bagi diri kita tentang perjalanan usia kita di dunia ini.
Untuk itulah, para ulama terdahulu, dalam upayanya merenungi setiap detik kehidupan yang dijalaninya, mengatakan, shalat lima waktu adalah “neraca harian” kita. Shalat Jum’at merupakan “neraca pekanan”, puasa di bulan Ramadhan menjadi semacam “neraca tahunan”, dan ibadah haji menjadi “neraca atau timbangan usia” kita.
Bila setiap muslim melakukan kalkulasi dengan benar pada neraca hariannya, pekanannya dan tahunan niscaya ia akan beruntung dalam menapaki kehidupan ini. Demikian pula sebaliknya, mereka yang tak pernah melihat neraca kehidupannya, hanya akan menjadi manusia-manusia yang merugi.
Demikianlah kita mendengar Umar bin Khattab berkata, barangsiapa yang hari ini sama dengan harinya yang kemarin, maka dia adalah orang yang tertipu. Dan barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia adalah orang yang tercela.
Sadarkan diri kita semua bahwa usia sangat cepat berlalu. Ia berlari meninggalkan kita melebihi kemampuan kita untuk mengejarnya. Perhatikanlah, rasanya baru kemarin kita memulai ramadhan, tetapi kini kita telah berada di hari raya Idul Fitri.
Baru kemarin, rasanya, kita duduk di bangku Sekolah Dasar, bermain-main petak umpat dengan teman sebangku, bercengkerama dengan teman sekelas dan bersenda gurau di bangku kuliah. Kini kita telah disini, di kesenjaan usia kita, sebagian telah merayakan reuni alumni yang ke-empat puluh, sebagian lain telah bermenantu, beranak cucu dan sebagian lain sulit menemukan rambut hitam di kepalanya sendiri.
Waktu laksana angin, ia berhembus cepat baik saat kita senang ataupun susah. Dan, manakala maut datang menjemput, masa-masa yang panjang yang pernah dilalui seseorang hanyalah merupakan bilangan masa pendek yang berlalu bagaikan kilat.
Penyair Arab mengatakan,
إِذَا كَانَ أَخِرُ الْعُمْرِ مَوْتََا، فَقَصِيْرُهُ وَالطَوِيْلُ سَوَاءٌ
Apabila akhir dari perjalanan umur adalah kematian, maka panjang pendeknya usia sama saja. Ia hanya tertulis di batu nisan. Selebihnya adalah hisab
Maha benar Allah SWT dalam firman-Nya,
كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا
Pada hari mereka melihat hari kebangkitan itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melaikan (sebentar saja) yaitu di waktu sore atau di waktu pagi. (QS: An-Nazi’at ayat 46)
Waktu yang telah berlalu tak akan pernah kembali. Setiap detik yang bergeser dari jam tangan kita telah menjadi sesuatu yang lampau. Ia pergi dan kita masih di sini, dengan sejuta persoalan yang membelenggu diri kita.
Hasan al-Basri, seorang penyair sufi berkata,
مَا مِنْ يَوْمِِ يَنْشُقُ فَجْرُهُ، إِلَا وَيُنَادِى: يَا ابْنَ آدَمَ أنَا خَلْقٌ جَدِيْدُ، وَعلَى عَمَلِكَ شَهِيدُ، فَتَزَوَدْ مِنِي، فَإِنِي إذَا مَضَيْتُ لاَ أعُوْدُ إلىَ يَوْمِ الِقيَامَةِ
Tidaklah fajar hari ini terbit, kecuali ia akan memanggil, “Wahai anak Adam, aku adalah ciptaan yang baru dan aku akan menjadi saksi atas setiap pekerjaanmu, maka mintalah bekal kepadaku. Karena bila aku telah berlalu, aku tak akan kembali hingga hari kiamat tiba.”
Untuk itulah, sering kita dapati orang yang meratapi masa mudanya saat ia telah berusia renta, lanjut dimakan zaman, rapuh dikikis angan-angan.
Penyair Arab lainnya mengatakan,
ِوَمَا اْلمَرْءُ إِلَا رَاكِبُ ظَهْرِ عٌمْرِهِ *** عَلىَ سَفَرِِ يُطْوِيهِ بِالْيَوْمِ وَالشَهْر
وَيًضَحِى كٌلَ يَوْمِِ وَلَيْلَةِِ *** بَعِيْداً عَنِ الدُنْيَا قَرِيْباً مِنَ القَبْر
Seseorang hanyalah pengendara di atas pundak usianya ***Berkelana ia mengikuti hari dan bulan.Ia berjuang dan rehat di siang dan malam ***Semakin jauh dari dunia, semakin dekat ia dengan pusara.
