Tampilkan postingan dengan label Ibadah. Tampilkan semua postingan

Tanda Puasa Diterima oleh Allah


Assalamualaikum, kali ini RMI Alur Cucur akan membagikan tentang

Tanda Puasa Diterima oleh Allah

Bulan Ramadan menjadi bulan yang sangat istimewa bagi Umat Islam. Pada bulan ini kaum mukmin berlomba-lomba mengerjakan amal kebaikan. Puasa menjadi ibadah wajib yang dilaksanakan satu bulan penuh. Amalan ini dijanjikan pahala kebaikan berlipat ganda dari Allah SWT.


Namun, apakah puasa anda diterima atau ditolak? Pertanyaan ini tentu cukup mengejutkan, mengingat perkara diterima atau ditolaknya suatu amal adalah hak prerogatif Allah SWT. Namun, siapapun tentu ingin tahu apakah puasanya berbuah pahala atau justru hanya menyisakan lapar dan dahaga.

Ternyata ada pertanda yang menunjukan bahwa puasa yang dijalankan diterima atau ditolak. Tanda ini bisa dirasakan dan teliti kepada diri sendiri. Seperti apa tanda tersebut? Berikut informasi selengkapnya.

Tanda yang bisa membedakan antara amalan diterima atau ditolak suatu amal adalah perbuatan setelahnya. Allah SWT akan memberikan taufik kepada seseorang setelah mereka melakukan kebijikan jika amal mereka diterima.

Menurut Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah.

“Kembali lagi melakukan puasa setelah puasa Ramadhan, itu tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan. Karena Allah jika menerima amalan seorang hamba, Allah akan memberi taufik untuk melakukan amalan shalih setelah itu. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, ‘Balasan dari kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.’ Oleh karena itu, siapa yang melakukan kebaikan lantas diikuti dengan kebaikan selanjutnya, maka itu tanda amalan kebaikan yang pertama diterima. Sedangkan yang melakukan kebaikan lantas setelahnya malah ada kejelekan, maka itu tanda tertolaknya kebaikan tersebut dan tanda tidak diterimanya.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 388).

Atau perkataan yang lainnya yang diutarakan oleh Ibnu Katsir ketika membahas tafsir surat Al-Lail : “Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7: 583).

Artinya tanda jika amalan puasa Ramadhan diterima adalah menjadi lebih baik selepas itu atau paling tidak mempertahankan kebaikan yang sudah dijalankan. Salah satu contohnya adalah melakukan puasa Syawal yang kerap terlewat oleh sebagian besar umat.
Tanda amalan kita di bulan Ramadhan tidak diterima adalah setelah Ramadhan tidak lagi ada kebaikan, bahkan sampai meninggalkan kewajiban seperti kewajiban shalat lima waktu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten meskipun sedikit. Muttafaqun ‘alaihi.

Dan ingat, para salaf selama 6 bulan mereka berdoa supaya bisa berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan dan 6 bulan tersisa mereka berdoa supaya amalan mereka diterima. Semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan.

Shalat Tarawih di Rumah


Bolehkah Shalat Tarawih di Rumah?

Assalamu'alaikum wr wb. RMI Alur Cucur, Kali ini akan menbahas Shalat tarawih dirumah. Maksudnya apakah kita harus shalat tarawih di masjid, jika di tempat tinggal kita enggak ada masjid atau mushola gimana.? ada yang mengakali dengan cara shalat tarawih di lapangan, lantaran enggak ada mesjid atau mushola di sekitar daerah tempat tinggal kita.



Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Kaum muslimin sepakat bahwa shalat taraweh hukumnya sunah, dan tidak wajib. Karena itu, shalat tarawih mengikuti hukum shalat sunah pada umumnya, yang tidak harus dilakukan di masjid.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اجْعَلُوا مِنْ صَلاَتِكُمْ فِى بُيُوتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا


Berikan jatah sebagian shalat sunah kalian di rumah kalian. Dan jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan. (HR. Muslim 1856 dan Ahmad 4653)
Hanya saja, ulama berbeda pendapat, mana yang lebih afdhal, shalat tarawih di rumah atau di masjid?

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan,

قال بعض أهل العلم: صلاتها في البيت أفضل، وهو قول مالك والشافعي .وقال آخرون: صلاتها في المسجد أفضل، لأن الصحابة رضي الله عنهم كانوا يفعلونها في المسجد أوزاعا في جماعات متفرقة حتى جمعهم عمر رضي الله عنه على إمام واحد، وتابعه الصحابة على ذلك ومن بعدهم.


Sebagian ulama mengatakan, shalat tarawih di rumah lebiih afdhal. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan Imam as-Syafi’i.

Ulama lain mengatakan, shalat tarawih di masjid lebih afdhal. Karena dulu para sahabat melakukannya di masjid, berjamaah kelompok kecil-kecil. Kemudian mereka disatukan  oleh Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu dengan satu imam. Kemudian diikuti sahabat yang lain, dan generasi setelahnya. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 40359)


Jika Ada Kepentingan, di Rumah Lebih Afdhal

Keterangan di atas berlaku, jika di sana tidak ada kepentingan apapun. Namun jika ada kepentingan tertentu untuk dilakukan di selain masjid, misalnya, memotivasi keluarga dan masyarakat sekitar untuk tarawih berjamaah, atau tujuan lainnya, maka tarawih sebaiknya dikerjakan di selain masjid.

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan,

وصلاة الرجل التراويح في البيت أفضل إذا كانت بنية حث أهل البيت عليها، ورغبة في عدم تركهم لها، لما في ذلك من إعانتهم على إحياء السنة، وتحصيل الخير


Shalat tarawih yang diakukan di rumah lebih afdhal apabila diniatkan untuk memotivasi keluarga di rumah untuk shalat, dan membiasakan mereka untuk tidak meninggalkan tarawih. Karena ini berarti membantu mereka untuk menghidupkan sunah dan mendapatkan kebaikan. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 13031)


Catatan:

Keterangan di atas hanya belaku untuk shalat tarawih. Untuk shalat isya, tetap harus dilakukan di masjid.

Hari Jumat Istimewa


RMI Alur Cucur - Saudaraku, kabar gembira untuk kita semua bahwa ternyata kita mempunyai hari yang istimewa dalam deretan 7 hari yang kita kenal. Hari itu adalah hari jum’at. Saudariku, hari jum’at memang istimewa namun tidak selayaknya kita berlebihan dalam menanggapinya. Dalam artian, kita mengkhususkan dengan ibadah tertentu misalnya puasa tertentu khusus hari Jum’at, tidak boleh pula mengkhususkan bacaan dzikir, do’a dan membaca surat-surat tertentu pada malam dan hari jum’at kecuali yang disyari’atkan.

Nah artikel kali ini, akan menguraikan beberapa keutamaan-keutamaan serta amalan-amalan yang disyari’atkan pada hari jum’at. Semoga dengan kita memahami keutamaannya, kita bisa lebih bersemangat untuk memaksimalkan dalam melaksanakan amalan-amalan yang disyari’atkan pada hari itu, dan agar bisa meraih keutamaan-keutamaan tersebut.

KEUTAMAAN HARI JUMAT

1. Hari paling utama di dunia

Ada beberapa peristiwa yang terjadi pada hari jum’at ini, antara lain:
  • Allah menciptakan Nabi Adam ‘alaihissallam dan mewafatkannya.
  • Hari Nabi Adam ‘alaihissallam dimasukkan ke dalam surga.
  • Hari Nabi Adam ‘alaihissallam diturunkan dari surga menuju bumi.
  • Hari akan terjadinya kiamat.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

Hari paling baik dimana matahari terbit pada hari itu adalah hari jumat, pada hari itu Adam diciptakan, dan pada hari itu pula Adam dimasukkan ke dalam surga, serta diturunkan dari surga, pada hari itu juga kiamat akan terjadi, pada hari tersebut terdapat suatu waktu dimana tidaklah seorang mukmin shalat menghadap Allah mengharapkan kebaikan kecuali Allah akan mengabulkan permintannya.(HR. Muslim)

2. Hari bagi kaum muslimin

Hari jum’at adalah hari berkumpulnya umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masjid-masjid mereka yang besar untuk mengikuti shalat dan sebelumnya mendengarkan dua khutbah jum’at yang berisi wasiat taqwa dan nasehat-nasehat, serta do’a.

