Tampilkan postingan dengan label Rumah Tangga. Tampilkan semua postingan

Sifat Wanita Yang Tidak Disukai Menurut Islam


Sifat-Sifat Wanita Yang Tidak Disukai Menurut Islam

Bismillahirromanirrohiim

1) MANAANAH

Yaitu wanita yang senantiasa menyebut-nyebut pemberiannya kepada suaminya hingga ia berkata ." Aku telah melakukan untukmu begini, begitu, begini dan begini ."

2) HADAAQAH

Yaitu wanita yang selalu menginginkan apa yang dilihatnya sehingga ia membebani suaminya untuk membelinya.Setiap kali mengujungi temannya dan melihat sesuatu yang dimilikinya ia tertarik dan ingin membelinya.

3) HANAANAH

Yaitu istri yang terlalu sayang dengan suami sebelumnya atau kepada anak-anak dari suami pertamanya atau selalu rindu kepada rumah keluarganya. Wanita begini lebih baik dijauhi.

4) BARAAQAH

Mengandung dua makna. Yaitu wanita yang diwaktu siang ia bersolek dan menghias wajahnya agar nampak cantik berkilau, atau wanita yang sering suka marah karena makanan.

5) SYADAAQAH

Yaitu wanita yang banyak berbicara.
Dikisahkan dari Sa'ih Al-Azdi bahwasanyaada seorang yang memberinya nasehat demikian. " Janganlah menikahi wanita yang memiliki empat tipe berikut

1. MUKHTALI'AH
Yaitu wanita yang suka menuntut 'khulu' yaitu cerai dengan harta yang dibayarkan oleh pihak istri atau mahar yang di kembalikan kepada suami tanpa sebab.

2. MUBARIYAH
Yaitu wanita yang sombong dan membanggakan faktor-faktor dunia.

3. AAHIRAH
yaitu wanita yang memiliki kekasih lain. (suka selingkuh)

4. NAASYIZ
Yaitu wanita yang mendominasi suaminya, baik perkataan maupun perbuatannya. Selain yang tersebut diatas, berikut ini masih ada tambahan kriteria wanita yang Tidak baik untuk dinikahi.

6) MAL'UUNAH

Yaitu wanita yang dilaknat oleh Rasulullah saw dan kita disuruh melaknatnya karena Tabarruj nya [berdandan ala jahiliyah] dan perbuatannya yang menyebarkan fitnah diantara manusia serta tidak taat kepada Allah dan suaminya.

7) FARIK

Yaitu wanita yang selalu marah pada suaminya

8) WARHAA'

Yaitu yang dungu.


Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan intropeksi kedalam diri kita, apakah kita mempunyai salah satu sifat buruk diatas? atau malah bukan cuma satu tapi beberapa?
Yuuk kita perbaiki kualitas diri kita, dengan segala cara agar kita bisa menghilangkan sifat-sifat tidak baik diatas, sehingga bisa menjadi wanita muslimah sejati, berahlak mulia, berhati bersih,istiqomah dan tentunya akan lebih di sayang Allah, disayang suami,ibu/bapak/teman/ anak dll, dsb..

Semoga kamu (wanita) bisa menjadi wanita muslimah terbaik, baik di keluarga kita, lingkungan kita, dan insya Allah negara Kita.Aamiin.., dan Insya Allah bahagia dunia Akhirat akan kita dapatkan., Aamiin.

Nadzor dalam Taaruf


Assalamu’alaykum, Bismillah.Ana hendak bertanya terkait nadzor:
  1. Syariat tentang nadzor.
  2. Batasan yang boleh dilihat saat nadzor, apakah boleh melepas jilbab dsb sesuai permintaan calon ikhwan.
  3. Siapa yang boleh ada untuk menemani saat nadzor.
  4. Berapa jangka waktu setelah nadzor untuk melangsungkan akad.
Wassalamu’alaykumUmmu Hafshah (Jakarta)


Jawaban:

Wa’alaikumus salam

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Nadzar (melihat) calon istri atau calon suami, disyariatkan dalam islam.  Agar tidak ada istilah menyesal di belakang, memastikan bahwa mereka menikah karena saling mencintai.