Maka, hari ini kita pun berbahagia sebab diberi umur panjang dan telah terlahir kembali sebagai manusia yang bersih. Ibarat ulat, kita telah melewati masa kepompong. Kini, kita telah menjadi kupu-kupu yang indah setelah sebulan penuh dibungkus dalam ketaatan kepada Allah SWT, menahan hawa nafsu, amarah murka, bahkan menghindari hal-hal yang halal di siang hari.
الله أكبر…الله أكبر…الله أكبر…ولله الحمد
Hadirin kamu muslimin dan muslimat jamaah shalat Idul Fitri yang mulia.
Kedua: Idul Fitri sebagai momentum pembelajaran tentang taubat.
Pembelajaran kedua dari peristiwa Idul Fitri adalah tentang taubat. Selama Ramadhan, kita bertarawih, qiyamul lail, shalat witr dan berbagai ibadah sunnah lainnya yang merupakan wujud taubat kita. Kini, Idul fitri menjadi gerbang kemenangnya.
Memang, dalam menjalani kehidupan ini, kita pasti pernah berbuat salah dan dosa. Hal demikian adalah manusiawi. Sebab, bukankah Rasulallah SAW berkata,
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak cucu Adam memiliki dosa, dan sebaik-baik pendosa adalah dia yang bertaubat”.(HR Ibnu Majah). Mengapa demikian, sebab “manusia diciptakan dalam keadaan lemah” (QS An-nisa: 28)
Manusia yang lemah itu diberikan jalan taubat sebagai wujud kasih sayang Allah kepada kita. Suatu hari, Umar bin Khattab RA datang menghadap Rasulallah SAW dengan membawa beberapa orang tawanan. Di antara para tawanan itu terlihat seorang wanita sedang mencari-cari anaknya, lalu jika ia mendapatkan seorang bayi di antara tawanan dia langsung mengambil bayi itu, mendekapkannya ke perut untuk disusui. Lalu Rasulullah SAW berkata kepada kami, “Bagaimana pendapat kamu sekalian, apakah wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam api?” Kami menjawab, Tidak, demi Allah, sedangkan dia mampu untuk melemparnya. Rasulullah SAW bersabda, “sungguh Allah lebih mengasihi hamba-Nya dari pada wanita ini terhadap anaknya”. (HR Muslim).
Karena sedemikian kasih dan sayangnya Allah pada kita, maka Allah sangat senang bila seorang hamba terlanjur berbuat dosa lalu bertaubat, berjanji sepenuh hati tak akan pernah mengulangi perbuatannya.
Rasulallah SAW menggambarkan kesenangan Allah itu dengan berkata, “Sungguh Allah akan lebih senang menerima taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada-Nya dari pada (kesenangan) seorang di antara kalian yang menunggang untanya di tengah padang luas yang sangat tandus, lalu unta itu terlepas membawa lari bekal makanan dan minumannya dan putuslah harapannya untuk memperoleh kembali. Kemudian dia menghampiri sebatang pohon lalu berbaring di bawah keteduhannya karena telah putus asa mendapatkan unta tunggangannya tersebut. Ketika dia dalam keadaan demikian, tiba-tiba ia mendapati untanya telah berdiri di hadapannya….. (HR Muslim)
Seringkali kita merasa bahwa dosa yang kita lakukan hanya dosa-dosa kecil saja, sehingga tak diperlukan segera bertaubat.
Ibnul Qayyim berkata,
لَا تَحْقِرَنَ صَغِيرِ الْمَعْصِيَةَ ، فَالْعُشَبُ يَفْتُلُ مِنْهُ حِبَال تَجُرُ السُفُن
Jangan meremehkan dosa-dosa kecil. (Lihatlah) patok kayu (di dermaga) yang melilit tambang, ia bahkan dapat menarik kapal.