Dari Kuzhaifah dan Rabi’i bin Harrasy radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allah menyesatkan orang-orang sebelum kami pada hari jum’at, Yahudi pada hari sabtu, dan Nasrani pada hari ahad, kemudian Allah mendatangkan kami dan memberi petunjuk pada hari jum’at, mereka umat sebelum kami akan menjadi pengikut pada hari kiamat, kami adalah yang terakhir dari penghuni dunia ini dan yang pertama pada hari kiamat yang akan dihakimi sebelum umat yang lain.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah)

3. Hari yang paling mulia dan merupakan penghulu dari hari-hari

Dari Abu Lubabah bin Ibnu Mundzir radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Hari jum’at adalah penghulu hari-hari dan hari yang paling mulia di sisi Allah, hari jum’at ini lebih mulia dari hari raya Idhul Fitri dan Idul Adha di sisi Allah, pada hari jum’at terdapat lima peristiwa, diciptakannya Adam dan diturunkannya ke bumi, pada hari jum’at juga Adam dimatikan, di hari jum’at terdapat waktu yang mana jika seseorang meminta kepada Allah maka akan dikabulkan selama tidak memohon yang haram, dan di hari jum’at pula akan terjadi kiamat, tidaklah seseorang malaikat yang dekat di sisi Allah, di bumi dan di langit kecuali dia dikasihi pada hari jum’at.” (HR. Ahmad)

4. Waktu yang mustajab untuk berdo’a

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hari jum’at lalu beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Di hari jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seseorang muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan.” Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu itu. (HR. Bukhari Muslim)

Namun mengenai penentuan waktu, para ulama berselisih pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut ada 2 pendapat yang paling kuat:

a. Waktu itu dimulai dari duduknya imam sampai pelaksanaan shalat jum’at

Dari Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata padanya, “Apakah engkau telah mendengar ayahmu meriwayatkan hadits dari Rasulullah sehubungan dengan waktu ijaabah pada hari jum’at?” Lalu Abu Burdah mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Yaitu waktu antara duduknya imam sampai shalat dilaksanakan.’” (HR. Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat di atas. Sedangkan Imam As-Suyuthi rahimahullah menentukan waktu yang dimaksud adalah ketika shalat didirikan.

b. Batas akhir dari waktu tersebut hingga setelah ‘ashar

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hari jum’at itu dua belas jam. Tidak ada seorang muslimpun yang memohon sesuatu kepada Allah dalam waktu tersebut melainkan akan dikabulkan oleh Allah. Maka peganglah erat-erat (ingatlah bahwa) akhir dari waktu tersebut jatuh setelah ‘ashar.” (HR. Abu Dawud)

Dan yang menguatkan pendapat kedua ini adalah Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, beliau mengatakn bahwa, “Ini adalah pendapat yang dipegang oleh kebanyakan generasi salaf dan banyak sekali hadits-hadits mengenainya.”

5. Dosa-dosanya diampuni antara jum’at tersebut dengan jum’at sebelumnya

Dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seseorang mandi pada hari jum’at dan bersuci semampunya, berminyak dengan minyak, atau mengoleskan minyak wangi dari rumahnya, kemudian keluar (menuju masjid), dan dia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian dia mendirikan shalat yang sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan (dengan seksama) ketika imam berkhutbah melainkan akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi) antara jum’at tersebut dan jum’at berikutnya.” (HR. Bukhari)


Amalan-Amalan yang Disyari’atkan pada Hari Jum’at

1. Memperbanyak shalawat

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Perbanyaklah shalawat kepadaku setiap hari jum’at karena shalawatnya umatku akan dipersembahkan untukku pada hari jum’at, maka barangsiapa yang paling banyak bershalawat kepadaku, dia akan paling dekat derajatnya denganku.” (HR. Baihaqi dengan sanad shahih)


2. Membaca surat Al Kahfi

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari jum’at akan diberikan cahaya baginya diantara dua jum’at.” (HR. Al Hakim dan Baihaqi dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

3. Memperbanyak do’a

Sebaik-baik hari bagi umat Islam dalam sepekan adalah hari Jum’at. Ia-lah sayyidul ayyaam (pemimpin hari) yang paling agung dan paling utama di sisi Allah Ta’ala. Banyak ibadah yang dikhususkan pada hari itu, misalnya membaca surat As-Sajdah dan Al-Insan pada shalat Subuh, membaca surat Al-Kahfi, shalat Jum’at berikut amalan-amalan yang menyertainya, dan amal ibadah lain yang sangat dianjurkan sekali pada hari Jum’at. Di dalamnya juga terdapat satu waktu di mana doa begitu mustajab; dijanjikan akan dikabulkan. Tidaklah seorang hamba yang beriman memanjatkan do’a kepada Rabbnya pada waktu itu kecuali Allah akan mengabulkannya selama tidak berisi pemutusan silaturahmi dan tidak meminta yang haram. Karenanya seorang muslim selayaknya memperhatikan dan memanfaatkan waktu yang berbarakah ini. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4. Amalan-amalan shalat jum’at (wajib bagi laki-laki)

  • Mandi, bersiwak, dan memakai wangi-wangian.
  • Berpagi-pagi menuju tempat shalat jum’at.
  • Diam mendengarkan khatib berkhutbah.
  • Memakai pakaian yang terbaik.
  • Melakukan shalat sunnah selama imam belum naik ke atas mimbar.
Saudaraku, setelah membaca artikel tersebut semoga kita bisa mendapat manfaat yang lebih besar dengan menambah amalan-amalan ibadah yang disyari’atkan. Sungguh begitu banyak jalan agar kita bisa meraup pahala sebanyak-banyaknya sebagai bekal perjalanan kita di akhirat kelak. Wallahu a’lam

Amalan-Amalan Ketika Terjadi Gempa


Ketika gempa bumi menyapa, bila tsunami menghampiri manusia, ketika para korban berjatuhan meninggal dunia, ketika bangunan hancur berkeping-keping menjadi tanah, ketika para wanita menjadi janda dan anak-anak menjadi yatim tanpa orang tua … pada saat itu semua hendaknya kita semua lebih mendekatkan diri kepada Allah, mengingat akhirat, segera bertaubat, bersemangat ibadah, dan tidak tertipu dengan dunia yang fana.

Berikut ini beberapa amalan yang hendaknya dilakukan ketika gempa dan tsunami terjadi:

1. Taubat kepada Allah

Sesungguhnya peristiwa ini akan membuahkan bertambahnya iman seorang mukmin, memperkuat hubungannya dengan Allah. Dia sadar bahwa musibah-musibah ini tidak lain dan tidak bukan adalah akibat dosa-dosa anak manusia berupa kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan. Tidaklah terjadi suatu malapetaka melainkan karena dosa, dan malapetaka itu tidak akan dicabut oleh Allah kecuali dengan taubat.

Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah berkata, “Kadang-kadang Allah mengizinkan bumi bernapas sehingga mengakibatkan gempa dan tsunami yang dahsyat, sehingga hal itu menjadikan ketakutan kepada Allah, kesedihan, taubat dan berserah diri kepada Allah”.

2. Banyak berdzikir, do’a, dan istighfar kepada Allah

Imam Syafi’i mengatakan, “Obat yang paling mujarab untuk mengobati bencana adalah memperbanyak tasbih”. Imam as-Suyuthi berkomentar, “Hal itu karena dzikir dapat mengangkat bencana dan adzab, sebagaimana firman Allah:

فَلَوْلَآ أَنَّهُۥ كَانَ مِنَ ٱلْمُسَبِّحِينَ ﴿١٤٣﴾ لَلَبِثَ فِى بَطْنِهِۦٓ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ ﴿١٤٤﴾


“Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit” (QS. ash-Shoffat [37]: 143–144).

Renungkanlah juga bersama saya firman Allah:

وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ ﴿٣٣﴾

“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengadzab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS. al-Anfal [8]: 33).

Ayat mulia ini menunjukkan bahwa ada dua hal yang dapat melindungi manusia dari adzab. Pertama, adanya Nabi Muhammad di tengah-tengah manusia dan ini bersifat sementara. Kedua, istighfar dan meninggalkan segala dosa dan ini bersifat seterusnya sekalipun Nabi telah meninggal dunia.

3. Membantu para korban bencana

Saudaraku, bila kita sekarang dalam kenikmatan dan kesenangan, kita bisa makan, minum, dan memiliki rumah, maka ingatlah saudara-saudaramu yang terkena bencana. Saat ini mereka sedang kesusahan dan kesulitan. Maka ulurkanlah tanganmu untuk membantu mereka semampu mungkin. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa yang membantu menghilangkan kesusahan seorang mukmin di dunia, maka Allah akan menghilangkan kesusahan darinya besok di hari kiamat” (HR. Muslim no. 2699).

Terlebih lagi orang kaya, pengusaha, pemerintah, dan bangsawan, hendaknya mereka mengeluarkan hartanya untuk membantu para korban. Dahulu, tatkala terjadi gempa pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau menulis surat kepada para gubernurnya untuk bersedekah dan memerintah rakyat untuk bersedekah.

Dan hendaknya para relawan saling membantu dan saling melengkapi antar sesama sehingga terwujudlah apa yang menjadi tujuan mereka, jangan sampai ada terjadi pertengkaran atau perasaan bahwa dia adalah orang yang paling pantas dibanding lainnya.

4. Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Sebagaimana tadi kita sebutkan bahwa termasuk faktor terjadinya gempa adalah dosa umat manusia maka hendaknya hal itu dihilangkan, salah satu caranya dengan menegakkan dakwah, saling menasihati, dan amar ma’ruf nahi munkar sehingga mengecillah kemungkaran. Adapun bila kita acuh tak acuh dan mendiamkan kemungkaran maka tak ayal lagi bencana tersebut akan kembali menimpa kita.

لُعِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنۢ بَنِىٓ إِسْرَ‌ٰٓءِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُۥدَ وَعِيسَى ٱبْنِ مَرْيَمَ ۚ ذَ‌ٰلِكَ بِمَا عَصَوا۟ وَّكَانُوا۟ يَعْتَدُونَ ﴿٧٨﴾ كَانُوا۟ لَا يَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍۢ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا۟ يَفْعَلُونَ ﴿٧٩﴾

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu” (QS. al-Ma’idah [5]: 78–79).

Puasa Syawal, Tanda Kesempurnaan Puasa Ramadhan


PUASA SYAWAL

Ibadah puasa memang sudah selesai, tapi bukan berarti ibadah juga selesai, karena ibadah itu sampai maut menjemput. Oleh karenanya, jangan lupa, untuk kesempurnaan puasa Ramadhan kita, semangat lah untuk puasa Sunnah 6 hari Syawal, sebagaimana dalam hadits Abu Ayyub al-Anshori,

عَنْ أبِي أَيُّوْبَ اْلأَنْصَارِيِّ – رضي الله عنه – أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ – صلى الله عليه و سلّم- قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَ أَْتبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَهْرِ

Dari Abu Ayyub al-Anshari –radhiyallahu ‘anhu- bahwasanya Rasulullah –shallallahu ‘alahi wa sallam– bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa satu tahun penuh(HR. Imam Muslim dalam Shahihnya 1164).

Hadits ini menunjukkan disyariatkannya puasa enam hari pada bulan Syawal, baik bagi kaum pria maupun wanita. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu seperti diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ka’b al-Akhbar, Sya’bi, Thawus, Maimun bin Mihran, Abdullah bin Mubarok, Ahmad bin Hanbal dan Syafi’i.

Faedah puasa Syawal

Ingatlah saudaraku, membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki beberapa faedah yang cukup banyak, diantaranya:
  1. Puasa enam hari Syawal setelah Ramadhan berarti meraih pahala puasa setahun penuh
  2. Puasa syawal dan sya’ban seperti shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu, untuk sebagai penyempurna kekurangan yang terdapat dalam fardhu
  3. Puasa syawal setelah ramadhan merupakan tanda bahwa Allah menerima puasa ramadhannya, sebab Allah apabila menerima amal seorang hamba maka Dia akan memberikan taufiq kepadanya untuk melakukan amalan shalih setelahnya
  4. Puasa Syawal merupakan ungkapan syukur setelah Allah mengampuni dosanya dengan puasa ramadhan
  5. Puasa Syawal merupakan tanda keteguhannya dalam beramal shalih, karena amal shalih tidaklah terputus dengan selesainya ramadhan tetapi terus berlangusng selagi hamba masih hidup.

Niat Puasa Syawal

Dan berikut adalah bacaan niat puasa syawal sunnah 6 hari lengkap arab, latin dan terjemahannya

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ ِستَةٍ ِمنْ شَوَالٍ سُنَةً ِللَه تَعَالَي

NAWAITU SHOUMA GHODIN 'ANSITTATIN MIN SYAWAALI SUNNATAN LILLAAHI TA'ALAA

Artinya :
Saya niat berpuasa sunnah enam hari bulan Syawal karena Allah Ta ala

Tata Cara Puasa Syawal

1- Puasa sunnah Syawal dilakukan selama enam hari

Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa puasa Syawal itu dilakukan selama enam hari. Lafazh hadits di atas adalah: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.(HR. Muslim no. 1164).

Dari hadits tersebut, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Yang disunnahkan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal.” (Syarhul Mumti’, 6: 464).

2- Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,Para fuqoha berkata bahwa yang lebih utama, enam hari di atas dilakukan setelah Idul Fithri (1 Syawal) secara langsung. Ini menunjukkan bersegera dalam melakukan kebaikan.(Syarhul Mumti’, 6: 465).

3- Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga berkata, “Lebih utama puasa Syawal dilakukan secara berurutan karena itulah yang umumnya lebih mudah. Itu pun tanda berlomba-lomba dalam hal yang diperintahkan.” (Idem)

4- Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa Syawal yaitu puasa setahun penuh.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata,Siapa yang mempunyai kewajiban qodho’ puasa Ramadhan, hendaklah ia memulai puasa qodho’nya di bulan Syawal. Hal itu lebih akan membuat kewajiban seorang muslim menjadi gugur. Bahkan puasa qodho’ itu lebih utama dari puasa enam hari Syawal.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 391).
Begitu pula beliau mengatakan, “Siapa yang memulai qodho’ puasa Ramadhan terlebih dahulu dari puasa Syawal, lalu ia menginginkan puasa enam hari di bulan Syawal setelah qodho’nya sempurna, maka itu lebih baik. Inilah yang dimaksud dalam hadits yaitu bagi yang menjalani ibadah puasa Ramadhan lalu mengikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Namun pahala puasa Syawal itu tidak bisa digapai jika menunaikan qodho’ puasanya di bulan Syawal. Karena puasa enam hari di bulan Syawal tetap harus dilakukan setelah qodho’ itu dilakukan.(Lathoiful Ma’arif, hal. 392).

5- Boleh melakukan puasa Syawal pada hari Jum’at dan hari Sabtu.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian. Namun jika diikuti puasa sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa nadzar karena sembuh dari sakit dan bertepatan dengan hari Jum’at, maka tidaklah makruh.(Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, 6: 309).

Hal ini menunjukkan masih bolehnya berpuasa Syawal pada hari Jum’at karena bertepatan dengan kebiasaan.

Adapun berpuasa Syawal pada hari Sabtu juga masih dibolehkan sebagaimana puasa lainnya yang memiliki sebab masih dibolehkan dilakukan pada hari Sabtu, misalnya jika melakukan puasa Arafah pada hari Sabtu. Ada fatwa dari Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia berikut ini.
Pertanyaan :
Kebanyakan orang di negeri kami berselisih pendapat tentang puasa di hari Arafah yang jatuh pada hari Sabtu untuk tahun ini. Di antara kami ada  yang berpendapat bahwa ini adalah hari Arafah dan kami berpuasa karena bertemu hari Arafah bukan karena hari Sabtu yang terdapat larangan berpuasa ketika itu. Ada pula sebagian kami yang enggan berpuasa ketika itu karena hari Sabtu adalah hari yang terlarang untuk diagungkan untuk menyelisihi kaum Yahudi. Aku sendiri tidak berpuasa ketika itu karena pilihanku sendiri. Aku pun tidak mengetahui hukum syar’i mengenai hari tersebut. Aku pun belum menemukan hukum yang jelas  mengenai hal ini. Mohon penjelasannya.

Jawaban :
Boleh berpuasa Arafah pada hari Sabtu atau hari lainnya, walaupun tidak ada puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, karena tidak ada beda dengan hari-hari lainnya. Alasannya karena puasa Arafah adalah puasa yang berdiri sendiri. Sedangkan hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu adalah hadits yang lemah karenamudhtorib dan menyelisihi hadits yang lebih shahih. (Fatwa no. 11747. Ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan).

Hukum Mengerjakan Puasa Syawal

Hukum berpuasa enam hari pada bulan Syawal adalah sunah. Puasa syawal dapat dikerjakan mulai pada tanggal dua syawal. Jika puasa syawal dikerjakan pada tanggal satu syawal maka hukumnya haram. Karena pada tanggal tersebut merupakan hari rya idul fitri. Sebagaimana dalam hadist dari Abu Sa'id al-Khudri, dia berkata :

عن عمر بن الخطاب وأبي هريرة وأبي سعيد رضي الله عنهم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن صوم يوم الفطر ويوم الأضحى


Artinya : “Nabi Muhammad Saw., melarang berpuasa pada dua hari raya; idul fitri dan idul adha.(maksudnya tanggal satu Syawal atau sepuluh bulan Dzulhijjah . 


Pada dasarnya tata cara melaksanakan puasa syawal sama saja dengan mengerjakan puasa ramadhan. Letak perbedaannya yaitu pada niatnya. Selain itu pada saat melaksanakan puasa 6 hari di bulan Syawal, boleh dilakukan secara berurutan atau berselang hari yang penting masih di bulan Syawal.

Tidak harus berurutan

Ketahuilah wahai saudaraku bahwa puasa Sunnah enam hari Syawal itu tidak harus berturut-turut setelah Idul Fithri, kapan itu selagi masih di bulan Syawal maka boleh.

Ash-Shon’ani berkata:Ketahuilah bahwa pahala puasa ini bisa didapatkan bagi orang yang berpuasa secara berpisah atau berturut-turut, dan bagi yang berpuasa langsung setelah hari raya atau di tengah-tengah bulan”.

Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah maupun di akhir bulan Syawal. Namun, yang lebih utama adalah bersegera melakukannya usai hari raya.

Dengan demikian, maka kita dapat mengetahui kesalahan keyakinan sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa puasa sunnah Syawal harus pada hari kedua setelah hari raya, bila tidak maka sia-sia puasanya!!