Diceritakan oleh al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau hendak melamar seorang wanita. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi saran kepadanya,

انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا


Lihat dulu calon istrimu, karena itu akan lebih bisa membuat kalian saling mencintai. (Ahmad 18154, Turmudzi 1110 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)

Dalam hadis lain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, bahwa ada seseorang yang menyampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa dirinya telah menikah dengan wanita anshar. Nabipun bertanya,

أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا

“Apakah kamu telah melihatnya?”
Jawab orang ini, “Belum.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan,

فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِى أَعْيُنِ الأَنْصَارِ شَيْئًا


Lihatlah calon istrimu, karena di bagian mata orang anshar ada sesuatu… (HR. Muslim 3550)


Nadzar itu Ada 2:

Nadzar resmi

Nadzar yang pertemuannya disepakati kedua belah pihak. Sehingga keduanya persiapan. Misalnya nadzar di rumah orang tua si wanita.

Nadzar tidak resmi

Nadzar yang dilakukan secara diam-diam oleh pihak lelaki, sementara pihak wanita tidak tahu.
Sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

فخطبت جارية فكنت أتخبأ لها ، حتى رأيت منها ما دعاني إلى نكاحها وتزوجتها


Ketika aku melamar seorang gadis, aku sembunyi-sembunyi untuk menadzarnya. Hingga aku bisa melihatnyaa, yang membuatku tertarik untuk menikahinya. Lalu aku menikahinya. (HR. Abu Daud 2084 dan dihasankan al-Albani)

Dalam riwayat lain, Jabir menceritakan,

فَخَطَبْتُ جَارِيَةً مِنْ بَنِى سَلِمَةَ فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا تَحْتَ الْكَرَبِ حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا بَعْضَ مَا دَعَانِى إِلَى نِكَاحِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا


Aku melamar seorang gadis dari bani Salimah. Aku sembunyi-sembunyi untuk mengintipnya di balik pelepah kurma, hingga aku bisa melihat bagian anggota badannya yang membuatku tertarik untuk menikahinya. Lalu aku menikahinya. (HR. Ahmad 14960).

Di posisi nadzar tidak resmi, lelaki boleh melihat bagian yang umumnya terlihat ketika wanita di rumahnya, seperti kepala, leher, atau kaki.

Anggota Badan Yang Boleh Dinampakkan ketika Nadzar

Dalam Ensiklopedi Fiqh disebutkan perbedaan ulama mengenai batasan anggota tubuh yang boleh dinampakkan,
  1. Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan sebagian Hambali sepakat bahwa bagian anggota badan yang boleh dinadzar ketika lelaki melamar adalah wajah dan telapak tangan (termasuk punggungnya), sampai ke pergelangan. Wajah untuk menilai kecantikan, sementara telapat tangan untuk menilai kesuburan badan.
Setelah Turmudzi membawakan hadis di atas, beliau mengatakan,

وقد ذهب بعض أهل العلم إلى هذا الحديث وقالوا لا بأس أن ينظر إليها ما لم ير منها محرما. وهو قول أحمد وإسحاق


Sebagian ulama berpendapat sesuai hadis ini. Mereka mengatakan, tidak masalah lelaki melihat calon istrinya, selama tidak melihat yang haram darinya. Dan ini pendapat Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah. (Jami’ at-Turmudzi, 4/370)
  1. Sementara Hanafiyah dalam sebagian riwayat membolehkan melihat kaki, karena kaki dalam madzhab hanafiyah bukan aurat.

  2. Hambali membolehkan melihat bagian yang biasa nampak, seperti kepala (tanpa jilbab), leher, atau kaki.
(al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 19/199).

Dan kesimpulan yang lebih tepat, bahwa pendapat jumhur diterapkan untuk nadzar resmi. Ketika lelaki yang melamar ingin bertemu dengan wanita yang dilamar, dia bisa datang ke rumahnya dan melihat wajah dan telapak tangan.

Sementara anggota tubuh lainnya, hanya boleh terlihat ketika nadzar dilakukan secara tidak resmi.

Demikian,

Allahu a’lam

Apakah Lama Berpisah Otomatis Cerai?