Karena itu, taubat tidaklah sebatas usaha seorang hamba untuk memohon ampunan dari Allah, namun ia sekaligus termasuk ibadah yang mulia di sisi-Nya karena perbuatan itu merupakan perintah dari Allah. Sebagaimana Allah berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ تُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ تَوۡبَةٗ نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمۡ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمۡ سَئَِّاتِكُمۡ وَيُدۡخِلَكُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ يَوۡمَ لَا يُخۡزِي ٱللَّهُ ٱلنَّبِيَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُۥۖ نُورُهُمۡ يَسۡعَىٰ بَيۡنَ أَيۡدِيهِمۡ وَبِأَيۡمَٰنِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَتۡمِمۡ لَنَا نُورَنَا وَٱغۡفِرۡ لَنَآۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ٨
"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu". (QS At-tahrim:8)"
Karena itulah, taubat merupakan amalan para nabi. Aisyah mengatakan, “Dahulu Rasulullah sebelum meninggal banyak mengucapkan: maha Suci Allah dan dengan memuji-Nya aku memohon ampun dan aku bertaubat kepada-Nya.” (HR Bukhari-Muslim)
Demikian pula para nabi sebelumnya. Adam dan Hawa, adalah para pendosa pertama yang segera bertaubat. Allah abadikan dalam firman-Nya,
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ
"Keduanya berkata, wahai Tuhan kami, kami adalah orang-orang yang berbuat zhalim pada diri-diri kami, kalau sekiranya Engkau tidak mengampuni (dosa-dosa) dan merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang celaka”. (QS Al-A’raf: 23)"
Saudaraku, sesungguhnya rahmat Allah itu sangat luas sehingga tidak sepantasnya bagi seorang hamba untuk berputus asa dari rahmat-Nya. Maka menarik untuk mengutip Ibnul Qayyim sekali lagi. Katanya,
لَوْ عَلِمَ الْعَاصِي أنَ لَذَةَ التَوْبَة تَزِيْد عَلَى لَذَةِ اْلمَعْصِيَةِ أضْعَافََا مُضَاعَفَة لَبَادِر إلَيْهَا أعْظَمَ مِنْ مُبَادَرَتِهِ إلىَ لذَةِ الْمَعْصِيَةِ
Sekiranya seorang pelaku maksiat mengetahui bahwa kenikmatan bertaubat lebih dahsyat berlipat-lipat dari kelezatan maksiat, niscaya dia akan bersegera menuju taubat lebih cepat dare usahanya menggapai maksiat.
الله أكبر…الله أكبر…الله أكبر…ولله الحمد
Hadirin kamu muslimin dan muslimat jamaah shalat Idul Fitri yang mulia.
Ketiga: Idul Fitri sebagai momentum pembelajaran tentang sabar
Pembelajaran ketiga dari peristiwa Idul Fitri adalah tentang sabar. Selama ramadhan kita dilatih untuk bersabar, dan Idul Fitri ini adalah momentum gerbang kemenangannya.
Seringkali, dalam menjalani kehidupan ini, kita bertemu dengan persoalan yang menguras energi, sabar adalah kunci jawabannya. Dalam ilmu akhlak, sabar dimaknai “berjuang melakukan segala perintah Allah, menjauhi larangannya dan menghindar dari prasangka buruk atas segala takdir-Nya”.
Ia mudah diucapkan, sulit dilaksanakan. Suatu kali, Rasulallah SAW melewati pemakaman. Beliau mendapati wanita menangis tersedu-sedu, beliau kemudian berkata, “bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah”. Wanita itu menjawab, “engkau tidak merasakan apa yang kurasakan, karena engkau tidak mengalami musibah seperti aku”.
Wanita itu tak mengetahui bahwa itu Rasulallah SAW sampai seseorang kemudian memberitahunya. Dia lalu mendatangi rumah Rasulallah SAW, dan meminta maaf. “Aku tadi tidak mengenalimu”, katanya. Rasulallah SAW pun berkata,
إِنَمَا الصَبْرُ عِنْدَ الصَدْمَةِ الْأوُلَى
“Sesungguhnya sabar itu adalah pada pukulan pertama”. (HR Muslim)
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa sabar itu bukanlah selepas kita puas mengamuk, mencaci-maki lalu setelah tersadar, kita mengurut dada sambil berkata, “Aku sabar sekarang”.
Lebih jauh, Rasulallah SAW mengingatkan bahwa para Nabi adalah orang-orang yang paling berat ujiannya, lalu orang-orang shaleh, lalu masyarakat pada umumnya. Karena itu, saat mendapat musibah yang menguji kesabaran, kita berharap sedang naik kelas menuju tangga kemuliaan yang lebih tinggi.