Namun, jika engkau wahai saudaraku masih punya tanggungan puasa Ramadhan, maka lunasilah terlebih dahulu sebelum puasa Sunnah Syawal. Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, kemudian dia memulai puasa enam syawal, maka dia tidak mendapatkan keutamaan pahala orang yang puasa ramadhan dan mengirinya dengan enam syawal, sebab dia belum menyempurnakan puasa Ramadhan”.

Menggabungkan Puasa Syawal Dengan Puasa Senin Kamis

Berdasarkan penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Rosyid Al Ghofili, menggabungkan puasa syawal dengan puasa senin kamis hukumnya adalah :

Ada sebagian orang yang melakukan puasa enam hari di bulan Syawal sekaligus berniat puasa senin kamis karena itulah hari kebiasaan puasanya. Yang ia harapkan adalah pahala kedua puasa tersebut. Dan ini adalah pendapat sebagian ulama yang dianggap sebagai ijtihad mereka. Namun yang jelas ijtihad ini adalah ijtihad yang keliru. Yang benar, tidak bisa diperoleh pahala puasa Syawal dan puasa senin kamis sekaligus. Karena puasa enam hari di bulan Syawal punya keutamaan tersendiri dan puasa senin kamis punya keutamaan tersendiri.

Begitu pula contoh lainnya, siapa yang menjadikan puasa enam hari di bulan Syawal satu niat dengan puasa ayyamul biid (puasa pada tanggal 13, 14, dan 15 hijriyah). … Penggabungan niat seperti ini adalah pendapat yang tidak benar dan tidak ada dasarnya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara dalam urusan agama kami yang tidak ada dasarnya, maka amalan tersebut tertolak” (Muttafaqun ‘alaih). Ibadah itu sudah paten baik ibadah yang sunnah maupun yang wajib. Ibadah itu masuk dalam hukum syar’i, artinya harus ada dalil yang membenarkannya. Sehingga tidak boleh bagi seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala kecuali dengan dalil yang benar-benar tegas, yang tidak ada keraguan di dalamnya.

Sebarkanlah ilmu ini kepada yang lainnya, siapa tahu ada yang bersemangat melaksanakannya karena sebab dirimu sehingga engkau pun meraih pahala dengan sebab tersebut.

Khutbah Idul Fitri: 3 Pelajaran Pada Momentum Idul Fitri


Khutbah Idul Fitri 1437 H: Tiga Pelajaran Pada Momentum Idul Fitri


الله اكبر… الله اكبر… الله اكبر… لااله الاالله والله اكبر الله اكبر ولله الحمد


َاللهُ اكبَر كَبيْرًا والحَمدُ للهِ كثِيرًا وَسُبحَانَ اللهِ بُكرَةً واَصِيلا, لااله اِلااللهُ ولانعْبدُ الاإيّاه, مُخلِصِينَ لَه الدّ يْن, وَلَو كَرِهَ الكَا فِرُون, وَلَو كرِهَ المُنَافِقوْن, وَلَوكرِهَ المُشْرِكوْن, لاالهَ اِلا اللهَ وَحدَه, صَدَق ُوَعْدَه, وَنَصَرَ عبْدَه, وَأعَزّجُندَهُ وَهَزَمَ الاحْزَابَ وَاحْدَه, لاالهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر, اللهُ اكبَرُ وَِللهِ الحَمْد

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ، الحمد لله الَّذِيْ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأََشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيَا إِلَى الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى محمد وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا.
أَمَا بَعْدُ؛

Segala puji bagi Allah, yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat hamba-hambanya, Maha suci Allah, Dia-lah yang menciptakan bintang-bintang di langit, dan dijadikan padanya penerang dan Bulan yang bercahaya.

Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, yang diutus dengan risalah kebenaran, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, mengajak pada kebenaran dan menerangi umatnya dengan cahaya keimanan.

Ya Allah, jadikanlah kecintaan kami kepada Rasulallah SAW bagaikan Abu Bakar yang menangis bahagia saat diizinkan Rasulallah SAW untuk menemaninya dalam berhijrah ke Madinah.

Aisyah (RA) berkata,

فَرَأَيْت أَبَا بَكْر يَبْكِي , وَمَا كُنْت أَحْسَب أَنَّ أَحَدًا يَبْكِي مِنْ الْفَرَح

“Maka, aku melihat Abu Bakar menangis, dan aku tak pernah mengira ada seseorang yang menangis sedemikian hebatnya karena bahagia”.

Ya Allah, jadikanlah kecintaan kami kepada Rasulallah SAW bagaikan Bilal bin Rabah yang tak mampu lagi kumandankan adzan setelah kematian Rasulallah SAW, semata karena dia tak mampu lagi mengingat wajah Rasul yang mulia itu. Bahkan, Bilal mengajukan pensiun dini dari pekerjaannya sebagai muadzin masjid Nabawi setelah Rasulallah SAW wafat. Dia memilih hidup di Suriah agar dapat berjihad dalam dakwah, namun kecintaannya kepada Rasulallah tak pernah bisa pudar. Saat sakratul maut, isterinya menangis sebab mereka jauh dari para sahabat Nabi di Madinah.

Bilal berkata,

لاَ تَبْكِي.. غَدًا نَلْقِى الْأَحَبَة.. مُحَمَدََا صلى الله عليه وسلم

"Janganlah engkau menangis, dinda, sebab besok aku akan berjumpa dengan (manusia) yang paling kucinta, Muhammad SAW."

Jadikanlah kami penyambung risalah perjuangan Rasulallah SAW hingga tidak ada umat manusia di muka bumi ini yang tidak tahu keagungan pribadinya. Maka, jadikanlah perjuangan kami seperti Iqbal yang berkata,

إنْ كَانَ لِيْ نَغْمُ الْهُنُودِ وَدِنٍهم ***لَكِنْ ذَاْكَ الصَوْتِ مِنْ عَدْنَانِ

Meskipun dalam darahku mengalir keturunan India *** tetapi suaraku adalah penyampai keturunan Adnan (Rasulallah SAW)

الله أكبر…الله أكبر…الله أكبر…ولله الحمد


Hadirin kamu muslimin dan muslimat jamaah shalat Idul Fitri yang mulia.

Maka, pada pagi yang indah ini, saat kumandang takbir bersahutan dengan kicauan burung dan gemericik rahmat ampunan dari Allah SWT, saya selaku khatib, pertama-tama ingin mengajak hadirin sekalian untuk meningkatkan taqwa kepada Allah SWT. Taqwa dalam arti menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya.

Izinkanlah saya selaku khatib dalam khutbah yang singkat ini menyampaikan tiga momentum pembelajaran.

PERTAMA: Idul Fitri sebagai momentum pembelajaran tentang usia.

Ketika Rasulallah SAW berhijrah ke Madinah, beliau SAW mendapati orang-orang berpesta dalam dua hari. Rasulallah SAW bertanya, “Ada apa ini?” Para penduduk Madinah itu menjawab, “Kami dulu berpesta dalam dua hari ini”. Rasulallah SAW kemudian berkata,

قدْ أبدلَكم اللهُ تعالَى بِهِمَا خيرًا مِنْهُمَا يومَ الفطرِ ويومَ الأَضْحَى

“Sungguh, Allah SWT telah mengganti dua hari itu dengan yang lebih baik dari padanya: Idul Fitri dan Idul Adha”.

Sejak peristiwa itu umat Islam menunaikan shalat Idul Fitri di Madinah. Budaya jahiliyah yang berpesta-pora dalam dua hari, diganti oleh ajaran Islam dengan bersyukur pada Allah SWT. Sepanjang malam raya, kaum muslimin bertahmid, bertasbih, dan bertahlil mengagungkan asma Allah SWT.

Di Madinah, Rasulallah SAW bertindak selaku imam dan khatib shalat. Shalat ditunaikan tanpa adzan dan iqomah. Rasulallah datang ke Musholah (tempat sholat), dan langsung memimpin sholat ‘Id tanpa shalat sunnah lainnya, lalu beliau SAW menyampaikan khutbahnya. Khutbah seperti itulah yang pada pagi hari ini sedang khatib tunaikan sebagai upaya mencontoh Rasulallah SAW.

Maka, Syukur kita bahwa pada pagi ini kita sampai di gerbang kemenangan Idul Fitri dengan diberikan umur panjang. Umur merupakan salah satu nikmat Allah SWT yang seringkali diabaikan oleh hamba-hamba-Nya. Ada dua nikmat, kata Rasulallah SAW, yang manusia sering terlena: sehat dan umur.

Bukankah tidak ada seorang pun di antara kita yang mampu membendung perjalanan usia. Karena itu, Idul Fitri menjadi pembelajaran penting tentang perjalanan usia kita. Bila pada Idul Fitri tahun lalu kita masih berusia dua puluh lima tahun, misalnya, maka Idul Fitri tahun ini kita sudah berusia dua puluh enam tahun. Begitulah seterusnya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal, Rasulallah bersabda,

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدِِ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَى يُسْأَلُ عَنْ أرْبَع خِصَالِِ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أبْلَاهُ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أينَ اكْتَسَبْهُ وَفِيْمَا أنْفَقَهُ وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيْهِ.