Pertanyaan :
Asalamu’alaikum.,
Ma’af sebelumnya dan terimakasih. Begini, ana mewakili pekerja atau TKI yang bekerja di luar negri, dan sangat ingin tau pemahaman dan hukum syariah bagi pasangan suami istri yang sudah lama berpisah karna merantau ke Luar Negeri, Ada yang 3thn , bahkan 6thn lebih…. apakah pernikahan itu masih syah, atau kita harus ijab ghobul lagi, atau istilah nya mebangun nikah……. kami sangat2 mhon penjelasan nya………
Wassallam…


Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Pertama, sesungguhnya talak termasuk akad lazim, yang dia sah jika dijatuhkan oleh pihak suami. Karena itu tidak ada istilah talak otomatis, baik karena suami istri berpisah lama untuk bekerja, atau karena sudah tidak cinta, atau sebab lainnya. Selama suami tidak mengucapkan kata talak, cerai, pegat, atau ucapan semacamnya, maka tidak ada talak.

Imam Ibnu Baz menjelaskan, kapan seorang wanita bisa dianggap telah ditalak,

تعتبر المرأة طالقاً إذا أوقع زوجها عليها الطلاق ، وهو عاقل مختار ليس به مانع من موانع الطلاق كالجنون والسكر ، ونحو ذلك . وكانت المرأة طاهرة طهراً لم يجامعها فيه أو حاملاً أو آيسة


Seorang wanita berstatus ditalak apabila
  • Suami menjatuhkan talak kepadanya
  • Ketika menjatuhkan talak, suami sehat akal, tidak dipaksa, tidak gila, tidak mabuk, atau semacamnya
  • Istrinya sedang suci (tidak sedang haid) dan belum digauli, atau sedang hamil, atau sudah menapause.

(Fatawa at-Talak Ibnu Baz, 1/35).

Oleh karena itu, semata berpisah lama – apapun sebabnya – tidaklah otomatis terjadi perceraian. Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan,

مجرد غياب الزوج عن زوجته لا يحصل به الطلاق مهما طالت المدّة

Semata-mata berpisah antara suami dan istri, belum terjadi talak, meskipun waktunya lama. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 122967).

Sudah Ada Sejak Masa Silam

Perpisahan antara suami istri dalam waktu lama, sudah lazim terjadi sejak masa silam. Kebiasaan sahabat, tabiin yang berangkat perang, atau merantau belajar, atau merantau berdagang, biasanya dilalui dalam kurun waktu yang sangat lama.

Dalam sebuah keterangan yang diriwayatkan Baihaqi, dinyatakan,

كتب عمر إِلى أُمراء الأجناد في رجال غابوا عن نسائهم يأمرهم أن يُنفقوا أو يُطلّقوا، فإِنْ طلَّقوا بعَثوا بنفقة ما مضى

Umar radhiyallahu ‘anhu, mengirim surat kepada para pemimpin pasukan, memerintahkan untuk para suami yang meninggalkan istrinya, agar mereka memberikan nafkah atau mentalaknya. Jika mereka mentalak istrinya, mereka harus mengirim jatah nafkah selama dia tinggalkan dulu. (HR. Baihaqi dan dishahihkan al-Albani dalam al-Irwa’, 2158).

Ibnul Mundzir mengatakan bahwa surat ini shahih dari Umar bin Khatab.

Bahkan salah satu murid Imam Malik yang bernama Ibnul Qosim, beliau meninggalkan istrinya di Mesir, untuk belajar kepada Imam Malik di Madinah.

Berapa lama Ibnul Qosim berpisah dengan istrinya?

Kurang lebih selama 17 tahun. Berpisah dengan istrinya untuk belajar hadis kepada Imam Malik. Dan mereka tetap suami istri, meskipun itu perpisahan mereka tanpa komunikasi sama sekali.

Kedua, keterangan di atas, sama sekali bukan memotivasi suami atau mengizinkan suami untuk meninggalkan istrinya tanpa sebab yang dibenarkan syariat. Jangan pula dipahami sebaliknya bahwa istri boleh meninggalkan suaminya. Keterangan di atas hanya menjelaskan hukum bahwa perpisahan suami istri dalam waktu lama, seperti yang terjadi pada para TKI, tidak otomatis terjadi talak.

