Zakat yang Tidak Memperhatikan Haul
Sebagaimana telah diulas bahwa di antara syarat zakat adalah telah memenuhi haul atau melewati masa satu tahun hijriyah. Haul ini adalah kadar di mana suatu komoditi mulai meraih untung secara umum. Kita dapat melihat tanaman biasanya baru dipanen setelah setahun. Begitu pula hewan ternak dikatakan telah tumbuh secara umum setelah setahun.
Dan sekali lagi hitungan haul di sini berdasarkan hitungan kalender hijriyah sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (QS. Al Baqarah: 189).
Hitungan haul inilah yang kita temukan pada zakat emas, perak, mata uang, hewan ternak, dan zakat barang dagangan. Nabi shallallahu ‘aiahi wa sallam bersabda,
وَلَيْسَ فِى مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Dan tidak ada zakat pada harta hingga mencapai haul.”[1] Termasuk pula zakat penghasilan atau disebut saat ini dengan zakat profesi mesti memperhatikan haul, jadi bukan dikeluarkan setiap bulan.
Contoh hitungan haul: Uang telah berada di atas nishob perak pada tanggal 10 Rajab 1432 H. Uang tersebut berjumlah Rp 10 juta. Hitungan haulnya adalah selama setahun mulai dari 10 Rajab tadi. Pada tanggal 10 Rajab 1433 H jika harta masih berada di atas nishob perak (kira-kira Rp 3 juta), maka terkena zakat 2,5%.
Sebagaimana telah diterangkan bahwa yang menjadi patokan zakat adalah keseluruhan haul. Seandainya di pertengahan tahun, harta berkurang di bawah nishob, maka tidak dikenai zakat. Dan ketika berada di atas nishob, barulah dimulai hitungan haul.
Ada beberapa komoditi yang hitungan haul di sini tidak diperhatikan, yaitu:
Pertama: Hasil pertanian (hubub wats tsimar)
Di sini tidak disyaratkan haul. Di antara dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَآَتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dizakatkan kepada fakir miskin)” (QS. Al An’am: 141).
Jika enam bulan –walau tidak sampai setahun-, tanaman sudah siap dipanen, maka dikeluarkan zakatnya saat itu pula.
Kedua: Anak hewan ternak
Anak hewan ternak akan mengikuti haul induknya. Misalnya, seseorang memiliki 40 ekor kambing. Dan setiap kambing nantinya menghasilkan 3 ekor anak dan ada satu kambing yang menghasilkan 4 ekor anak. Jadinya, jumlah kambing adalah 121 ekor. Dalam kondisi ketika haul dari induknya, tetap dizakati dengan 2 ekor kambing. Padahal anak-anak dari kambing tadi belum mencapai satu haul, namun sudah terhitung karena mereka mengikuti haul induknya.
Ketiga: Keuntungan dari zakat perdagangan
Keuntungan adalah turunan dari barang dagangan yang ada. Misalnya, seseorang membeli tanah seharga 30 juta rupiah dan sebelum haul harga tanah itu menjadi 50 juta rupiah. Maka yang ia zakati adalah 50 juta rupiah. Padahal keuntungan 20 juta rupiah di sini belum masuk haul tetapi telah terhitung zakat karena keuntungan adalah turunan dari harga beli tanah tersebut.
Keempat: Rikaz atau harta karun (harta jahiliyah yang terpendam sejak masa sebelum Islam)
Di sini tidak disyaratkan harta tersebut telah bertahan selama satu haul. Sekali ditemukan, maka langsung dizakati saat itu juga. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ
“Pada rikaz ada kewajiban sebesar 20%”.[2] Di sini tidak dikatakan setelah haul.
Kelima: Ma’dan atau barang tambang.
Barang tambang ketika ditemukan langsung dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5%.[3]
-bersambung insya Allah-
---------------------------------------------------------------
[1] HR. Abu Daud no. 1573, Tirmidzi no. 631 dan Ibnu Majah no. 1792. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] Lihat Syarhul Mumti’, 6: 18-20.