“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba di hari kiamat hingga ditanyakan kepadanya empat hal: Usianya untuk apa ia habiskan, masa mudanya bagaimana ia pergunakan, hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia keluarkan, serta ilmunya, apa yang ia telah perbuat dengannya.”

Manusia tercipta mula-mula lemah, kemudian kuat, dan kemudian lemah kembali seraya tumbuh uban di kepalanya. Allah SWT berfirman,

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۖ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ

"Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan kamu sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat. Kemudian Dia menjadikan kamu sesuadah kuat itu lemah (kembali) dan beruban." (QS : Ar-Rum 54)

Bila kita renungi secara lebih sungguh-sungguh, maka kita akan dapatkan bahwa seluruh rangkaian kewajiban agama kita merupakan peringatan bagi diri kita tentang perjalanan usia kita di dunia ini.

Untuk itulah, para ulama terdahulu, dalam upayanya merenungi setiap detik kehidupan yang dijalaninya, mengatakan, shalat lima waktu adalah “neraca harian” kita. Shalat Jum’at merupakan “neraca pekanan”, puasa di bulan Ramadhan menjadi semacam “neraca tahunan”, dan ibadah haji menjadi “neraca atau timbangan usia” kita.

Bila setiap muslim melakukan kalkulasi dengan benar pada neraca hariannya, pekanannya dan tahunan niscaya ia akan beruntung dalam menapaki kehidupan ini. Demikian pula sebaliknya, mereka yang tak pernah melihat neraca kehidupannya, hanya akan menjadi manusia-manusia yang merugi.

Demikianlah kita mendengar Umar bin Khattab berkata, barangsiapa yang hari ini sama dengan harinya yang kemarin, maka dia adalah orang yang tertipu. Dan barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia adalah orang yang tercela.

Sadarkan diri kita semua bahwa usia sangat cepat berlalu. Ia berlari meninggalkan kita melebihi kemampuan kita untuk mengejarnya. Perhatikanlah, rasanya baru kemarin kita memulai ramadhan, tetapi kini kita telah berada di hari raya Idul Fitri.

Baru kemarin, rasanya, kita duduk di bangku Sekolah Dasar, bermain-main petak umpat dengan teman sebangku, bercengkerama dengan teman sekelas dan bersenda gurau di bangku kuliah. Kini kita telah disini, di kesenjaan usia kita, sebagian telah merayakan reuni alumni yang ke-empat puluh, sebagian lain telah bermenantu, beranak cucu dan sebagian lain sulit menemukan rambut hitam di kepalanya sendiri.

Waktu laksana angin, ia berhembus cepat baik saat kita senang ataupun susah. Dan, manakala maut datang menjemput, masa-masa yang panjang yang pernah dilalui seseorang hanyalah merupakan bilangan masa pendek yang berlalu bagaikan kilat.

Penyair Arab mengatakan,

إِذَا كَانَ أَخِرُ الْعُمْرِ مَوْتََا، فَقَصِيْرُهُ وَالطَوِيْلُ سَوَاءٌ

Apabila akhir dari perjalanan umur adalah kematian, maka panjang pendeknya usia sama saja. Ia hanya tertulis di batu nisan. Selebihnya adalah hisab

Maha benar Allah SWT dalam firman-Nya,

كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا

Pada hari mereka melihat hari kebangkitan itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melaikan (sebentar saja) yaitu di waktu sore atau di waktu pagi. (QS: An-Nazi’at ayat 46)

Waktu yang telah berlalu tak akan pernah kembali. Setiap detik yang bergeser dari jam tangan kita telah menjadi sesuatu yang lampau. Ia pergi dan kita masih di sini, dengan sejuta persoalan yang membelenggu diri kita.

Hasan al-Basri, seorang penyair sufi berkata,

مَا مِنْ يَوْمِِ يَنْشُقُ فَجْرُهُ، إِلَا وَيُنَادِى: يَا ابْنَ آدَمَ أنَا خَلْقٌ جَدِيْدُ، وَعلَى عَمَلِكَ شَهِيدُ، فَتَزَوَدْ مِنِي، فَإِنِي إذَا مَضَيْتُ لاَ أعُوْدُ إلىَ يَوْمِ الِقيَامَةِ

Tidaklah fajar hari ini terbit, kecuali ia akan memanggil, “Wahai anak Adam, aku adalah ciptaan yang baru dan aku akan menjadi saksi atas setiap pekerjaanmu, maka mintalah bekal kepadaku. Karena bila aku telah berlalu, aku tak akan kembali hingga hari kiamat tiba.”

Untuk itulah, sering kita dapati orang yang meratapi masa mudanya saat ia telah berusia renta, lanjut dimakan zaman, rapuh dikikis angan-angan.

Penyair Arab lainnya mengatakan,

ِوَمَا اْلمَرْءُ إِلَا رَاكِبُ ظَهْرِ عٌمْرِهِ *** عَلىَ سَفَرِِ يُطْوِيهِ بِالْيَوْمِ وَالشَهْر
وَيًضَحِى كٌلَ يَوْمِِ وَلَيْلَةِِ *** بَعِيْداً عَنِ الدُنْيَا قَرِيْباً مِنَ القَبْر

Seseorang hanyalah pengendara di atas pundak usianya ***Berkelana ia mengikuti hari dan bulan.Ia berjuang dan rehat di siang dan malam ***Semakin jauh dari dunia, semakin dekat ia dengan pusara.

Maka, hari ini kita pun berbahagia sebab diberi umur panjang dan telah terlahir kembali sebagai manusia yang bersih. Ibarat ulat, kita telah melewati masa kepompong. Kini, kita telah menjadi kupu-kupu yang indah setelah sebulan penuh dibungkus dalam ketaatan kepada Allah SWT, menahan hawa nafsu, amarah murka, bahkan menghindari hal-hal yang halal di siang hari.

الله أكبر…الله أكبر…الله أكبر…ولله الحمد

Hadirin kamu muslimin dan muslimat jamaah shalat Idul Fitri yang mulia.

Kedua: Idul Fitri sebagai momentum pembelajaran tentang taubat.

Pembelajaran kedua dari peristiwa Idul Fitri adalah tentang taubat. Selama Ramadhan, kita bertarawih, qiyamul lail, shalat witr dan berbagai ibadah sunnah lainnya yang merupakan wujud taubat kita. Kini, Idul fitri menjadi gerbang kemenangnya.

Memang, dalam menjalani kehidupan ini, kita pasti pernah berbuat salah dan dosa. Hal demikian adalah manusiawi. Sebab, bukankah Rasulallah SAW berkata,

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Setiap anak cucu Adam memiliki dosa, dan sebaik-baik pendosa adalah dia yang bertaubat”.(HR Ibnu Majah). Mengapa demikian, sebab “manusia diciptakan dalam keadaan lemah” (QS An-nisa: 28)

Manusia yang lemah itu diberikan jalan taubat sebagai wujud kasih sayang Allah kepada kita. Suatu hari, Umar bin Khattab RA datang menghadap Rasulallah SAW dengan membawa beberapa orang tawanan. Di antara para tawanan itu terlihat seorang wanita sedang mencari-cari anaknya, lalu jika ia mendapatkan seorang bayi di antara tawanan dia langsung mengambil bayi itu, mendekapkannya ke perut untuk disusui. Lalu Rasulullah SAW berkata kepada kami, “Bagaimana pendapat kamu sekalian, apakah wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam api?” Kami menjawab, Tidak, demi Allah, sedangkan dia mampu untuk melemparnya. Rasulullah SAW bersabda, “sungguh Allah lebih mengasihi hamba-Nya dari pada wanita ini terhadap anaknya”. (HR Muslim).

Karena sedemikian kasih dan sayangnya Allah pada kita, maka Allah sangat senang bila seorang hamba terlanjur berbuat dosa lalu bertaubat, berjanji sepenuh hati tak akan pernah mengulangi perbuatannya.

Rasulallah SAW menggambarkan kesenangan Allah itu dengan berkata, “Sungguh Allah akan lebih senang menerima taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada-Nya dari pada (kesenangan) seorang di antara kalian yang menunggang untanya di tengah padang luas yang sangat tandus, lalu unta itu terlepas membawa lari bekal makanan dan minumannya dan putuslah harapannya untuk memperoleh kembali. Kemudian dia menghampiri sebatang pohon lalu berbaring di bawah keteduhannya karena telah putus asa mendapatkan unta tunggangannya tersebut. Ketika dia dalam keadaan demikian, tiba-tiba ia mendapati untanya telah berdiri di hadapannya….. (HR Muslim)

Seringkali kita merasa bahwa dosa yang kita lakukan hanya dosa-dosa kecil saja, sehingga tak diperlukan segera bertaubat.

Ibnul Qayyim berkata,

لَا تَحْقِرَنَ صَغِيرِ الْمَعْصِيَةَ ، فَالْعُشَبُ يَفْتُلُ مِنْهُ حِبَال تَجُرُ السُفُن

Jangan meremehkan dosa-dosa kecil. (Lihatlah) patok kayu (di dermaga) yang melilit tambang, ia bahkan dapat menarik kapal.