Karena itu, jangan sampai dijadikan motivasi untuk saling berpisah, dengan alasan: ”Yang pentingkan gak cerai”. Dan kami sama sekali tidak menganjurkan perpisahan semacam ini. Sebaliknya, islam sangat menganjurkan untuk mempertahankan kebersamaan keluarga. Allah perintahkan para suami untuk selalu bersikap baik kepada istrinya,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Pergaulilah mereka dengan cara yang baik. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai satu sifat, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. An-Nisa: 19).

Islam juga memerintahkan agar istri taat kepada suami, selama tidak memerintahkan maksiat. Dari Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

Apabila wanita melaksanakan shalat 5 waktu, menjalankan puasa ramadhan, menjaga kehormatannya, dan mentaati suaminya, maka dibisikkan kepadanya, ’Silahkan masuk ke dalam surga dari pintu mana saja yang anda inginkan.’ (HR. Ahmad 1661, Ibnu Hibban 4163, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Bukankah ini bisikan yang sangat indah, ’Silahkan masuk ke dalam surga dari pintu mana saja yang anda inginkan.’ Suami menjaga istri dan istri mentaati suami, hanya bisa terjadi dengan sempurna ketika mereka hidup bersama.

Ketiga, Istri yang ditinggal pergi oleh suami, dan dia merasa keberatan karena pisah lama dengan suami, dia berhak untuk melakukan gugat cerai ke pengadilan agama.

Dalam Fikih Sunah dinyatakan,

للمرأة أن تطلب التفريق إذا غاب عنها زوجها ولو كان له مال تنفق منه، بشرط:


1 – أن يكون غياب الزوج عن زوجته لغير عذر مقبول .

2 – أن تتضرر بغيابه.

3 – أن تكون الغيبة في بلد غير الذي تقيم فيه.

4 – أن تمر سنة تتضرر فيها الزوجة.

Istri dibolehkan untuk gugat cerai ketika ditinggal oleh suaminya, meskipun suami telah memberikan nafkah untuknya, dengan syarat:
  1. Kepergian suami meninggalkan istri tanpa udzur yang bisa diterima
  2. Adanya madharat yang memberatkan istri karena kepergian suami.
  3. Kepergian suami ke luar daerah yang ditinggali istri
  4. Telah berlalu selama setahun sehingga menyebabkan istri tersiksa.
Penulis Fikih Sunah juga mengatakan,

وكذلك لها الحق في أن تطلب التفريق للضرر الواقع عليها لبعد زوجها عنها لا لغيابه. ولابد من مرور سنة يتحقق فيها الضرر بالزوجة وتشعر فيها بالوحشة، ويخشى فيها على نفسها من الوقوع فيما حرم الله. والتقدير بسنة قول عند الامام مالك

Demikian pula, istri berhak gugat cerai karena madharat (keadaan memberatkan) yang dialami istri, disebabkan keberadaan suami yang jauh. Dan kondisi memberatkan istri harus dilalui selama setahun, yang membuat dia sangat sedih, dan khawatir dirinya akan terjerumus ke dalam apa yang Allah haramkan. Dan ukuran satu tahun merupakan pendapat Imam Malik. (Fikih Sunah, Sayid Sabiq, 2/291 – 292).

Namun jika istri ridha berpisah jauh dengan suami dalam kurun waktu lama, dan dia sanggup bersabar untuk tidak melakukan gugat cerai, insyaaAllah akan menjadi pahala bagi sang istri.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَا يَزَالُ الْبَلَاءُ يَنْزِلُ بِالْمُؤْمِنِ وَ الْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّي يَلْقَي الله وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيْئَةٍ

Musibah akan terus-menerus menimpa seorang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan: pada dirinya, anaknya dan harta bendanya, hingga nanti bertemu Allah tidak tersisa kesalahan sama sekali. (HR. Ahmad 7859 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Keempat, jika istri mengajukan gugat cerai ke PA karena jauh dari suami dan PA tidak memutuskan cerai, maka pernikahan belum batal. Karena yang berhak memutuskan dalam gugat cerai ini adalah hakim.