Ibnul Qayyim berkata,
إٍذَا طَالَ عَلَيْكَ وَقْتُ الْبَلاَءِ مَعَ اِسْتٍمْرَارٍكَ بِالدُعاَءِ فَاعْلَمْ أنَ اللهَ لَنْ يُرٍيْد إجَابَةَ دَعْوَتَكَ فَقَطْ ..!! بَلْ يُُرٍيْدُ أنْ يُعْطِيْكَ فَوْقَهَا عَطَايَا لَمْ تَطْلًبْهَا أنْتَ
"Jika kesulitan hidup yang engkau rasakan berkepanjangan padahal tak pernah berhenti kau berdoa pada Allah, yakinlah bahwa sesungguhnya Allah tidak saja ingin menjawab doa-doamu itu. Tetapi Dia ingin memberikanmu karunia lain yang bahkan engkau tak memintanya”.
Ulama mengatakan, tiga hal yang merusak kesabaran: tergesa-gesa, marah dan cepat putus asa. Umar bin Khattab berkata, “tergesa-gesa adalah perbuatan syaitan”.
Marah juga merusak kesabaran. Dikisahkan bahwa Nabi Yunus tak kuasa menahan emosi. Dia pergi meninggalkan kaumnya yang tak kunjung beriman. Namun, kepergiannya belum mendapat izin Allah SWT. Alih-alih untuk mendapatkan kebebasan, dia justru mendapatkan kesempitan.
Dalam perjalanan lautnya, dia kemudian ditelah ikan paus. Allah berfirman,
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَىٰ فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Nabi Yunus, ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan sangat gelap bahwa: ‘Tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim”. (QS al-Anbiya: 87)
Faktor ketiga yang merusak kesabaran adalah cepat putus asa. Bukankah Nabi Ya’kub tak pernah putus asa mencari puteranya yang hilang hingga Allah pertemukan kembali dengan Nabi Yusuf. Allah SWT abadikan kisah itu pada ayat berikut ini:
يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
“Hai anak-anakku, pergilah kalian, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum yang kafir”. (QS Yusuf: 87)
Untuk itulah, para ulama mengatakan, dalam hal kesabaran belajarlah dari Nabi Ayub. Memang sebarapa sabar Nabi Ayub? Dalam riwayat diceritakan, ketika Nabi Ayub diuji dengan penyakit, semua orang menjauhinya. Bukan hanya itu, seluruh usahanya bangkrut. Tujuh anaknya meninggal dan ia didera penyakit menjijikan. Saat semua orang menjauhinya, hanya isterinya yang sabar melayaninya.
Hingga suatu hari, isterinya berkata, “Tak bisakah kau meminta Tuhanmu agar menyembuhkanmu dan kehidupan kita kembali normal?”. Sebuah permintaan yang menusiawi. Namun, Ayub menjawab, “Berapa tahun usiaku dalam keadaan sehat dulu?” Istrinya menjawab, “delapan puluh tahun”. Ayub bergumam, “Sungguh tak pantas aku mengeluh untuk sakit yang baru delapan belas tahun ini”.
Allah SWT mengabadikan kata hati Ayub dalam firman-Nya,
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Dan kisah Nabi Ayub ketika dia bergumam, wahai Tuhanku, Engkau pertemukan aku dengan ujian, dan Engkau sebaik-baik pemberi Kasih Sayang” (QS al-Anbiya: 83).
Ayub tak mengeluh sedikitpun. Sampai suatu hari, Ayub meminum segelas air dan dengan izin Allah seluruh penyakitnya hilang. Ia bahkan kembali muda, tampan dan mempesona. Saat isterinya kembali ke rumah, dia tak mengenali suaminya, dan bertanya, “Hai anak muda, apakah engkau melihat orang sakit yang ada di rumah ini?”
Ayub tersenyum, dan berkata, “Akulah orang yang engkau maksudkan itu”. Setelah itu, Allah membalas kesabaran Ayub dan istrinya dengan memberi keturunan, harta dan kesuksesan. Ibnu Abbas mengatakan, “kesabaran Ayub dan istrinya adalah teladan utama dalam menghadapi ujian Allah. Karena itu, keduanya mendapat kehormatan dengan diberikan anak-anak sebanyak dua puluh tujuh orang”.
Demikianlah tiga pembelajaran dari momentum hari raya Idul Fitri ini. Semoga kita termasuk orang-orang yang pandai mengambil hikmah dari hari ke hari agar saat usia semakin bertambah, kita semakin sering bertaubat dan semakin pandai pula dalam bersabar.
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلَ الله مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنَِّهُ هُوَاالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أقُوْلُ قَوْلِي هَذا وَأسْتَغْفِرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ لَِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
About Me
RMI Alur Cucur
Remaja masjid adalah perkumpulan pemuda masjid yang melakukan aktivitas sosial dan ibadah di lingkungan suatu masjid.