Karena itu, taubat tidaklah sebatas usaha seorang hamba untuk memohon ampunan dari Allah, namun ia sekaligus termasuk ibadah yang mulia di sisi-Nya karena perbuatan itu merupakan perintah dari Allah. Sebagaimana Allah berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ تُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ تَوۡبَةٗ نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمۡ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمۡ سَيِّ‍َٔاتِكُمۡ وَيُدۡخِلَكُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ يَوۡمَ لَا يُخۡزِي ٱللَّهُ ٱلنَّبِيَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُۥۖ نُورُهُمۡ يَسۡعَىٰ بَيۡنَ أَيۡدِيهِمۡ وَبِأَيۡمَٰنِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَتۡمِمۡ لَنَا نُورَنَا وَٱغۡفِرۡ لَنَآۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ٨

"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu". (QS At-tahrim:8)"

Karena itulah, taubat merupakan amalan para nabi. Aisyah mengatakan, “Dahulu Rasulullah sebelum meninggal banyak mengucapkan: maha Suci Allah dan dengan memuji-Nya aku memohon ampun dan aku bertaubat kepada-Nya.” (HR Bukhari-Muslim)

Demikian pula para nabi sebelumnya. Adam dan Hawa, adalah para pendosa pertama yang segera bertaubat. Allah abadikan dalam firman-Nya,

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ

"Keduanya berkata, wahai Tuhan kami, kami adalah orang-orang yang berbuat zhalim pada diri-diri kami, kalau sekiranya Engkau tidak mengampuni (dosa-dosa) dan merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang celaka”. (QS Al-A’raf: 23)"

Saudaraku, sesungguhnya rahmat Allah itu sangat luas sehingga tidak sepantasnya bagi seorang hamba untuk berputus asa dari rahmat-Nya. Maka menarik untuk mengutip Ibnul Qayyim sekali lagi. Katanya,

لَوْ عَلِمَ الْعَاصِي أنَ لَذَةَ التَوْبَة تَزِيْد عَلَى لَذَةِ اْلمَعْصِيَةِ أضْعَافََا مُضَاعَفَة لَبَادِر إلَيْهَا أعْظَمَ مِنْ مُبَادَرَتِهِ إلىَ لذَةِ الْمَعْصِيَةِ

Sekiranya seorang pelaku maksiat mengetahui bahwa kenikmatan bertaubat lebih dahsyat berlipat-lipat dari kelezatan maksiat, niscaya dia akan bersegera menuju taubat lebih cepat dare usahanya menggapai maksiat.

الله أكبر…الله أكبر…الله أكبر…ولله الحمد

Hadirin kamu muslimin dan muslimat jamaah shalat Idul Fitri yang mulia.

Ketiga: Idul Fitri sebagai momentum pembelajaran tentang sabar

Pembelajaran ketiga dari peristiwa Idul Fitri adalah tentang sabar. Selama ramadhan kita dilatih untuk bersabar, dan Idul Fitri ini adalah momentum gerbang kemenangannya.

Seringkali, dalam menjalani kehidupan ini, kita bertemu dengan persoalan yang menguras energi, sabar adalah kunci jawabannya. Dalam ilmu akhlak, sabar dimaknai “berjuang melakukan segala perintah Allah, menjauhi larangannya dan menghindar dari prasangka buruk atas segala takdir-Nya”.

Ia mudah diucapkan, sulit dilaksanakan. Suatu kali, Rasulallah SAW melewati pemakaman. Beliau mendapati wanita menangis tersedu-sedu, beliau kemudian berkata, “bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah”. Wanita itu menjawab, “engkau tidak merasakan apa yang kurasakan, karena engkau tidak mengalami musibah seperti aku”.

Wanita itu tak mengetahui bahwa itu Rasulallah SAW sampai seseorang kemudian memberitahunya. Dia lalu mendatangi rumah Rasulallah SAW, dan meminta maaf. “Aku tadi tidak mengenalimu”, katanya. Rasulallah SAW pun berkata,

إِنَمَا الصَبْرُ عِنْدَ الصَدْمَةِ الْأوُلَى

“Sesungguhnya sabar itu adalah pada pukulan pertama”. (HR Muslim)

Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa sabar itu bukanlah selepas kita puas mengamuk, mencaci-maki lalu setelah tersadar, kita mengurut dada sambil berkata, “Aku sabar sekarang”.
Lebih jauh, Rasulallah SAW mengingatkan bahwa para Nabi adalah orang-orang yang paling berat ujiannya, lalu orang-orang shaleh, lalu masyarakat pada umumnya. Karena itu, saat mendapat musibah yang menguji kesabaran, kita berharap sedang naik kelas menuju tangga kemuliaan yang lebih tinggi.

Ibnul Qayyim berkata,

إٍذَا طَالَ عَلَيْكَ وَقْتُ الْبَلاَءِ مَعَ اِسْتٍمْرَارٍكَ بِالدُعاَءِ فَاعْلَمْ أنَ اللهَ لَنْ يُرٍيْد إجَابَةَ دَعْوَتَكَ فَقَطْ ..!! بَلْ يُُرٍيْدُ أنْ يُعْطِيْكَ فَوْقَهَا عَطَايَا لَمْ تَطْلًبْهَا أنْتَ


"Jika kesulitan hidup yang engkau rasakan berkepanjangan padahal tak pernah berhenti kau berdoa pada Allah, yakinlah bahwa sesungguhnya Allah tidak saja ingin menjawab doa-doamu itu. Tetapi Dia ingin memberikanmu karunia lain yang bahkan engkau tak memintanya”.

Ulama mengatakan, tiga hal yang merusak kesabaran: tergesa-gesa, marah dan cepat putus asa. Umar bin Khattab berkata, “tergesa-gesa adalah perbuatan syaitan”.

Marah juga merusak kesabaran. Dikisahkan bahwa Nabi Yunus tak kuasa menahan emosi. Dia pergi meninggalkan kaumnya yang tak kunjung beriman. Namun, kepergiannya belum mendapat izin Allah SWT. Alih-alih untuk mendapatkan kebebasan, dia justru mendapatkan kesempitan.

Dalam perjalanan lautnya, dia kemudian ditelah ikan paus. Allah berfirman,

وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَىٰ فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Nabi Yunus, ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan sangat gelap bahwa: ‘Tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim”. (QS al-Anbiya: 87)

Faktor ketiga yang merusak kesabaran adalah cepat putus asa. Bukankah Nabi Ya’kub tak pernah putus asa mencari puteranya yang hilang hingga Allah pertemukan kembali dengan Nabi Yusuf. Allah SWT abadikan kisah itu pada ayat berikut ini:

يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

“Hai anak-anakku, pergilah kalian, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum yang kafir”. (QS Yusuf: 87)

Untuk itulah, para ulama mengatakan, dalam hal kesabaran belajarlah dari Nabi Ayub. Memang sebarapa sabar Nabi Ayub? Dalam riwayat diceritakan, ketika Nabi Ayub diuji dengan penyakit, semua orang menjauhinya. Bukan hanya itu, seluruh usahanya bangkrut. Tujuh anaknya meninggal dan ia didera penyakit menjijikan. Saat semua orang menjauhinya, hanya isterinya yang sabar melayaninya.

Hingga suatu hari, isterinya berkata, “Tak bisakah kau meminta Tuhanmu agar menyembuhkanmu dan kehidupan kita kembali normal?”. Sebuah permintaan yang menusiawi. Namun, Ayub menjawab, “Berapa tahun usiaku dalam keadaan sehat dulu?” Istrinya menjawab, “delapan puluh tahun”. Ayub bergumam, “Sungguh tak pantas aku mengeluh untuk sakit yang baru delapan belas tahun ini”.

Allah SWT mengabadikan kata hati Ayub dalam firman-Nya,

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

“Dan kisah Nabi Ayub ketika dia bergumam, wahai Tuhanku, Engkau pertemukan aku dengan ujian, dan Engkau sebaik-baik pemberi Kasih Sayang” (QS al-Anbiya: 83).

Ayub tak mengeluh sedikitpun. Sampai suatu hari, Ayub meminum segelas air dan dengan izin Allah seluruh penyakitnya hilang. Ia bahkan kembali muda, tampan dan mempesona. Saat isterinya kembali ke rumah, dia tak mengenali suaminya, dan bertanya, “Hai anak muda, apakah engkau melihat orang sakit yang ada di rumah ini?”

Ayub tersenyum, dan berkata, “Akulah orang yang engkau maksudkan itu”. Setelah itu, Allah membalas kesabaran Ayub dan istrinya dengan memberi keturunan, harta dan kesuksesan. Ibnu Abbas mengatakan, “kesabaran Ayub dan istrinya adalah teladan utama dalam menghadapi ujian Allah. Karena itu, keduanya mendapat kehormatan dengan diberikan anak-anak sebanyak dua puluh tujuh orang”.