Dalam Ensiklopedi Fikih dinyatakan,

اتفق الفقهاء القائلون بالتفريق للغيبة على أنه لا بد فيها من قضاء القاضي لأنها فصل مجتهد فيه، فلا تنفذ بغير قضاء

Para ulama yang berpendapat bolehnya memisahkan pernikahan karena ditinggal suami, mereka sepakat bahwa memisahkan pernikahan ini harus ditetapkan berdasarkan keputusan hakim. Karena masalah ini area mujtahid. Karena itu, tidak boleh ditetapkan tanpa keputusan hakim. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 29/64)

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

Jika Istri Lebih Kaya dari Suami


Suami dan istri adalah dua insan yang berbeda, namun berkat ikatan suci berupa pernikahan mereka bersatu. Ikatan suci berupa pernikahan yang dilandasi oleh niat luhur menjaga kehormatan diri, dan menjalankan sunnatullah, menjadikan dua insan yang berbeda bisa menyatu. Besarnya tingkat kesamaan i’tikad, dan cita-cita mereka menutupi segala batasan personal antara mereka.


Walau demikian, bukan berarti, segala bentuk batasan pribadi antara mereka telah sirna. Karena itu, syari’at Islam memberikan batasan-batasan yang membedakan antara suami dan istri, terutama dalam hal hak dan tanggung jawab. Suami berkewajiban menafkahi istrinya, dan sebagai imbalannya istri berkewajiban mentaati suaminya. Allah Ta’ala berfiman,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An -Nisa:34).

Imam Ibnu Jarir menjelaskan bahwa kata “menafkahkan sebagian harta” pada ayat ini mencakup mas kawin pada saat akad nikah dan nafkah sandang, pangan,papan dan lainnya. (Tafsir Ibnu Jarir At Thabari 8292)

Para ahli fiqih juga menjelaskan bahwa istri berhak penuh untuk menggunakan nafkah yang ia peroleh dari suaminya, selama tidak berdampak buruk pada kesehatannya. Karena bila berdampak buruk pada kesehatannya, maka pada akhirnya akan merugikan suaminya . Demikian dijelaskan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughni(11/359).

Asma’ binti Abi Bakar mengisahkan,

Suatu hari ia menjumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia bertanya, Wahai Nabi Allah, aku tidaklah memiliki harta apapun kecuali yang diberikan oleh Az-Zubair (suamiku), apakah aku berdosa bila menyedekahkan sebagiannya? Nabi menjawab:

ارْضَخِي مَا اسْتَطَعْتِ، وَلَا تُوعِي فَيُوعِيَ اللهُ عَلَيْكِ

Bersedekahlah semampumu, dan janganlah engkau kikir, akibatnya Allah menahan rizqimu.” (Muttafaqun ‘alaih).

Bila Suami tidak Menafkahi Istrinya

Dalam beberapa kondisi, terkadang ada yang suami dengan sengaja melalaikan nafkah istrinya. Untuk mengurai permasalahan rumah tangga ini, maka islam memberikan beberapa opsi kepada istri:

1. Mengambil jatah nafkahnya dari harta suami walau tanpa seizin darinya, atau melalui jalur hukum di pengadilan, sebagaimana yang dilakukan oleh Hindun bin Utbah istri Abu Sufyan radhiallahu anhuma.

2. Bersabar, dan nafkah yang tertunda dianggap sebagai piutang yang wajib dibayarkan oleh suaminya di kemudian hari, demikian ditegaskan oleh para ahli fiqih dari mazhab Imam Malik, Syafii, dan Ahmad bin Hambal (Al-Bayan oleh Al-Umrani As-Syafii 11/224 & Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 11/366).

Imam Al-Umrany As-Syafii menegaskan: “Nafkah seorang istri tidak serta merta menjadi gugur hanya karena berlalunya waktu. Dengan demikian, bila istri memilih untuk bersabar dan melayani suaminya walaupun suami tidak memberinya nafkah, maka ia tetap berhak untuk mendapatkan nafkah yang tertunda tersebut di kemudian hari.” (Al-Bayan oleh Al-Umrani, 11/226)

Para ahli fiqih juga menyebutkan bahwa bila suami memiliki piutang atas istrinya, maka bila memungkinkan – karena istrinya kaya – dapat ditempuh tukar guling antara nafkah dan piutang tersebut. (Al-Bayan oleh Al-Umrani As Syafii, 11/227 & Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 11/365)

Dikisahkan bahwa ada seorang lelaki menyampaikan rencananya untuk tinggal di Baitul Maqdis selama sebulun kepada sahabat Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash. Sahabat Abdullah bin Amer bertanya kepadanya: apakah engkau telah meninggalkan nafkah yang cukup selama satu bulan untuk keluarganya ?