Demikianlah tiga pembelajaran dari momentum hari raya Idul Fitri ini. Semoga kita termasuk orang-orang yang pandai mengambil hikmah dari hari ke hari agar saat usia semakin bertambah, kita semakin sering bertaubat dan semakin pandai pula dalam bersabar.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلَ الله مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنَِّهُ هُوَاالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أقُوْلُ قَوْلِي هَذا وَأسْتَغْفِرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ لَِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Anak Menangis ketika Shalat


Assalamu'alaikum. RMI Alur Cucur kali ini akan membagikan materi Anak Menangis ketika Shalat. Bagi yang baru berkeluarga pasti mengalami hal yang seperti ini. baik di mesjid atau pun di rumah. Jadi apa yang harus kita lakukan ketika kita Shalat anak kita menangis?

Bismillahirrahmanirrahim.

Terkait kasus anak menangis ketika shalat, ada beberapa yang perlu diperhatikan.

Pertama, dibolehkan membatalkan shalat jika ada kebutuhan mendesak

Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin – kitab Madzhab Hanafi – dinyatakan,

مطلب قطع الصلاة يكون حراما ومباحا ومستحبا وواجبا. نقل عن خط صاحب البحر على هامشه أن القطع يكون حراما ومباحا ومستحبا وواجبا، فالحرام لغير عذر والمباح إذا خاف فوت مال، والمستحب القطع للإكمال، والواجب لإحياء نفس.

Pembahasan tentang membatalkan shalat. Bisa hukumnya haram, mubah, mustahab (dianjurkan), dan wajib. Dinukil dari karya penulis kitab al-Bahr di catatan kaki, bahwa membatalkan shalat hukumnya haram, mubah, mustahab, dan wajib. Haram jika tanpa udzur, mubah jika untuk menyelamatkan harta, dianjurkan jika hendak menyempurnakan shalat, dan wajib untuk menyelamatkan jiwa. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/52).

Kedua, dibolehkan melakukan gerakan yang tidak berlebihan ketika shalat, ketika ada kebutuhan. Seperti menggendong anak.

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu,  beliau menceritakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُصَلِّى وَهْوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَلأَبِى الْعَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ ، فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا ، وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat menjadi imam sambil menggendong Umamah bintu Zainab bintu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umamah adalah putri Abil Ash bin Rabi’ah. Ketika beliau sujud, beliau letakkan Umamah. Ketika beliau berdiri, beliau gendong Umamah.” (HR. Bukhari 516 & Muslim 1240)

Ketiga, setiap orang tua bisa belajar mengenali tangisan anaknya. Ketika anak menangis dalam shalat, ada 2 kemungkinan penyebab,

  1. Tangisan karena dia mengalami kondisi yang membahayakan dirinya, sehingga segera butuh pertolongan.  Seperti terjatuh, atau tangisan karena diganggu binatang.
  2. Tangisan karena kecewa atau merasa bosan.
Dalam Fatwa Islam dinyatakan bahwa

Jika anak menangis ketika shalat jamaah, sementara orang tuanya tidak bisa mendiamkannya dengan tetap bertahan shalat, dibolehkan untuk membatalkan shalat untuk menolongnya. Dikhawatirkan dia menangis karena ada bahaya yang mengenai dirinya.
Jika tangisan anak bisa ditenangkan dengan tanpa harus membatalkan shalat, misalnya dengan digendong atau ditaruh di pangkuan, itu lebih baik. (Fatwa Islam, no. 75005)

Keempat, imam turut meringankan beban jamaah

Ketika imam mendengar ada anak menangis yang sulit untuk didiamkan, imam dianjurkan meringankan shalat jamaah. Dengan tetap memperhatikan kekhusyuan shalat.

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنِّى لأَقُومُ فِى الصَّلاَةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا ، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِىِّ ، فَأَتَجَوَّزُ فِى صَلاَتِى كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ

Saya pernah mengimami shalat, dan saya ingin memperlama bacaannya. Lalu saya mendengar tangisan bayi, dan sayapun memperingan shalatku. Saya tidak ingin memberatkan ibunya. (HR. Ahmad 2202 dan Bukhari 707)

Ar-Ruhaibani mengatakan,

ويسن للإمام تخفيف الصلاة إذا عرض لبعض مأمومين في أثناء الصلاة ما يقتضي خروجه منها كسماع بكاء صبي

Dianjurkan bagi imam untuk meringankan shalatnya ketika ada masalah dengan sebagian makmum pada saat shalat jamaah, sehingga mendesak makmum untuk segera menyelesaikan shalatnya, seperti mendengar tangisan bayi. (Mathalib Ulin Nuha, 1/640).

Allahu a’lam.

Ketika Shalat ada Orang Pingsan


Assalamualaikum Kembali lagi dengan RMI Alur Cucur. Pernah kah saudar/i di situasi saat sholat berjamaah ada orang yang pingsan di sebelah kita. apa yang harus kita perbuat. Lanjut Sholat, apa nolong orang yang pingsan?
Kali ini RMI akan membahas Ketika Shalat ada Orang Pingsan.

Membatalkan shalat wajib secara sengaja tanpa udzur syar’i hukumnya terlarang.

Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin, kitab madzhab Hanafi, dinyatakan,
مطلب قطع الصلاة يكون حراما ومباحا ومستحبا وواجبا. نقل عن خط صاحب البحر على هامشه أن القطع يكون حراما ومباحا ومستحبا وواجبا، فالحرام لغير عذر والمباح إذا خاف فوت مال، والمستحب القطع للإكمال، والواجب لإحياء نفس.

Pembahasan tentang membatalkan shalat. Bisa hukumnya haram, mubah, mustahab (dianjurkan), dan wajib. Dinukil dari karya penulis kitab al-Bahr di catatan kaki, bahwa membatalkan shalat hukumnya haram, mubah, mustahab, dan wajib. Haram jika tanpa udzur, mubah jika untuk menyelamatkan harta, dianjurkan jika hendak menyempurnakan shalat, dan wajib untuk menyelamatkan jiwa. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/52).

Mengapa shalat wajib tidak boleh dibatalkan?

Karena orang yang telah melakukan amal wajib, maka harus diselesaikan. Kecuali jika ada udzur tertentu.

Dalam ar-Raudhah Bahiyah menjelaskan,

ويحرم قطع الصلاة الواجبة اختياراً للنهي عن إبطال العمل المقتضي له إلا ما أخرجه الدليل، واحترز بالاختيار عن قطعها لضرورة كحفظ نفس محترمة من تلف أو ضرر

Haram membatalkan shalat wajib secara sengaja, karena adanya larangan membatalkan amal yang harus diselesaikan. Selain yang dikecualikan dalil. Atau tidak ada plihan selain membatalkannya karena kondisi darurat, seperti menyelamatkan jiwa dari bahaya atau ancaman.


Berbeda dengan shalat sunah yang memiliki kelonggaran untuk membatalkannya jika ada keperluan.

Imam Ibnu Baz mengatakan,
الصلاة إن كانت نافلة فالأمر أوسع لا مانع من قطعها لمعرفة من يدق الباب. أما الفريضة فلا يجوز قطعها إلا إذا كان هناك شيء مهم يخشى فواته

Jika itu shalat sunah, aturannya lebih longgar. Boleh saja orang membatalkannya, ketika ada orang yang mengetuk pintu. Sedangkan shalat wajib, tidak boleh dibatalkan kecuali jika di sana ada kejadian sangat penting, yang dikhawatirkan kesempatannya hilang jika tidak segera ditangani. (Fatwa Ibnu Baz, no. 894)


Menyelamatkan Orang Pingsan ketika Shalat Jamaah

Menyelamatkan orang pingsan atau orang sakit ketika shalat jamaah, termasuk alasan yang membolehkan seseorang untuk membatalkan shalat wajib.

Dalam Kasyaf al-Qana’ – Fiqh madzhab Hambali- dinyatakan,
ويجب إنقاذ غريق ونحوه كحريق فيقطع الصلاة لذلك فرضاً كانت أو نفلاً، وظاهره ولو ضاق وقتها لأنه يمكن تداركها بالقضاء بخلاف الغريق ونحوه، فإن أبى قطعها لإنقاذ الغريق ونحوه أثم وصحت صلاته

Wajib menyelamatkan orang yang tenggelam atau kecelakaan lainnya, seperti kebakaran. Dia harus membatalkan shalatnya untuk menyelamatkan korban, baik shalat wajib maupun sunah. menurut riwayat yang dzahir, ini berlaku meskipun waktunya mepet. Karena shalat masih mungkin untuk diqadha. Berbeda dengan menyelamatkan orang tenggelam, tidak bisa ditunda. Jika dia tidak mau membatalkan shalatnya untuk menyelamatkan orang tenggelam, dia berdosa, meskipun shalatnya sah. (Kasyaf al-Qana’, 1/380).

Al-Iz bin Abdus Salam memasukkannya dalam ketegori mendahulukan penanggulangan mafsadah dari pada mengambil maslahat. Beliau menyebutkan contoh kedelapan untuk penerapan kaidah ini,

تقديم إنقاذ الغرقى المعصومين على أداء الصلاة لأن إنقاذ الغرقى المعصومين عند الله أفضل من أداء الصلاة؛ والجمع بين المصلحتين ممكن بأن ينقذ الغريق ثم يقضي الصلاة

Harus mendahulukan menyelamatkan orang tenggelam dari pada melaksanakan shalat. Karena menyelamatkan orang tenggelam lebih afdhal di sisi Allah dari pada melaksanakan shalat. Dan mungkin untuk digabung kedua maslahat itu, dengan menyelamatkan orang tenggelam, kemudian mengqadha shalatnya. (Qawaid al-Ahkam, 1/57).