Lelaki itu menjawab: Tidak.

Sahabat Abdullah bin Amer berkata: Segera kembali kepada keluargamu, dan tinggalkan untuk mereka nafkah yang cukup, karena aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Cukuplah sebagai dosa yang dapat membinasakan seseorang bila ia telah menelantarkan nafkah keluarganya.” (HR.Ahmad dan lainnya).

3. Bila kedua opsi di atas tidak dapat dilakukan, maka istri berhak untuk mengajukan gugatan hak fasakh ke pengadilan agama, agar akad nikahnya dibatalkan. (Al-Bayan oleh Al-Umrani As-Syafii, 11/224 & Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 11/364)

Istri Terlilit Hutang

Diantara bukti yang menunjukkan konsekwensi dari pemisahan harta suami dari istri ialah masing-masing dari keduanya menanggung kewajiban utangnya secara terpisah. Utang suami adalah tanggung jawab suami, demikian juga halnya dengan utang istri. Masing-masing dari mereka tidak berkewajiban menanggung utang pasangannya.

Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa secara tinjauan hukum, tidak ada dalil baik dari Al-Qur’an atau As-Sunnah yang melarang suami atau istri untuk membayarkan zakatnya kepada pasangannya masing-masing. Asalkan pada mereka terpenuhi kriteria sebagai penerima zakat, maka zakat boleh disalurkan kepada mereka.

Menurutnya, Ketentuan ini berlaku selama pemilik zakat tidak menjadikan penyaluran zakatnya sebagai cara untuk menggugurkan suatu kewajiban lainnya atas dirinya.

Masih menurut penjelasan beliau, andai seorang suami menyalurkan zakatnya untuk melunasi hutang istrinya yang tidak kuasa dilunasi oleh istrinya, maka itu dibolehkan. Yang demikian itu, karena seorang istri yang terlilit hutang secara hukum syari’at juga disebut sebagai al-gharimin yang merupakan salah satu kriteria penerima zakat. Sekali lagi ketentuan hukum ini berlaku selama hutang istri tersebut terjadi karena keperluan pribadi istri yang tidak ada kaitannya dengan tertundanya nafkah suaminya. (http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_2335.shtml).

Saudaraku! Penjelasan tentang hak-hak istri di atas, berlaku bila istri menuntut. Adapun bila istri merelakan haknya, sehingga ia tidak mempermasalahkan nafkahnya yang tertunda atau bahkan ia berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, maka itu adalah suatu hal yang bagus. Namun konsekwensinya, bila ia telah merelakan haknya, maka dikemudian hari sang istri tidak berhak untuk menuntut ganti rugi terhadap segala sesuatu yang telah ia relakan, walaupun hubungan pernikahannya berakhir dengan perceraian.

Etika Hubungan Suami & Istri

Berbicara tentang hak dan kewajiban tentu berbeda dengan berbicara tentang etika. Sering kali masalah etika jauh di atas sekedar hak atau kewajiban. Karena itu pula dalam urusan ini, walaupun secara hukum asal istri bebas membelanjakan hartanya, namun secara etika rumah tangga, ia disunnahkan untuk meminta izin atau restu dari suaminya.

“Tidak boleh bagi seorang wanita untuk memberikan sebagian dari hartanya kecuali seizin suaminya.” (HR. Abu Dawud).

Menurut kebanyakan ulama hadits ini bukanlah larangan yang bersifat tegas, namun sebatas anjuran dalam rangka mewujudkan hubungan yang harmonis antara suami dan istri. (Subulussalam 3/58)

Semoga paparan singkat ini menambah wawasan kita semua tentang hak-hak suami dan istri secara syari’at.Wallahu Ta’ala a’alam bisshawab.