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Shalat Tarawih Aturan Shalat Tarawih


Assalamualaikum, Kali ini kami akan menyambung postingan tentang Shalat Trawih tentang Aturan Shalat Tarawih. Oke Langsung aja.

Salam Setiap Dua Raka’at

Para pakar fiqih berpendapat bahwa shalat tarawih dilakukan dengan salam setiap dua raka’at. Karena tarawih termasuk shalat malam. Sedangkan shalat malam dilakukan dengan dua raka’at salam dan dua raka’at salam. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى

Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at.”[1] [2]

Istrihat Tiap Selesai Empat Raka’at

Para ulama sepakat tentang disyariatkannya istirahat setiap melaksanakan shalat tarawih empat raka’at. Inilah yang sudah turun temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyariatkan untuk membaca do’a tertentu ketika melakukan istirahat. Inilah pendapat yang benar dalam madzhab Hambali.[3]

Dasar dari hal ini adalah perkataan ‘Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,

يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat 4 raka’at, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat 4 raka’at lagi, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.”[4]

Yang dimaksud dalam hadits ini adalah shalatnya dua raka’at salam, dua raka’at salam, namun setiap empat raka’at ada duduk istrirahat.
Sebagai catatan penting, tidaklah disyariatkan membaca dzikir-dzikir tertentu atau do’a tertentu ketika istirahat setiap melakukan empat raka’at shalat tarawih, sebagaimana hal ini dilakukan sebagian muslimin di tengah-tengah kita yang mungkin saja belum mengetahui bahwa hal ini tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam.[5]

Ulama-ulama Hambali mengatakan, “Tidak mengapa jika istirahat setiap melaksanakan empat raka’at shalat tarawih ditinggalkan. Dan tidak dianjurkan membaca do’a-do’a tertentu ketika waktu istirahat tersebut karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal ini.”[6]

“Ash Sholaatul Jaami’ah” untuk Menyeru Jama’ah dalam Shalat Tarawih?

Tidak ada tuntunan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan Ash Sholaatul Jaami’ah. Ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Juga dalam shalat tarawih tidak ada seruan adzan ataupun iqomah untuk memanggil jama’ah karena adzan dan iqomah hanya ada pada shalat fardhu.[7]

Surat yang Dibaca Ketika Shalat Tarawih

Tidak ada riwayat mengenai bacaan surat tertentu dalam shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, surat yang dibaca boleh berbeda-beda sesuai dengan keadaan. Imam dianjurkan membaca bacaan surat yang tidak sampai membuat jama’ah bubar meninggalkan shalat. Seandainya jama’ah senang dengan bacaan surat yang panjang-panjang, maka itu lebih baik berdasarkan riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan.

Ada anjuran dari sebagian ulama semacam ulama Hanafiyah dan Hambali untuk mengkhatamkan Al Qur’an di bulan Ramadhan dengan tujuan agar manusia dapat mendengar seluruh Al Qur’an ketika melaksanakan shalat tarawih.[8]

Mengerjakan Shalat Tarawih Bersama Imam Hingga Imam Selesai Shalat

Sudah selayaknya bagi makmum untuk menyelesaikan shalat malam hingga imam selesai. Dan kuranglah tepat jika jama’ah bubar sebelum imam selesai. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”[9]

Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.

Shalat Tarawih bagi Wanita

Jika menimbulkan godaan ketika keluar rumah (ketika melaksanakan shalat tarawih), maka shalat di rumah lebih utama  bagi wanita daripada di masjid. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid As Saa’idiy. Ummu Humaid pernah mendatangi Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata bahwa dia sangat senang sekali bila dapat shalat bersama beliau. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ … وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى

Aku telah mengetahui bahwa engkau senang sekali jika dapat shalat bersamaku. …  (Namun ketahuilah bahwa) shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.”[10]

Namun jika wanita tersebut merasa tidak sempurna mengerjakan shalat tarawih tersebut di rumah atau malah malas-malasan, juga jika dia pergi ke masjid akan mendapat faedah lain bukan hanya shalat (seperti dapat mendengarkan nasehat-nasehat agama atau pelajaran dari orang yang berilmu atau dapat pula bertemu dengan wanita-wanita muslimah yang sholihah atau di masjid para wanita yang saling bersua bisa saling mengingatkan untuk banyak mendekatkan diri pada Allah, atau dapat menyimak Al Qur’an dari seorang qori’ yang bagus bacaannya), maka dalam kondisi seperti ini, wanita boleh saja keluar rumah menuju masjid. Hal ini diperbolehkan bagi wanita asalkan dia tetap menutup aurat dengan menggunakan hijab yang sempurna, keluar tanpa memakai harum-haruman (parfum)[11], dan keluarnya pun dengan izin suami. Apabila wanita berkeinginan menunaikan shalat jama’ah di masjid (setelah memperhatikan syarat-syarat tadi), hendaklah suami tidak melarangnya. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk ke masjid, namun shalat di rumah mereka (para wanita) tentu lebih baik.”[12]

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ إِلَى الْمَسَاجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ

Jika istri kalian meminta izin pada kalian untuk ke masjid, maka izinkanlah mereka.”[13]

Inilah penjelasan Syaikh Musthofa Al Adawi hafizhohullah yang penulis sarikan.[14]

Dari penjelasan para ulama di atas dapat kita simpulkan bahwa shalat tarawih untuk wanita lebih baik adalah di rumahnya apalagi jika dapat menimbulkan fitnah atau godaan. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih mengatakan bahwa shalat bagi wanita di rumahnya lebih baik daripada di masjidnya yaitu Masjid Nabawi. Padahal kita telah mengetahui bahwa pahala yang diperoleh akan berlipat-lipat apabila seseorang melaksanakan shalat di masjid beliau yaitu Masjid Nabawi.

Namun apabila pergi ke masjid tidak menimbulkan fitnah (godaan) dan sudah berhijab dengan sempurna, juga di masjid bisa dapat faedah lain selain shalat seperti dapat mendengar nasehat-nasehat dari orang yang berilmu, maka shalat tarawih di masjid diperbolehkan dengan memperhatikan syarat-syarat ketika keluar rumah. Di antara syarat-syarat tersebut adalah:
  1. Menggunakan hijab dengan sempurna ketika keluar rumah sebagaimana perintah Allah agar wanita memakai jilbab dan menutupi seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak tangan
  2. Minta izin kepada suami atau mahrom terlebih dahulu dan hendaklah suami atau mahrom tidak melarangnya
  3. Tidak menggunakan harum-haruman dan perhiasan yang dapat menimbulkan godaan.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

----------------------------------------------------------------
[1] HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749.

[2] Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah (2/9640), ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa seandainya seseorang melaksanakan shalat tarawih empat raka’at dengan sekali salam, shalatnya tidak sah. Shalatnya batal jika sengaja melakukannya dan mengetahui hal ini. Jika tidak batal, minimal yang ia kerjakan hanyalah shalat sunnah mutlak. Bisa seperti ini karena shalat tarawih mirip dengan shalat fardhu karena sama-sama dilaksanakan secara berjama’ah. Maka seharusnya tidak diubah sesuai yang diajarkan. Demikian dikatakan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah. Kami pun menemukan penjelasan yang sama sebagaimana dalam kitab Kifayatul Akhyar, hal. 138.

Akan tetapi ada keterangan berbeda dari ulama Syafi’iyah lainnya. Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi ketika menjelaskan hadits “shalat sunnah malam dan siang itu dua raka’at, dua raka’at”, beliau rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud hadits ini adalah bahwa yang lebih afdhol adalah mengerjakan shalat dengan setiap dua raka’at salam baik dalam shalat sunnah di malam atau siang hari. Di sini disunnahkan untuk salam setiap dua raka’at. Namun jika menggabungkan seluruh raka’at yang ada dengan sekali salam atau mengerjakan shalat sunnah dengan satu raka’at saja, maka itu dibolehkan menurut kami.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/30)

[3] Lihat Al Inshof, 3/117.

[4] HR. Bukhari no. 3569 dan Muslim no. 738.

[5] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/420.

[6] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9639

[7] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9634

[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/420.

[9] HR. An Nasai no. 1605, Tirmidzi no. 806, Ibnu Majah no. 1327, Ahmad dan Tirmidzi. Hadits ini shahih.

[10] HR. Ahmad no. 27135. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[11] “Jika salah seorang di antara kalian ingin mendatangi masjid, maka janganlah memakai harum-haruman.” (HR. Muslim no. 443)

[12] HR. Abu Daud no. 567 dan Ahmad 7/62. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

[13] HR. Muslim no. 442.

[14] Periksa http://www.islamfeqh.com/News/NewsItem.aspx?NewsItemID=1914